Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Haruskah Kita Kembali?

Takdir itu menyebalkan. Mencintai seseorang bukanlah hal yang menyenangkan. Mereka bilang bagian paling brengsek dari mencintai adalah melihat orang yang kita cintai mencintai orang lain.

"Tidak. Menurutku bagian paling brengsek dari mencintai adalah ketika orang yang dicintai tidak bahagia bersama yang lain."

Aku mencintai seorang gadis banyak tingkah dan ceroboh. Si gadis pengirim surat cinta itu sekarang sudah tidak bersamaku. Si gadis itu, Yoo Cheonsa, sahabatku.

Waktu itu dia satu tingkat di atasku. Aku sempat tak naik kelas. Aku hanya seorang siswa terkenal di sekolah yang dicintai gadis itu sepenuh hati. Aku hanya seorang siswa kurang ajar yang berani memainkan hati seseorang. Dan aku telah memainkan hati sahabatku sendiri. Yoo Cheonsa.

Semenjak malam itu, hubunganku berakhir. Semuanya. Dan dimulai dengan cerita yang tidak pernah aku suka.

Kim Taehyung, Yoo Cheonsa, dan Park Jimin. Ketiga sahabat itu sangat membuatku iri. Mereka bilang begitu. Mereka tidak tahu rasanya menjadi aku.

Lebih parah aku semakin sering bertukar sapa dengan Cheonsa dan Jimin, sedangkan aku harus mengubur harapanku untuk bisa membawa Cheonsa kembali.

Kupikir lebih baik kedua sahabatku pergi begitu saja. Bukannya kami kembali lagi seperti sebelumnya, mungkin iya. Aku tidak tahu, karena aku tidak pernah mengingat bagaimana persahabatan kami yang sebenarnya.

Apakah aku dan mereka sering makan bersama di kantin saat di sekolah dulu? Atau aku dan mereka sering belajar bersama di perpustakaan sekolah? Atau membolos pelajaran untuk menenangkan pikiran di atas atap sekolah kami? Aku tidak pernah bisa mengingatnya.

Aku membenci ketika aku kehilangan ingatanku dan tidak dapat mengingatnya kembali selain pura-pura mengingatnya karena mereka yang memberi tahu.

Kecelakaan itu memang memuakkan. Andai saja kecelakaan itu tidak terjadi. Mungkin aku masih bersama Cheonsa. Ah tidak juga. Paman Park punya Segudang cara untuk memisahkan aku dan Cheonsa.

"Mungkin memang sebenarnya tidak pernah menjadi milikku."

Keluargaku? Ah jangan tanyakan. Ibu dan Ayah bilang mereka sudah jarang berkomunikasi dengan keluarga Park.

Iya, yang kumaksud keluarganya Park Jimin. Paman Park sudah terlalu banyak membantu aku dan Cheonsa. Dan aku tidak pantas menggagalkan keinginannya.

Cheonsa dan aku memang hebat. Dunia kami seolah hanya sebuah sandiwara klasik yang bisa kau beli. Dipaksa untuk terlihat biasa saja meskipun sangat menyakitkan. Dan jangankan lupakan Jimin yang juga berusaha bersikap biasa saja meski ia merasa sangat bersalah.

"Aku sok tahu? Tidak. Aku memang tahu."

Kenapa aku tahu? Aku bisa melihat dari sorot mata mereka. Lagipula bukankah memang seharusnya mereka merasa seperti itu? Tapi aku tidak pernah mengerti, kalau mereka merasa seperti itu dan aku merasa tak sanggup lagi, memangnya kami bisa apa?

"Aku sudah bilang, kan? Takdir itu menyebalkan."

Aku dan Cheonsa seperti mata kanan dan mata kiri yang terlihat begitu dekat, tapi kami tidak bisa saling memandang. Begitu ironisnya takdir cinta yang kami punya.

Kemarin aku melihat Yoo Cheonsa mengenggam tangan Park Jimin. Ini sudah empat tahun semenjak kelulusan mereka. Aku hanya seorang mahasiswa, menangisi Yoo Cheonsa yang dipastikan nantinya akan menikah dengan Park Jimin.

Park Jimin si pewaris perusahaan ternama di Korea dan Yoo Cheonsa putri dari almarhum pemilik panti asuhan tempat aku dititipkan.

Begitu yang mereka ceritakan. Kenapa aku dititipkan? Orangtuaku terlalu sibuk bersenang-senang menghabiskan uang mereka. Dan keluarga sahabatku sangat tidak menyukai latar belakang keluargaku. Menurut mereka, aku hanya pengaruh buruk bagi Jimin dan Cheonsa.

Begitu yang aku tahu. Begitu yang mereka ceritakan. Kedua orangtuaku menceritakan semuanya malam itu. Aku tidak tahu benar atau salah. Sekali lagi aku katakan, aku tidak mengingat masa laluku.
Yang aku tahu Paman Park masih membenci keluargaku sampai ia tega mencelakakan mobil yang aku, Cheonsa, dan Jimin tumpangi.

Aku sempat berpikir, bagaimana jika saat itu takdir baik tidak berpihak padanya? Maksudku, bagaimana jika bukan aku sebagai sasaran utama yang celaka. Bagaimana jika itu Jimin? Atau Cheonsa? Aku tidak pernah mengerti jalan pikiran orang dewasa.

Sepertinya takdir baik memang tidak sepenuhnya berpihak padanya. Buktinya aku masih bersama dengan Cheonsa dan Jimin sampai sekarang. Meskipun itu sangat menyakitkan.

Ohiya, bagimana hubunganku dengan mereka, ya? Yang jelas kami selalu menyempatkan waktu untuk bertemu. Seperti saat ini.

Mungkin hanya sekadar dua cangkir cokelat panas dan satu cola dingin untuk menyegarkan otakku. Juga menyadarkan pikiranku bahwa Yoo Cheonsa yang di hadapanku adalah milik sahabatku sendiri.

"Sudah malam, kau harus kembali."

Mungkin aku akan menceritakan lebih lanjut besok sore.

"Tunggu, bisakah aku mengatakan sesuatu sebelum kita bicara lagi?"

"Tentu."

"Haruskah kita kembali, Yoo Cheonsa?"

"Aku masih di sini, Tae."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro