Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 1

Hari-hari berjalan seperti biasa, tidak begitu menyenangkan atau menyedihkan. Yang setiap menjalaninya, tentu akan menyisipkan banyak jejak kaki. Entah jejak kaki yang dalam ataupun tidak berbekas sama sekali.

Bagi seseorang yang tidak memiliki ambisi dalam hidupnya. Mungkin, mencapai ujung jalan adalah hal yang sia-sia.

Beberapa orang memilih untuk mengubur harapan dan impian mereka dalam-dalam ketika menyadari fakta yang telah terjadi.

Bukan tidak mungkin alasan mengapa orang dewasa begitu berbeda dengan anak-anak. Tentang bagaimana bisa pemikiran mereka berbeda jauh ketimbang saat mereka masih di bawah umur.

Alasan mengapa seseorang bisa begitu tidak berminat atas hidupnya. Mungkin juga karena impian dan cita-citanya telah terenggut.

Bukan menjadi hal yang mengejutkan.

Bahkan jika suatu saat nanti akan ada banyak orang yang menyerah atas hidupnya.

Hidup tanpa memiliki tujuan itu benar-benar hampa.

"Apakah kamu memiliki sebuah impian, Taksa?"

Manik merah maroon miliknya membelalak. Napasnya terengah. Seolah habis mengalami mimpi yang menakutkan, tubuhnya sampai berkeringat.

Pemuda berusia tujuh belas tahun itu perlahan mengangkat kepalanya dari atas meja. Fokusnya beralih ke papan tulis dan seorang guru yang sibuk menuliskan materi.

Ia menghela napas. Menetralkan degup jantung yang mendadak terasa berlebihan. Entah karena efek tidur di tengah kelas. Atau karena ia lupa sarapan pagi ini.

Yang mana pun itu. Keduanya memang tidak baik.

Setelah dirinya berangsur tenang. Ia membaca buku astronominya meskipun pelajaran hari ini adalah sejarah.

Tampak di sampul bukunya bertuliskan 'Taksa' yang tidak lain adalah nama pemuda ini. Pria tinggi dengan surai hitam yang menawan. Manik maroon yang seringkali menatap tajam itu melembut saat membaca satu-persatu nama bintang.

Meski ada ribuan nama bintang yang bisa ia hapal di luar kepala. Nyatanya, mengingat nama teman sekelasnya adalah hal yang paling susah ia lakukan.

Dibanding menghabiskan waktu untuk berkenalan dan mengingat nama satu sama lain. Taksa lebih memilih untuk menghapal 84 juta nama bintang yang bahkan tidak bisa diajak bicara.

Meski kelemahannya begitu aneh. Taksa digadang-gadang sebagai siswa jenius karena telah beberapa kali memenangkan olimpiade sains sewaktu kelas 1 SMA. Namun sekarang, lelaki itu tidak berminat sama sekali dalam lomba apapun.

Kecenderungan Taksa yang hanya berdiam diri dan belajar sendirian membuat beberapa orang disekitarnya mengira bahwa Taksa memiliki masalah di rumah.

Walau nyatanya Taksa tinggal sendirian di kosan yang tak jauh dari sekolah.

"Sekarang tolong kerjakan latihan soal di halaman 23 ya."

Pelajaran rupanya akan segera berakhir. Begitu juga dengan guru di depan kelas yang pada akhirnya harus mengubah soal menjadi pekerjaan rumah.

"Kalau begitu, sampai jumpa di pertemuan selanjutnya."

Begitu sang guru telah lenyap dari pandangan. Seisi ruang kelas mulai berisik karena beberapa dari mereka mengobrol. Entah soal pelajaran tadi atau tentang diri mereka sendiri.

Taksa lagi-lagi merebahkan kepalanya ke atas meja. Namun, ia tidak tidur. Hanya memperhatikan teman-teman sekelasnya yang begitu asik mengobrol satu sama lain.

"Universitas itu kan masuknya susah, biayanya juga mahal. Aku yakin engga bakalan bisa masuk ke sana," celoteh salah satu perempuan yang duduknya tidak jauh dari bangku Taksa berada.

"Sayang banget, padahal cita-citamu kan jadi desainer ternama." Salah satu temannya ikut bersedih. "Tidak ada lagi universitas fashion di kota ini."

Mereka masih lanjut membicarakan soal universitas dan cita-cita. Sementara Taksa sudah mulai menutup matanya lagi untuk tidur.

"Apa itu sakit, nak?"

Suara ringkih seorang pria tua yang khawatir itu terdengar begitu lembut. Sementara bocah yang ditanyai, hanya diam dengan ekspresi kosong.

"Ini bukan apa-apa."

Tubuh berbalur debu dan darah kering. Juga lecet yang pastinya terasa amat sakit.

Tapi karena bocah berusia sembilan tahun itu berkata bahwa dia baik-baik saja. Maka sang pria tua yang umurnya sudah lebih dari setengah abad itu tidak bisa memaksa.

Mereka berdua sama-sama menatapi langit malam yang penuh dengan bintang. Terlihat berkilau dan menenangkan.

"Apa kamu tahu kemana perginya orang yang sudah tiada, nak?"

Pertanyaan itu tidak langsung dijawab. Anak itu memperhatikan sang kakek lewat manik maroonnya. Setelah itu baru membuka mulut, "Ditelan tanah dan dimakan cacing."

Mendengar itu, si kakek tidak tahan untuk tertawa terbahak-bahak.

"Kakek salah bertanya. Maksudnya, pergi kemana roh seseorang yang sudah meninggal."

Pertanyaan itu diulang dengan kata yang lebih spesifik. Membuat sang bocah harus berpikir lebih keras. "Ke langit?"

Angin berembus dengan pelan. Membuat suasana semakin dingin.

"Mereka ke langit dan menjadi bintang. Makanya orang-orang terdahulu sangat suka menatap bintang. Berharap roh yang sudah meninggal itu juga melihat ke arahnya." Kakek menjelaskan dengan bahasa yang mudah dipahami. Si bocah hanya kembali menatap langit dalam bisu.

"Apa kamu punya cita-cita?" Bocah itu menggeleng. Menandakan bahwa tidak ada sesuatu yang mau ia kejar selama masih hidup.

"Aku bahkan ... tidak punya alasan untuk tetap bertahan hidup."

"Begitu, ya."

Lagi-lagi kesunyian diantara mereka. Dengan masih setia menatap ke arah langit. Melirik satu-persatu titik cahaya bintang yang berkilauan.

Sangat miris mendengar fakta bahwa seorang bocah laki-laki berusia sembilan tahun sudah bisa berpikir seperti itu. Kematian bukanlah hal yang sepele. Dibandingkan anak itu, si kakek lebih mungkin susah untuk bertahan hidup karena umurnya.

"Kalau kamu punya alasan, apa kamu mau berjuang untuk tetap hidup?"

Si kakek memberikan pilihan.

"Alasan apa?"

Bagi seorang anak-anak yang sudah kehilangan segalanya.

Kakek hanya tersenyum tipis. Lalu mengusap kepalanya dengan penuh kelembutan. "Jika kamu mau memiliki alasan untuk bertahan hidup, datanglah lagi ke sini, esok."

Bocah itu diusir untuk segera pulang. Karena malam mulai larut.

"Kakek akan memberitahuku?"

Sebuah alasan agar dirinya bisa tetap melanjutkan hidup.

"Siapa namamu?"

Meski berat dan ragu. Ia akhirnya memberitahukan namanya. "Taksa."

"Taksa," sebut si Kakek. "Ketika kamu yakin untuk hidup, maka kemarilah esok hari. Kakek akan memberimu alasan untuk tetap bertahan hidup."

Meski ragu dan merasa aneh. Taksa hanya bisa mengangguk, dan menjauh dari teras rumah tersebut.

Ia berjalan menjauhi pekarangan rumah si Kakek. Meski lampu jalan agak redup. Taksa masih bisa melihat Kakek itu dari jarak yang agak jauh.

Dan kemudian dirinya lanjut berjalan dan tidak berbalik.

Suasana kelas yang riuh itu mendadak diam. Taksa membuka mata, mencoba memastikan. Melihat semua murid yang sudah duduk rapi dalam sekejap mata. Dan seorang guru yang masuk ke kelas.

Ia bisa menebak bahwa pelajaran akan segera dimulai.

"Sebelum kita mulai pelajaran. Ada anak baru yang mulai hari ini akan bergabung dengan kita."

Para murid terdengar excited karena mendengar adanya anak baru. Mereka menerka-nerka seperti apa murid baru yang akan bergabung dengan mereka.

"Silahkan perkenalkan diri."

Seorang pemuda bersurai coklat itu berdiri di depan kelas dengan senyumnya yang merekah.

"Salam kenal. Aku Rafandra Azura, pindahan dari SMA Dirgantara."

Siswa baru itu mungkin akan jadi awal perjalanan Taksa.

BAB 1 》 Clear

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro