Spring [11]: Suzume yang Dramatis
Playlist: Me After You - Paul Kim
"Pulang saja, aku bisa sendiri."
Tanganku mendorong punggung Takeo yang mendesak mengikutiku ke perpustakaan. Aku sudah bilang kalau hanya belajar sebentar, tapi dia memaksa mau menemaniku. Aku tidak yakin kalau dia ikut, apakah suasananya akan baik-baik saja atau menjadi berantakan.
"Aku ikut. Aku juga mau tahu, tidak boleh, ya?"
Aku menggeleng yang membuat Takeo merengut tidak suka. Dia menggandeng tanganku dengan erat, tidak peduli kalau aku meronta minta dilepaskan. Dengan langkah percaya diri, dia membawaku masuk ke perpustakaan. Aku mendesah cukup keras.
"Sst, tidak boleh bersuara. Ini di perpustakaan," kata Takeo sembari meletakkan telunjuknya di bibir.
Aku mencebik tanpa suara. "Ya sudah, terserahmu. Jangan buat masalah!" Aku memperingatinya yang hanya dibalas dengan senyum simpul.
Langkahku mendahului Takeo, yang memilih mengekor di belakangku. Tangan kami pun sudah tidak saling terhubung—maksudku, bergandengan—aku berjalan ke arah meja belajar, ada beberapa orang yang sibuk membaca buku-buku tebal. Meski tidak seramai waktu siang.
Mataku menemukan Akira Senpai yang duduk di dekat jendela. Tangannya asik bergerak-gerak dengan bolpoin berwarna hitam. Aku duduk di sebelahnya, diikuti Takeo yang duduk di sebelahku.
Akira Senpai agak terkejut, tubuhnya sedikit berjengit. Namun, sedetik kemudian, dia memasang wajah datar yang tidak peduli seperti biasanya.
"Maaf terlambat," ucapku berbisik.
Tidak dibalas. Kejam sekali. Aku melirik kertas yang buru-buru dia bereskan, ternyata dia tidak sedang mengerjakan latihan soal, sedang menulis sesuatu yang lain. Mirip puisi, aku sempat membaca beberapa kalimat indah di kertasnya itu. Benarkah? Apakah dia orang yang seperti itu? Agak mustahil.
Akira Senpai meletakkan buku latihan di antara kami. Dia menandai beberapa nomor yang harus kami kerjakan bersama. Aku mengambil buku tulis dan bolpoin. Sekilas, aku melirik Takeo yang sudah sibuk bermain ponsel.
"Aku kira tidak akan datang," ujarnya dingin.
"Kalau tidak pasti aku akan dihukum berta, kan?" balasku tidak kalah dingin. Aku meliriknya yang juga sedang menatapku sinis.
"Kenapa mengajak orang lain?" ucap Akira Senpai berbisik, wajahnya maju sangat dekat. Orang ini suka sekali membuat hal-hal yang mengejutkan. "Mencari pertolongan?"
Aku memutar bola mata malas. "Dia yang memaksa ikut. Tenang saja, kalau dia mengganggu, aku yang mengusirnya."
Kami mengerjakan soal-soal yang sudah ditandai bersama. Anehnya, tidak ada kesulitan yang membuatku sampai harus dimarahi. Jarang sekali peristiwa seperti ini terjadi. Mungkin hari ini, dia cukup lelah untuk melakukan perdebatan denganku. Takeo juga tidak berbicara apa pun, dan hanya diam saja sibuk dengan game di ponselnya.
"Kenapa dia pakai rumus yang seperti ini?" tanyaku bingung, saat Akira Senpai memasukkan rumus yang tidak aku duga.
"Kalau pakai rumus yang kau tulis, itu salah. Lihat perpotongan bangunannya, kau tidak bisa menghitung ini dengan menggabungkan dengan bangunan yang di atas, mereka harus dipisah."
Aku mengangguk-angguk setuju mendengarkan penjelasannya, yang lebih tenang dan bisa dipahami. Tidak seperti dia yang biasanya, dia pasti langsung berdecak kesal dan mulai mengomeli kebodohanku.
"Kau masih lama?" bisik Takeo yang membuat tengkukku geli karena embusan napasnya. Aku melirik Takeo, dia memasang wajah merasa bersalah. "Maaf."
"Beberapa soal lagi, kau mau pulang duluan?"
Dia menggeleng cepat. "Aku menunggu, kok."
"Kalau tidak tertarik, tidak perlu memaksa ikut. Ingin jadi ksatria, tapi justru menjadi pengganggu."
"Senpai!" protesku tidak suka.
Takeo yang mendengar itu tampak tidak terpancing, tdak seperti dia yang biasanya. Tidak membalas apa-apa dan kembali sibuk dengan ponselnya. Mungkin dia takut aku akan kesal kalau dia memilih meladeni. Aku memilih menyibukkan diri lagi dalam angka-angka dan rumus, dibanding memancing perkara di antara dua orang ini.
Dua soal terakhir sedikit memakan waktu, bahkan Akira Senpai mencari referensi dari buku yang diambilnya. Sesuatu yang jarang terjadi, biasanya hanya aku yang membutuhkan buku itu karena orang di sampingku ini sudah hafal luar dalam.
"Sepertinya dia memakai variasi, kita harus menggabungkan rumus ini dan ini. Baru kita bisa menemukan X-nya," tebakku yang hanya dibalas dengan anggukan.
Akira Senpai mengambil alih buku tulis. Ah, tulisan tangannya benar-benar bagus dan rapi, aku ingat dia pernah memarahiku karena tulisanku yang berantakan. Padahal aku mengatakan kalau itu hanya untuk hasil perhitungan kasar, dia tetap menyalahkanku. Benar-benar orang yang aneh.
Tanganku tidak diam, aku menghitung perhitungan yang ditulis di buku dan membacakannya. Akira Senpai menjetikkan jari, tanda kalau dia puas begitu hasil akhirnya sama dengan kunci jawaban.
"Selesai!" ujarku senang. Aku melihat jam dinding yang tergantung di pilar dekat kami duduk. Jam sudah menunjukkan pukul dua belas lebih. Wah, malam sekali ini.
Aku membereskan barang-barang dan meletakkan buku yang Akira Senpai ambil ke keranjang buku dekat pustakawan. Akira Senpai menepuk bahuku sembari berlalu keluar dengan menenteng tas ranselnya. Aku tahu, dia bermaksud berpamitan tapi terlalu canggung.
Takeo memperhatikanku yang sedang menuju ke arahnya. Dia sudah berdiri dengan ranselku yang tergantung di pundaknya. "Ayo, aku antar pulang. Aku antar sampai rumah, ya?"
Aku menggeleng menolak. "Antar seperti biasanya saja. Orang rumah tidak begitu suka kalau aku diantar orang lain, pasti nanti ditanya-tanya." Alasan tidak masuk akal lagi. Entah kenapa Takeo percaya, tapi lebih baik begitu.
"Tidak apa-apa? Bahaya loh sudah malam."
Aku mengangguk. "Sudah biasa. Lingkungan di sana aman, kok. Jangan khawatir."
Takeo akhirnya mengalah. Seperti biasanya.
*Hontou no Kotto Itte Kudasai*
Hujan rintik masih setia membasahi kota Tokyo sejak pagi, tidak terasa sudah bulan Juni. Tidak lama lagi musim semi sudah berganti musim panas. Aku memandangi jendela, melihat pemandangan di luar. Daun-daun yang berbulir basah, lapangan yang berair karena hujan, jendela yang berembun menunjukkan betapa dingin udara di luar, bunga Ajisai yang tampak cantik. Semua itu tampak menarik perhatianku.
"Suzume, kau ini selalu tertarik dengan sesuatu yang aneh, ya?" Lamunanku terbuyarkan oleh perkataan Rei. Aku menoleh ke Rei yang berada di depanku. "Kau suka bunga sakura yang gugur, suka melihat hujan, suka melihat daun-daun yang terbawa angin. Agak dramatis begitu, ya."
Aku terkekeh mendengar penuturan Rei, tapi memang benar. Terkesan melodrama.
"Bukankah cocok dengan Suzume. Dilihat bagaimana pun, itu benar-benar mencerminkan seorang Suzume," sahut Shizuko yang berada di belakang Akemi. Tangannya memegang novel berjudul Sherlock Holmes. "Rambut panjang yang tebal, poni yang rata yang menutupi dahi, seragam yang rapi—ya meski sudah agak tertular dengan memendekkan rok dan lengan, nada bicara yang lembut, suka membaca puisi, ditambah mengamati pemandangan. Sungguh sebuah gambaran Suzume."
"Memangnya seperti itu, ya? Aku hanya suka memperhatikannya, kadang pikiranku bisa berimajinasi ke mana-mana. Ah, aku jadi ingin menjadi penulis naskah. Hal-hal di sekitarku bisa membuat aku ingin berlama-lama memperhatikannya."
"Memperhatikan Takeo juga?" celetuk Rei yang membuatku beteriak kesal.
"Menulis kisah percintaanmu denganku saja," goda Takeo yang sedang duduk di mejaku. Tangannya asyik memakan buah pisang.
Aku mendorong Takeo yang membuatnya hampir terjerembap ke lantai. Rei dan Shizuko terbahak-bahak melihat adegan dramatis dari Takeo. Tampaknya, aku jadi menyukai kata 'dramatis' berkat diucapkan Rei.
"Yah! Jangan seperti itu! Lakukan yang benar, dong!" Aku menoleh ke arah suara yang mirip Harumi, ternyata di depan dekat papan tulis ada Harumi dan Akemi, jangan lupakan Haruka yang sedang berjongkok ketakutan.
"Sekarang apa lagi?" ucap Takeo yang terdengar sarkas di telingaku.
Ternyata Harumi menyuruh Haruka untuk membenarkan tali sepatunya. Astaga, Harumi keterlaluan sekali. Aku sudah benar-benar malas melihat keributan yang terjadi saat mengganggu Haruka. Shizuko dan Takeo juga semakin tak acuh dengan Harumi dan Rei yang masih hobi mengganggu. Setahuku, Akemi juga beberapa kali menasehati Harumi, tapi mengapa dia ikut berada di sana?
"Sudahlah. Jangan keterlaluan begitu." Akemi berusaha menarik Harumi yang sama sekali tidak mau bergerak dari tempatnya. Ah, ternyata Akemi mau menghentikan tingkah Harumi.
"Hentikan Harumi, dong," mohonku entah kepada siapa. Rei tampak tidak tertarik untuk ikut campur, tentu saja, dia kan masih suka mengganggu Harumi. Aku melirik Takeo yang tampak salah tingkah.
"Baiklah," ujar Takeo pasrah. "Tapi, nanti aku antar kau, tidak boleh ada penolakan." Takeo berbisik tepat di telingaku sebelum turun dari meja.
Sial, jantungku lagi-lagi berdegup kencang. Takeo mendatangi Harumi, dia membantu Akemi untuk menyeret Harumi ke bangku. Harumi terlihat kesal, tapi Akemi tidak kalah kesal.
"Kau sudah keterlaluan. Sudahlah, benar kata Suzume, kita tidak boleh seperti itu." Akemi duduk di mejaku, sembari melipat tangan di depan dada.
"Tapi—"
Ucapannya dipotong Takeo, "Kau tidak kasihan melihat dia menangis seperti itu? Sudahlah, kita seperti orang tidak punya hati saja. Lagi pula, tidak ada untungnya juga dari mengganggu dia. Memangnya kita ini mau dipandang jadi pihak antagonis?"
Harumi yang kalah suara langsung berdecak sebal dan duduk di bangku. Aku menoleh dan melihat dia memandang kami dengan raut wajah permusuhan. Beberapa orang juga terdengar bisik-bisik dan melirik ke arah kami.
"Diam! Jangan lirik-lirik ke sini, urus masalah kalian sendiri!" bentak Rei yang membuat mereka langsung membuang muka dari kami.
Oh ya, aku mendengar dari Takeo kalau Rei punya rasa pada Harumi. Makanya, selama ini dia selalu setuju dengan Harumi dan menempel terus. Hanya saja, Harumi yang tidak peka dan justru hobi dekat dengan beberapa lelaki. Sialnya lagi, dia suka mencurahkan cerita ke Rei. Aku tidak bisa membayangkan menjadi Rei, harus berpura-pura biasa saja saat orang yang disukai menyeritakan orang lain.
"Harumi, kau kan bisa melakukan yang lebih baik dari ini," hiburku. "Toh, ini tidak menguntungkanmu. Kalau berbuat jahat pada orang, nanti pasti dibalas jahat oleh orang lain."
Harumi tidak membalasku, tapi dia tampak lebih tenang dari sebelumnya. Mungkin dia merasa Rei masih membelanya. Ya, selalu Rei membela Harumi apa pun yang terjadi.
"Kau lebih baik membaca novel denganku saja." Shizuko menyodorkan novelnya yang langsung dibalas tatapan horror oleh Harumi.
Aku dan Akemi tertawa melihat reaksi Harumi yang benar-benar lucu.
"Nih, milikmu." Harumi mengambil bungkusan plastik dari dalam tasnya. "Baju kembaran kita berempat."
"Aku dan Takeo benar-benar tidak dibelikan?" rajuk Rei.
"Kau mau warna merah jambu? Biar terlihat manis seperti para personil AKB48." Harumi memainkan alisnya menggoda Rei.
Aku menoleh ke Rei yang menggeleng-geleng dengan raut wajah takut. "Tidak jadi, deh, kalau begitu. Nanti tidak ada perempuan yang mau dekat-dekat denganku karena dikira gay, tapi kalau pasangan gay-ku itu Takeo tidak apa-apa, sih."
Rei menyenderkan tubuhnya di pundak Takeo dengan gaya yang manja dan menggoda. Takeo berusaha melepaskan diri, tapi Rei langsung memeluknya dengan erat. Membuat tawa kami meledak melihat tingkah lucu kedua orang itu.
"Huh, Takeo saja tidak mau denganku. Iya, sih, Takeo kan maunya dengan perempuan di depannya." Rei melepaskan diri dan menyindir soal hubunganku dengan Takeo.
Aku berpura-pura tidak mendengar, tapi respon ketiga perempuan di dekatku sudah heboh. Terutama Akemi yang menjawil daguku beberapa kali untuk menggoda.
"Jalan-jalan ke mana, nih? Kita kok tidak diajak, sih?" Harumi menempelkan dagunya di pundakku sembari berbisik di telinga dengan nada seksi. "Kemarin pesan hotel di mana?"
Sebelum aku sempat membalas ucapan Harumi, Takeo sudah berbicara, "Hey! Pikiranmu mesum sekali, sih! Kau iri, ya?"
Harumi memajukan kepalanya menatap Takeo. "Kalau iya, kau mau mengajak aku berkencan?"
Akemi dan Shizuko merespon dengan 'wah' yang diucapkan berkali-kali. Aku melirik Rei yang tampak tidak berekspresi apa-apa, padahal dia biasanya pasti menggoda habis-habisan. Mataku dan Rei saling bertatapan, mereka ketahuan, dia langsung membuang muka.
"Jadi, kau ini memang suka padaku, ya?" Takeo sudah memajukan wajahnya hingga cukup dekat dengan Harumi. Aku yang berada di dekat Harumi merasa terganggu dengan wajah mereka yang cukup dekat, anehnya, sesuatu terasa sesak di dadaku.
Terlalu dekat. Itu terlalu dekat. Tanpa sadar, aku membuang muka untuk tidak melihat adegan di depanku. Ternyata, aku sama pengecutnya dengan Rei.
Word: 1.860
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro