2: Bagaimana Rasanya?
(y/n) kini tengah duduk di depan piano miliknya. Tanganya kini beberapa kali menyentuh not, lalu kembali dengan pensilnya dan menulis not tersebut. Terkadang ada coretan, terkadang ada suara sumbang putus asa.
(y/n) kini tengah mengarang lagu untuk tugasnya.
Helaan nafas terkadang ia lontarkan. Ia kini merasa seperti pianis terkenal yang harus menyelesaikan lagunya dalam hitungan menit, bahkan detik. Walau pun tugas ini di kumpulkan dua hari lagi. Namun tetap saja, ini akan sulit.
Suara ketukan pintu terdengar, namun tak (y/n) hiraukan. Dia masih setia dengan pianonya. Tangannya masih menulis beberapa not yang menurutnya cocok.
Ketukan pintu kedua, namun (y/n) masih mengabaikanya. Dirinya terlalu sibuk untuk sekedar bediri dan membukakan pintu.
Ketukan ketiga, kali ini lebih nyaring dan agak brutal. (y/n) tersentak. Ia memutar bola matanya. Apakah semuanya tak membaca tulisan yang ada di depan pintu itu?
Kesal, (y/n) berdiri dan membukakan pintu. Wajahnya jelas jelas memancarkan perempatan imajiner.
"Apa kau tak bisa membaca ... nya..."
"Oh, jadi begitu sifatmu kepada kakakmu ini?"
(y/n) tak percaya. Sosok pria dengan surai biru malam itu kini tengah berdiri di depan pintu. Wajahnya yang terlihat ceria sangat senang melihat adiknya yang ada di depan matanya itu.
"Kay-nii! Sejak kapan kau pulang?" (y/n) langsung memeluk tubuh Kay dan saling melepas rindu.
"Aku, baru saja datang. Bagaimana kabarmu?"
"Baik! Tapi, kenapa kau mengetuk pintu secara brutal! Ku pikir seseorang yang matanya buta."
"Kau ini frontal seperti biasanya. Apakah kakakmu ini tidak boleh melihatmu?"
"Tentu saja boleh!"
Kay mengelus kepala (y/n). Wajahnya tak lepas dari senyuman manis yang mengembang. Sudah lama, ia tak bertemu dengan (y/n). Semejak kejadian itu, dialah yang harus menompang semua tanggung jawab yang harusnya di pikul oleh kakaknya yang sulung.
Jika saja kejadian itu tak terjadi...
Mungkin Kay dan (y/n) sudah bisa bebas, dan mengejar mimpinya masing masing. Namun itu, hanyalah sebuah kekosongan belaka.
"Ngomong ngomong, kau sedang apa?"
"Aku sedang membuat lagu. Untuk tugas sekolah ... seberapa pintarnya aku hingga kesulitan dengan ini."
Kekehan pelan terlihat di wajah Kay. Dia mendorong tubuh (y/n) masuk ke dalam.
"Bagaimana jika kakakmu yang profesional ini membantumu?" ucapnya dengan nada agak terdengar angkuh, namun masih terdengar suara candaan di sana.
"Dih, kau ini!"
(y/n) ikut terkekeh. Kini keduanya sedang duduk di piano putih kepunyaan (y/n). Menulis lagu bersama dengan canda dan tawa. Melupakan sejenak tanggung jawab yang harus di pikul keduanya.
***
Waktu kini sudah menunjukan pukul lima sore. Lagu itu kini sudah siap, hanya tinggal dimainkan saja. (y/n) menatap Kay dengan tatapan bangga.
"Terima kasih, nii. Mungkin saja akan lebih lama jika aku mengerjakan sendirian!"
"Sama sama. Kau bisa meminta bantuanku kapan saja!"
(y/n) menatap sejenak not bolak yang kini sudah terpampang di sehelai kertas. Ia menghela nafas berat, terlihat dari matanya dia tengah memikirkan sesuatu. Melihat hal itu, Kay menepuk bahu (y/n) dengan raut kebingungan.
"Nande yo?"
"Iie, tak apa... Hanya saja..."
Kay mengerti. Dia mengelus rambut adiknya itu lembut. Matanya tersirat kesedihan mendalam.
"Sudahlah, ayo kita keluar. Sebentar lagi makan malam..."
(y/n) mengangguk. Keduanya kini berjalan menuju ke arah pintu. Kay membukanya, lalu mempersilahkan (y/n) keluar. Sebelum dia menutupnya, Kay melihat sejenak ruangan itu. Dan tatapannya tertuju pada suatu hal.
"Tenang saja, aku akan melindunginya."
Kay menutup pintu itu. Meninggalkan keheningan di ruang musik milik (y/n).
***
Makan malam hari ini terasa sama saja. Walau pun Kay datang kerumahnya, tetap saja keduanya tak bisa saling berbicara. Harus tenang di atas meja makan. Tak boleh ada suara mengobrol, kecuali ayah atau 'Ibu' yang mengajak. (y/n) mendengus bosan. Ia ingin cepat cepat menyelesaikan makannya, dan mencoba patitur musiknya.
"Jadi, pekerjaanmu sudah selesai?"
Perempuan paruh baya itu kini bertanya kepada Kay. Kay hanya mengulas senyum tipis sedikit dipaksakan.
"Iya, kaa-san. Aku pulang karena pekerjaanku sudah selesai. Dan juga kerja sama dengan perusahaan B sangat baik. Lagi pula, bulan ini tak ada konser karena aku meminta libur sejenak. Jadi beberapa bulan ini aku kosong."
Mendengar itu, (y/n) senang. Setidaknya dia memiliki teman berbicara dirumah besar ini. Seulas senyum menghiasi wajahnya yang dingin.
"Wah, syukurlah kalau begitu..."
Kembali hening. Tak ada yang memulai pembicaraan. Hingga, suara mendeham terdengar. Ayah mereka ingin berbicara.
"Bagaimana denganmu, (y/n). Sudah berlatih hari ini?"
(y/n) terdiam sejenak. Tangannya tak bergerak selama beberapa detik. Ia mengangkat kepalanya, menatap ke arah ayahnya yang sedang mengajaknya berbicara. Seulas senyum kecil menghiasi wajahnya.
"Sudah tou-san, hari ini aku sudah berlatih..."
"Baguslah, kau tidak mencoba untuk bernyanyi lagikan?"
(y/n) kembali terdiam. Matanya kini menatap makanannya dengan tak selera. Entah mengapa, rasa laparnya kini hilang. Kay menengok ke atah (y/n). Matanya menyiratkan rasa khawatir. (y/n) menghela nafasnya, lalu mengangkat kepalanya dan memberikan senyuman manis, yang terlihat kosong.
"Tidak."
"Baguslah. Aku ingin kau fokus sebagai pianis. Sama seperti almarhum Ka-san mu. Jangan kau coba coba bernyanyi lagi, (y/n)."
"Baik, Tou-san..."
Hatinya berdenyut. Sakit rasanya, ayahnya tak mau mendukungnya dalam perihal bernyanyi. (y/n) kembali menghela nafas. Ia berdiri lalu berpamitan.
"Aku sudah selesai, pemirsi..."
(y/n) berjalan, meninggalkan keluarganya yang masih makan dengan tenang. Kay menatap (y/n) dengan sendu. Dia benar benar agak merasa bersalah. Karena dirinya, (y/n) harus menjadi pianis terkenal. Helaan nafas berat terdengar.
(y/n) kini sudah memasuki kamarnya. Dia menutup pintu dan bersandar di pintu itu. Dia terduduk di sana beberapa menit. Rasanya dia ingin menangis, namun entah mengapa tak bisa. Mungkin karena air matanya sudah kering karena hal itu. (y/n) menghela nafasnya. Sebenarnya apa yang dia inginkan?
Dia mencintai piano. Piano adalah pemberian ibu dan kakaknya yang sangat berharga. Menyanyi pun juga, itu adalah keahliannya.
Tapi, kenapa dia tak bisa melakukan keduanya?
(y/n) menunduk. Membiarkan, air matanya mengalir pelan. Mengapa nasibku begitu pahit? Rasa getir dan marah menjadi satu. Tapi, dia tak bisa berbuat apa apa. Yang hanya dia bisa lakukan adalah membanggakan orang tuanya.
'Kuatkan dirimu (y/n). Kau pasti bisa menghadapi ini...'
(y/n) kini berdiri. Berjalan perlahan menuju meja belajarnya. Saat ia ingin mengambil kertas kertas lagunya, matanya tertuju pada sebuah kotak warna (f/c) di dekat kaki meja. (y/n) tertegun.
Tangannya meletakan kembali kertas kerta itu di atas meja, dan tangannya mengambil kotak itu. Tangannya ragu untuk membukanya. Beberapa saat, (y/n) menatap kotak itu lama dan akhirnya ia membukanya.
Sebuah mic berwarna (f/c) kini berada di dalam sana.
Mic itu sangatlah indah, di hiasi dengan rantai di sekeliling micnya. Lalu lilitan tangkai bunga mawar pun ikut menghiasi. Jangan lupa dengan bunga mawarnya. Mic itu membentuk sesuai dengan isi hati (y/n). (y/n) mengambil mic itu, matanya sejenak menatapnya dengan ragu.
Ada dorongan untuk bernyanyi.
Tapi, jika ia melakukan hal itu tamatlah riwayatnya. Tak ingin berlama lama, (y/n) kembali menaruh mic itu ke dalam kotaknya. Itu, adalah Hypnosis Mic miliknya. Yang di berikan oleh senseinya sepulang konser. Dia tak menyangka, bahwa pembicaraan itu adalah tentang Hypnosis Mic.
(y/n) menjadi teringat dengan hal itu. Dan kepalanya, memaksa untuk melihat kembali.
***
"(y/n)-san. Aku ingin berbicara denganmu." Ucapan itu membuat (y/n) menolehkan kepalanya ke arah sang guru. Wajahnya yang datar jelas jelas memancarkan raut kebingungan.
"Ada apa, sensei?" tanyanya.
"Aku ingin memberi tahukanmu sesuatu."
Alis (y/n) terangkat. Pria itu tersenyum manis. Dia memperilahkan (y/n) duduk terlebih dahulu di salah satu bangku penonton. (y/n) menurut, dia duduk di sana dan sensei duduk di sebelahnya.
"Jadi, apa yang ingin anda beri taukan, Yuta-sensei?"
Yuta, memberikan sebuah kotak berwarna (f/c) itu kepada (y/n). (y/n) mengambilnya, alisnya kembali terangkat.
"Bukalah!"
Tak ingin lama lama, (y/n) membukanya. Matanya membesar. Badannya bergidik. Ia tak percaya apa yang ia lihat di depan matanya. Hypnosis mic, hanya beberapa orang yang memilikinya. Orang dengan kemampuan yang memang pantas memiliki benda itu. Yuta kembali tersenyum.
"Itu adalah Hypnosis Mic, kau pasti tau."
"Mengapa, anda memberikan ini?"
"Aku pernah melihatmu bernyanyi saat sepulang sekolah."
Deg!
(y/n) terdiam. Ia tak mampu mengeluarkan suara. Mic itu terlihat masih polos, karena memang belum memiliki pemiliknya.
"Sekarang ambillah dan cobalah. Ini akan membentuk sesuai dengan hatimu. Karena, ia melambangkan dirimu (y/n)."
Dengan ragu, (y/n) mengambilnya. Ia menghela nafas sejenak. Hingga akhinya, ia mulai bernyanyi satu bait.
"Namida iro koe ga kikoenai yoru wa
Komarasete shimau hodo wagamama ni naritai"
Mic itu berubah. Warnanya merah, dengan rantai yang melilit menghiasi sekitar mic itu, dan sebuah tangkai bunga mawar pun terlihat ikut melilit. Jangan lupakan bunga mawar yang menghiasi bagian tersebut. Mic itu sangat indah, namun juga jelas memancarkan kesedihan.
"Mic yang cantik."
(y/n) masih terdiam. Ia merinding ketakutan. Jika ayahnya tau ia memiliki Hypnosis mic, maka ia tak akan pernah di anggap anak lagi. Ia menutup matanya erat. Kepalanya pusing karena memikirkannya. Kembali, ia membuka mata dan menatap Yuta.
"Bagaimana, sensei memiliki benda ini?"
"Aku juga memilikinya."
Yuta mengeluarkan sebuah mic miliknya. Warnanya hitam, ada sebuah rantai yang menghiasinya persis seperti milik (y/n). Namun, burung elanglah yang melambangkan mic itu. (y/n) sedikit terpana.
"Aku mendapatkannya dari almarhum ayahku."
Untuk kesekian kalinya, (y/n) terdiam. Matanya menatap mic itu dalam. Hypnosis mic miliknya. Perlukah ia memberi taukannya kepada Kay?
Menggeleng, (y/n) akhirnya kembali memasukkan mic itu ke dalam kotak. Helaan nafas berat terdengar. Yuta menatapnya bingung.
"Ada apa, (y/n)?"
"Aku tak yakin akan menggunakanya..."
Bibir Yuta kembali terangkat.
"Dengarkan aku (y/n). Suatu saat, kau akan menggunakannya. Dan saat itu adalah di mana kau bisa bernyanyi dengan bebas."
Yuta berdiri. Dia mengambil tasnya, lalu mulai beranjak pergi. Dia sama sekali tak berpamitan dengan (y/n). (y/n) kembali tertegun.
"Bernyanyi, dengan bebas?"
Jika benar, (y/n) ingin itu terjadi. Karena, itulah yang ia inginkan dari dulu...
***
"Mic yang bagus."
(y/n) terkejut, kepalanya menoleh kebelakan. Sosok pria dengan surai biru malamnya mengulas senyum tipis.
"Ka-Kay-nii?!"
"Hypnosis mickan? Ternyata kau juga memilikinya."
Juga? Berarti, kakaknya!?
Kay menggengam sebuah mic. Mic itu berwarna biru malam --sama dengan rambutnya-- namun, mic itu sangat sederhana. Tak ada hiasan yang menghiasi. Hanya warnanya saja yang menjadi daya tarik. Tapi, (y/n) dapat melihat sebuah cincin yang bertaut dengan jari Kay menghiasi mic itu.
"Jadi, selama ini..."
"Ya, aku memilikinya. Temanku yang memberikannya padaku..."
(y/n) tak mampu berbicara. Jadi, selama ini kakaknya memiliki hypnosis mic? Kay mendekatkan diri dengan (y/n). Tangannya mengelus kepala (y/n) lembut.
"Tak apa (y/n). Kau bisa memakai micmu itu. Agar kau bisa bebas bernyanyi seperti yang kau impikan."
Kay melepaskan elusannya. Kakinya melangkah, menjauhi (y/n). Suara pintu ditutup pun terdengar. (y/n) kembali tertegun.
"Bernyanyi dengan bebas?"
Matanya menatap kotak (f/c) itu.
"Bagaimana rasanya?"
***
(y/n) kini tengah duduk di depan piano. Tangannya dengan lincah menyentuh setiap not. Suaranya mengalun indah disetiap pendengarnya. (y/n) kini tengah mempraktekan lagu ciptaanya di depan kelas musik.
Saat lagu itu berakhir, suara riuh tepuk tangan terdengar. Banyak wajah yang tak rela (y/n) berhenti memainkan lagu tersebut.
"Seperti biasa. Kau luar biasa nona (l/n)." puji Yuta.
"Arigato, sensei."
(y/n) berjalan membali ketempat duduknya. Terkadang ada yang melontarkan pujian, ada juga yang melontarkan rasa iri.
"Baiklah, kali ini kita kedatangan seorang tamu. Mungkin kalian mengenalinya. Dia adalah salah satu rapper dari Manterou."
Sosok pria berambut panjang, dengan surai berwarna ungunya masuk ke dalam kelas. Wajahnya terlihat datar, memancarkan aura misterius. (y/n) tertegun. Itu, bukannya Jakurai Jinguji? Rapper dari divisi Shinjuku? Terlihat, banyak gadis yang berteriak. Mereka adalah fans Jakurai. Walau pun umurnya sudah berkepala tiga, namun wajahnya yang tampan tetap saja membuat hati wanita meleleh.
(y/n) pun mengaguminya. Bukan karena tampan, tapi keahliannya dalam bernyanyi. Suaranya yang berat, mungkin membuat siapa saja meleleh. Dan (y/n) adalah termasuk dari orang itu.
"Selamat pagi."
Jakurai mengulas senyum tipis. Dan itu mampu membuat para fansnya berteriak.
"KYA, JAKURAI-SAN! AKU PADAMU!"
"KAU YANG TERBAIK."
Dan teriakan lainnya, membuat Jakurai mau pun Yuta hanya sweatdrop, oh termasuk (y/n). Jakurai melihat seluruh siswa yang berada di seluruh kelas ini. Totalnya ada 35 murid di sana. Cukup banyak untuk kelas yang besar ini. Hingga mata Jakurai berhenti di kursi depan dekat jendela. Sosok bersurai (h/c) itu kini menatap Jakurai bingung. Rasanya sedikit aneh di tatap oleh orang yang ia hormati karena keahliannya.
'Mengapa, ia menatapku?'
(y/n) mulai sedikit memundurkan tubuhnya. Kepalamya mulai ia alihkan. Terlalu canggung untuknya. Begitu juga dengan Jakurai, dia memalingkan wajahnya kembali menatap ke depan. (y/n) menghela nafas tenang.
"Mungkin aneh, seorang rapper datang di kelas musik."
"TIDAK ANEH!"
Mungkin (y/n) harus menyumpal satu persatu mulut para gadis itu dengan kertas not. Mereka sangat berisik. (y/n) sedikit berharap kedatangan Jakurai cepat selesai.
"Aku ke sini, karena ingin mencari pemegang Hypmic."
Deg!
(y/n) membulatkan matanya. Cobaan apa lagi yang ia terima? (y/n) menghela nafas, seharusnya dia meninggalkan mic itu di rumah. Namun, resiko diketahui oleh ayahnya sangat besar. Mau tak mau, (y/n) harus membawanya. Sempat di pikirannya, ia ingin menitipkannya pada Ichiro. Namun, mengingat ia malah akan menambah masalah, membuat (y/n) mengurungkan niatnya.
Suara berbisik akhirnya terdengar. Mungkin, beberapa dari mereka sudah memilikinya. Namun, ada juga yang belum. Tentu saja, tak sembarangan orang memiliki benda yang bisa menhipnotis orang sesuka hatinya itu. (y/n) hanya menundukan kepalanya.
"Mungkin, di antara kalian ada yang ingin mengaku memilikinya?"
Beberapa ada yang mengangkat tangan. Namun tidak dengan (y/n). Ia tetap bersikukuh untuk menyembunyikannya. Matanya menatap Yuta, yang di balas dengan anggukan. Namun, (y/n) tetap ragu.
"Saya ingin bertanya!"
Sosok pria bersurai coklat mengangkat tangannya. Mendengar hal itu, Jakurai memmbalasnya.
"Silahkan?"
"Untuk apa, kau mencari pemilik hypmic?"
Pertanyaan itu membuat para siswa kembali berbisik. Jyuto menghela nafas maklum.
"Sebentar lagi. Akan terjadi kompetisi perebutan wilayah."
Seketika, semuanya terdiam.
"Tentu, kami divisi utama harus mengikutinya. Namun kali ini berbeda. Semuanya bisa mengikutinya. Asalkan, punya Hypnosis Mic."
Jyuto mengambil mic miliknya. Semuanya menatap mic itu kagum, termasuk (y/n). Ini pertama kalinya, ia melihat mic milik Jakurai secara dekat.
"Mungkin, di antara kalian ada yang tertarik untuk menjadi perwakilan kota kalian."
Semuanya yang memiliki Hypnosis Mic langsung mengangkat tangan. Wajah kesal dan iri terpampang di antara mereka yang tak memiliki mic itu. Namun, tentu (y/n) tidak tergiur. Ia masih bersikukuh untuk merahasiakannya.
Lagi pula, resikonya tinggi! Itu malah akan mempercepat ayahnya tau. (y/n) kembali menghela nafas. Terlihat, Jakurai kini menatap (y/n) kembali.
"Sepertinya akan susah membujuknya."
Yuta angkat suara. Jakurai hanya menghela nafas. Dia mulai mengangkat micnya dan mulai menyalakannya. (y/n) tersentak.
"Sepertinya, ada di antara kalian tidak ingin mengaku."
(y/n) bergidik. Matilah ia. Suara musik mulai terdengar. Saat Jakurai ingin memulai bernyanyi, (y/n) angkat tangan."
"Aku sudah mengakukan? Jangan mulai bernyanyi, Jakurai-san..."
Jakurai tersenyum kecil. Akhirnya anak itu mengaku juga. Sedangkan (y/n) hanya merutuki nasibnya yang sial. Suara bisikan kini terdengar kembali. Kali ini, mereka membicarakan sang gadis yang duduk di depan dekat jendela itu.
"Hei, bukannya (y/n) tidak di ijinkan bernyanyi oleh ayahnya?"
"Benar, bahkan aku tak tau bahwa ia bisa bernyanyi."
"Lalu, kapan ia memiliki hypmic?"
"Palingan dia rampas dari orang."
"Hei, bisa saja dia di beri!"
"Ya, siapa yang tau?"
(y/n) mengepal tangannya erat. Menahan emosi yang sedari tadi ia tahan. Melihat hal itu, Yuta langsung memukul papan tulis dengan sebuah penggaris. Semuanya terdiam.
"Sudah cukup menghinanya?" ucap Yuta dengan senyum menghiasi wajahnya. Semuanya menunduk malu karena kepergok mengosip yang tidak tidak. Jakurai menghela nafas maklum. Anak anak seperti mereka memang suka mencari masalah.
"Setelah pulang sekolah, kalian bisa menemuiku di aula." ucap Jakurai dengan senyum tipis.
Tbc~
Note:
2564 word
My hand:')
Hey!
Balik lagi dengan w wkwkwkwk
Hm, sepertinya alur utama akan mulai terlihat...
Hah...
Banyak sekali hutangku:(
Tapi tak apa
Setidaknya kalian penyuka Hypmic senang:D
Ngomong ngomong
Apakah kalian mendapatkan gambaran micnya?
Sebenarnya aku sempat mencoba menggambarnya,
Namun sepertinya terlalu jelek untuk di perlihatkan ┐( ̄ヮ ̄)┌
Intinya,
Ya, aku harap kalian memiliki imajinasi tinggi untuk melihatnya sendiri:D
Haha...
Yang baru terlihat juga hanya BB, MTC, dan leader Mantero
Yang lain kapan:(
Ramuda gua jg kapan muncul:(?
Hanya Tuhan dan saya yang tau(?)
Btw, lagu yang di nyanyikan (y/n) adalah
Namidairo-Yui
Coba kalian dengarkan dan cari artinya!
Dijamin menggalau!/di tabok
Dah ah, kok bacotan gua malah panjang amat...
Ok sekian yak,
Semoga kalian suka dengan cerita ini!╮(╯▽╰)╭
Regards
©katarina_294
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro