[8] Fair Game
Chiko langsung memelsat keluar dari kelas begitu bel tanda jam pelajaran berakhir berbunyi, meninggalkan Gusti yang masih tampak sibuk menyalin catatan di whiteboard. Gusti hanya geleng-geleng kepala, tahu persis apa yang akan dilakukan sahabatnya itu. Begitu selesai menyalin, dia membereskan barang-barang, kemudian memanggul ranselnya. Sesuai tebakan, Chiko sudah berdiri di depan kelas XI.1-MIA, kelas Sheryl, sementara dia sendiri menuju kelas Velya.
Gusti tidak tahu bagaimana cara Chiko akhirnya bisa mendekati gadis itu. Dia pikir, Sheryl akan lebih sulit didekati. Ternyata, sama saja seperti siswi lainnya, dia memberi jalan mudah untuk Chiko. Lagi pula, perempuan waras mana yang bisa menolak pesona sahabatnya itu? Bukan hanya memiliki penampilan menarik, tetapi Chiko juga sangat ramah dan supel. Juga loyal, kalau boleh ditambahkan. Di situasi normal, Gusti biasanya memilih mundur. Ini bukan kali pertama gadis incarannya juga ditaksir oleh Chiko. Biasanya, dia bahkan tidak berkata apa-apa pada Chiko. Toh, hanya satu gadis.
Tetapi, kali ini lain. Dia tidak akan mundur tanpa perlawanan. Dia yang lebih dulu tahu Sheryl dan melakukan first step untuk mendekati gadis itu. Jadi, dia tidak akan mundur begitu saja. Untuk kali pertama dalam hidupnya, dia menjilat ludah sendiri. Bersaing dengan sahabatnya demi seorang gadis, hal yang dulu dicibirnya mati-matian. Walaupun saat ini dia harus menahan diri mati-matian supaya tidak menarik tangan Chiko yang dengan santainya menggandeng Sheryl. Untungnya, Sheryl menarik tangannya sendiri, tetapi tetap mengikuti langkah Chiko.
“Woy!”
Gusti nyaris melonjak di tempatnya karena kaget mendengar sapaan keras itu. Dia berbalik, melihat Velya sudah berdiri di sebelahnya dengan raut penasaran.
“Ngelihatin apaan sih? Gue panggil dari tadi sampe budeg gitu.”
“Nggak apa-apa.” Gusti buru-buru menghalangi pandangan Velya sebelum menemukan sosok Chiko dan Sheryl. Sesuai kesepakatan mereka, siapa yang ‘mendapat jatah’ PDKT, harus mengawasi dan memastikan Velya tidak mengganggu. “Mau pulang?”
“Pengin piza. Tapi lo yang traktir.”
Gusti berdecak. Dia kadang berpikir hidup Velya ini benar-benar enak. Dia seperti gadis kecil dengan Ibu Peri yang siap mengabulkan apa pun keinginannya. Sialnya, orang-orang di sekitarnya juga tidak keberatan melakukan apa pun untuk gadis itu, termasuk dirinya. Bukan salah Velya kalau dia tumbuh jadi gadis manja yang kadang menyebalkan. Lingkungan sendiri, termasuk dia, yang membentuknya jadi seperti itu.
Sesuai permintaan Yang Mulia Velyanata, Gusti memarkirkan motornya di depan salah satu gerai piza ternama. Wajah mungil Velya langsung berbinar cerah. Tanpa menunggu Gusti, dia menyodorkan helm pada cowok itu dan berlari masuk lebih dulu. Kelakuannya yang seperti itu membuat Gusti tidak yakin kalau Velya benar-benar sudah berusia tujuh belas tahun.
“Lasagna sama nachos satu, milkshake strawberry satu,” Velya menyebutkan pesanannya sebelum waitress sempat mengeluarkan sapaan penuh basa-basi.
“Tadi katanya piza,” protes Gusti.
“Penginnya lasagna,” balas Velya, tanpa dosa.
Gusti berdecak. “Saya es teh aja, Mbak,” ucapnya, pasrah. Uang di dompetnya habis hanya untuk membayar pesanan Velya.
“Eh, tadi gue sempet lihat sekilas Chiko jalan sama Sheryl. Lo nggak apa-apa?” tanya Velya.
Gusti mengumpat dalam hati. Ternyata dia belum menutupi pandangan Velya dengan baik tadi. “Ya, nggak apa-apa. Belum jadian juga kok sama gue.”
Velya mengangguk paham, tidak bertanya lagi. Gusti sendiri sejujurnya penasaran ke mana Chiko akan mengajak Sheryl. Jelas tidak mungkin ke toko buku. Chiko hanya pergi ke tempat itu untuk membeli komik yang baru terbit, langsung membawanya ke kasir, lalu keluar. Tidak pernah sampai sepuluh menit di sana. Padahal Sheryl sendiri sama seperti dirinya, paling betah berada di antara buku-buku. Pemikiran itu membuat Gusti tersenyum sendiri. Jelas, peluangnya kali ini cukup besar. Dia mungkin kalah untuk masalah penampilan. Tetapi, di luar itu, dia dan Sheryl lebih banyak kecocokan.
“Silakan...” Waitress yang sama meletakkan pesanan mereka di meja. “Semua pesanan sudah lengkap, ya? Ada lagi yang bisa dibantu?”
Gusti tersenyum miris. “Nggak ada, Mbak. Makasih,” ucapnya.
Waitress itu balas tersenyum kecil, lalu berjalan menjauh, membiarkan mereka menikmati hidangan.
“Sampe nggak habis, bayar sendiri,” ancam Gusti, saat Velya mulai melahap lasagna.
Velya hanya tersenyum manis tanpa dosa, membuat Gusti ingin menjitak, lalu mengelus sayang kepala gadis itu.
***
Kalau bukan dalam rangka pendekatan, Chiko sudah sejak tadi melarikan diri dari tempat ini. Dia menghela napas, entah yang keberapa kalinya, melirik ke arah Sheryl yang masih asyik membaca satu per satu sinopsis di belakang novel yang berjejer di meja display buku baru. Sudah hampir setengah jam, belum satu buku pun diambil gadis itu, sementara dia sendiri sudah mati bosan.
Tetapi, dia tidak akan menunjukkannya. Dia sudah terlatih. Ini masih jauh lebih mending jika dibandingkan harus menunggui perempuan di toko baju atau toko sepatu. Benar-benar siksaan neraka. Akhirnya Chiko membiarkan Sheryl di rak novel, sementara dia sendiri berjalan ke bagian majalah otomotif. Sialnya, semua majalah masih dibungkus plastik. Dengan setengah dongkol, dia beralih ke rak bertuliskan Teknik Mesin.
“Mau ambil Mesin ya, nanti?”
Teguran itu membuat Chiko menoleh. Sheryl sudah berdiri di sebelahnya, membawa tiga buah novel yang dari sampulnya saja sudah membuat Chiko meriang. Dia tidak mengerti mengapa para gadis suka sekali dengan cerita menye melankolis yang kadang tidak masuk akal. Hidup mereka pasti sudah sangat menyedihkan hingga melarikan diri ke dunia penuh fantasi konyol itu.
“Kuliah, maksudnya?” Chiko memastikan.
Sheryl mengangguk.
Chiko meletakkan buku di tangannya ke rak. “Rencananya sih. Biar bisa ikut ngurus bengkel Papa. Nggak tahu deh otaknya nyampe apa nggak.” Dia terkekeh.
“Dibikin nyampe dong,” ujar Sheryl. “Kata Gusti, lo sebenernya pinter, cuma suka males. Coba malesnya dikurangin, biar makin pinter.”
Chiko menggaruk tengkuknya, agak salah tingkah. Tetapi, dia hanya menanggapi ucapan Sheryl dengan cengiran kecil, seraya mengajak gadis itu antre untuk membayar bukunya.
“Lo sendiri rencana kuliah apa nanti?” Chiko balas bertanya.
Sheryl mengangkat novel di tangannya. “Sastra. Gue pengin jadi penulis.”
“Whoa ... gue pikir lo bakal bilang jadi dokter.”
Sheryl tersenyum, menggeleng pelan. “Mama nyuruh Kedokteran. Gue sendiri nggak tertarik sih. Tapi, daripada dibilang anak durhaka, ya dicoba aja. Jadi pilihan pertama Kedokteran, pilihan kedua Sastra Inggris.”
“Jadi penulis kayaknya nggak harus masuk Sastra, deh,” gumam Chiko. “Banyak, kan, penulis yang masih punya kerjaan lain?”
Sheryl mengangguk. “Tapi gue nggak mau nanggung. Kalau pengin nyemplung, ya harus basah sekalian. Kerjaan yang serba nanggung gitu malah ngasih hasil setengah-setengah juga, nggak bikin puas.”
Chiko diam, mendengrkan.
“Lagian, dunia sastra itu, kan, luas. Nggak harus jadi penulis. Gue masih bisa jadi editor, atau penerjemah. Kan, ilmunya masih sejalur, dan tetap di dunia yang gue suka.”
“Bener juga.” Chiko mengangguk setuju.
Obrolan mereka terhenti saat sudah giliran Sheryl membayar. Setelah itu, Chiko mengajaknya duduk di kafe yang berada tidak jauh dari toko buku itu.
“Capek, ya, ngikut gue keliling toko buku?”
“Lumayan,” Chiko mengakui. “Tapi kalau dikasih pilihan nemenin elo ke toko buku atau ke toko baju, gue milih yang pertama.”
“Kenapa?”
“Di toko buku masih ada yang bisa gue lihat-lihat. Kalau udah nemenin ke toko baju, gue beneran mati kutu. Ya, kali, mau ikutan lihat-lihat, terus nyoba-nyoba gaun.”
Kali itu, Sheryl tertawa lepas, bukan hanya menyunggingkan senyum kecil. Pemandangan itu membuat Chiko ikut menyeringai.
Setelahnya, ditemani smoothie chocolate dan lemonade, mereka berbagi cerita, berbagi tawa, larut dalam percakapan menyenangkan. Chiko yakin dia berpeluang besar menang, melihat betapa nyamannya Sheryl mengobrol dengannya sekarang.
***
____________________
Jeng-jengggg....
Dua tokoh cowoknya sama-sama kepedean ya? Hahaha
Kira-kira kalian lebih dukung Sheryl sama Chiko, apa Sheryl sama Gusti? Atau Gusti/Chiko sama Velya?
Ditunggu tanggapannya di kolom komen! Vote juga jangan lupa yaaa...
Makasih udah baca :)
Salam,
Elsa Puspita
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro