[9] Confrontation
Velya menyipitkan mata, berusaha memfokuskan pandangan pada sejoli yang berdiri sekitar lima puluh meter dari tempatnya. Dahinya berkerut. Tidak salah lagi. Itu Gusti dan Sheryl, tampak asyik membahas sebuah buku entah apa di tangan mereka.
Dia tidak suka melihat pemandangan itu. Bukan, bukan cemburu. Tetapi, baru kemarin dia melihat Sheryl naik ke boncengan Chiko, entah pergi ke mana. Lalu, sekarang gadis itu bersama sahabatnya yang lain. Bukan hanya satu-dua kali dia memergoki hal itu. Dalam beberapa minggu ini, selalu seperti itu. Sheryl seperti sedang mempermainkan sahabatnya secara bergilir.
Apa maksudnya? Apa gadis itu pikir Chiko dan Gusti hanya kaus dalam yang bisa dipakai bergantian sesukanya?
Tidak boleh dibiarkan.
Dengan dongkol, Velya meletakkan novel Korea di tangannya ke rak, bersiap melabrak gadis itu di sini, sekarang juga. Tetapi, sebelum dia sempat ke sana, tangan Evan lebih dulu mencekalnya.
“Mau ke mana?”
“Tuh, cewek belagu itu harus dikasih pelajaran!” geram Velya, kesal.
Evan, yang kali ini meminta Velya menemaninya ke toko buku, ikut menoleh ke arah yang ditunjuk Velya. “Itu ... Gusti? Sama siapa?”
“Cewek nggak beres, pasti,” dumel Velya. Dia lalu menceritakan apa yang dilihatnya belakangan ini. Semenyebalkan apa pun kelakuan Chiko dan Gusti padanya, tetapi Velya menyayangi mereka berdua selayaknya saudara. Dia jelas tidak terima kedua kakaknya yang setengah waras itu diperlakukan semena-mena.
“Mending lo nanya langsung dulu deh sama Gusti. Nggak enak ribut di sini.”
Velya mendelik pada Evan. Sebelum dia sempat membantah, cowok itu lebih dulu menariknya keluar, menjauh dari Gusti dan Sheryl.
“Eh, eh! Apaan sih, narik-narik!?” Velya mengentakkan tangannya dari genggaman Evan.
“Nggak enak ribut di tengah umum, Vel. Ntar dikira lagi syuting sinetron.”
Velya melipat tangannya di depan dada. Wajahnya benar-benar masam. Tetapi dia tetap mengikuti langkah Evan.
“Menurut gue lo beneran mending tanya langsung ke Gusti, sama Chiko juga. Biar nggak duga-duga.”
“Apaan yang harus diduga? Jelas-jelas tuh cewek cuma mau mainin sahabat gue doang. Sok cakep banget, ih. Males gue,” gerutu Velya. “Ini nih, kenapa gue nggak pernah suka lihat mereka pacaran. Ceweknya tuh nggak ada yang beres! Nggak bisa apa cari yang bener, gitu? Ini, nggak. Yang dilihat cuma tampang doang. Mending kalau secakep Kendall Jenner, atau Taylor Swift gitu. Lah ini ... sama gue aja masih cantikan gue!”
Evan menggaruk tengkuknya, setengah geli mendengar cerocosan panjang Velya. Tetapi, dia membiarkan saja gadis itu menumpahkan uneg-uneg, sambil menggiring langkahnya ke arah sebuah kafe. Dalam hati Evan berharap Gusti dan Sheryl tidak akan ke kafe ini, atau mereka benar-benar akan melihat Velya mengamuk.
Untunglah, suasana hati Velya perlahan membaik, terutama setelah waiter menyajikan pannacota cokelat pesanannya. Segala ocehan tentang betapa menyebalkannya tingkah Sheryl segera terhenti. Dia melahap makanannya dengan penuh kenikmatan, membuat Evan senyum-senyum sendiri melihatnya.
Velya sebenarnya bisa dikatakan aneh bagi Evan, jika dibandingkan dengan siswi lain di sekolah mereka. Gadis itu seolah hidup di dalam gelembungnya sendiri, mengabaikan semua orang. Hanya orang beruntung yang berkesempatan bisa menyentuh, bahkan sampai memasuki gelembungnya. Velya tidak hidup untuk menuruti aturan yang dibuat orang lain. Dia memiliki aturannya sendiri. Dia tidak peduli apa pandangan orang luar padanya, tetapi mendengarkan saat orang terdekat yang bicara.
Evan merasa cukup beruntung bisa berdekatan seperti ini sekarang, meskipun belum diizinkan memasuki gelembung itu. Dia, yang awalnya berinteraksi dengan Velya karena jebakan Chiko, sekarang hanya merasa bersyukur Chiko pernah memiliki ide seajaib itu. Jika bukan karena itu, pasti dia sekarang masih menjadi sosok invisible di sekolah, yang tidak dikenal siapa pun, selain murid yang membutuhkan contekan.
Velya belum selepas itu dengannya. Tidak seblak-blakan seperti saat gadis itu berinteraksi dengan Chiko atau Gusti. Evan hanya tidak mau grasak-grusuk lagi. Cukup satu kali dia tidak bisa menahan diri untuk memegang tangan Velya, membuat gadis itu marah dan menjauhinya. Dia tidak akan mengulang kesalahan yang sama. Kali ini, dia ingin menjalaninya perlahan. Kalaupun tidak sampai menjadi sahabat, atau lebih, dianggap sebagai teman dekat saja sudah cukup.
“Eh, tadi, kan, lo mau beli buku. Udah dapet?” tanya Velya.
Evan menggeleng. “Nggak ada tadi. Gue cek di komputer, stoknya kosong. Coba online aja deh ntar ...”
Velya mengangguk-angguk paham, memilih kembali melahap hidangannya. Evan sendiri tersenyum kecil, ikut menikmati makanannya sambil sesekali membuka obrolan.
Setelah menghabiskan hidangan masing-masing, mereka memutuskan pulang. Evan menguhubungi sopirnya, berkata kalau dia sudah bisa dijempur sekarang.
Itu satu hal yang dikagumi Velya dari Evan, sebenarnya. Bukan karena dia memiliki mobil mewah beserta sopir pribadi yang bisa mengantarnya ke mana pun. Dia yakin sebenarnya Evan bisa saja mengendarai mobil sendiri. Velya juga sempat membahas itu. Evan mengaku kalau dia bisa menyetir, tetapi tidak mau membawa mobil sendiri sebelum lulus SMA. Selain karena papanya yang belum mengizinkan, dan tidak mau membuatkan SIM A untuknya, Evan juga merasa belum siap mental untuk menyetir sendiri.
Tidak seperti siswa kaya songong lain yang ada di sekolahnya, yang bahkan sudah membawa mobil sendiri sejak kelas X, di saat Velya yakin tidak seorang pun dari mereka sudah memiliki SIM, Evan memilih mematuhi aturan. Itu langka. Chiko saja pernah melanggar. Kalau saja bukan karena pernah menabrakan mobil papanya ke pembatas jalan, Velya yakin sahabatnya itu tidak akan berhenti mengendarai mobil sebelum waktunya.
Mereka patungan membayar pesanan, seperti biasa. Evan sudah memaklumi kegigihan Velya untuk ikut membayar setiap mereka jalan berdua. Meskipun dia sebenarnya tidak keberatan membayar semuanya, tetapi dia menghargai keinginan Velya. Saat keluar dari kafe, apa yang tadi menyulut emosi Velya di toko buku, mendadak muncul di depan mereka.
Evan bisa melihat wajah Gusti berubah warna, nyaris pucat. Dengan refleks, cowok itu meraih tangan Sheryl dan menariknya sedikit ke belakang tubuhnya. Velya sendiri terlihat kembali siap meledak. Evan ingin melakukan hal sama seperti yang dilakukan Gusti pada Sheryl, tetapi tidak mau membuat Velya kembali mengamuk. Jadi dia hanya diam di tempat, menjadi saksi.
“Enak ya jadi elo. Mana yang lowong, itu yang dipepet,” serang Velya pada Sheryl.
Sheryl mengerutkan dahi. “Maksudnya?”
“Dih, lagak lo sok polos,” Velya mencibir. “Kemarin sama Chiko. Hari ini Gusti. Besok siapa lagi sasaran lo? Pak Dayat? Jomlo tuh dia. Udah mateng banget lagi. Sana, sosor juga!”
“Velya!” tegur Gusti.
Velya ganti mendelik pada Gusti. “Jadi cowok tuh nggak usah bego banget gitu deh, Gus. Kayak nggak ada cewek lain aja sampe yang gatel terus lo deketin.”
Evan menangkap sinyal kalau Velya mulai keterlaluan. Dia melihat wajah Gusti memerah, menahan marah. Sementara di belakang bahu Gusti, wajah Sheryl tampak serupa. Bedanya, dia merasa sudah dipermalukan.
“Chiko bener, tahu nggak. Mulut dan kelakuan lo butuh dididik,” ucap Gusti, dingin. Tanpa menunggu tanggapan Velya, dia segera menarik Sheryl pergi dari sana.
Velya sendiri terdiam di tempat, terlihat jelas syok atas ucapan Gusti. Bukan kata-kata cowok itu yang menyengatnya, melainkan cara Gusti mengatakannya. Dengan mata berkaca-kaca, Velya menatap Evan.
“Gue salah, ya?”
Evan benar-benar bingung sekarang. Velya mungkin keterlaluan. Tetapi dia melakukan itu karena menyayangi sahabatnya. Evan sendiri mungkin akan melakukan hal yang sama jika di posisi Velya. Bedanya, daripada mengonfrontasi secara langsung, dia lebih memilih membicarakan dulu pelan-pelan, seperti yang tadi disarankannya pada gadis itu.
“Gusti benci sama gue ...”
“Lho, Vel ... kok nangis?!” Evan mengerjap saat melihat air mata mulai berjatuhan di pipi Velya.
“Gue mau pulang ...”
“Iya, iya. Kita pulang.”
Evan segera menarik Velya menjauh sebelum mereka mulai menjadi tontonan.
***
____________________
*sigh*
Musuhan sama sahabat gara-gara masalah pasangan itu gak enak banget lho...
Kasihan Velya :(
Keep reading yaaa! Ditunggu juga comment dan vote-nya :D
Salam,
Elsa Puspita
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro