[33] He's Gone
Seminggu sebelum UNBK, Chiko memutuskan untuk mengajak Velya kencan. Dia tidak tahu bentuk hubungan mereka sekarang. Setelah malam Velya memutuskannya tempo hari, dan hari-hari yang mereka lewati setelahnya, terasa berlalu begitu saja. Velya hanya merajuk dua hari dengannya. Di hari ketiga, gadis itu terlihat berusaha bersikap biasa, mulai mau mengajaknya bicara. Tetapi, mereka memutuskan untuk tidak membahas pertengkaran yang terjadi sebelumnya.
Waktu yang tersisa tidak banyak. Chiko tidak ingin menyia-nyiakannya. Kalaupun dia dan Velya memang lebih pas bersahabat, dia ingin memberi kenangan manis pada gadis itu. Bukan kenangan menyakitkan. Kalau bisa.
"Mau ke mana?" tanya Velya, terlihat sedikit heran saat Chiko memutuskan mengendarai mobil, bukan motor seperti biasa.
"Jalan aja," Chiko menjawab singkat, menyunggingkan senyum kecil.
Velya tidak bertanya lagi, membiarkan saja Chiko menyetir mobilnya menuju tujuan. Selain sesekali obrolan ringan, yang mengisi kesunyian di antara mereka adalah alunan pelan lagu yang mengalun di radio.
"Kamu pilih Raisa apa Isyana?" Velya melempar pertanyaan iseng, saat lagu duet kedua penyanyi solo idaman para lelaki itu mengalun.
"Hm ...." Chiko berpikir serius, seolah itu adalah pilihan berat menyangkut hidup dan mati. "Ini situasinya mereka berdua naksir aku, atau aku mau ngincer salah satu dari mereka?"
"Mereka naksir kamu, deh. Biar seneng."
Chiko tertawa. "Isyana aja deh."
"Kenapa?"
"Dua-duanya cakep, banget. Gila, beruntung banget pacar-pacar mereka. Suara bagus. Lagunya juga lumayanlah, walaupun aku tahunya cuma yang ... apa tuh, could be me?"
"Could It Be," ralat Velya. "Itu lagu Raisa, bukan Isyana."
"Iya, ya? Terus lagunya Isyana yang mana?"
Velya mencibir. "Nggak tahu lagunya kok milih dia sih?"
Chiko menyeringai. "Kalau sama Raisa, jarak umurnya kejauhan. Sama Isyana, kan, lebih dekat. Lagian, si Gusti tuh udah tergila-gila sama Raisa, aku males saingan sama dia, jadi pilih Isyana aja."
"Dih, alasan apaan itu," protes Velya, seraya tertawa. "Bilang aja kamu nggak berani saingan sama Hamish Daud."
"Siapa itu?"
"Ya Tuhan ...." Velya menatap Chiko tidak percaya. "Seriusan nggak tahu?"
Raut wajah bingung Chiko sepertinya sudah cukup menjadi bukti kalau dia benar-benar tidak tahu siapa yang dimaksud Velya. Akhirnya gadis itu mejelaskan kalau laki-laki itu adalah seorang aktor yang sempat menjadi pembawa acara traveling di salah satu stasiun TV, dan sekarang memegang jabatan impian seluruh kaum Adam di Indonesia Raya. Pacar Raisa.
"Bukannya si Raisa sama kakaknya Pevita Pearce, ya?" tanya Chiko. Dia sebenarnya sangat jarang menonton TV lokal. Tetapi, dia cukup tahu siapa saja aktris cantik Ibu Kota.
"Ih, udah putus lama, kali." Velya lalu menjelaskan dengan semangat tentang Raisa dan Hamish Daud yang digadang-gadang merupakan The Cutest Couple of The Year versi akun gosip.
Obrolan menarik, yang sebenarnya tidak terlalu penting itu, ternyata cukup berhasil membuat perjalanan mereka jadi tidak terasa.
"Aku mau ngajak kamu ke Ocean Ecopark. Ngasih makan kambing, flying fox. Mau, kan?"
"Anak Ancol banget, ya," ledek Velya..
Chiko kembali menyeringai. Dia tahu datang ke Ancol saat weekend adalah kesalahan. Tempat itu pasti luar biasa penuh. Makanya dia mengajak Velya datang agak pagi, supaya sempat berkeliling.
Seperti yang dijanjikan Chiko, mereka lebih banyak berkeliling di Ocean Ecopark, salah satu wilayah hiburan di Ancol yang berfokus pada edutainment dan adventure berbasis green lifestyle. Kebanyakan yang ada di sana adalah orangtua yang mengajak anak-anak mereka untuk mengenal dan peduli pada lingkungan. Tetapi, banyak juga para remaja dan beberapa orang dewasa di wilayah itu.
"Vel, tahu nggak kenapa kambing itu bau banget?" tanya Chiko, saat mereka berada di dekat kandang kambing sambil memberikan rumput pada hewan-hewan itu.
"Karena keteknya empat. Basi banget."
"Salah. Karena lupa pakai deodoran."
"Garing!" protes Velya, tetapi tertawa juga mendengar joke receh itu.
Chiko tersenyum kecil sambil menatap wajah Velya dari samping, sementara gadis itu asyik memberi makan kambing.
Dia akan merindukan ini. Merindukan Velya. Pasti.
Setelah lelah berkeliling, Chiko mengajak Velya makan di salah satu warung di luar Ancol. Salah satu hal yang disukainya dari Velya adalah mau diajak makan di warung tenda. Yang penting bersih dan tidak bau, Velya tidak akan protes. Syarat yang cukup masuk akal. Chiko sendiri tidak akan mau makan di tempat yang jelas tidak mau makan di tempat kotor, apalagi jika sampai mencium aroma tidak sedap.
"Vel, aku mau cerita. Tapi kamu nggak usah nanggepin, ya? Dengerin aja."
Velya, yang tadinya sedang menuang saus di baksonya, mendongak untuk menatap Chiko. "Kenapa?"
"Pokoknya dengerin aja. Kalau kamu nanggepin, aku berhenti cerita."
Perlahan, Velya meletakkan botol saus, lalu mengangguk. "Oke."
Chiko bisa melihat kalau gadis itu gelisah. Mungkin takut. Dan pasti berpikiran macam-macam tentang apa yang ingin dikatakannya. "Sambil makan, biar enak."
"Nggak bakal enak kalau nanti aku keselek bakso terus mati."
Chiko tertawa kecil. "Ya udah, potong kecil-kecil dulu biar nggak keselek."
Demi mengurangi kegugupannya, Velya memilih menurut. Dia memotong baksonya hingga menjadi bagian-bagian kecil, melahapnya pelan-pelan.
"Aku masih belum tahu mau kuliah di mana. Mami ngasih pilihan ke US atau Prancis. Intinya, kayak yang kamu bilang, kita bakal LDR," Chiko memulai. "Tapi, bukan itu yang mau aku omongin sekarang."
Velya menggigit bibirnya, tampak jelas menahan diri untuk tidak menanggapi.
"Orangtuaku udah resmi pisah."
Velya kembali mendongak, kaget setengah mati.
Chiko menyunggingkan senyum pahit. "Iya, itu kenapa aku belakangan sensi, nggak nanggepi ngambek-ngambeknya kamu. Sengaja nggak cerita biar kamu nggak kepikiran. Tapi malah bikin kita sering berantem, ya?"
Velya diam, meskipun matanya berkaca-kaca.
Chiko menarik napas, mengembuskannya perlahan. Dia memutuskan menceritakan semuanya, karena Velya perlu tahu. Agar tidak terjadi kesalahpahaman lagi. Juga karena kejadian besar itu sudah berlalu. Dia masih merasa berantakan saat hakim memutuskan kedua orangtuanya resmi bercerai, tetapi sudah lebih menyiapkan mental.
Sekarang, dia harus membereskan masalahnya dengan Velya. Termasuk akan di bawa ke mana hubungan mereka.
***
Masa-masa selesai ujian nasional adalah masa paling indah, sekaligus paling menegangkan. Semua hasil kerja mereka selama tiga tahun di bangku SMA sudah dipertaruhkan. Tinggal menunggu hasilnya.
Meskipun tidak lagi harus datang ke sekolah, bukan berarti para siswa kelas XII bisa bersantai. Ada SBMPTN yang harus mereka hadapi selanjutnya, terutama untuk para siswa yang gagal di seleksi prestasi. Gusti sendiri berhasil mendapatkan PMDK di universitas tujuannya. Dia tinggal daftar ulang, tanpa harus mengikuti tes lagi. Sementara Velya, yang memang sadar diri untuk tidak mengikuti jalur prestasi, mengingat nilai rapot-nya biasa-biasa saja, harus berjuang jalur biasa.
Velya bersyukur ada Gusti yang membantunya mengurus semua, termasuk menjadi guru privat untuknya. Dia memang sudah ikut les persiapan masuk ke PTN, tetapi bantuan tambahan dari Gusti sangat berguna untuknya. Nilai try out di tempat les-nya mengalami peningkatan. Di uji tes terakhir, Velya berhasil mendapatkan passing grade sesuai jurusan di universitas yang diincarnya.
Sayangnya, di balik semua kesibukan itu, ada satu hal yang mengganjal hati Velya. Chiko menghilang, tepat setelah masa ujian berakhir. Tanpa kabar, tanpa pesan apa pun. Gusti juga tidak tahu ke mana cowok itu menghilang. Semua jalur komunikasi yang dicobanya hanya bersifat satu arah. Tidak mendapat tanggapan.
Meskipun tidak mau terlalu memikirkannya, ada masa-masa saat Velya dilanda kegalauan. Malam-malam saat dia duduk di teras belakang kamarnya, menatap bangunan kosong rumah Chiko. Dia bisa tiba-tiba menangis, bertanya-tanya Chiko ke mana, apa yang terjadi, mengapa dia bisa menghilang tanpa kabar?
Menurut Gusti, Chiko hanya butuh menghibur diri. Mengingat apa yang baru terjadi pada orangtua cowok itu, Velya bisa maklum. Dia tidak tahu mana yang lebih menyakitkan. Kedua orangtua masih ada tetapi sudah tidak bersama, atau situasi seperti yang dialaminya, orangtua berpisah karena takdir yang tidak bisa diubah.
"Gus, lo promnite sama Sheryl, ya?"
Gusti menggeleng. "Selain anak kelas XII, kan, nggak boleh dateng."
Velya tahu itu, dia hanya memastikan. "Sama gue, ya, kalau gitu?"
Gusti menatap Velya, lalu mengacak rambut gadis itu penuh sayang. Layaknya seorang kakak pada adik perempuannya. "Iya. Dandan cantik lo. Awas aja malu-maluin gue."
Velya mencibir. "Emang kapan gue jelek?" dia menjulurkan lidah, membuat Gusti tertawa.
Kalau boleh jujur, tentu saja Velya ingin melewati pesta terakhir di SMA bersama Chiko. Tetapi, dia juga tidak mau terlalu berharap. Kalau cowok itu merasa butuh ruang, Velya akan memberikannya. Selama yang dia mampu.
***
__________________
Satu part lagi, will updated soon :*
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro