Spring [9.5]: Sebuah Janji
Playlist: Winter Bird - Aurora
-----------------
"Hari ini latihan lagi?"
Takeo berjalan tepat di sampingku sembari menyodorkan sebotol susu kotak. Aku mengangguk lesu menanggapinya.
"Kau diganggu dia, ya?"
"Hm?" Aku mendongak menatap Takeo yang justru menatapku penuh selidik. Sedetik kemudian, aku tahu apa maksudnya. "Hm, yah, entahlah. Aku mau cerita pada Takeo, tapi kau tidak boleh marah-marah dan emosi. Cukup disimpan saja, ya? Janji?"
"Kenapa? Cepat cerita," tuntutnya tidak sabar.
"Janji dulu!"
Aku mengarahkan jari kelingkingku ke Takeo yang hanya ditatapnya dalam diam. Kunaikkan sebelah alis, menuntutnya untuk segera berjanji.
"Kenapa? Kau diganggu, ya?"
"Janji dulu," cetusku tegas. "Kalau tidak, aku tidak mau cerita!"
Takeo membalas uluran kelingkingku, dengan mengikat kelingkingnya. "Janji! Cepat cerita!"
Aku mengembuskan napas perlahan, mataku menatap lapangan basket yang mulai ramai dengan beberapa anak yang sibuk melakukan pemanasan. Yah, bel pulang sekolah sudah berbunyi beberapa menit yang lalu. Rei tampaknya sudah semangat untuk ikut latihan futsal, sedangkan Takeo masih mau berlama-lama menemaniku. Jadwalnya, latihan tim lomba masih satu jam lagi. Kalau Akemi dan Harumi sudah sibuk mau berbelanja di toko pernak pernik yang baru buka di daerah Daikayama, mereka memang suka sekali ke daerah Daikayama karena tidak begitu ramai dengan turis dan banyak artis juga sering ke daerah sana. Anehnya, Shizuko tidak mau ikut, dan memilih untuk berbelanja novel di toko buku. Akhir-akhir ini, Shizuko sedang menyukai buku misteri.
Aku dan Takeo menyusuri jalan di pinggir lapangan. Tanganku menunjuk tangga pemisah lapangan dengan jalur dekat gerbang sekolah, yang tidak begitu ramai dengan siswa.
"Ayo cerita," tuntutnya lagi.
Takeo mengikutiku duduk di tangga kedua. Aku mengembuskan napas panjang, sembari bertanya, "Kau ingat waktu kita makan di kantin minggu lalu? Itu aku ternyata terlambat datang ke pertemuan tim lomba."
"Lalu? Kau dimarahi dia?"
"Hm, lebih tepatnya, aku jadi duduk di sebelahnya. Dan ... ya, kami terlibat sedikit pertengkaran waktu itu. Dia sewot gitu, dan ternyata nilaiku dan dia paling tinggi. Jadi kami dijadikan tim untuk lomba ter—"
"Hah?" Takeo memotong ucapanku. "Kau dan dia? Kenapa? Astaga, kau ini kenapa jadi berakhir dengan dia?"
"Yah begitulah, dari situ dia sangat menyebalkan. Dia marah-marah terus, setiap kali aku salah menjawab, pasti dia sudah mengomel. Aku tidak sengaja mematahkan pensil juga dimarahi habis-habisan. Semua salahku selalu dimarahi. Mana kemarin dia juga sangat menyebalkan. Aku hanya bertanya rumus, tapi dia mengataiku bodoh. Padahal selama ini, aku sudah menuruti dia yang meminta belajar sampai tengah malam, sampai kurang tidur. Kau bisa lihat mata pandaku, nih." Aku menunjuk bawah mataku ke Takeo. Dia mendekatkan wajahnya dekat sekali, aku terkejut sekali. Aku bahkan bisa merasakan embusan napasnya yang dekat.
"Menyebalkan sekali! Dia harus diberi pelajaran, deh."
"Hey!" Aku mencekal tangan Takeo begitu dia bangkit berdiri. "Kau sudah janji untuk mendengarkan. Ayolah, jangan berkelahi, dia pasti ada dendam dengan kita. Aku hanya perlu bertahan sampai lomba selesai, dan waktu pemilihan tim baru, aku tidak akan setim dengan dia."
"Tapi, dia sudah keterlaluan sekali. Bahkan dia memaksamu belajar bersama sampai tengah malam begitu. Kau harusnya main bersama kami, saja. Kemarin, kami pergi ke Womb, loh. Kau harusnya ikut, Rei benar-benar mabuk sekali."
"Ah, irinya."
Aku memukul lengan Takeo yang dibalas dengan senyum kecil. Aduh, jangan seperti itu. Takeo jadi sangat tampan sekali, deh.
"Bagaimana kalau kau bolos hari ini? Pergi menonton film denganku," tawar Takeo lagi-lagi dengan memamerkan senyum. Aku tidak suka melihatnya tersenyum.
"Kau benar-benar mau membuatku dalam masalah?" kataku dengan nada pura-pura marah. Aku menarik kerah Takeo yang membuatku tertawa.
"Wajahmu lucu sekali, sih? Baiklah, bagaimana kalau selesai latihan? Aku kan juga latihan futsal. Bagaimana?"
Aku mengangguk setuju. Diam-diam, aku berusaha mati-matian menahan senyumku. Kupu-kupu di perutku sudah menyeruak minta keluar. Takeo mengelus puncak kepalaku pelan, membuatku reflek menyingkir.
"Jangan seperti itu!" tegasku.
Aku tidak mau terlalu banyak berharap pada Takeo. Kalau dia terlalu baik seperti ini, aku bisa berpikir yang macam-macam.
Word: 633
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro