[29] Make It Work
Velya sudah mengangkat tangannya untuk mengetuk pintu rumah Chiko, tetapi diturunkan lagi. Dia mengingat ucapan Gusti agar bersikap biasa. Seumur-umur, dia hampir tidak pernah mengetuk rumah Chiko, kecuali tahu pintunya dikunci. Biasa dia langsung nyelonong masuk seolah itu rumahnya sendiri.
Menghela napas pelan, Velya memutuskan langsung memegang gerandel dan menurunkannya. Bunyi ‘klik’ pelan menjadi pertanda kalau pintu itu tidak dikunci, seperti biasa. Chiko hanya mengunci rumah saat keluar dan malam hari.
“Chiko?” panggil Velya, dengan suara nyaris berbisik.
Tidak ada tanggapan.
Dia melangkah masuk, menutup pintu di belakangnya.
Rumah itu mewah, tetapi kosong. Mungkin masuk dalam daftar tiga besar bangunan termahal di lingkungan mereka. Lahan untuk dua rumah dijadikan satu, membuat rumah itu memiliki halaman yang benar-benar luas. Dengan kebiasaan Chiko malas mengunci pintu, sangat tidak mengherankan kalau rumah ini bisa menjadi sasaran empuk perampok. Velya dan Gusti sudah sering memperingatkan Chiko agar lebih berhati-hati, membiasakan diri mengunci pintu, tetapi tidak pernah ditanggapi. Menurutnya tidak ada barang penting di rumah itu yang harus benar-benar dijaga. Kalaupun dirampok juga bukan masalah besar.
Velya kadang hanya bisa geleng-geleng kepala melihat ketidak-acuhan Chiko pada banyak hal.
“Chik?” Dia kembali coba memanggil cowok itu, begitu sudah berada di ruang tengah dan tidak melihat sosok Chiko.
Velya coba mengecek sampai ke halaman belakang. Karena tidak juga menemukan Chiko di sana, dia memutuskan naik ke kamar cowok itu.
Ini akan menjadi kali pertama Velya memasuki kamar Chiko sejak mereka pacaran. Biasanya, dia juga langsung santai masuk walaupun Chiko mengomel. Tetapi, kali ini dia merasa itu tidak benar. Dia ingat omongan Mama, kalau pacaran hanya berdua-duaan, apalagi di dalam kamar, bisa mengundang setan sebagai pihak ketiga.
Seharusnya dia mengajak Gusti tadi. Demi keamanan dan kenyamanan.
Velya berdiri di depan pintu kamar Chiko yang sedikit terbuka, merasakan jantungnya berdebar lebih kencang seketika. Dia mendorong pintu itu perlahan. Baru terbuka setengah, Velya sudah bisa melihat Chiko tengah duduk bersila di lantai kamar, dengan laptop terbuka di tepi kasur, tampak sedang melakukan video call. Dia mendengar kalimat dalam bahasa asing yang diucapkan Chiko. Menyadari cowok itu sedang berbicara dengan sang ayah, Velya memutuskan menutup kembali pintu perlahan dan berjinjit pelan menuruni tangga.
Chiko jarang berkomunikasi dengan ayahnya, setahu Velya. Ayahnya seorang antropolog yang gemar berkeliling dunia untuk melakukan penelitian. Jika sedang berada di daerah terpencil yang tidak ada sinyal, ayah-anak itu bisa berbulan-bulan putus komunikasi. Pernah sampai setahun. Karena itu, Velya tahu Chiko selalu senang jika bisa berkomunikasi dengan sang ayah. Sedikit mengherankan sebenarnya, karena meskipun sangat jarang bertemu, di mata Velya ikatan yang terjalin di antara Chiko dan ayahnya justru lebih erat daripada Chiko dengan sang mama yang rutin pulang paling tidak satu kali dalam sebulan.
Velya memilih menunggu di ruang tengah, membiarkan Chiko menyelesaikan obrolannya. Jika dalam satu jam nanti cowok itu belum keluar kamar, Velya berniat pulang saja dan melakukan saran Gusti esok hari. Atau besoknya lagi.
***
Chiko menutup laptopnya setelah mengucapkan salam penutup pada ayahnya. Dia mendorong benda itu hingga ke tengah kasur, lalu berdiri. Tidak banyak percakapan dengan ayahnya. Hanya berbagi kabar, bercerita tentang apa yang sedang dilakukan beliau. Dan ditambah pembahasan tentang rencana perceraian orangtuanya.
Sama seperti Mami, Papá juga tidak memberikan penjelasan saat Chiko bertanya alasannya. Demi Tuhan, dia tahu orangtuanya bukan tipikal Romeo-Juliet yang bersedia sehidup semati. Keduanya akhir-akhir ini memang lebih terlihat seperti pasangan yang terpaksa hidup bersama. Chiko sudah memperkirakan akan adanya perpisahan. Hanya saja dia tidak siap menghadapinya. Apalagi sekarang dia dituntut untuk memilih.
Dia tidak bisa milih. Tidak mau. Semenyebalkan apa pun orangtuanya, Chiko mencintai mereka sama besar. Dia bahkan tidak keberatan kalaupun harus tetap di Jakarta dan tinggal sendirian. Dia sudah terbiasa.
Sayangnya, orangtuanya tidak mengizinkan. Entah mengapa saat mereka memutuskan berpisah, dia justru diwajibkan ikut salah satu dari mereka. Ketika keduanya masih bersama, dia malah ‘diabaikan’. Chiko benar-benar tidak mengerti dengan pola pikir orang dewasa.
Langit dari jendela kamarnya terlihat makin jingga, khas waktu sore hari. Dia berjalan keluar kamar. Saat menuruni tangga, langkahnya memelan begitu melihat sosok gadis tengah duduk di sofa ruang tengahnya.
“Vel?”
Gadis itu menoleh, melempar senyum canggung. “Hai. Sori, ganggu.”
“Nggak kok.” Chiko berjalan ke dapur, mengutuk diri dalam hati karena suasana canggung yang muncul.
Seharusnya dia membalas lebih santai, bukan malah ikut salah tingkah seperti Velya.
“Udah makan?”
Chiko nyaris menjatuhkan botol jus yang baru diambilnya dari kulkas, karena terkejut atas pertanyaan itu. Velya ternyata mengikutinya ke dapur dan dia tidak menyadarinya.
“Sori ....” Velya meringis, melihat Chiko berusaha meletakkan botol jus di tangannya dengan gelagapan. “Ini ... titipan Ibu.” Dia menyodorkan wadah makanan milik ibu Gusti.
Chiko mengambilnya, mengucapkan terima kasih.
“Ya udah, gu ... eh ... ak ....” Velya menggelengkan kepalanya, mulai terlihat frustrasi. “Pulang deh.”
Untuk kali pertama sejak hubungan aneh mereka, Chiko memiliki dorongan untuk tertawa melihat kelakuan Velya. Geli bercampur sedikit kasihan. Sebelum gadis itu benar-benar menjauh, Chiko menahan lengannya.
“Makan bareng, yuk. Mama kamu juga belum pulang, kan?”
Velya mengerjap, lalu menganggukkan kepalanya.
Chiko meletakkan wadah makanan itu di kitchen island, kemudian mengambil dua buah piring. Velya yang sempat diam beberapa saat, akhirnya memutuskan untuk membantu Chiko. Mereka lalu makan malam dalam diam, hanya sesekali mengobrol, hingga hidangan di piring masing-masing bersih.
Setelahnya, Velya membantu Chiko mencuci semua piring kotor. Chiko bagian membilas, sementara Velya yang menyabuni. Melihat raut serius gadis yang berdiri di sebelahnya sekarang membuat hasrat usil Chiko muncul. Dengan sengaja, dia menciprati air ke arah Velya, berhasil mengenai wajah gadis itu.
“Chiko, ih!” Velya memukul Chiko dengan tangannya yang masih dipenuhi busa sabun. “Basah semua nih, resek!”
Chiko terkekeh, mengacak rambut Velya. Meskipun hubungan mereka sudah bukan lagi sekadar sahabat, dia ternyata masih bisa mengusili gadis itu. Pemikiran tersebut membuat Chiko sedikit lega. Dia mungkin tidak bisa langsung bermanis-manis dengan Velya. Tetapi, dia tahu kecanggungan di antara mereka bisa dihilangkan, selama gadis itu mau meladeni keusilannya. Chiko baru menyadari kalau dia suka menjaili Velya dan membuatnya mengomel. Menggemaskan.
“Papá kamu lagi di mana sekarang?”
Gerakan tangan Chiko mengeringkan piring terhenti. Dia melirik Velya dengan dahi berkerut.
Velya meringis. “Sori ... tadi sempet ke kamar, pintunya kebuka dikit. Pas tahu kamu lagi Skype, langsung turun. Nggak denger apa-apa, kok. Suer!”
Pengakuan itu membuat Chiko lega. Cukup Gusti yang tahu masalahnya karena tidak sengaja menguping. Dia tidak mau Velya juga tahu dilemanya sekarang. Dia butuh sosok yang netral. “Di Colmar,” jawab Chiko, seraya melanjutkan pekerjaannya. Demi menghindari pertanyaan lebih jauh, dia memutuskan mengantar Velya pulang begitu pekerjaan mereka selesai.
“Bye.” Velya melambaikan tangan, sebelum masuk ke pekarangan rumah dan mengunci pagarnya.
Chiko memastikan gadis itu sudah masuk ke dalam rumah, baru kembali ke rumahnya sendiri.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro