CONUNDRUM
"Jadi kukatakan kepadanya, baiklah tidak masalah. Selamat bersenang-senang! Kemudian aku segera meneleponmu dan di sinilah kita."
Annadher menyesap lemon soda dan mengelap mulut dengan tisu. "Maaf. Aku tak bermaksud mengambil waktu sibukmu untuk makan-makan ringan di kedai ini. Aku hanya ... kau tahu? Rasanya harga diriku runtuh jika menganggur setelah ajakan makan siangnya ditolak."
Roumeli mengangguk saja. Dia menyendok dondurma dari mangkuknya. "Sudah kubilang, berhenti mengharapkan banyak dari anak cowok yang sudah punya kekasih dan geng. Omong-omong, kedai ini tidak buruk juga. Jarang ada kedai modern yang alih-alih menyetel musik disko justru pianoforte."
"Benar 'kan?" Annadher langsung sumringah. "Aku tak habis pikir mengapa anak-anak lain suka sekali kafe dengan selera musik yang membuat pening."
"Sepertinya kau mulai tertular pemikiranku, Ann." Roumeli tertawa getir. "Seandainya mereka ada di sini, maka kita yang akan dijuluki tidak normal. Selera mereka adalah wajar, kau tahu itu."
Roumeli melirik gadgetnya karena notifikasi muncul pada layar. Ternyata, Herzenova telah mengirimkannya pesan yang berbunyi, Halo, apa kau luang? Sore ini kuharap kita bisa bertemu di butik. Roumeli tak bisa memikirkan kesibukan apa yang akan dia bilang pada hari libur seperti sekarang. Meskipun ia tahu kesibukannya adalah menggali-gali sejarah dari setiap sumber yang mampu ditemukan. Namun, undangan dari seorang Herzenova yang penuh teka-teki ini seperti magnet yang tak mampu ditolak.
"Siapa, Rou?" tanya Annadher penasaran. Lehernya sampai ia julurkan sedikit seolah dengan itu layar gadget Roumeli bisa terlihat. Padahal, kaca pelindung layar Roumeli bertipe monokrom dan jelas tak akan tampak dari samping.
"Seorang kenalan dari Dibistan."
"Dibistan," ulang Annadher. "Aku seperti pernah mendengarnya."
"Yah, seharusnya isu Dibistan memang tidak asing lagi. Paman Beyaz bilang, tempat itu jadi sangat mencolok setelah melawan rencana pergusuran yang diajukan seorang pengusaha swasta kepada Magistrat. Katanya dianggap tak layak secara de jure."
"Atau dia hanya ingin membangun perusahaannya di sana?" terka Annadher.
Roumeli mengedikkan bahu saja dan berkata Tuhan lebih tahu. "Barangkali surat kabar kita pernah membahasnya."
"Tidak, tidak. Pembahasan soal pergusuran? Hal berkonotasi negatif begitu mana mungkin muncul di Terra Reform."
Roumeli langsung terpekur. "Hm, memang tidak dipungkiri."
"Tapi, sungguh aku pernah mendengarnya. Orang-orang di rumah membicarakan Dibistan. Hanya saja aku tak tahu dalam konteks apa. Aku masih kecil waktu itu. kau tahu, lah, si tukang eavesdrop."
"Kuharap bukan membicarakan hal buruk. Dibistan adalah tempat menuntut ilmu yang mulia meskipun pada zaman ini—dan di kota ini—segala hal terkait isinya pasti ditolak. Aku tak terlalu ingat bagaimana kronologisnya. Yang jelas, pertikaian mengenai eksistensi Dibistan berjalan sangat halus."
"Bahkan tidak ada," timpal Annadher. "Aku baru menyadari kalau kabar-kabar harian yang kita dengar dari Terra Reform selalu positif. Maksudku, tentu saja bagus karena membuktikan kota kita adalah yang terbaik. Tapi, dipikir-pikir agak tidak logis."
"Memang tidak logis," tukas Roumeli. "Kebaikan dan kejahatan pasti berdampingan. Tak mungkin tidak. Tapi, kau ada benarnya, Ann. Kita baru menyadari ini."
"Oh, omong-omong, kapan kita akan berkunjung ke tempat Paman Beyaz yang pandai itu lagi?" tanya Annadher tiba-tiba.
"Bukankah belum lama ini kita sudah ke sana—bahkan beberapa kali? Kau tak ingat selalu menambah cokelat panas dari dispenser?"
"Jangan ingatkan aku yang itu." Annadher merengut. "Entahlah. Hanya saja rasanya mudah sekali untuk merindukan pamanmu dan rumahnya."
"Aku tahu. Rumahnya adalah sesuatu. Dan isinya sudah pasti."
Mereka keluar dari kedai setelah makan kudapan dan membayar. Annadher menghirup udara dengan bebas. "Jadi, setelah ini kau akan ke rumah Paman Beyaz?"
"Sayang sekali aku ada janji dengan orang lain. Mungkin nanti." Roumeli mengaktifkan LBoard-nya. "Kau pulanglah, Annadher. Hari semakin dingin."
"Apakah salah jika aku ingin tahu kau janjian dengan siapa?"
"Tidak," Roumeli terkekeh geli, "aku akan bertemu dengan kenalan dari Dibistan itu saja. Ada apa?"
"Oh, baiklah. Tidak ada apa-apa. Aku hanya berpikir sekilas kalau kau sudah punya kekasih."
"Kau masih berpikir kemungkinan itu ada?" Roumeli menggeleng. "Karena kau pintar berhitung, Annadher, maka hitunganmu akan benar jika dan hanya jika probabilitasnya nol persen. Sampai jumpa!"
[]
Gadis itu kembali merapatkan mantelnya di antara udara dingin yang semakin keras. Sebentar lagi musim gugur akan pergi menjadi musim dingin. Roumeli tak habis pikir mengapa bisa sampai membeli dondurma sedangkan es krim itu—meskipun lezat—tetap saja es. Dingin, membekukan, dan tidak cocok untuk cuaca mereka sekarang.
LBoard Roumeli yang tadi agak melaju, kini memelan dan merendah di depan pekarangan luas sebuah butik elegan. Lokasinya berada di salah satu komplek Beta Residence. Ketika Roumeli masuk, sebuah loceng bergemerincing anggun. Ruangan sederhana di lantai satu itu penuh dengan busana-busana wanita yang indah, berwarna-warni dan modis. Tentu saja tampak amat kontras dengan kehadiran Roumeli yang terkesan monokrom.
"Halo," sapa seorang wanita tanggung. Ia mengenakan seragam karyawan butik yang bernada pastel. "Ada yang bisa saya bantu?"
"Saya ada janji dengan pemilik butik."
"Oh, maafkan saya. Apakah Anda anak yang bernama Roumeli?"
"Ya."
"Baiklah, mari saya antar."
Wanita itu memandu tur kecil di salah satu koridor butik, naik ke tangga berputar klasik dan berbelok ke lantai yang lebih besar. Setiap koridor di butik ini dilapisi karpet mewah dan ukiran-ukiran, lampunya seperti kristal yang tersebar pada langit-langit. Setelah dituntun kepada pintu ruang kerja berpelitur dan ditinggal pergi oleh si karyawan, Roumeli mengetuk pelan. Sedikit merasa janggal karena biasanya orang-orang memasang bel pada pintunya.
"Masuk!" sahut seseorang dari dalam.
Roumeli membuka pintu. Dia agak terkejut melihat orang yang dikiranya Herzenova—atau barangkali memang dia—duduk di sebuah kursi maglev dengan penampilan yang amat berbeda. Rambutnya tergerai sepunggung, bergelung-gelung seperti ombak yang gemulai, warnanya cokelat kaya. Alisnya melengkung tegas dan anggun. Ternyata wajah Herzenova sungguh rupawan nyaris bagaikan boneka di balik purdah itu.
Namun, tetap saja di balik purdah dan kerudung itu ....
Roumeli berjalan dengan tenang. Tak sedikit pun menunjukkan sorot intimidasi atau keherenanan. Dia akan tetap menghargai Herzenova dengan atau tanpa setelannya yang biasa terlihat di Dibistan.
"Bagaimana liburanmu?" tanya Herzenova ramah. Dia mempersilakan Roumeli duduk di seberang meja.
"Yah, seperti biasa."
"Andaikan aku juga punya hari libur." Herzenova tertawa pelan. "Sebenarnya ada setiap perayaan besar Terra Firma. Tapi seperti yang kau tahu, Roumeli, dalam pekerjaan memang tidak ada istirahat. Sekali saja berleha-leha, berleha-leha bisa selamanya. Waktu luang itu sangat menggoda."
"Benar."
"Aku baru saja menyelesaikan beberapa pesanan gaun pengantin. Wanita-wanita pada zaman sekarang memang sangat banyak maunya, ya? Dulu aku menyukai selera mereka. Siluet A, siluet L, beberapa rimpel dan pita, brokat emas ... dan sekarang mereka tidak suka lagi yang panjang elegan. Agar ringkas, kata salah satu pelanggan, buatkan untukku yang di atas lutut. Kemudian minta ditambahkan gemerlap."
"Wow."
"Memang wow. Tampaknya itu bukan lagi acara pernikahan yang sakral melainkan pesta." Herzenova mengulum senyum. "Tapi, bagaimanapun juga mereka tetaplah pelanggan. Pelanggan adalah rajanya dan kita melayani. Dia dapatkan apa yang dia mau, begitu pula sebaliknya."
"Jadi, aku sungguh tak bisa meninggalkan ini terutama jika dibandingkan rata-rata profesi di Terra Firma yang—jika kau tahu—sebenarnya sangat gelap. Bayangkan saja ada bunga di mana-mana yang jumlahnya tak pakai perkiraan!"
"Aku mengerti."
"Aku senang mendengar itu. Omong-omong, kita tidak akan bicara lebih panjang mengenai pekerjaanku yang membosankan." Herzenova memperbaiki duduknya dan bertopang dagu. "Aku ingin tahu sedikit tentang sejarah yang kau pelajari, Roumeli. Seperti apa dunia sebelum ini? Apakah kita memang tinggal dengan Rich Citadel?"
Roumeli mengangguk. "Tapi, pertama-tama aku yakin Anda sudah tahu kalau sejarah ini berbentuk cerita turun-temurun sejak informasinya terlarang untuk diakses. Sedikit dokumentasi tentu saja ada, tapi seperti yang kubilang: sedikit. Paman Beyaz memegang beberapa."
"Aku tahu, Roumeli. Tidak apa-apa. Inti dari sejarah adalah keyakinan."
Senyum Roumeli mengembang. Dia cukup bahagia karena Herzenova adalah tipikal yang cerdas dan lumayan berbeda dari kebanyakan penduduk Terra Firma. Dia termasuk di luar kotak. Ekstra-biasa. Meskipun seringkali membingungkan.
"Tidak. Kita tidak tinggal di dalam Rich Citadel. Dulu sekali, memang ada sebuah tembok raksasa yang panjangnya sampai 21.196 kilometer. Tapi, itu berlokasi hanya di satu daerah Timur Asia—Asia adalah nama benua—lantaran seluruh manusia bisa jalan ke mana pun."
"Benua," ulang Herzenova. "Apa itu?"
"Tanah yang luas sekali. Dulu, bumi memiliki tujuh benua yang dibagi sesuai konvensi. Ada beberapa pulau baru yang pernah ditemukan juga, namun sayangnya kembali tenggelam. Orang-orang pebisnis dari semenanjung Arab bahkan pernah menciptakan pulau buatan."
"Arab," ulang Herzenova. "Apakah nama sebuah tempat?"
"Setahuku, . Tapi, aku belum mendalaminya. Mungkin sebuah tempat, mungkin sebuah bangsa."
Herzenova manggut-manggut. "Kau tahu, Roumeli. Informasi ini tak pernah tercantum di internet mana pun dalam jaringan Terra Firma. Aku pernah berpikir mencari jaringan keluar. Siapa tahu makhluk ekstraterestrial itu kembali?"
Roumeli tertawa geli. "Sepertinya mereka mulai putus asa dengan kita."
Herzenova menyepakati itu.
"Oh iya, betapa tidak sopan dan pelupanya aku." Herzenova menekan tombol pada meja sehingga housebot, robot pelayan dan pekerja rumah tangga datang. Dia menggulir layar pada wajah robot itu, memilih dua cangkir teh hangat. Housebot mulai bekerja dengan suara keletak-keletuk yang halus. Cangkir-cangkir dikeluarkan, air teh diproses, dituang dan disajikan.
"Silakan," kata Herzenova. "Aku tahu teh agak langka belakangan ini. Sepertinya para cottager di Pegunungan Kale mogok—apa kau percaya robot-robot bisa memberontak? Kalau bukan sebab itu, kelangkaan bisa jadi karena rempah-rempah susah tumbuh lagi. Rekayasa iklim agak kurang manjur."
"Terima kasih." Roumeli menerima tehnya. "Memang benar. Paman Beyaz juga mengatakan bahwa kualitas teh dari cottager dengan pekerja manusia berbeda. Sudah puluhan tahun lalu manusia tidak ada lagi yang jadi petani."
"Aku juga berpikir demikian. Hanya dulu saja kupikir itu ide yang cemerlang," tutur Herzenova. "Sekarang, menjadi petani tampaknya adalah hal yang kuinginkan."
Roumeli tersenyum. "Mungkin kita bisa lanjut mengobrol lewat MeGraf. Aku baru ingat ada janji membantu Nine untuk kelas lansianya."
"Tentu. Terima kasih banyak atas waktumu hari ini." Herzenova berdiri hendak mengantar Roumeli sampai ke pintu. Dia memberi Roumeli pelukan dan salam. Tapi, dia berbisik tepat sebelum Roumeli pergi.
"Aku takjub. Kau tidak bertanya sama sekali tentang ke mana perginya purdahku."
Roumeli bergeming. Daripada menjawab, dia menunggu Herzenova melanjutkan.
"Sebenarnya aku masih seorang yang lurus, Roumeli. Kau percaya padaku?"
Roumeli mengangguk.
"Hanya saja, lingkunganku tidak menerima itu. Suamiku ... kau tak akan sanggup mendengar betapa kerasnya dia terhadap hal seperti ini. Dan rekan-rekan dalam profesiku, aku menyembunyikan ini semua dari mereka. Terkadang rasanya menyesakkan ketika kau harus menjadi hipokrit dalam beberapa hal. Terutama jika itu menyangkut kepercayaan rohani."
Sesaat berlalu, Roumeli akhirnya menghela napas. Dia memegang lengan Herzenova yang terjulur ke pundaknya. "Paman pernah bilang padaku bahwa kita semua berproses. Tak apa selangkah demi selangkah asalkan terus maju—bukan mundur. Lama-lama, kita tahu mana yang harus diprioritaskan. Aku tahu Anda perempuan yang baik dan tangguh."
Setelah itu, Roumeli tersenyum dan benar-benar meninggalkan butik.
Herzenova masih terpaku di ambang pintu ruang kerjanya. Dia berbalik menutup pintu, lalu mulai menangis tersedu-sedu hingga merosot. Kau tidak tahu diriku yang sebenarnya, Roumeli. Tangisan Herzenova semakin keras seiring ingatan-ingatan berekelebat dalam benaknya. Di dalam gedung terkutuk itu, bersama para pekerja lain, dan segala pekerjaan mereka yang tak termaafkan.
Aku tidak baik sama sekali.
Sama sekali.
[]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro