Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

DISTANSI

BANGSAL Pemurnian masih tenang seperti hari-hari biasanya. Seluruh kegiatan berjalan mulus dan sehalus bayangan bulan di tengah malam: tak terasa, tak terduga. Tetapi, dalam salah satu ruang konselor itu, ada seorang klien yang kini memutuskan sebuah perkara.

"Pertemukan aku dengannya," pinta Yin.

Tak ingat lagi sudah berapa hari ia tinggal di ruangan itu. Setiap klien memang akan tinggal dengan konselornya hingga mereka dinyatakan telah murni kembali. Namun, laporan mengenai kemajuan Yin tidak Herzenova laporkan sebagaimana mestinya. Ia terus merekayasa semua berkas demi melindungi Yin sampai keputusan tepat diambil.

"Dia ada di ruangan khusus, hampir diletakkan ke dalam kamar persiapan mayat karena tubuhnya amat lemah. Seolah-olah dia sedang berada di antara hidup dan mati," terang Herzenova.

"Aku harus mengatakan bahwa putrinya tumbuh dengan sangat baik. Jika memang ia tak bisa lagi keluar, setidaknya dia harus mendengar kabar itu," tukas Yin.

Herzenova berpikir sejenak. Ruangan khusus itu memang sudah pernah ia pikirkan sebagai satu jalan keluar yang paling mudah untuk Yin. Di sana ada satu jendela rusak yang tak kunjung diperbaiki karena pihak atas Bangsal Pemurnia terlalu meremehkan hal kecil—sibuk kepada hal lain yang lebih penting. Yin bisa melompat dari sana, turun sedikit di antara kanopi-kanopi yang berjajar seperti tangga.

"Sepertinya bisa," Herzenova memandang temannya, "tapi kau harus berpura-pura sekarat. Bagaimanapun harus sangat persis. Kalau ketahuan sedikit saja bahwa ini adalah tipuan, kita akan tamat saat itu juga."

"Aku mengerti," kata Yin. "Percaya saja padaku. Aku mahir melakon."

Herzenova bangkit untuk mengeluarkan sebuah papan ranjang maglev yang mengapung di udara dan bergerak tanpa roda. Yin berbaring di atasnya sambil mengatur napas agar mudah diubah-ubah. Herzenova menyiapkan mentalnya sebelum menekan tombol darurat.

Dia bergegas keluar dan berlari kecil di koridor dengan papan yang mengangkut Yin bergerak otodinamis. Salah satu hansip yang sedang bertugas di sana terkejut. "Klien sekarat lagi?" tanyanya.

"Benar, kami permisi!" sahut Herzenova. Ia berkelok di ujung koridor dan berhenti di depan ruangan khusus. Di sana ada perawat lain yang berjaga untuk memeriksa setiap klien yang butuh penanganan khusus. Mereka melakukan sedikit pemeriksaan sebelum mengangguk.

"Berikan dia ruang dulu di dalam. Kami akan memanggil dokter," kata salah satu perawat.

Herzenova mengangguk. Ia masuk bersama papan yang mengangkut Yin dan sengaja memilih tempatnya di sebelah bilik seorang wanita. Wanita muda yang menjelang separuh baya setelah hidupnya direnggut paksa.

Dia dikenal bernama Elakshi. Seorang klien yang dahulu datang ketika masih muda, namun kini telah menghabiskan masanya dalam ruang khusus di Bangsal Pemurnian. Sesekali ia bersikap seperti kosong pikirannya dan nyaris tak menggubris apa pun. Selama itu ia hanyut dalam kesedihan yang amat dalam bersama kenangan-kenangan yang lepas ... seperti debu berterbangan.

"Semua berawal ketika suaminya tewas dalam proyek Daratan Baru," lirih Herzenova. "Dia menolak untuk percaya kabar yang diberikan Dewan Tinggi. Karena penolakan adalah tanda-tanda pemberontakan, maka ia dikirim ke sini."

Yin turun dari papan maglev­ dan mendatangi tirai bilik itu. "Assalamualaikum. Bolehkah aku masuk?"

Untuk sesaat, hening menjalar dengan ganjil sebelum terdengar suara yang terbatuk, menyahut dan mempersilakannya masuk. Tirainya bergerak terbuka otomatis sehingga Yin dan Herzenova bisa melihat sosok yang ada di atas ranjang itu. Elakshi tampak seperti potret yang begitu sedih. Ia kurus sehungga pakaian serba putihnya tampak sangat longgar. Dia memandang kedua tamu asingnya yang tak diundang.

"Sudah lama ...."

"Sudah lama aku tak mendengar ucapan itu. Orang-orang sudah meninggalkan sapaan doa selamat sejak dulu. Siapakah kau?"

"Aku Jiao Yin. Murid dari Beyaz Ataskeri."

Elakshi tertegun. "Beyaz ... Beyaz adik iparku? Hidup?"

Yin mengangguk. "Hidup dengan amat baik."

"Dan Yavuz," bisik Elakshi. "Bagaimana dengan Yavuz? Dia juga 'kan? Tolong katakan padaku."

"Maaf, Nyonya. Kami ... tidak menemukan kabarnya," jawab Herzenova, menahan tenggorokannya yang tercekat menahan tangis. "Tapi, kami percaya ia sudah berada di tempat terbaik di sisi Tuhan."

Elakshi bergeming sejenak. Matanya meredup seolah kilasan masa lalu berkelebatan seperti awan-awan gelap. Rasanya begitu sakit. Sedih. Tetapi, air matanya sudah cukup kosong setelah ia habiskan bertahun-tahun lalu. Ia hanya terpejam beberapa saat. Bibirnya gemetar saat hendak menyebut sebuah nama.

"Roumeli ... Roumeli Hissar ...," lirihnya. "Bagaimana dengan ... putriku? Putriku yang cantik. Aku sangat menyayanginya. Bagaimana ... keadaannya?"

Yin mendekat dan memegang tangan Elakshi dengan lembut. "Sangat baik. Dia tumbuh menjadi gadis yang cerdas. Hanya dia satu-satunya anak muda yang kuketahui suka membaca dan mengikuti kajian Dibistan bersama seorang lagi."

Segaris senyum tipis terukir pada bibir Elakshi yang pucat kering. Ia menggumamkan banyak syukur dan pujian kepada Tuhan. Namun kemudian, ekspresi wanita itu berubah. Memorinya kembali berputar seperti proyektor sinema yang menyedihkan. Dia menahan hatinya yang seperti terluka.

"Seseorang. Orang-orang tertentu. Mereka ... akan tahu rasanya ketika malaikat maut semakin dekat," bisik Elakshi. "Antara sakit dan bahagia ... takut dan bahagia ... selalu akan ada kegelisahan meskipun tetap saja bahagia."

Yin dan Herzenova saling tatap dengan iba. Mereka tak mampu berbuat apa pun. Herzenova juga tahu bahwa segala perawatan medis yang Elakshi dapatkan selama ini sebenarnya tak memberikan efek signifikan untuk kehidupannya. Maka ketika memang waktunya tiba bagi dia untuk terbang bebas, bersama sayap-sayap malaikat itu, Herzenova akan melepasnya. Dia yakin Elakshi pantas untuk mengakhiri penderitaan ini atas izin tuhannya walaupun melepas teman baik yang dahulu pernah menemani dalam keadaan rapuh itu ... amatlah sulit.

Sangat sulit bahkan bagi Herzenova yang notabene selalu seorang diri.

"Apa ... kau akan keluar dari sini?" tanya Elakshi. Tak yakin ditujukan pada siapa karena matanya telah sayup-sayup hanya menatap plafon. Apakah dia bicara pada Yin, Herzenova, atau barangkali para malaikat yang telah datang menjemputnya dengan cahaya.

"Ya," tanggap Yin. "Ya, aku akan keluar."

"Tolong ... sampaikan pada putriku agar ia juga keluar," Elakshi menarik napas yang agak sekarat, "agar ... ia keluar dari kota ini. Agar ia mencari daratan lain. Daratan yang lebih baik untuknya dan orang-orang seperti kalian."

Setelah menggumamkan nama-nama baik tuhannya, Elakshi mengembuskan napas yang terakhir. Yin menutup kedua mata Elakshi dan berbisik, "Sungguh kami adalah milik Tuhan dan sungguh kepada-Nyalah kami akan kembali."

Yin dan Herzenova bergeming sesaat, hanyut dalam perenungan masing-masing. Sekali lagi mengingatkan mereka bahwa ada masanya sesuatu akan menemukan batas waktu. Kaya sebelum miskin. Sehat sebelum sakit. Muda sebelum tua. Lapang sebelum sempit. Dan hidup ... sebelum mati. Segala hal di dunia pasti akan berakhir.

Bahkan jika dunia itu sendiri.

"Terima kasih," kata Yin. Dia beranjak menuju jendela yang sudah diceritakan oleh Herzenova dan bersiap keluar.

"Berhati-hatilah. Maafkan aku atas segala kejadian ini," ucap Herzenova. Dia mendekap Yin erat-erat sebelum membiarkannya pergi.

Tepat setelah itu terdengar derap langkah berat dari luar ruangan khusus. Herzenova buru-buru menutup kembali jendela dengan papan besi dan bersiap untuk menghadapi dokter bersama para perawat. Dia tentu akan mengalihkan perhatian mereka dengan mengabarkan kematian Elakshi.

Namun, rencana tidak selalu akan berjalan sempurna.

Ketika orang-orang itu masuk, Herzenova terbelalak.

Itu bukan dokter dan para perawat.

Jantung Herzenova berdebar-debar ketika seorang pria bergegas ke arahnya, menampar pipinya keras-keras hingga tubuhnya jatuh terhempas. "Biadab!" bentak pria itu. Rahangnya mengeras sampai kerutan yang sarat amarah tercipta pada keningnya. Beberapa rekan Reserse menyertai dia.

"Mengapa kau memalsukan berkas-berkas Tuan Gregori?" Bronislav merunduk, menyentuh dagu Herzenova hingga wajahnya yang bercucuran air mata mendongak pasrah.

"Ampuni aku," lirihnya.

"Apa kau telah bergabung dengan kelompok sinting itu?"

Bibir Herzenova gemetar. Suaranya tak mampu keluar.

"Kau mengikutinya diam-diam selama ini dengan identitas palsu." Tatapan tajam Bronislav menghujam tajam. "Kau mengkhianatiku, Nejra."

Seluruh tubuh Herzenova seperti tersetrum ketika nama aslinya disebut dengan penuh tekanan. Hatinya berdenyut.

Bronislav menampar wajahnya sekali lagi. "Kau akan dipecat oleh Tuan Kepala. Dan aku sungguh akan mengurus surat perceraian itu." Dia bangkit sebelum memerintahkan rekan-rekannya untuk meringkus Herzenova. Menggiringnya menuju ruang tahanan di Palais Eugul.

[]

Roumeli tergegau di balkon halaman belakang. Tadinya ia sedang memikirkan banyak hal hingga tanpa sadar terlelap. Kemudian, Roumeli bangun karena bisikan aneh dari dalam hatinya—dan mungkin juga karena bunyi cangkir yang berdenting di meja kecil sebelahnya. Ternyata Kannaz sedang menyajikan teh di sana.

"Sesuatu mengusikmu?" tanyanya. Ia tahu Roumeli sudah terlelap untuk beberapa saat sampai bangun dengan terkejut itu. "Minumlah. Tenangkan pikiranmu sejenak."

"Mungkin," gumam Roumeli. "Aku merasa kehilangan sesuatu."

Kannaz mengangguk saja. "Aku tahu ini semua berat. Tapi, yakinlah bahwa kau tak sendirian." Pemuda itu berbalik dan melenggang pergi. Dia berusaha menjamu tamu dengan sangat baik karena begitulah Amma mengajarinya dulu.

Roumeli melirik secangkir teh yang mengepulkan asap hangat. Dia menyesapnya perlahan, membiarkan kehangatan menyelimuti dengan nyaman walaupun ia tak bisa hanyut dalam kenyamanan untuk waktu yang lama. Roumeli hanya sekadar menyegarkan otak dari kejadian yang baru saja terjadi sebelum harus kembali bergerak.

Setelah penculikan Beyaz dari Kuboid, Protektorat segera menerjunkan seluruh hansip berkualitasnya ke setiap wilayah Terra Firma. Dari Barat, Utara, Timur hingga Selatan. Tentu saja bentuk patroli yang masih dalam tahap wajar agar tidak menimbulkan kecurigaan dari para penduduk. Namun, tetaplah Roumeli tak bisa pulang atau Nine dan keluarga Alessa akan terancam juga. Beyaz pun tak bisa pulang karena rumahnya dalam penjagaan ketat.

Kini, hanya kediaman Hanzhal dan Kannaz yang bisa dijadikan sebagai markas. Rumah mereka tak terjangkau bagi para hansip itu. Orang tua mereka yang membeli rumah tidak mencantumkannya ke bank data tambahan Kementerian Pembangunan sehingga lokasinya tak muncul di peta. Ini termasuk salah satu keteledoran para pegawai madya itu yang kini lebih banyak mengutamakan gaji saja.

Annadher sendiri masih bisa tinggal di kediamannya. Sejak awal, ia tak menampakkan diri sebagai salah satu pendukung kelompok Roumeli karena selalu menyamar dengan cerdik. Lagi pula, lingkungan rumahnya memang kawasan eksekutif Terra Firma. Saat ini memang hanya Beyaz dan Roumeli yang sedang diburon oleh pihak Protektorat. Para hansip tak terlalu mengindahkan bantuan-bantuan lain yang datang sehingga hanya fokus untuk memburon mereka.

Tiba-tiba saja, hujan turun dari langit sore yang cerah. Roumeli menengadah dan bertanya-tanya tentang perasaanya yang entah mengapa begitu teraduk.

"Cuaca dunia memang sudah tidak menentu sejak beberapa tahun silam," kata seseorang yang baru datang. Beyaz duduk di bangku sebelah Roumeli. "Jika normalnya kita sedang memasuki musim panas, maka di sini adalah musim hujan."

"Semua orang tak pernah senang dengan cuaca Terra Firma."

"Hanya sedikit kurang bersyukur."

"Tapi, cuaca kita memang lebih sering main-main. Sama seperti penduduknya."

"Kalau begitu mereka impas," tukas Beyaz. "Besok akan ada acara meriah di Prime Area. Seluruh penduduk pasti akan berbondong-bondong menghadirinya. Hansip akan lebih dikerahkan di sana. Inilah waktu kita."

"Paman. Sebenarnya, ada apa di luar sana?"

"Sebentar lagi kau akan melihat."

"Kenapa tidak Paman ceritakan saja?"

"Rasanya akan berbeda jika kau langsung melihatnya."

Roumeli termenung. "Lalu, bagaimana dengan Dibistan kalau Paman ikut pergi? Siapa lagi yang akan mengelolanya? Tuan Abraham, Joseph, Nyonya Herzenova, Jiao Yin ... pasti mereka kehilangan tempat berguru."

Tiba-tiba, Beyaz mengingat sesuatu. "Jiao Yin adalah jurnalis dari perusahaan ternama Terra Reform, benar 'kan? Sepertinya ia ditangkap entah sebab apa. Tapi, ketua Reserse itu bilang bahwa Jiao Yin masuk Bangsal Pemurnian."

"Bangsal Pemurnian, Paman?"

"Ya. Orang-orang yang tidak sepemikiran dengan Dewan Tinggi akan ditangkap ke sana lalu menjalani serangkaian pencucian otak. Saudara-saudara kita yang kemarin hadir di Dibistan bisa menjadi sangat rawan. Termasuk teman-temanmu, Roumeli."

Roumeli memikirkan Nine. Dengan usianya yang sudah amat renta, kemungkinan besar ia masih akan selamat karena dianggap tidak berpengaruh. Kemudian Joseph dan Alessa. Alessa yang lebih rawan karena ia adalah pustakawati yang selalu melayani pinjaman buku-buku Roumeli. Sedangkan Everest ... barangkali dia juga sedang di ambang kegelisahan meskipun keluarganya adalah pegawai madya yang abdi. Hanzhal dan Kannaz juga termasuk terancam jika seluruh bantuan mereka selama ini terbongkar.

"Tapi, jangan terlalu diambil pusing," saran Beyaz. "Kita tak bisa mengontrol segalanya. Yang perlu kita lakukan sekarang adalah menyelesaikan misi ini dengan optimal. Andaikan daratan lain itu ada, kita perlu memikirkan cara mengevakuasi mereka. Tapi, jika tidak ...."

Roumeli melirik pamannya yang menggantung kata-kata. "Jika tidak?"

Beyaz hanya memandangi langit yang terus bergemuruh dengan hujan ringan. Sebelum Roumeli kembali bicara, gadgetnya bergetar. Seseorang tak bernama sedang meneleponnya. Dia memberi kode pada Beyaz tentang keputusan mengangkat atau tidak sedangkan Beyaz mengangguk saja.

"Halo, Roumeli?"

Gadis itu mengernyit, perlahan mengenali suara dari seberang. Aksennya dalam bahasa yang digunakan penduduk Terra Firma terdengar amat kontras. "Jiao Yin?"

"Benar, ini aku. Maaf jika tiba-tiba menghubungimu. Ada hal yang ingin kusampaikan."

"Tak apa, Yin."

"Kau mungkin tak akan percaya tentang apa yang telah kualami sejak menulis berita penangkapan Tuan Beyaz."

"Ada apa?"

"Sebuah tempat terlaknat, Rou. Milik Dewan Tinggi. Di bawah Protektorat. Mereka menyebutnya Bangsal Pemurnian. Di sana, aku bertemu seseorang."

Kebetulan sekali dia dan pamannya baru saja membahas itu. Roumeli berkedip agak lama. Menerka-nerka siapa dengan jantung yang berdebar. Entah kenapa ia merasa seperti akan mendapatkan kabar yang mencengangkan.

"Seseorang?"

"Ya, Nyonya Elakshi."

Dalam sekejap, seluruh tubuh Roumeli gemetar. Nama itu adalah nama yang asing sekaligus paling ia ingat. Nama seseorang yang dulu memangkunya saat kecil, menciumi kepalanya, melantunkan puji-pujian pada Tuhan hingga ia hafal. Tapi, yang membuat Roumeli takut adalah kenyataan bahwa orang itu sudah tiada. Lantas, apakah hanya kebetulan mereka bernama sama?

"Apa yang kau maksud ...."

"Ibumu, Rou."

"Ibu sudah tiada bertahun-tahun lalu ... sakit karena terlalu lama bersedih atas kematian Ayah. Mungkin itu hanya—"

"Aku tidak bercanda, sungguh! Apa kau ingat kronologi kabar itu sampai?"

Roumeli tentu saja tidak ingat karena ia masih begitu kecil. Namun, Roumeli ingat cerita dari Nine. Dulu sekali, sejak tragedi proyek Daratan Baru dikabarkan secara pribadi ke tiap-tiap kerabat korban, Elakshi sudah menentangnya. Dia terus mengelak hingga akhirnya pihak Protektorat meminta izin pada Nine untuk mengantarnya terapi. Tak jelas terapi seperti apa dan di mana. Elakshi sempat hilang kabar sampai dia dinyatakan tidak bisa sembuh dari masalah psikologisnya dan meninggal.

Kalau dipikir-pikir, kejadian itu memang sangat ganjil.

"Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Auranya begitu persis denganmu. Tapi, kondisinya memang memprihatinkan. Kami menemukannya kurus dan pucat."

Roumeli menahan matanya yang mulai terasa panas. Ia tak akan menangis. Ia tidak akan menangis. Tidak akan ....

"Dia berpesan untukmu. Katanya, pergilah Roumeli keluar dari Terra Firma. Cari tempat yang lebih baik. Dia sudah sangat merasakan bagaimana kejamnya hidup di sini."

Roumeli menelan ludah. "Lalu, apa kau masih di sana? Bersamanya?"

"Tidak. Puji syukur aku dibebaskan oleh seorang konselor."

"Tentu dia adalah konselor yang amat berani."

"Memang benar," Yin terdiam sejenak, "dan ... oh, tidak apa-apa. Lupakan saja."

"Dan ibuku?"

Yin menarik napas. "Kondisinya memang sudah sangat sekarat, Rou. Untuk bicara saja betapa susahnya. Maka aku pun berat untuk mengabarkan ini padamu."

"Ibu telah tiada? Kali ini sungguh tiada?"

"Maafkan aku. Jika kau melihat seseorang yang berada di ujung maut, tak ada yang memiliki wajah seringan ibumu. Roumeli, sungguh, aku melihat ia bahagia."

Karena Ibu akan bertemu Ayah, batin Roumeli. Dia memanjatkan doa-doa untuk mereka. Merasakan rindu yang sangat kuat hampir-hampir menyiksa.

"Jadi, kau akan pergi dari sini?"

"Ya," Roumeli melirik Beyaz, "kami akan keluar."

"Bagaimana caranya? Bukankah Rich Citadel menghalangi segala akses keluar?"

"Kami punya sebuah kendaraan."

Mendadak, Roumeli terpikirkan sesuatu. "Yin, aku punya satu permintaan untukmu."

"Apa pun, Rou."

"Saat kami pergi nanti, bisakah kau mengelola Dibistan untuk sementara? Merangkul dan mengayomi saudara-saudara kita."

"Tentu saja. Apa pun yang terjadi, aku akan mempertahankan keyakinan ini sampai kalian kembali. Demi kebaikan kita semua."

"Semoga Tuhan menyertaimu."

"Omong-omong, kau menyebut kata kami sejak tadi. Dengan siapa yang kau maksud?"

"Paman Beyaz."

Yin seolah melotot. "Tuan Beyaz telah bebas?"

Roumeli saling bertatapan dengan Beyaz dalam banyak arti seolah Beyaz mengatakan, Nah, kau harus menjelaskannya bagaimanapun juga.

"Jika kau ada di pihak Dewan Tinggi, tentu pembebasan ini dianggap ilegal."

"Jika di pihakmu?"

"Pembebasan ini adalah bentuk peradilan."

Yin tersenyum dengan helaan napas. "Baiklah kalau begitu. Aku tak bisa bicara lebih lama lagi karena pihak Protektorat bisa melacak jaringan telepon kita. Aku akan menghapusnya setelah ini. Sampai jumpa, Roumeli. Berhati-hatilah."

[]

Hanzhal sedang mengetik dengan sangat serius di kamarnya ketika seseorang mengetuk pintu. Dia hafal suara ketukan itu sehingga langsung menekan tombol pada dinding agar pintunya terbuka.

"Teh, Dik?" Kannaz mengambil kursi maglev dan duduk di dekat Hanzhal, meletakkan senampan kaca yang berisi cangkir teh. Sore ini dia berusaha menghibur hatinya sendiri dengan menyeduhkan teh untuk orang-orang. Perasaan Kannaz ikut membaik jika melihat orang-orang terbaiknya bahagia.

"Terima kasih," sahut Hanzhal, terus mengetik pada kibor komputer nirkabelnya.

"Apa yang sedang kau buat?"

"Wasiat."

"Wasiat?"

"Kalau-kalau nanti aku mati."

"Seolah kau akan mati sebentar lagi, Hanz."

"Entahlah. Segala kejadian ini sepertinya membuatku putus asa."

Hanzhal mengakhiri tulisannya dengan titik dan bersandar pada punggung kursi transparan. Dia ikut menenggak teh rempah-rempah itu dan menghirup aromanya yang penuh ketenangan. Pikirannya berkilas menuju hari ketika dia masih punya hidup normal, bersekolah di TF-Institute, main bersama geng ... sebelum permainan mereka berakhir buruk.

Sejak mereka dikeluarkan dari TF-Institute, tidak ada lagi tukar-menukar kabar. Pada mulanya Laxey masih sering mengirimkan Hanzhal pesan. Bercerita bahwa keluarganya marah, teman-temannya tak bisa dihubungi, dan ia sedang dalam masa terendah. Tetapi, Hanzhal sama sekali tak merespon karena hatinya pun masih terluka akibat perlakuan mereka malam itu. Membaca pesannya saja tidak. Ia berusaha melupakan segala hal tentang mereka. Itu pun masih lebih baik ketimbang—jika saja—Hanzhal menaruh dendam?

Tahu-tahu, sekarang ia dan saudaranya terlibat urusan Roumeli, Beyaz, dan jajaran esksekutif Terra Firma. Masalah ini sesungguhnya bisa lebih besar, lebih kompleks daripada yang terlihat karena semua merujuk pada eksistensi dunia dan manusia.

"Jika menurutmu tebusannya cukup sampai di sini, tidak masalah. Aku juga tak ingin niat baik ini malah berbalik menjadi beban bagimu," tutur Kannaz.

"Tidak, tidak apa-apa. Aku tak merasa ini beban. Kau tahu? Sejak awal, aku sudah merasa bahwa sistem kehidupan kita di sini sangat mengerikan. Berbagai kesenangan itu seolah pedang-pedang bersarung berlian. Sekarang aku menyadari bahwa kenyataannya bahkan lebih parah."

"Aku tahu. Gadis itu telah membuka mata kita."

"Dan pamannya," imbuh Hanzhal. "Aku ingin tahu dari mana keturunan mereka sebenarnya? Itu seperti mereka memiliki asal nenek moyang yang berdarah pengembara. Terus mengitari dunia dan menaklukan negeri-negeri ... sebelum era baru datang dan Terra Firma berdiri."

Kannaz mengangguk. "Aku juga berpikir demikian."

Mereka bergeming sesaat, membiarkan pendingin ruangan kembali menyejukkan pikiran dan menghanyutkannya. "Saat mereka berhasil pergi nanti, apakah kita akan ditangkap pihak Protektorat?" tanya Hanzhal.

"Hanya Tuhan yang tahu." Kannaz merangkul saudaranya sambil menatap foto digital di atas dinding mereka, gambar yang bergerak dengan tiga bagan. Ada Kannaz, Hanzhal, dan Amma. Waktu itu, Aba tidak ikut berfoto karena ia yang ingin mengabadikan momen.

Kannaz mengulum bibir. "Entah kenapa ... aku merasa kita akan segera bertemu dengannya."

[]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro