[27] Need Help
Gusti baru akan menyendok bubur ayam ke mulut, ketika Chiko masuk ke kantin dan langsung menariknya berdiri.
“Sher, gue pinjem bentar, ya,” pamitnya pada Sheryl. Tanpa menunggu jawaban, Chiko membawa Gusti keluar dari sana.
“Apaan sih?” omel Gusti, mengentakan tangannya hingga terlepas dari pegangan Chiko. “Ganggu orang makan aja.”
Chiko tidak menjawab. Dia terus berjalan hingga mereka tiba di ruang peralatan olahraga. Beberapa atlet sekolah tampak sedang berkumpul di sana, yang langsung diam saat melihat kedatangan kedua senior itu.
“Lagi ngapain?” tanya Chiko pada gerombolan itu.
“Ng ... cuma ngobrol, Kak,” jawab salah satu dari mereka, yang dikenali Chiko sebagai salah satu anggota klub futsal sekolah.
“Nggak penting-penting amat, kan?” Chiko berkata tidak sabar. “Keluar gih, gue pinjem ruangannya.”
Kelima murid yang ada di sana tidak langsung menanggapi, memilih saling pandang sejenak.
“Woy! Keluar bentar!” bentak Chiko, kesal, membuat mereka semua sontak berdiri dan bergegas kucar-kacir keluar dari sana. “Nggak bisa banget dibilangin baik-baik,” dengusnya, seraya menutup pintu dengan debam keras begitu murid terakhir melewati pintu.
“PMS, ya, lo?” ledek Gusti, memilih duduk di salah satu matras yang biasa dipakai untuk senam lantai.
Chiko meraih sebuah bola kasti sebelum ikut duduk di depan Gusti. “Bingung gue.”
“Velya?”
Chiko mengangguk, memantulkan bola kasti di tangannya ke dinding, lalu menangkapnya, kembali melemparnya, terus begitu. “Aneh banget rasanya, Gus ....”
Gusti diam, memberi waktu Chiko untuk bercerita.
“Awalnya gue pikir ini wajar-wajar aja. Yah, seenggaknya sama aja kayak pacaran gue sebelumnya. Santai gitu, kan ....” Chiko memulai curhatnya. “Tapi tadi pas gue jemput dia, nggak tahu kenapa, gue salting.”
“Gugup?”
Chiko mengangguk. “Gue sampai nggak ikut sarapan karena sibuk nenangin diri. Terus pas dia keluar ... cantik lho, Gus.”
Gusti menjitak kepala Chiko sebagai tanggapan.
Chiko melanjutkan ceritanya, masih sembari memainkan bola kasti. “Gue masih kaget aja beneran pacaran sama dia. Masih ngerasa aneh. Tapi, makin gue pikirin, kayaknya yang bikin gue gini karena gue takut ngerusak dia.” Chiko menghela napas pelan. “Lo tahu sendirilah gue kalau pacaran gimana.”
Gusti kembali diam, membiarkan Chiko menyelesaikan ceritanya.
“Tadi aja pas berangkat, tas gue tetap di tengah, biar dia nggak bisa nempel. Tapi itu kayaknya bikin dia kesel deh. Soalnya pas nyampe parkiran, belum sempat matiin motor, dia udah turun, naruh helm, terus pergi gitu aja.”
“Udah lo ajak ngomong belum sekarang?”
“Ya, belumlah! Gue takut salah ngomong ntar. Makanya datengin elo.”
“Lo mau gue ngapain?”
“Nggak tahu ....” Chiko melempar bola kasti lebih kencang, membuat benda itu memantul lebih cepat dan akhirnya menggelinding ke sudut ruangan. “Gue harus gimana?”
Gusti geleng-geleng kepala, terlihat menahan geli. “Baru kali ini gue harus kasih masukan ‘gimana cara bersikap normal di depan pacar’ ke kucing garong.”
“Gue serius, Kampret.”
“Oke, oke ....” Gusti memasang tampang sok serius. “Ya, kalau lo mau normal, bersikap aja kayak biasa. Nggak usah terlalu dipikirin semuanya.”
“Gus ....”
“Dengerin dulu,” potong Gusti. “Gue senang kalau lo kepikiran takut macam-macam sama Velya. Jujur aja, pikiran gitu yang bikin gue pengin banget gantung lo di monas pas tahu kalian jadian. Tapi, itu hubungan kalian, perasaan kalian, hak lo sama dia juga. Gue cuma orang luar, jadi nggak pantas mau sok ngatur.”
“Intinya?”
“Percaya sama diri lo sendiri.”
Dahi Chiko berkerut. Dia mulai merasa curhat dengan Gusti hanya membuatnya makin pusing, bukannya meringankan masalah.
“Percaya kalau lo emang mau jaga dia, nggak akan macam-macam,” Gusti berkata santai. “Lagian, emang lo nafsu sama dia? Tipis gitu?”
“Bangke!” Chiko menarik rambut Gusti dengan kasar. “Mulut lo minta banget disumpel kaus kaki.”
Gusti menyeringai, mengusap kepalanya yang sedikit berdenyut. Belum sempat bersuara lagi, ponselnya bergetar. Gusti mengeluarkan benda itu dari saku celana, melihat nama Velya muncul sebagai penelepon. “Cewek lo nih.” Dia menunjukkan layar ponsel pada Chiko.
“Nggak usah bilang gue barusan curhat!”
Gusti menjawab panggilan itu, mengaktifkan loudspeaker. “Halo, Vel?”
“Lo di mana?”
“Di gudang olahraga. Kenapa?”
Velya tidak langsung menjawab. “Sama Chiko?”
Chiko menggeleng kuat, sebelum Gusti bersuara.
Meskipun tidak suka Chiko menyuruhnya berbohong, Gusti tetap menurut. “Ng ... nggak sih. Lo nyari dia? Telepon aja coba.”
“Nggak. Mau ngomong sama lo aja. Ntar pulang sekolah, ya?”
Gusti melirik Chiko, melihat wajah sahabatnya itu tampak muram. “Nggak pulang sama Chiko?”
“Hm ... ntar ajalah ngomongnya.”
“Ya udah kalau gitu. Ntar jam pulang langsung ke kelas gue aja, ya.”
“Nggak mau. Gue tunggu di parkiran.”
Raut wajah Chiko makin berubah masam, tahu persis mengapa Velya tidak mau menyusul ke kelas. Gadis itu pasti sedang menghindarinya.
“Oke, di parkiran,” balas Gusti, bertepatan dengan bel masuk berbunyi.
Velya mengucapkan terima kasih dan memutus sambungan telepon.
Gusti menyimpan kembali ponselnya di saku. “Gimana? Boleh gue temuin nggak?”
Chiko berdiri. “Bodo amat,” dengusnya, seraya berjalan cepat meninggalkan tempat itu.
Gusti berdecak, buru-buru mengikuti langkah Chiko. “Nggak usah kayak cewek PMS sepanjang masa gitu deh. Nggak pantes.”
Chiko tidak menanggapi. Kalau status pacaran membuat hubungannya dan Velya jadi seperti ini, lebih baik mereka kembali seperti semula saja.
“Baru awal-awal, Chik. Wajar aja harus adaptasi dulu,” ujar Gusti, seolah mendengar pikiran Chiko. “Gue sama Sheryl juga awalnya awkward kok. Salting, malu-malu kambing gitu. Lama-lama, ya, biasa. Itu malah bisa jadi tanda kalau lo beneran ada rasa sama dia. Kalau nggak, lo nggak akan se-galau ini.”
“Siapa yang galau?” gerutu Chiko.
“Pak Karmin,” jawab Gusti, asal. “Gengsi dipelihara. Bikin kaya nggak, capek iya.” Dia menoyor kepala Chiko, lalu berbelok memasuki kelas mereka.
Chiko mendengus, menggaruk kepalanya, dan mengikuti Gusti memasuki kelas. “Pokoknya, apa pun curhatan dia nanti, lo harus bilang ke gue,” ucapnya, begitu menduduki bangkunya.
Gusti hanya berdeham sebagai jawaban.
***
________________
Sebelumnya, saya mau ngucapin makasih buat semua yang udah nyempetin baca, ngasih vote, dan ninggalin komen. Makasih banget buat apresiasinya ^^
Cerita ini bakal dilanjut sampai tamat kok. Diusahain nggak lama juga karena udah mepet deadline, jadi kayaknya bakal lebih sering updatenya.
Nah... Kalau bisa nih, daripada cuma komen lanjut-lanjut, tinggalin kesan/kritikan/apaa gitu dong buat ceritanya (kalau bisa, komennya juga selain masalah part pendek, dsb ya. Hahaha. Tentang alur, atau adegannya, atau apanya gitu yang kurang. Hehehe). Biar sekalian jadi koreksi juga, terus diperbaiki deh.
Boleh yaa? :D
Makasih banyak :)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro