Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[3] Velya's First Date

Seperti yang diperkirakan Gusti, Velya menolak ide Chiko mentah-mentah, tanpa mau mendengarkan argumen apa pun. Tapi, bukan Federico Sebastien kalau tidak memaksakan kehendaknya, dengan cara halus ataupun sedikit memaksa. Chiko memastikan Velya akan menuruti kemauannya. Keras Kepala vs Keras Kepala. Gusti mengenal kedua sahabatnya dengan baik. Tinggal menunggu waktu sampai pisau dapur melayang setiap kali kedua orang itu beradu argumen.

Seperti sore ini, satu hari sebelum kencan penuh makna antara Velya dan Evan seperti yang dijanjikan oleh Chiko, mereka berkumpul di kamar mungil Velya. Si pemilik kamar berdiri di tengah single bed-nya sambil berkacak pinggang, berhadapan dengan Chiko, sementara Gusti duduk bersila di meja belajar Velya sambil menikmati kacang atom.

“Kalau lo mau pacaran, ya sana pacaran! Ngapain nyuruh-nyuruh gue?” Velya ngotot.

“Gue nggak nyuruh lo pacaran, Velya. Cuma pendekatan!” Chiko tak kalah ngotot.

“Gue nggak mau!”

“Lo tuh gitu sih. Kebiasaan nggak mau, nggak mau. Dicoba juga belum!”

Dengan kesal, Velya mendorong Chiko hingga terhuyung jatuh dari kasurnya. “Gue. Nggak. Mau.”

“Harus. Mau.”

“Dih, siapa elo ngatur gue? Pacar bukan, saudara amit-amit.”

Gusti terbahak, sementara Chiko memasang wajah gondok setengah mati. Jika Velya masih bersikeras menolak, selesai sudah. Rencananya akan gagal total. Selamanya, gadis menyebalkan itu akan mengganggu hubungan percintaannya, membuatnya menjadi perjaka tua selamanya.

Menyadari Chiko sudah kehilangan akal, Gusti akhirnya beranjak, pindah duduk di tepi kasur Velya yang dilapisi seprai bergambar Betty Boob. “Gini lho, Vel. Gue sama Chiko nggak bermaksud maksa atau ngatur elo. Lo sendiri, kan, sering ngomel kenapa kami bisa lupa waktu kalau udah sama pacar  masing-masing. Kenapa gue sama Chiko mau repot-repot ribet ngurusin pacar kami. Biar lo ngerti, lo harus ngerasain sendiri.”

Velya ikut duduk bersila di depan Gusti. “Penting banget ya pacar-pacaran?”

“Penting banget tuh nggak. Kalau salah arah, malah nggak bagus sih. Cuma, buat gue sendiri itu semacam motivasi aja. Rasanya nyenengin juga ada orang di luar keluarga, selain lo sama Chiko, yang anggap kita istimewa.” Gusti mulai menjelaskan. “Lo juga lihat, kan, sisi positifnya ke Chiko? Dia jadi rajin berangkat pagi, demi ngecengin gebetannya. Pas lagi PDKT sama Alysha, temen satu kelas kami, dia malah sampe rajin bikin PR karena nggak mau kelihatan bego atau males. Hal yang menurut lo buang-buang waktu, ada sisi positifnya juga kok. Gue sama Chiko cuma pengin lo bisa ngelihat itu.”

Velya menarik napas pelan, lalu mengembuskannya. “Oke,” gumamnya. “Gue coba. Tapi kalau yang ini gagal, gue nggak mau lagi kalian suruh-suruh beginian.”

“Oke!” Chiko lebih dulu bersuara dengan penuh semangat.

Velya mencibir ke arahnya, tetapi tidak berkata apa-apa lagi.

**

Seluruh murid tahu siapa Evan Rahadian. Anak emas para guru dan favorit tiap murid setiap kali menjelang ujian. Dia tidak suka memberi contekan pada siapa pun, tetapi selalu dengan senang hati mengajari temannya yang meminta bantuan saat menghadapi pelajaran sulit. Pendiam, tetapi tidak pelit ilmu. Membuatnya tidak bisa dibenci siapa pun, walaupun sering membuat kesal dengan mengingatkan guru tentang PR, padahal guru tersebut lupa.

Di mata Velya, cowok ganteng itu hanya ada dua. Papa dan Andrew Garfield. Selain itu, biasa saja. Tetapi, dia juga mengakui kalau Evan tidak masuk kategori jelek. Dia bisa disandingkan dengan Chiko yang memiliki darah setengah Prancis, berkulit putih pucat, rambut sedikit kecokelatan, dan mata biru gelap, nyaris hitam. Atau Gusti yang merupakan blasteran Bangka dan Sunda, berkulit kuning langsat, dengan mata agak sipit dan lesung pipi dalam di sebelah kanan. Velya tidak akan pernah sudi mengakui langsung kalau kedua sahabatnya itu berpenampilan menarik.

Evan sendiri asli Jakarta. Tubuhnya tidak setinggi Chiko, tetapi tidak juga terlalu pendek. Sepantaran dengan Gusti yang tingginya hampir mencapai 170 cm. Kulitnya kecokelatan, membuatnya terlihat lebih maskulin dibanding kedua sahabatnya itu. Rambut pendeknya selalu disisir rapi, tidak jabrik asal-asalan seperti Chiko, atau berantakan karena terlalu sering disisir dengan jari seperti Gusti. Kacamata kotak bergagang tebal juga senantiasa bertengger manis di hidung mancungnya.

Hari ini, mengenakan kaus oblong Nevada dan jeans selutut, ditambah sneaker, Evan terlihat berbeda dengan penampilannya di sekolah. Rambutnya tetap disisir rapi, tetapi tidak sekaku sisiran biasanya. Dia terlihat lebih santai. Velya sendiri tampak nyaman dengan T-shirt tanpa lengan, dipadu celana pendek di atas lutut, dan oversized cardigan yang panjangnya mencapai bagian belakang lututnya, lengkap dengan keds pink favoritnya. Evan tadi menjemputnya di rumah, diantar sopir cowok itu, lalu mereka berangkat ke salah satu mall untuk menonton bioskop.

“Mau nonton apa?” tanya Evan, sambil melihat-lihat jadwal film yang sedang tayang.

“Lo mau apa?” balas Velya.

“Terserah lo. Gue ikut aja.”

Velya kembali menatap poster film dengan tulisan Now Showing di bagian atas. “Itu aja,” ucapnya, menujuk satu poster bergambar animasi burung bangau dan manusia dengan rambut oranye yang dikuncir.

Storks?”

Velya mengangguk.

Evan menurut, meminta Velya menunggu saja sementara dia mengantre. Bukannya duduk seperti yang disarankan cowok itu, Velya memilih ke konter makanan. Dia memesan dua paket soft drink dan popcorn. Meskipun Chiko menegaskan kalau saat kencan semua pengeluarkan harus ditanggung pihak laki-laki, Velya tetap membeli camilan itu dengan uangnya sendiri. Mereka masih bocah SMA, masih meminta uang dengan orangtua. Sangat tidak berperasaan jika semuanya hanya ditanggung salah satu pihak. Walaupun dia tahu mungkin Evan tidak keberatan, mengingat ayah cowok itu adalah salah satu pejabat daerah yang sering wara-wiri di layar kaca. Tetap saja Velya merasa tidak enak.

Setelah mendapatkan tiket, Evan mengambil alih  bawaan Velya dan menyerahkan potongan tiket pada gadis itu. Masih setengah jam sebelum jadwal film mereka, membuat keduanya memutuskan menunggu saja di sana, di salah satu sofa yang berada di dekat studio tempat film pilihan mereka akan diputar.

Velya mengambil salah satu popcorn dari tangan Evan. “Kok lo mau sih disuruh Chiko ngajak gue keluar?” tanyanya.

Evan diam sebentar, ikut menikmati popcorn-nya. “Gue jarang keluar sama temen,” dia memulai. “Nggak ada yang ngajak juga sih. Jadi pas Chiko bilang lo mau ngajak jalan tapi malu, gue iyain aja.”

Chiko sialan!’ batin Velya. ‘Seenaknya aja bilang gue yang mau ngajak!’

“Seriusan nggak pernah jalan sama temen?”

Evan mengangguk. “Mereka semua cuma nemenin pas di kelas, lagi butuh minta diajarin. Selain itu, ya nggak. Asyik sendiri-sendiri.”

Velya jadi sedikit prihatin. Dia sendiri juga bukan termasuk anak gaul di sekolah. Tetapi, jika sekadar teman jalan, dia punya Chiko dan Gusti, juga Sora, teman sebangkunya di kelas. Sayangnya ketiganya sedang berada dalam fase ‘pacaranlah sebelum pacaran itu dilarang’. Kalau dipikir, dia dan Evan sekarang senasib.

Obrolan mereka terhenti saat sudah waktunya masuk ke studio. Tidak terlalu banyak yang menonton film pilihan Velya. Sepertinya yang lain masih tenggelam dalam euforia remake film Warkop DKI reborn. Evan ternyata memilih barisan nomor tiga dari atas, dua kursi sebelah kanan yang dekat dekan tangga. Satu lagi perbedaan cowok ini dengan kedua sahabatnya. Chiko selalu lebih suka barisan paling belakang, ujung. Gusti juga tidak pernah suka di dekat tangga. Sering terganggu dengan orang yang akan lewat, kata mereka.

Selama menikmati film tentang bangau pengantar bayi yang berganti tugas menjadi pengantar barang itu, mereka tidak saling berbicara. Hanya sesekali terdengar suara kunyahan popcorn masing-masing, dan sedotan air soda yang mengisi di antara mereka berdua. Mereka tertawa saat ada kejadian lucu, lalu sama-sama menggerutu kesal saat bos para bangau yang ternyata jahat menculik Junior yang bermaksud mengantar bayi ke ‘pemesan’.

Selesai nonton, Evan mengajaknya makan siang. Cowok itu berkata ingin piza, dan Velya pun mengikutinya menuju salah satu restoran piza ternama.

“Mami gue sering marah kalau gue makan-makanan begini,” ujar Evan, ketika pizza meat lovers ukuran large dengan pinggiran keju tersaji di depan mereka. Dia langsung melahap slice pertama dengan senang.

Velya sendiri tidak terlalu suka makanan cepat saji, jadi dia memilih fresh salad. Sembari menikmati hidangan masing-masing, mereka juga mengisinya dengan obrolan ringan.

Meskipun tidak mau mengakui di depan Chiko, Velya akan mengakui pada diri sendiri kalau ‘kencan’ ini tidak terlalu buruk.

***

___________________

Halo,

Alhamdulillah part yang ini tepat waktu. Lagi lowong soalnya. Secara kan Sabtu, lagi gak ada yang ngajak kencan... *hiks*

Udah ada yang nebak gak ini nanti permasalahannya gimana? Yang bisa nebak, nanti dapat kecupan virtual dari saya. Hahahaha

Tetap ikuti yaa... ceritanya ringan, tapi menghibur kok. Biar gak capek gitu baca yang berat-berat terus. Hehe

Makasih banyak buat yang udah nyempetin baca, nulis komen, dan ngasih vote. That means a lot for me :)

Salam,

Elsa Puspita

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro