Spring [10.5]: Sejujurnya, Aku Bekerja di Kafe Dekat Sekolah
Playlist: If We Never Met - John K.
Pemandangan di sini benar-benar bagus. Bisa memandang Tokyo dari atas sini, terlihat indah. Banyak gedung-gedung pencakar langit. Udara sejuk yang siap memberantakkan rambut. Untung saja, aku membawa karet rambut. Rambut Takeo saja benar-benar sudah berantakan, meski beberapa kali dia menyibakkan ke belakang yang justru membuatnya mirip dengan model-model di majalah.
Takeo memesan beberapa macam nachos. Aku juga malas untuk makan makanan berat, jadi kusetujui saja saat dia memesan camilan. Makanan yang ditawarkan di sini juga menu-menu Mexico.
"Kau mau minum apa?" tanyanya.
"Mineral water saja."
"Tidak mau yang lain?"
Aku menggeleng menolak. "Tenggorokanku sedang tidak enak akhir-akhir ini."
Takeo memesankan minumanku dan dia sebelum waiter bergegas pergi. Aku masih asyik memandang pemandangan. Sayangnya, posisi duduk kami terlalu dekat pintu masuk. Kalau lebih di depan pasti lebih terlihat jelas. Padahal, banyak meja kosong di dekat terali rooftop dan pasti pemandangannya juga lebih indah.
"Mau pindah di sana?" Aku menunjuk meja kosong di dekat terali. "Pasti di sana pemandangannya lebih indah."
Takeo menggeleng tampak tidak berminat. Aku menggandengnya, tidak peduli dia yang berusaha melepas genggamanku.
"Tidak mau," tolaknya.
"Aku mau!" ucapku penuh penekanan.
Aku mendaratkan tubuh di salah satu bangku. Benar saja, pemandangannya luar biasa indah. Aku bisa melihat mobil, motor, bus yang sedang memadati jalanan Shibuya. Eh? Mana Takeo. Mataku menoleh ke samping dan menemukan Takeo yang berdiri kaku dari meja. Dia tampak menjaga jarak, matanya sibuk menatap lantai. Takeo marah?
"Kau kenapa?" tanyaku bingung sembari menarik tangannya, tapi langsung ditepis. Aku terkejut begitu menemukan wajahnya yang pucat pasi. Aku mendekatinya yang justru mundur mengambil jarak. "Kau marah?"
"B-bukan, bukan begitu," jawabnya gugup. Tangannya saling meremas-remas dengan tidak tenang.
"Lalu kenapa?" Aku berusaha menenangkannya. Aku sama sekali tidak tahu kenapa dia seperti orang ketakutan.
"Jangan duduk di sana, ya?" mohonnya.
"Kenapa?"
Takeo mengernyitkan dahinya sembari meneguk ludah. "Aku takut tinggi."
Aku membulatkan mataku terkejut. Tanganku menariknya kembali ke meja kami semula. Takeo tampak lebih tenang. Jadi itu alasannya memilih bangku di dekat pintu masuk. Apalagi gedung ini juga tinggi sekali, tapi memang menawarkan pemandangan yang luar biasa indah. Pantas saja, Takeo takut sekali.
"Kau takut tinggi, tapi mengajak makan di tempat seperti ini," ejekku. "Apa mau makan di dalam saja? Kau mungkin takut makan di luar."
Takeo menggeleng lemah, tidak seperti dia yang biasa. "Kalau di sini tidak apa, masih jauh dari sana." Takeo menunjuk terali yang terletak cukup jauh dari kami. "Aku tahu kau suka tempat seperti ini, tapi maaf ya, aku takut ketinggian. Aku dulu pernah jatuh dari lantai tiga dan aku benar-benar hampir mati."
Aku terkejut mendengar cerita Takeo. Dia memamerkan senyum yang menunjukkan dia tidak apa-apa, tapi wajahnya masih pucat. Tanganku mengelus puncak kepalanya dengan lembut, berharap dia bisa lebih tenang.
"Sudah lebih baik?" tanyaku yang diberi anggukan.
Pesanan kami sudah sampai, aku dan Takeo menikmati sembari mengisi dengan obrolan-obrolan kecil. Dia juga bercerita kalau dia akan mengambil kuliah ekonomi untuk meneruskan bisnis keluarganya.
"Menurutmu, orang seumuran kita sudah bekerja paruh waktu itu bagaimana?" tanyaku. Entah kenapa aku ingin menceritakan sedikit tentang rahasiaku. Sedikit saja. Aku hanya ingin seseorang yang bisa menjadi tempat aku mencurahkan beban.
Takeo mengangkat sebelah alisnya. "Biasa saja. Bukannya sudah biasa, ya? Kau bekerja paruh waktu, ya? Kau biasanya ada hari-hari tertentu yang sangat sibuk. Benar?" tebaknya.
Aku gelagapan, bingung harus menjelaskan bagaimana. "Bagaimana kau tahu?"
"Aku hanya menebak, biasanya kau bisa diajak pergi di atas jam sepuluh. Kau bisa pergi jalan-jalan dengan Harumi, Shizuko, dan Akemi hanya sampai pukul lima."
"Yang lain juga tahu?"
Takeo menggeleng. "Aku kan menebak saja. Ceritakan saja ke aku."
"Sejujurnya, aku bekerja di kafe dekat sekolah. Aku pikir ingin mencoba untuk belajar mandiri. Bekerja di sana ternyata cukup asyik, aku pikir akan cukup susah. Tapi di sana aku diberi pekerjaan yang aku suka, seperti membuat kue. Kafenya juga bagus. Omong-omong pemiliknya juga baik, mereka sepasang kekasih."
Takeo tersenyum mendengar ceritaku. "Kau senang sekali, ya? Kau mau aku merahasiakannya, kan?"
Aku menanggapi dengan anggukan. "Tolong, ya. Kapan-kapan kau boleh datang, kok."
"Bagaimana kalau aku ikut bekerja di sana?"
"Hey! Tidak boleh! Mereka hanya mencari satu pegawai, dan itu aku."
Takeo mencebik kesal dan entah kenapa itu membuatku tertawa. Takeo bisa menerima rahasia ini, tapi bagaimana dengan rahasiaku yang lain? Apa dia bisa menerimanya?
Terlebih, apa aku boleh berharap pada Takeo? Meski aku tahu, kalau kami berada di dunia yang berbeda. Begitu rahasia ini terbongkar, mungkin itu akhir hubunganku dan Takeo. Bohong, kalau aku bilang hubunganku dan Takeo hanya teman. Meski aku tidak tahu, apakah dia serius atau hanya main-main? Lebih baik jika Takeo hanya main-main, tapi hatiku juga berharap jika dia serius. Betapa menyebalkannya semua ini.
Kau terlalu banyak berbohong, Suzume.
Word: 789
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro