HOS DEVLETI
"Aku tahu kamu terkejut. Tapi, sungguh aku bisa menjelaskannya."
Jiao Yin, dalam ruangan baru yang ia masuki setelah meninggalkan 53AL, kini masih terduduk lesu di sofa. Konselornya bukan lagi si senior Gregori melainkan seorang wanita dengan penampilan yang begitu cantik, sebuah rahasia yang Yin tahu selalu ditutupnya ketika pergi ke Dibistan. Tersembunyi di balik purdah.
"Ternyata kau salah satu dari mereka," lirih Yin. Ia memang bersyukur sudah tidak terjebak bersama Gregori yang gila dengan tangan tercekal, mesin-mesin dan alat mengerikan. Namun, kenyataan pahit di depannya sekarang seperti tak membawa perubahan banyak.
Herzenova menarik napas di belakang meja kerjanya. "Aku tak bisa menolak."
"Kupikir kau hanya pemilik butik dan sudah cukup."
"Sungguh tak bisa ditolak."
"Mengapa?"
"Kau akan mengerti jika memiliki suami seorang eksekutif Terra Firma bagian Protektorat."
Yin masih sulit menerima itu. Bagaimana mungkin Herzenova mengikuti kuliah di Dibistan sampai menemukan kedamaian dari murninya hidup, sekaligus merubah pemikiran orang-orang untuk menyimpang? Barangkali ia memang terpaksa. Seperti katanya, inilah yang terjadi jika dia memiliki kerabat seorang eksekutif Terra Firma terutama bagian Protektorat.
"Apa kau menyampaikan segala hal yang Beyaz sampaikan?"
"Tentu saja tidak." Herzenova mengusap wajahnya seperti putus asa. "Orang-orang terdahulu mungkin memang bertugas menyampaikan ajaran ini. Tapi, kalau kau berbicara seperti itu di depan penduduk Terra Firma, mereka tak akan menerima satu pun kata. Sia-sia saja."
"Tak ada yang sia-sia. Tugas kita memang hanya menyampaikan, ingat? Bukan merubah seseorang."
"Apakah jika yang lain mengetahui ini, mereka akan kecewa padaku?"
"Tentu saja. Tapi, kecewa adalah bagian dari setiap hubungan sedangkan persaudaraan itu tak akan pernah putus. Lebih baik kau jangan mengkhawatirkan tanggapan kami. Di atas sana, Tuhan kita menunggumu."
Air mata Herzenova akhirnya menitik juga. Ia segera menyeka itu. "Syukurlah ini tempat yang sangat tertutup meskipun satu-satunya. Tak ada kamera pengawas dan dindingnya kedap suara. Tuan Kepala sudah melatih para konselor dan mempercayai mereka dengan penuh. Semua yang berada dalam ruangannya pasti dianggap sedang bekerja."
"Kadang, orang-orang ini agak bodoh," gumam Yin. "Kita semua memang bodoh sejak dulu."
"Sudah, tidak selamanya begitu."
"Tapi, aku ingin tahu. Kenapa kau berani merekayasa berkas itu dan menyelamatkanku? Posisimu bisa menjadi sangat rawan."
Herzenova termenung menatap Yin. "Aku mengenalmu. Aku tidak sanggup jika kau harus mengalami prosedur Bangsal Pemurnian."
"Kau mengakui bahwa ini tidak manusiawi?"
"Aku mengakui, Yin. Tapi, aku tak bisa melakukan apa pun."
"Bukankah kerabatmu tadi seorang pejabat di Protektorat?"
"Ya. Tapi, kau tak akan mau mendengar tabiatnya yang sangat keras."
Yin bergeming, berusaha memahami setiap kalimat yang Herzenova ucapkan. Dia tentu belum akan mengerti semuanya karena dia sendiri masih melajang.
"Aku ... paling tidak sanggup jika harus bertemu Roumeli dengan kenyataan sekarang. Padahal ada satu hal penting yang harus ia ketahui. Aku tidak bisa mengutarakannya tanpa menutupi pekerjaan ini."
"Apakah itu?" tanya Yin heran.
Herzenova mengaktifkan versi hologram gadgetnya dan menggulir layar. Ia berhenti pada salah satu file yang ketika dibuka menampakkan sebuah foto. Seorang wanita separuh baya yang terbaring lemah di sebuah ruangan konselor. Herzenova menelan ludah.
"Aku tak tahu apa reaksi Roumeli jika ia mengetahui ibunya berada di sini."
[]
Gadis itu tak bisa menjelaskan kondisinya secara gamblang kepada Nine. Ia tak lagi mendekam di kamarnya di rumah melainkan selalu pergi untuk mempersiapkan suatu hal besar. Beruntunglah Alessa sudah menjadi teman Roumeli sehingga ia masih bersedia membantunya untuk Nine dan kebetulan Joseph dapat menjadi penawar bagi kegelisahan Nine terhadap cucunya.
Sementara di sisi lain, Annadher berusaha tak mengacaukan jadwalnya yang biasa. Ia tak sedikit pun merubah pola kegiatan dan sikap di depan orang tuanya. Tentu saja itu semua bisa terjadi karena Annadher memasang droid untuk menggantikannya selama pergi.
Malam itu mendung. Roumeli, Annadher, Hanzhal dan Kannaz tetap bersiap di posisinya masing-masing sebelum menyebar di sekitar rumah Beyaz. Para aparat komputer masih berpatroli di pekarangan. Karena daerahnya memang agak terpencil, jarang ada penduduk yang lewat apalagi sampai mempertanyakan keadaan tersebut.
Hanzhal mulai mengalihkan perhatian para aparat komputer dengan menekan bel pada pagar besi. Mesin-mesin itu bergerak ke arahnya dan memindai. Hanzhal termasuk yang baru-baru saja terlibat dengan Roumeli sehingga tak cukup signifikan sampai parat komputer bisa mengenalinya.
Ketiga anak muda yang lain pergi menyelinap dari pintu garasi tempat Beyaz biasa melakukan pekerjaannya. Roumeli sudah hafal bagian pintu garasi yang tersembunyi di balik tanaman rempah-rempah milik Beyaz itu. Mereka masuk dengan bantuan kunci pintar duplikat yang Roumeli pegang. Hanzhal menyusul setelah ia berhasil menonaktifkan aparat komputer dengan kemampuan meretasnya. Sekarang, siapa pun yang mengendalikan mesin-mesin itu hanya bisa melihat kamera yang telah direkayasa oleh Hanzhal.
"Kamu tak pernah cerita tentang keahlian itu," bisik Kannaz suatu kali.
Hanzhal hanya mengedikkan bahu. "Kamu tahu, pekerjaanku bukan hanya bermain dengan teman-teman. Aku selalu ingin meretas gadget mereka agar otomatis menghapus jejak nomorku."
"Hm, kau harus menggunakannya untuk hal yang lebih baik."
"Maaf."
"Sekarang, mana wajah yang pamanmu bilang ada di ruang tengah?" bisik Hanzhal yang beralih pada Roumeli. Mereka telah menyusup hingga ke dalam. Hanzhal sangat berjasa untuk bagiannya meretas keamanan.
"Kita cari," jawab Roumeli. Matanya yang bersinar kebiruan mengamati sekitar dengan seksama. Ia menemukan sebuah bingkai foto di atas nakas, mengutak-atik hingga melepas foto itu. Terdapat sebuah kunci yang tersimpan di dalamnya.
"Hei, Roumeli. Ingat saat aku tertawa waktu mendengar Paman Beyaz bilang soal rubanah? Kupikir itu lelucon orang zaman dahulu. Barangkali justru ada hubungannya dengan ini."
"Tuan Beyaz punya rubanah?" tanya Kannaz. Ia pernah membaca salah satu buku yang ditinggalkan Amma mengenai rubanah pada zaman peperangan di masa lalu. Menurutnya, itu sungguh sebuah model bangunan yang unik dan praktis.
Roumeli mengangguk. "Aku tak yakin, tapi ia pernah mengatakannya. Nah. Tinggal bagaimana kunci ini menemukan lubangnya."
"Kupikir ini mirip lubang kunci," kata Annadher. Ia tengah menyibak sebuah karpet tebal yang awalnya tampak seperti lantai keramik. Proporsi ilusi. "Meskipun aneh sekali melihat benda bernama kunci itu. Kita 'kan tidak memakainya lagi sejak ada Fi-Locks?"
"Pamanmu benar-benar unik," timpal Hanzhal.
Roumeli memutar kuncinya di lubang sehingga sebuah pintu lantai terbuka. Namun, terdapat satu pintu lagi yang lebih canggih sebab kali ini dengan layar digital dan perintah untuk memasukkan kata sandi. Ketiga anak muda itu menghela napas sedangkan Roumeli mencoba sebuah sandi yang ia pikirkan.
Annadher terbelalak saat tulisan berubah biru dan pintu terbuka begitu cepat, memberikan mereka akses dengan tangga besi. "Apa yang kau ketik?" tanyanya saat mereka turun bergantian.
"Aku tak tahu. Tiba-tiba saja nama itu terlintas," kata Roumeli. Ia juga tak yakin mendapatkan petunjuk yang seperti pesan telepati itu dari mana. Tiba-tiba saja ia hanya memikirkan satu nama: Gulbahar Ataskeri. Salah satu penulis buku sejarah tua yang memiliki marga serupa dengan Beyaz meskipun marga tidak terlalu dihiraukan lagi oleh penduduk zaman sekarang.
Ruangan di bawah sana berbentuk heksagonal dengan penempatan yang cukup rapi. Rak-rak perkakas, meja mesin, papan komputer dan tentunya Hos Devleti yang mengapung di atas podium magnet rendah.
Hanzhal berdecak kagum. "Kendaraan ini lebih besar dari yang kuduga."
"Tentu saja skalanya berbeda," gumam Roumeli. Ia berjalan mengelilinginya dengan pelan sambil memikirkan bagaimana asal-usul nama itu tercipta. Apa artinya? Dari bahasa apa? Aturan Terra Firma sudah lama melenyapkan ciri khas setiap bangsa di dunia dan hanya menggunakan satu bahasa.
"Aku menemukan bagian mesin yang perlu diperbaiki," kata Annadher. "Mungkin hanya tentang komposisi bahan bakar yang harus seimbang. Lihat meterannya. Juga butuh cadangan energi listrik dari generator. Seingatku, model kendaraan begini sudah lama ditinggalkan."
"Dan beberapa papan yang butuh baut," imbuh Hanzhal. "Hal kecil yang bisa fatal jika kita abaikan."
"Aku tak mengerti mekanik, jadi kuserahkan pada yang lebih tahu," tukas Roumeli. Ia beralih kepada papan komputer dan mencari segala folder yang bisa diakses. Kannaz akan bersamanya karena mereka sama-sama lebih mahir dalam hal seperti ini. Dia berdiri sambil bersedekap dan mengamati.
Roumeli duduk di kursi maglev yang tersedia. Jemarinya mulai lincah mengutak-atik papan komputer hingga sebuah layar hologram muncul. Roumeli memasukkan kode yang sama dengan pintu sehingga layar berubah.
Selamat datang, Beyaz Ataskeri.
Begitu tulisan yang tertera sebelum beberapa pilihan folder timbul. Roumeli menyentuh yang berjudul Kementerian Teknik Sipil sehingga terbukalah fail digital riwayat penugasan para pegawai.
"Sebuah proyek dari Dewan Tinggi," gumam Roumeli.
Kannaz ikut membacanya dengan teliti. "Proyek Daratan Baru. Bertujuan mengembalikan benua-benua yang hilang setelah Kejadian yang Tiga. Ratusan tenaga kerja dari Kementerian Teknik Sipil dikerahkan ... namun berakhir gagal. Ada tsunami kedua yang menewaskan semua orang."
"Hampir semua," ralat Roumeli. Ia menyentuh fail lain dan membuka gambar kartu identitas para pegawai madya. Orang-orang itu tak ia kenal sementara status mereka semua telah meninggal. Tetapi, ketika ia menggeser layar kepada gambar yang lain, Roumeli tertegun.
Kannaz mengernyitkan kening, beralih antara foto pria pada gambar dan Roumeli. "Kalian sungguh mirip. Dari mata dan hidung itu," ujarnya sambil mengetuk pelan pangkal hidungnya sendiri.
Roumeli menatap gambar kartu identitas ayahnya: Yavuz Ataskeri. Tegap dengan sorot mata biru topaz yang tajam. Rambut hitamnya tersisir gagah dengan sedikit janggut di sekitar pipi. Lekuk wajahnya tegas dan alisnya melengkung penuh wibawa. Roumeli mendapatkan banyak ciri genetik darinya ... persis sebuah fotokopi yang amat rupawan. Namun, status Yavuz yang tercatat di sana membuat hati Roumeli berdenyut.
"Dia akan mendapatkan tempat yang terbaik atas izin Tuhan," hibur Kannaz. Dia tak bisa diam saja melihat raut Roumeli yang menyembunyikan kesedihan.
Roumeli hanya mengangguk. Dia tiba pada gambar kartu identitas yang terakhir dan sedikit terbelalak. "Paman juga?"
"Dia salah satu pekerja yang selamat," Kannaz membenarkan. "Bagaimana mungkin? Setahuku, Rich Citadel telah berdiri pada masa itu sehingga ia tak seharusnya bisa masuk."
"Tunggu. Kita meninggalkan sesuatu yang penting," kata Roumeli. "Bencana yang menimpa para pekerja Daratan Baru. Bencana apa itu?"
"Tadi tertulis tsunami. Aku tak pernah dengar ini sebelumnya," tanggap Kannaz. "Yang jelas, bencana itu merusak proyek dan menewaskan pekerjanya."
Roumeli masih penasaran, namun ia kembali membuka folder lain. Ditemukannya sebuah catatan digital dari tulisan Beyaz. "Pada hari ini Tuhan masih memberiku hidup. Hos Devleti akan jadi saksi perjalananku menuju Terra Firma, menembus temboknya."
"Tuan Beyaz selamat karena menggunakan kendaraan itu," gumam Kannaz.
Roumeli membuka catatan lain dan membaca dengan jantung berdebar. "Dewan Tinggi merekayasa tragedi proyek Daratan Baru. Seluruh pekerja diklaim telah meninggal. Aku mengode ulang data penduduk agar identitasku tercantum meskipun tak akan bertahan lama. Jika mereka menemukannya, eksistensiku dapat dihapus dari memori setiap orang."
Catatan lain kembali dibuka.
"Terra Firma kudatangi untuk mencari keamanan, tapi ternyata dunia sudah tak punya keamanan apa pun lagi. Dewan Tinggi mengontrol segalanya. Penduduk dilenakan. Sebenarnya untuk mengalihkan mereka dari apa?"
Judul catatan yang paling bawah membuat Roumeli semakin berkeringat dingin. Di sana tertera: Untuk Keponakanku yang Terakhir. Kannaz melirik Roumeli, ingin tahu bagaimana reaksi gadis itu. Dia sendiri ikut bertanya-tanya tentang kenyataan apa lagi yang akan Beyaz ungkapkan?
"Roumeli, jika kau membaca ini, maka waktu untuk meninggalkan Terra Firma semakin dekat. Mungkin aku sudah ditangkap, bahkan mungkin sudah lenyap. Tempat ini adalah kesesatan yang nyata. Pergilah. Tembus Rich Citadel dan lihat dari apakah penduduk ini berlindung. Ajak seseorang yang mampu, tapi tinggalkan Nine dan semua temanmu sebelum kau menemukan kehidupan lain di luar sana. Kembalilah dengan kabar baik atau tidak sama sekali."
Annadher yang sedang menutup tangki bahan bakar pun menengadah. Dia tertegun dengan segala hal yang diucapkan Roumeli dari papan komputer itu. "Paman Beyaz menyuruhmu pergi? Untuk menemukan daratan lain?"
Roumeli menggeleng ragu. "Kalau memang begitu, maka akan kulakukan. Paman sudah pernah keluar sana. Dia tentu amat yakin dapat menemukan daratan lain tersebut."
"Keluar menggunakan Hos Devleti, sepertinya," sahut Hanzhal. "Kau pergi sendiri?"
"Tuan Beyaz berpesan agar Roumeli mengajak seseorang," kata Kannaz.
"Aku ingin sekali—tapi tidak bisa." Annadher tertunduk lesu. "Inilah yang terjadi jika kalian terikat dengan keluarga eksekutif Terra Firma."
"Pertanyaannya sekarang: bagaimana kita membawa kendaraan besar ini keluar tanpa mencolok?" Annadher berkacak pinggang. "Tunggu. Bahkan bagaimana caranya Hos Devleti masuk ke rubanah dari pintu kecil itu?"
Roumeli memutar kursinya menghadap mereka yang sedang mengelilingi Hos Devleti. "Barangkali ada fitur pengompresnya. Seperti perabot-perabot yang melipat kembali ke bentuk dasar."
"Apakah ini?" Hanzhal merunduk ke bagian samping Hos Devleti, agak sedikit ke bawah. Dia menekan tombol dengan LED merah sehingga kendaraan itu bergerak membelah, terpisah antara bagiannya dengan mulus dan tersusun rapi seperti pakaian yang akan masuk ke dalam laci.
"Wow." Annadher takjub, tepat saat Hos Devleti telah berubah menjadi sepapan LBoard yang berukuran sedang. "Klasik."
[]
Malam itu, Roumeli pulang agak larut. Ia masuk dengan memindai sidik jarinya dan menemukan semua ruangan sudah gelap. Nine pasti sudah tidur di kamarnya sementara Alessa sendiri diberikan kamar tamu yang punya fasilitas lengkap. Roumeli sungguh menjamin segala kebutuhan Alessa tersedia selama menjaga Nine. Katanya, sesekali Joseph juga ikut menginap.
"Roumeli, apa itu kau?"
Samar-samar, Roumeli melihat sesosok anak kecil di ujung lorong menuju kamarnya. Dia menekan saklar sehingga lampu menerangi mereka. Joseph mengucek matanya dan menguap. "Aku kangen sekali," kata dia.
"Sshh ... kau menginap lagi?" tanya Roumeli sambil menggiring Joseph menuju kamar tamu di sebelah kamar Alessa.
"Ya. Aku senang main dengan Nine. Dia lucu. Suka bikin kue. Lokum yang paling enak karena manis dan kenyal."
Roumeli tahu persis bagaimana rasanya. Ia ingat masa-masa ketika dia pulang dari TF-Institute Timur bersama Annadher, disuguhkan berbagai kue kering dan kue basah. Minum ihlamur sore-sore. Nine pandai sekali memasak. Garis keturunannya memang tak tertandingi.
"Tapi, kadang aku kasihan pada Nine. Dia juga kangen kau," kata Joseph saat mereka keluar dari lift sederhana di lantai dua dan memasuki kamarnya.
"Sungguh?"
"Ya. Dia bilang, kau satu-satunya cucu yang tersisa, Roumeli."
"Oh, begitu ...."
"Omong-omong, apa yang kau lakukan sampai harus pergi lama?" tanya Joseph. Ia naik ke atas kasur sebelum Roumeli menaikkan selimutnya. "Apa sekolah anak jenjang B memang sampai malam?"
Roumeli tersenyum. Sakit rasanya jika harus mengatakan bahwa dia tak lagi bersekolah setelah kesalahpahaman saat Sesi Eksekusi. "Tidak. Semua jenjang di TF-Institute hanya sampai sore. Hanya saja, aku punya sedikit kegiatan tambahan."
"Seperti ekstrakurikuler?"
"Yah," Roumeli mengerling ke jendela, "mungkin saja."
"Sekarang kau tidurlah. Ini sudah sangat larut," kata Roumeli sebelum beranjak dan menutup pintu. Hatinya terasa amat berat saat membayangkan akan pergi dari sana, meninggalkan Joseph yang sejatinya tidak tahu apa-apa. Roumeli hanya bisa berpikir optimis bahwa ia akan kembali dengan kabar baik dan membawa mereka semua.
Ya ... optimis.
Roumeli turun untuk mengambil air di dapur. Hos Devleti yang kini berbentuk LBoard itu pun masih tertinggal di ruang tengah. Dia keheranan melihat cahaya dari dapur dan tertegun ketika melihat seseorang yang sedang menuangkan sup daging ke meja makan di sana.
"Nine, sekarang sudah tengah malam," tutur Roumeli.
"Dan cucuku pulang tengah malam," balasnya. Dari luar, Nine memang sering kali terkesan tidak ramah walaupun sebenarnya ia amat lembut dan penyayang. "Makanlah."
"Terima kasih, Nine." Roumeli menarik kursi dan duduk. Dia makan dalam keheningan sambil sesekali melirik Nine yang duduk di seberangnya, membaca artikel pada gadget.
"Nine," panggil Roumeli.
"Hm?"
"Apa Nine tahu keadaan Paman Beyaz?"
"Ada apa lagi dengannya?"
Roumeli menarik napas sejenak. "Reserse datang ke rumahnya."
Kegiatan Nine mendadak berhenti. Ia membenarkan kacamatanya dan menatap Roumeli. "Lalu?"
"Nine tidak kaget?"
"Tidak. Memang kenapa?" Nine menyesap air hangatnya sebelum bersedekap. "Nine sudah lama memperingatinya agar menjauhi urusan dengan para Protektorat. Melupakan masa lalunya. Tapi, anak itu keras kepala. Sebagaimana dirimu."
Roumeli agak geli mendengar Nine menyebut pamannya dengan sebutan anak. Secara teknis Beyaz memang anak kedua dari Nine, namun kini dia sudah menjadi pria dewasa bahkan sebagian rambutnya memutih seperti salju. "Reserse menangkap Paman. Tapi, aku sudah mencarikan pengacara untuknya yang meskipun masih muda, pengacara ini tampak berkualitas."
Nine mengangguk saja. "Sudah delapan puluh delapan tahun Nine hidup, Roumeli. Nine yakin. Secerdas apa pun pengacaramu, Magistrat akan tetap mematuhi perintah atasannya."
"Tapi, bukan begitu cara kerja pengadilan?"
"Apa yang kau harapkan dari Magistrat Terra Firma?"
Roumeli menyelesaikan makannya. Dia menenggak segelas air mineral. "Nine, aku ingin memberitahumu sesuatu."
"Katakanlah."
"Aku mungkin akan pergi jauh—sangat jauh. Mungkin kembali, mungkin tidak. Satu hal yang pasti: aku ingin Nine merelakan itu."
"Bagaimana mungkin Nine merelakan itu?"
"Karena ini sebuah misi yang sangat penting." Roumeli menyentuh kedua tangan Nine di atas meja makan. "Demi kebaikan kita."
Nine mengernyit. "Apa kau juga terlibat dengan para Reserse?"
"Tidak, Nine."
"Jangan membahayakan dirimu." Nine menggenggam tangan Roumeli yang sedingin es, bibirnya gemetar.
Jangan lagi ada yang hilang dariku.
[]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro