Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BUSTAN KOVO

SIANG di pusat kota masih dingin menggigit walaupun sangat terik. Satu lagi kombinasi cuaca anomali khusus Terra Firma. Rumah-rumah membuka kanopinya sepanjang pekarangan, masih di balik pagar besi mereka. Sebagian besar gedung jenjang-jenjang di TF-Institute Timur dan Barat melakukan itu pula. Segaris sinar matahari terbias di mata Roumeli seperti kaca biru bening, lurus menembus jendela. Menatap angkasa kosong. Benar-benar kosong tak berawan.

"Hei, bisa kau tutup gordennya?" pinta seorang gadis di sebelah Roumeli.

Dinding kelas itu hanya sepertiga dari lantainya saja yang bukan kaca, dengan gorden beludru zamrud menjuntai dari langit-langit tinggi hingga ke bawah. Roumeli tersadar dari lamunannya yang berlabuh di zaman ketika perubahan iklim sedang gempar. Dia menekan tombol hitam sehingga gorden bergerak menutup.

Roumeli kembali menaruh fokus kepada guru Fisika yang menjabarkan penyelesaian relativitas khusus di papan tulis hologram. Pena magnetnya bergerak lincah seiring mulutnya berkomat-kamit tidak jelas. Tentulah dia memiliki dunia sendiri tanpa tahu menahu lagi mengenai siswanya yang tertidur, bergunjing, bermain gadget atau menyantap kripik spageti panggang ....

Toh, kebanyakan siswa di kelas itu sudah cukup pintar. Survei dari surat kabar digital "Terra Refom" menyebut bahwa mereka tidak mewarisi otak leluhurnya dengan persis, melainkan lebih berkembang dan kritis.

Penelitian tentang hal itu tiba-tiba membuat Roumeli geli. Leluhur mereka mahir dalam menciptakan teknologi mutakhir seperti kecerdasan buatan, pabrik modern, bahkan berbagai fasilitas futuristik yang meraup miliaran uang negara. Tapi, mereka tidak mampu mengatasi penyakit-penyakit bumi yang menahun, yang sudah bagaikan bopeng pengganggu di wajah pangeran tampan.

Dan generasi baru, para penduduk Terra Firma, lebih cerdas untuk mengatasi itu walaupun sisa-sisa kerusakan barangkali sudah amat terlambat. Sayang sekali mereka tidak terlalu cerdas dalam hal yang lebih penting daripada itu. Mereka menutup diri dari pemahaman agama dan hakikat hidup.

TF-Institute Timur maupun Barat sama-sama memiliki wilayah yang terbagi empat: D untuk sekolah dasar, C untuk sekolah menengah pertama, B untuk sekolah menengah atas, dan A untuk jenjang perkuliahan. Gedung-gedung yang berbeda hanya diberi tambahan angka di belakangnya. Seperti gedung A1, C3, atau D4.

Bel edung B2 berbunyi, persis denting piano yang naik bertahap dengan gembira. Anak-anak terkesiap heboh. Guru Fisika itu seolah bangun dari hipnotis angka-angka rumit dan mematikan hologramnya. Dia kemudian pergi sebelum mengangguk dan disusul rombongan siswa yang berduyun-duyun ke luar.

Jiwa mereka yang penuh warna seakan-akan tersiksa di kelas yang tak ada yang bisa dilihat selain meja-kursi kaca dan dinding putih. Mereka lebih merasa hidup di kafetaria yang penuh kudapan lezat, atau kolam renang tiga tingkat (ruang ganti yang praktis mengubah pakaian mereka dan mengeringkan). Ada juga mal pribadi TF-Institute Timur yang memiliki puluhan kafe, karaoke, stasiun gim dan toserba. Segelintir yang tidak punya gairah hidup dan selalu malas akan menuju perpustakaan di lantai teratas gedung B1—sudah pasti untuk tidur di ruang bersantai daripada membaca buku.

"Apa kau yakin mau keluar lagi seperti kemarin? Kabarnya, kubah penghalau sinar ultraviolet sedang direkonstruksi. Aku yakin jalan-jalan ke Bustan Kovo akan membuatmu sakit," ujar Annadher.

"Kerudungku adalah pelindung sejati," tutur Roumeli. Dia telah menyalakan LBoard di parkiran. Yang dimaksudnya sebagai pelindung adalah benar-benar melindungi dari sinar matahari karena berbahan khusus, juga pelindung dari gangguan manusia.

"Hanya itu?"

"Dia melindungi seorang perempuan dari banyak kejahatan, bahkan menaikkan derajatnya. Kita akan mudah dikenal dan tidak diganggu dengan mengenakan kerudung."

Annadher merotasikan matanya. "Entahlah, aku tak yakin."

"Aku yakin."

"Benar, kau adalah Roumeli dan Roumeli tak pernah tidak ngotot." Annadher tersenyum sinis.

Meskipun begitu, ia tahu Roumeli memang benar. Hanya Annadher yang dipanggil-panggil para siswa tukang nongkrong setiap kali melintasi selasar sekolah—padahal dia sangat membenci anak lelaki keletah. Dia hanya tertarik pada satu anak lelaki yang tidak banyak tingkah dan kebetulan sedang tak jauh dari sana. Di bawah pohon imitasi, Hanzhal menegak apel kaleng dan mengetik sesuatu di gadgetnya.

"Nah," Annadher menepuk bahu Roumeli, "sepertinya ada yang membutuhkan teman."

"Aku tahu kau membicarakan dia dan bukan aku," tukas Roumeli. "Kalau kau benar-benar menyukainya, berhenti mendekati seperti aneh dan segera lamar dengan perantara orang dewasa. Itu lebih baik."

Annadher tertawa. "Aku masih remaja, Roumeli. Anak remaja akan menikmati masa mudanya bersama kekasih—bukan justru menjadi ibu rumah tangga."

"Memang kalian hanya mau enaknya saja," Roumeli menggeleng-gelengkan kepala, "kata Paman Beyaz, manusia diciptakan berpasangan adalah untuk satu visi dan misi yang jelas. B,ukan main-main belaka. Kalau hubungan yang seperti itu disalahgunakan, semua orang juga tahu akhirnya akan seperti apa."

"Oh, terima kasih." Annadher membungkuk, lengannya menggenggam keliman rok tunik yang agak mengembang. "Tapi, kesempatanku hanya satu! Dah, Roumeli!" anak perempuan itu berjalan riang ke arah Hanzhal dengan segala harapannya yang melambung.

Roumeli menghela napas. Dia hanya tidak ingin temannya yang masih belia itu terjatuh dalam kekecewaan tiada tara, dalam angan-angannya yang akan menghempas ke dasar jiwa. Akhirnya dia pergi, sementara Annadher menyiapkan tampang terbaik menuju jajaran taman kecil di dekat area parkir.

Dari bawah pohon imitasi itu, Hanzhal tak bisa menghilangkan senyum pada wajahnya yang—bisa diakui semua orang—tampan. Aneh sekali ia merasa puas ketika tidak bersama teman-temannya yang kini sedang mengerjakan tugas tambahan dengan terpaksa di ruang guru. Hanzhal bisa pergi ke mana pun yang ia suka, bukan lagi ke kafetaria yang menurutnya tidak keren itu. Setelah bel berbunyi, dia pergi ke pekarangan belakang gedung B2 dan duduk di bawah naungan pohon—yang walaupun imitasi—tetap menyejukkan. Memang tanpa sadar dia berusaha menjauh dari hiruk-pikuk anak-anak sekolah yang membuatnya sakit mata.

"Hanzhal?"

Anak lelaki itu mematikan musiknya. Dia menatap seorang anak perempuan yang masih tampak belia tapi sangat cantik dan manis, sampai-sampai semua anak lelaki bisa pangling kalau dia tersenyum. Hanzhal hanya bisa menahan diri agar tetap santai, tentunya kalem seperti biasa.

"Ya?"

"Boleh aku bergabung?"

"Oh silakan." Hanzhal meneguk minumannya. "Di mana teman yang biasa bersamamu?"

"Seharusnya aku yang menanyakan itu."

"Yah, kau benar. Mereka sedang menebus tugas. Temanmu?"

"Kau sebegitu ingin tahunya tentang dia?"

"Tidak—tidak. Hanya bertanya."

"Dia pergi ke Bustan Kovo."

"Apa? Mengapa?"

"Entahlah. Dia bahkan bisa menjelajah setiap ujung kota yang jarang dilihat—jarang diketahui orang—menemukan barang baru atau membuktikan sejarahnya."

"Cewek yang agak rumit."

"Yah, aku tahu. Omong-omong, kau suka parfait?"

"Ah, terima kasih." Hanzhal menerima kotak yang diberikan Annadher. Mencicip isinya.

"Bagaimana?"

"Lezat."

"Aku membuatnya di rumah."

"Bagus, kau berbakat."

Kemudian mereka menyantap parfait dalam keheningan yang aneh, tenggelam oleh pikiran dan dunia masing-masing. Keduanya menyimpan sudut pandang yang bertolak belakang. Salah satunya sangat gembira seolah sebuah berlian paling mahal jatuh ke tangannya, sementara yang lain semakin bergejolak dalam kebimbangan—tak mengerti apa yang seharusnya ia perbuat karena hatinya tak condong ke mana pun.

Secanggih-canggihnya teknologi mereka, tidak akan pernah ada yang tahu apa yang terbesit dalam hati seseorang.

[]

Tidak banyak yang berkunjung ke taman itu, bahkan hampir-hampir nihil jika si kakek gila yang disebut Sesepuh berhenti memberi remah roti untuk bebek di danau Poseide, atau si anak kecil yang berlatih orasi sudah mahir bicara lantang. Roumeli hafal dengan mereka dan tak memungkiri bahwa mereka pun mengenalnya. Tapi, ketiga pengunjung setia itu tidak mengobrol. Masing-masing punya keperluan berbeda yang membentuk sebuah dunia pribadi, tempat pikiran mereka berlabuh jauh dan tak terjangkaui.

Roumeli duduk di LBoard yang melayang sedikit di atas jalanan pualam, di belakang pagar kaca yang mengelilingi bukit mungil menuju danau Poseide. Dia bisa melihat tembus ke dasar danau yang sebening kristal, kepada bebatuan-bebatuan pelangi bekas penambangan. Tidak ada satu alasan pun yang membuat Roumeli betah di sana selain karena Bustan Kovo terletak di pojok terpencil wilayah TF-Institute Timur. Karena hanya di sana hiruk-pikuk manusia tenggelam oleh ketenangan riak air dan angin yang lebih sering menjangkau.

Daripada itu, Roumeli bebas mendapatkan pengalaman terbaik untuk melihat Rich Citadel dari dekat. Yang terdekat pun sebenarnya masih jauh sekali seperti dari lantai teratas Hedgerow di wilayah TF-Institute Barat. Hanya spot itu dan ini yang terdekat yang berhasil ia temukan. Bahkan mungkin dia tidak akan pernah mencapai Rich Citadel karena ruang di sekitarnya memiliki pita pembatas hologram dengan sirine tanda penyusup.

"Dégage d'ici! Dégage d'ici!"

Roumeli mengerling pada sang Sesepuh yang memekik nyaring hingga urat lehernya menegang. Dia mengibas-ibaskan tangan pada seeokor bebek seperti orang tua pemarah yang mengusir pencuri, bahkan menghempaskan baret merahnya ke rerumputan. Praktis renungan Roumeli buyar termasuk si anak orator yang juga menurunkan papan naskahnya untuk melotot pada Sesepuh.

"Tolong diam, Pak!" tegur anak itu.

Tetapi, sang Sesepuh tak acuh lantaran ia terus berseru-seru sebelum jatuh berlutut dan memandangi bebek yang berenang menjauh. Roumeli tidak yakin dia benar-benar gila seperti yang digelari masyarakat. Sesepuh tampak seperti lansia biasa yang menghabiskan hampir seluruh harinya di tepi danau Poseide untuk menabur roti sambil pikirannya terpecah-pecah dalam memori pilu. Rambutnya berantakkan dengan sisa-sisa pirang emas di antara uban lusuh, kemeja putihnya bergelambir dan celana jeans ia gulung hingga ke betis.

Jika ditelisik, ia bisa saja seorang yang sangat kaya raya, namun karena perilakunya yang aneh itulah dia dicap gila. Sesepuh bicara dalam bahasa dan dialek yang asing, bahkan seringkali nadanya meninggi seolah-olah marah karena tidak ada yang memahami ucapannya. Padahal, seluruh penduduk Terra Firma sudah seragam menggunakan satu bahasa meski beberapa lidah kurang cocok dengan logat tersebut, dan sebagiannya lagi terlampau fasih.

Tadinya sang Sesepuh hanya duduk di pinggir danau Poseide, tapi kemudian ia bergerak mundur ... mengambil ancang-ancang! Ia mulai berlari hendak menceburkan diri seperti orang putus asa. Roumeli dan si anak orator terbelalak. Keduanya tanpa pikir panjang bergegas melintasi pagar untuk mencegah pria tua itu. Danau Poseide mungkin memang dangkal, namun airnnya bisa jadi masih sangat beracun.

"Berhenti! Apa yang kau pikirkan!?" seru si anak orator. Dia telah menembakkan dua magnet yang mebuat Sesepuh tersungkur ke rerumputan. "Lama-lama kami yang dibuat gila."

Sang Sesepuh terus meracau-racaukan kalimat aneh dengan penuh emosi sampai Roumeli bertekuk sebelah lutut di hadapannya, menyodorkan gadget dan pena kepada pria tua itu. Memang tindakannya lebih seperti intuisi. Sehingga merah yang membakar wajah Sesepuh perlahan lenyap dan kening keriputnya berkerut. Tiba-tiba dia terkesiap.

"Eureka!"

Dia segera menyambar dua alat itu dan mencoret-coret seperti semangat baru telah menyuntik sanubarinya yang usang. Dia bukan hanya mencoret, melainkan menggambar dengan telaten seakan-akan tangannya adalah tangan pelukis profesional. Si anak orator terkejut alang kepalang.

"Kukira orang gila tidak berbakat."

"Kupikir dia tidak gila," tanggap Roumeli.

Sementara sang Sesepuh sibuk, Roumeli dan si anak orator terdiam canggung. Mereka tak pernah bicara sebelumnya sampai momen aneh penyelamatan kakek tua ini yang mendadak.

Dia berdeham. "Aku sering melihtamu kemari. Namaku Everest."

"Roumeli," kata Roumeli ketika menjabat tangan anak lelaki yang mungil itu. Usianya mungkin belum sembilan tahun, tapi matanya yang pekat menegaskan bahwa ia cukup berani menjelajah kota seorang diri.

"Apa kau pernah membaca buku geologi?" tanya Roumeli tiba-tiba. "Dulunya, kita punya sebuah gunung yang lebih tinggi dan agung daripada Pegunungan Kale di Alpha Residence. Namanya Everest. Banyak yang meninggal demi tiba di puncaknya."

"Wow, aku tidak tahu itu."

Roumeli mengulum senyum. "Barangkali orang tuamu penyuka sejarah sampai menamaimu begitu?"

"Aku tak yakin, Roumeli. Mereka hanya pegawai madya yang sibuk menghitung. Bahkan aku curiga kalau namaku diambil karena mereka tidak sengaja melihat brosur yang tercecer. Kau tahu? Buyutku menyimpan brosur Liburan Desember bekas ratusan tahun lalu. Orang tua aneh sekali."

"Bagiku tidak aneh mengumpulkan barang lama." Roumeli mengedikkan bahu. "Omong-omong karena kau sendirian, apa keluargamu tidak khawatir?"

"Mereka percaya hansip-hansip Protektorat," jawab Everest. "Lagipula, aku butuh tempat sendiri untuk persiapan pentas seni anak kelas tiga. Rumahku besar. Sayang sekali semua ruangannya selalu penuh karena keluargaku banyak—dan berisik. Untunglah kediaman kami kedap suara. Kau sendiri melakukan apa?"

"Aku hanya ... berpikir."

"Apa harus berpikir di Bustan Kovo?"

"Harus di Bustan Kovo."

"Kenapa?"

"Kau sudah sering mangkir di sini, mungkin kau mengerti." Roumeli menerawang ke belakang Everest. Jauh di sana adalah benteng raksasa yang seolah-olah mencakar langit dan menguasai bumi, namun tak seorang pun memedulikannya. Sungguh ganjil.

"Tempat-tempat bersejarah punya aura yang berbeda."

"Aku tidak tahu itu." Everest menggeleng. "Bibiku bilang bahwa tempat kuno berbahaya—aku suka tempat berbahaya. Tapi, orang-orang tidak suka. Mereka hanya suka tempat berpesta. Padahal bahaya bisa ada di mana-mana."

Roumeli tak mengingkari itu.

Sang Sesepuh menyodorkan gadget Roumeli dan pena, matanya melotot sementara rahangnya tegang. Everest mendekat untuk menghabisi rasa penasarannya. Kedua anak muda itu tertegun ketika melihat pekerjaan sang Sesepuh. Dalam gadget itu, tertorehlah sketsa apik sebuah kota yang hanya tersisa reruntuhannya. Matahari timbul di sebelah barat, langit terbelah, manusia bergelimpangan. Selebihnya adalah kehancuran tak terbayang.

Everest menciut di balik syal tebalnya. "Seram sekali!"

"Dégage d'ici ...." Setetes air mata jatuh ke wajah sang Sesepuh sebelum bercucuran seperti hujan gerimis di musim kemarau. "Dégage d'ici ...."

Roumeli dan Everest menatapnya dengan hati terenyuh, namun mereka tak mampu berbuat apa pun. Memang tidak ada yang pernah dan akan mengerti bahasa sang Sesepuh. Terra Firma hanya mengenal satu bahasa kesatuan yang tidak akan pernah berubah.

[]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro