Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 4

Di ruangan yang tidak terlalu luas itu. Pintu terbuka. Menampilkan sosok Taksa berjalan masuk ke ruangan yang tidak lain adalah kamar kosannya.

Tidak lupa Taksa mengunci pintu kamarnya lagi. Lalu melepas sepasang sepatu yang ia pakai, menaruhnya di atas rak sepatu.

Taksa masuk lebih jauh. Memilih untuk menaruh tasnya ke atas meja belajar. Lalu seperti sangat lelah, ia langsung berbaring di atas kasurnya tanpa terlebih dahulu berganti seragam atau mandi.

Hati Taksa sekarang terasa campur aduk. Ia sangat bingung harus bagaimana sekarang. Entah untuk rencana ke depannya atau bagaimana ia harus bersikap.

Bukan tidak mungkin Rafandra tidak mengenalinya sama sekali. Sejujurnya, mereka berdua memang tidak pernah sama sekali bertemu. Taksa hanya pernah melihat foto Rafandra sekali, itu pun saat Rafandra masih berumur 9 tahun.

Sekarang lelaki itu sangat berbeda. Tentu saja Taksa tidak mengenalinya. Tapi tidak salah lagi bahwa pemilik liontin itu pastilah Sirius.

Sirius yang ia cari-cari atas janjinya kepada pria tua di teras rumah.

Bagaimanapun. Tentu ke depannya, hal-hal akan menjadi lebih rumit. Tentang bagaimana ia bisa memenuhi janji itu untuk Sirius.

Taksa menatap layar ponselnya lamat-lamat. Ponsel yang tidak berisi apa-apa itu. Hanya ada aplikasi chatting dan grup yang tidak ada satupun ia simpan kontaknya.

Bahkan ia tidak menyimpan nomer orang tuanya. Baginya, tidak ada gunanya menyimpan nomer ponsel seseorang yang tidak akan dia hubungi. Ataupun menghubunginya. Karena itu ia biarkan kontak di ponselnya kosong.

Taksa lagi-lagi diam. Memikirkan banyak skenario di kepalanya. Meskipun itu sia-sia karena nantinya ia akan lupa.

"Sirius?"

Rafandra tidak bisa jika tidak tertegun tiap kali mendengar sebutan itu. Ia menoleh ke belakang, menemukan Taksa yang memperhatikannya dengan dahi berkenyit.

"Bukunya."

"Ah, maaf! Aku melamun."

Rafandra dengan canggung menyerahkan buku mapel itu ke Taksa yang sedari tadi menunggu. Sedikit malu dirinya karena bisa-bisanya melamun.

Hari ini mereka belajar biologi. Sang guru menyerahkan buku pada masing-masing murid untuk dipelajari. Ketika buku dibuka, isinya adalah pelajaran mengenai seluruh kerangka dan organ di dalam tubuh manusia.

Dengan penjelasan yang terperinci dan lengkap. Rupanya mereka disuruh untuk menghafal seluruh kerangka tersebut. Dan guru akan menanyakan satu-persatu bagian secara acak.

Tentu saja seluruh murid mulai panik. Mereka segera menghafal sebelum nama mereka dipanggil.

"Wah, orang gila mana yang bisa menghafal ini dalam sekejap?" celoteh salah satu murid.

Selagi mereka ribut-ribut tidak terima. Taksa tiba-tiba berdiri dan maju ke depan kelas.

"Saya sudah hafal," katanya sambil menyerahkan buku.

Sontak seluruh murid di kelas pun kaget bukan main. Bukan karena Taksa yang bisa menghafal dalam sekejap. Akan tetapi lelaki itu akhirnya kembali berminat untuk belajar.

"Apa yang merasukinya?"

Merasa ditantang. Sang guru akhirnya mengetes kemampuan Taksa. Dengan langsung menanyakan bagian kerangka tubuh yang paling rumit.

"Malleus, Incus dan Stapes."

Secara tepat ia menjawab. Pertanyaan berikutnya diberikan, namun lagi-lagi Taksa mampu menjawabnya dengan sempurna.

"Seratus. Kamu boleh duduk."

Tentu saja hal tersebut mengundang tepuk tangan meriah dari seisi kelas.

"Sudah, ayo sekarang siapa lagi yang mau maju?" Gurunya menghentikan kericuhan tersebut. Meski tidak dipungkiri bahwa ia turut bangga dengan Taksa.

Mereka semua menerka-nerka. Apa yang jadi penyebab seorang pemuda yang kehilangan minat itu menjadi tampak begitu antusias untuk belajar kali ini. Seolah ada yang terjadi.

"Apa ini karena anak baru itu?" gumam Rasha. Manik coklatnya menatap Taksa yang sudah duduk di bangkunya itu dan Rafandra bergantian. "Tidak aneh dia meminta tukar tempat duduk kalau begitu."

"Tapi, apa yang spesial dari Rafan--"

Rafandra berdiri dari bangkunya dan maju ke depan. Tatapan mata sekelas mengarah padanya. Bahkan gurunya ikut tertegun. "Sudah hapal, Rafandra?"

"Sudah, Bu."

Reaksi penghuni kelas pun bermacam-macam. Ada yang shock. Ada juga yang kagum. Meski beberapa memilih tidak peduli. Pada akhirnya mereka harus tetap buru-buru menghafal sebelum Guru mereka itu membandingkan seisi kelas dengan Taksa dan Rafandra.

Pertanyaan dilayangkan satu-persatu. Dan Rafandra dapat menjawab semuanya dengan benar. Satu kelas tertegun, tak menyangka Rafandra adalah seorang jenius.

"Seratus. Rafandra, kamu boleh duduk."

Tepuk tangan terdengar sekali lagi. Dan Rafandra hanya bisa diam saat menyadari apa yang telah ia lakukan.

"Ternyata, kau bisa."

Taksa berbicara. Namun, Rafandra enggan menoleh ke belakang.

"Kau memancingku rupanya."

Suara kekehan terdengar dari belakang Rafandra. Taksa tampaknya tengah menyusun kata-kata.

"Mau makan bersama?"

Uap yang mengepul dari makanan membuat Rafandra harus menunggu beberapa saat sebelum memakannya. Sementara itu, diam-diam ia memperhatikan Taksa yang tengah membersihkan sendok dan garpu yang mau ia pakai dengan tisu.

Rafandra bukanlah tipe yang suka berkompetisi. Rafandra adalah seorang anak yang menurut pada ayahnya. Bagi ayah anak itu, Rafandra cukup jadi anak pintar dan rajin agar bisa masuk ke universitas bagus lalu kerja di perusahaan yang bagus.

Tipe loyalitas seperti itu yang menekan impian Rafandra hingga tenggelam ke dalam bumi.

Satu-satunya yang menerima cita-cita Rafandra saat itu hanyalah kakeknya. Kakek kandungnya yang mengajarkan banyak hal dan membuat Rafandra memiliki impian.

Begitu sang kakek meninggal. Harapan Rafandra sepertinya ikut terkubur di dalam tanah.

Sehingga ia tidak lagi memikirkan bagaimana caranya meraih cita-cita tersebut.

Tapi, ia merasa tertandingi oleh Taksa yang hapal ribuan nama bintang.

"Sirius?"

Lagi-lagi Rafandra melamun. Taksa memanggil meski bukan namanya.

"Namaku Rafandra, bukan Sirius."

Taksa tampaknya tidak mendengarkan perkataan tersebut. Ia tidak peduli dengan nama tersebut. Karena, Taksa juga tidak akan mengingatnya.

Hanya nama Sirius lah yang terpatri dalam ingatannya.

Rafandra mengaduk-aduk makanannya dengan gundah.

"Kenapa kau memanggilku dengan sebutan Sirius?"

Pertanyaan yang selama ini mengganjal di hatinya, kini bisa ia tanyakan. Baginya, jika itu bukan hal yang begitu penting. Ia lebih baik dipanggil menggunakan nama aslinya.

"Apa kau tahu soal Sirius?" Taksa balik bertanya.

Rafandra hanya menatapnya. Membiarkan Taksa melanjutkan kata-katanya. "Sirius adalah salah satu bintang yang paling besar, paling terang, dan dikenal."

Rafandra tertawa. "Kalau begitu, aku bukan Sirius. Aku tidak besar, tidak terang dan juga tidak terkenal."

Taksa hanya menatapnya saja. Menopang dagu dengan tangan.

"Kita akan tahu nanti."

Karena Sirius adalah bintang yang indah. Taksa juga yakin bahwa ada alasan penting kenapa si kakek memberi nama panggilan cucunya itu sebagai Sirius.

Sehebat apa sosok Rafandra yang dicintai kakeknya itu. Bagi Taksa, ini adalah momen yang tepat untuk mencari tahu.

Seterang apa Sirius ini.

BAB 4 》Clear

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro