DIBISTAN
ADA banyak pertanyaan untuk alam semesta yang terlalu luas dan misterius. Tentang jumlah tingkatan langit bumi, tentang kehidupan ekstraterestrial, tentang mengapa umat manusia hidup di balik benteng.
Dari pelataran terbuka di atas atap rumahnya yang datar, mata Roumeli memandang lepas seolah bertabur gemintang. Dia bahkan bisa melihat lapisan-lapisan cekung dan setipis benang terletak di antara gradasi ungu, biru tua dan hitam kelam pada langit itu. Di tempat aurora bergelimpangan dengan aneh. Pelatarannya memiliki kubah kaca yang mengatur suhu udara agar tidak semurni kenyataan. Ketika malam menjelang fajar yang tidak ada orang yang keluar kediamannya kecuali ingin terjangkit hipotermia.
Pernah sekali alam kembali pada taraf yang wajar, pernah juga dia murka dan mendadak ekstrem. Belakangan ini lebih sering begitu.
Tapi, mau alam jungkir balik sekalipun, tak akan pernah mampu menahan gelora Roumeli menuju Dibistan. Setelah melaksanakan ibadah dengan khusyuk di atas lantai pualam yang sejuk, Roumeli bangkit menuju LBoard. Syal tebal dan mantel sebetis menyelimuti Roumeli dalam kehangatan, sepatu bot praktis menyertainya. Nine sering tidak tahu tentang kepergian Roumeli, bahkan mungkin wanita tua itu lupa kalau dia masih memiliki cucu gadis semata wayang. Dia tampak hanya peduli memanggang kue.
Petak di bawah Roumeli bergerak turun sampai dia tiba di garasi, kemudian kembali naik menutup setelah Roumeli beranjak pergi. Seluruh fasilitas di Terra Firma memang sudah menerapkan sistem otodinamis, pergerakan otomatis. Seperti pintu yang bergeser ke samping dan melesak ke atas, atau petak lantai bermanuver.
Di atas Lboard, Roumeli menyusuri trotoar Delta Residence yang sepi ketika angin menelisik kerudungnya. Hanya ketangguhan Roumeli yang melewati itu demi mengikuti kuliah di Dibistan serampungnya subuh. Tak banyak penduduk Terra Firma yang keluar pada jam-jam seperti itu setelah malamnya mereka habiskan di Prime Area. Begitulah kebiasaan penduduk Terra Firma. Bekerja sepanjang hari dan berfoya-foya semalaman. Memang langka orang-orang seperti Roumeli dan segelintir kecil yang menahan kantuknya untuk ke Dibistan, mendengarkan ajaran hidup dari guru mereka.
Gedung Dibistan minimalis dan agak terpojok di sebelah ruko-ruko, masih wilayah Delta Residence. Ia tegak dengan kuat bahkan penuh hormat. Susah sekali mendapatkan izin membangun gedung yang tidak banyak diminati penduduk. Meskipun arsitekturnya masih khas Terra Firma yang berbahan keramik dan berbentuk silinder putih. Dulu sekali, penduduk masih berbondong-bondong belajar agama di sana. Dibistan terbuka dua puluh empat jam menerima diskusi persoalan hidup, membantu orang-orang yang sedang kesulitan, serta mengadakan kuliah agama. Semua berjalan dengan aturan kebijaksanaan.
Namun, setelah pendiri pertama Dibistan meninggal dunia, visi dan misi utamanya diam-diam melenceng oleh beberapa pegawai. Para penduduk yang ramai pun berkurang setelah banyaknya destinasi hiburan di Prime Area yang membuat mereka condong ke sana. Karena itu, Beyaz (sebagai salah satu pengajar) berganti jadwal menjadi selepas subuh untuk mengisi kuliah agama. Karena ia tahu hanya yang berusaha datang mencari ilmu pada waktu itulah yang bersungguh-sungguh.
"Assalamualaikum," sapa Roumeli ketika memasuki ruangan.
Beberapa orang telah hadir. Adalah Beyaz, pamannya; Herzenova, seorang wanita dengan purdah yang identitasnya tersamarkan; Jiao Yin, seorang jurnalis wanita muda; Abraham Ben dan Joseph, seseorang kakek buta dan cucu lelakinya yang masih belia. Sejak awal hingga akhir, jumlah mereka tidak pernah berkurang dan tidak pula bertambah.
Beyaz menatap peserta kuliahnya dengan teduh namun tegas. Terkadang ia merasa galau karena sedikit orang yang ingin belajar agama. Tapi kadang, hal itu juga meneguhkan dirinya bahwa masih ada harapan kecil untuk sebuah cita-cita besar. Memang benar, segala sesuatu akan terjadi sesuai dengan prasangka dan perspektif manusia.
Dia berdeham. "Karena sudah lengkap, mari kita mulai. Dengan nama Tuhan ...."
Hari berangsur-angsur terang mengusir panorama gotik dengan biru gembira yang selaras iris mata Roumeli. Dia menatap dengan tajam dan konsisten mengikuti gerak tangan Beyaz setiap kali bicara. Garis-garis cahaya telah menerobos hingga ke ruangan sehingga berakhirlah kegiatan kuliah sederhana itu.
Peserta yang minim tidak membuat kesan kuliah yang disampaikan Beyaz lenyap, justru semakin kuat. Mereka hadir setelah merasakan ketenteraman ajaran agamanya—bukan paksaan. Mereka merasakan sendiribahwa nasihat-nasihat itu bertebaran dalam relung jiwa bersama kedamaian batin. Seperti seseorang yang dehidrasi bisa meminum telaga segar sehingga ia tak pernah haus selama-lamanya.
Mereka berpamitan dan keluar secara bergilir mulai dari Abraham Ben yang dituntun Joseph, Jiao Yin yang langsung menuju kantor surat kabar, lalu Herzenova dengan segala kemisteriusannya. Dia memang amat jarang bicara, namun cukup dekat dengan Jiao Yin. Roumeli saja hanya sesekali berbincang dengannya.
Gadis itu berdiri. "Paman, kira-kira kapan masa kegemilangan terjadi lagi? Kapan kita bangkit dan memperbaiki dunia? Aku merindukannya."
"Kau mendengarnya, Roumeli, dari sejarah terdekat saja hal itu sudah selesai. Tidak ada lagi."
"Tapi, bukankah segala tanda-tandanya terjadi sejak zaman dahulu sampai sekarang meskipun hari yang mengerikan itu belum juga tiba? Belum tentu kita yang terakhir, Paman."
Beyaz merapikan layar proyektornya. "Kita tidak tahu, Nak, kita tak perlu tahu kapan. Kita diciptakan untuk menjalani hidup ini dengan sebaik-baiknya dan menjadikan hari itu sebagai peringatan. Biarkan Tuhan menentukan keputusan-Nya, Dia yang Maha Bijaksana dan Mengetahui."
Roumeli mengangguk. "Baiklah. Aku duluan, Paman."
Dia berlalu dengan lusinan pertanyaan yang terus membayang, belum mampu terjawabkan entah sampai kapan.
[]
Hanya dua kali sepekan. Serampung subuh di hari jumat dan minggu, Roumeli akan pergi ke Dibistan. Dia tentu sangat menyempatkan waktunya sebelum sekolah. Biasanya dia hanya akan datang untuk mendengarkan kuliah dari Beyaz, banyak bertanya dan berdiskusi. Amat jarang berkomunikasi dengan sesama peserta kecuali dengan Joseph, anak berusia delapan tahun yang masih satu generasi dengannya.
"Kemarin, kami ditugaskan membuat esai tentang Masa Timbul-Tenggelam Aurora," kata Joseph ketika mereka berjalan menuju pekarangan Dibistan. Hari ini, kakeknya sedang berhalangan hadir. "Aurora Borealis."
"Kau tahu, Jo. Pada mulanya aurora ada dua jenis: borealis di kutub utara, australis di kutub selatan. Aurora tidak sewajarnya muncul di langit pemukiman apalagi di kota seperti Terra Firma. Kecuali lokasi kita berada di garis lintang tinggi."
"Kutub utara dan selatan?"
"Ya. Dulu dunia kita sangat luas sampai memiliki daerah penuh es yang bernama kutub utara dan selatan."
"Wow." Joseph menaiki sepeda El. Banyak kendaraan di Terra Firma memang sudah memakai motor listrik yang energinya tersimpan dalam baterai. "Dulu ... orang-orang jarang sekali menggunakan kata dulu. Bukankah kita memang tidak bicara masa lalu, Roumeli?"
"Sekarang kau bisa lihat betapa menariknya hal-hal dulu itu."
"Benar! Apa lagi yang dilakukan orang-orang dulu yang kau tahu?"
"Hm ..." Roumeli mengaktifkan LBoard-nya, "tentu saja banyak. Bidang apa yang ingin kau tahu?"
"Karena hari ini anak kelas dua akan tamasya ke Greenland di Prime Area, aku ingin tahu bagaimana mereka berekreasi."
"Baiklah, tapi ini akan sedikit membuat kita iri." Roumeli tersenyum geli. "Dunia sangat luas. Potret pedesaan seperti Pegunungan Kale tak hanya satu—melainkan ribuan. Ada hutan dengan hewan dan tumbuhan fantastis. Ada padang rumput, tundra, gurun ... dan aku tak mampu menyebutkan lagi karena terlalu banyak. Tapi, kau bisa baca ini."
Roumeli mengeluarkan bundelan dari dalam tas selempangnya. "Ini yang kukumpulkan mengenai dunia ratusan tahun lalu. Maaf kalau agak berantakan. Catatan itu belum kupindah ke bentuk berkas digital."
Mata Joseph berbinar seperti turmalin kelabu. "Kau meminjamkannya padaku?"
Ketika Roumeli mengangguk, Joseph melompat dari sepeda El dan memeluk Roumeli. "Kau yang terbaik, Roumeli! Aku akan membaca ini bersama Kakek."
"Tak masalah. Pergunakanlah dengan baik."
"Tentu saja!"
Joseph pamit duluan karena tak sabar untuk menemui kakeknya di rumah. Roumeli baru saja hendak berangkat juga, tapi sebuah vecl berhenti dan mengadangnya. Kaca jendela dari mobil maglev itu turun menampakkan seorang wanita dengan purdah hitam. "Assalamualaikum," sapanya.
"Waalaikumsalam."
"Apa kau sudah hendak pulang?" tanya Herzenova. Jarang sekali ia mendatangi Roumeli secara langsung (bahkan sampai memarkirkan vecl-nya). "Kalau kau tak keberatan, aku mengundangmu datang ke butikku."
"Oh, aku pasti sangat senang. Tapi, setengah jam lagi sekolah dimulai," tolak Roumeli halus. Menutup keterkejutannya bahwa Herzenova memiliki butik. "Mungkin sepulang nanti?"
"Aku khawatir tidak bisa, sebab jam kerjaku di tempat lain berlangsung siang sampai malam. Ah, kalau begitu, bagaimana kalau aku meminta nomormu?"
"Boleh saja. Omong-omong, ada apa sebenarnya? Kupikir Anda menolak bicara pada siapa pun."
Herzenova tertawa pelan. "Aku hanya ... agak malu. Tapi, aku sudah berteman dengan Jiao Yin. Dia cukup sibuk dengan segala menyorot berita ke mana-mana sampai jarang membuka MeGraf. Kami mungkin sama sibuknya, hanya saja aku bekerja dalam ruangan. Dia di luar."
Roumeli mendekatkan gadgetnya pada gadget Herzenova agar dipindai, sehingga nomor mereka segera tersimpan di kedua perangkat lengkap dengan biodata masing-masing. Itu adalah salah satu fitur MeGraf, aplikasi pengirim pesan dengan telegraf. Isi biodata penggunanya bergantung dari informasi yang ingin mereka cantumkan. Roumeli memasukkan data nama dan instansi. Herzenova hanya memasukkan data nama.
"Sebenarnya tak banyak. Aku mendengar penuturanmu yang cukup tahu soal sejarah. Jadi, hanya ingin mengobrol sedikit."
"Bahkan kalau perlu banyak tak apa-apa, selama itu tentang sejarah."
"Kau anak yang sangat suka sejarah, ya?"
"Kupikir bukan suka lagi. Aku seperti hidup di dalamnya."
"Kuharap juga bisa seperti itu. Kau tahu, sejarah sudah lama ditinggalkan dan itu menjadi sangat menarik. Ada banyak hal ... banyak sekali hal di dalam sejarah. Sebagian hanya lalu, tapi sebagian lagi sangat penting. Bahkan berpengaruh terhadap kita saat ini."
"Aku setuju itu."
Herzenova tersenyum di balik purdahnya. "Baiklah. Kalau begitu sampai jumpa lagi, Roumeli."
Gadis itu hanya mengangguk, sebelum kaca vecl kembali naik dan berangkat. Roumeli bisa menduga bahwa Herzenova adalah seorang wanita yang sangat berkecukupan dan punya derajat tinggi. Entah dia seorang pengusaha swasta atau eksekutif Terra Firma ...
yang jelas, dia menyembunyikan identitas itu.
[]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro