[26] Awkward
Tidak seperti biasanya yang langsung kembali tidur seusai salat subuh, kali ini Velya memilih duduk di lantai kamar, bersandar di kaki single bed-nya. Dia masih memikirkan hubungannya dan Chiko. Masih tidak percaya kalau sahabatnya yang kadang menyebalkan itu, yang menjadi pacar pertamanya.
Sejujurnya, Velya tidak tahu harus bersikap bagaimana pada Chiko. Dia belum pernah pacaran. Kemarin dia bisa lolos karena seharian ikut Mama ke rumah neneknya di Bogor. Tetapi, dari Gusti, Velya mendapat kabar kalau pacarnya itu menghabiskan hari Minggu kemarin hanya dengan tidur-tiduran.
Pipi Velya sontak bersemu saat pikiran kalau sekarang dia menyebut Chiko sebagai pacarnya, bukan hanya sahabat.
Meskipun dia tidak tahu apakah normal orang yang baru jadian malah tidak berhubungan sama sekali, mengingat Chiko masih belum menghubunginya sejak berpisah di teras belakang rumahnya dua malam lalu.
Velya berdiri, meraih ponselnya di meja belajar, lalu kembali duduk bersila di lantai. Dia membuka aplikasi WhatsApp, mengetik chat untuk Chiko.
Velyanata: udah bangun?
Chat-nya tidak langsung dibalas. Velya menunggu hingga sepuluh menit. Saat masih belum ada tanda dibalas, dibaca saja belum, dia memutuskan untuk mandi. Dia menghabiskan waktu lebih lama di kamar mandi. Biasanya, ritual mandi yang dilakukannya hanya keramas dan memakai sabun. Kali ini, untuk kali pertama, Velya menyentuh lotion milik Mama. Dia hanya mengoles sedikit, entah untuk apa, dia juga tidak mengerti mengapa tiba-tiba ingin mencoba benda itu. Begitu selesai, Velya kembali ke kamarnya.
Degup jantungnya seketika berdetak lebih cepat ketika melihat pemberitahuan chat baru di ponsel. Balasan Chiko.
Federico: Ini baru bangun. Ehehe..
Velya menggigit bibir bawah, bingung harus membalas apa.
Mengapa dia sampai tidak tahu harus membalas apa? Ini hanya Chiko! Mengapa dia tidak bisa membalas seperti biasa saja? Mengoceh karena cowok itu baru bangun dan menyebabkan mereka bisa kesiangan ke sekolah, misalnya?
Velyanata: Dasar kebo.
Velya menjitak kepalanya sendiri begitu balasan itu terkirim. Kanebo kering saja sepertinya tidak sekaku dan se-garing balasannya barusan. Dengan kesal, dia melempar ponselnya ke tengah kasur, memilih mulai berpakaian dan bersiap-siap.
Seumur-umur, Velya tidak pernah suka memakai macam-macam saat sekolah. Bedak saja tidak. Padahal Mama sudah bolak-balik mengingatkannya untuk lebih menjaga penampilan, mengingat dia sudah hampir lulus SMA. Tidak perlu dandan berlebih. Cukup dengan sering memakai krim muka supaya tidak kusam, lipbalm supaya bibirnya tidak kering, deodoran, juga parfum. Satu-satunya yang dituruti Velya hanya memakai deodoran.
Tetapi, pagi ini, sama seperti insiden lotion tadi, Velya meraih krim wajah yang rutin dibelikan mamanya setiap beberapa bulan sekali, meskipun tidak pernah dipakai dan berujung dibuang, dan mengaplikasikannya di wajah setipis mungkin. Dia juga memoles lipbalm dengan sama tipisnya, dan menyemprot sedikit parfum di pergelangan tangan lalu menggosoknya di leher. Menatap penampilannya di cermin, Velya tidak merasa terlalu berbeda. Baguslah.
“Ve ....” Terdengar panggilan Mama, disusuk ketukan pelan di pintu kamarnya. “Chiko udah dateng tuh. Kamu lagi ngapain sih?”
“Iya, Ma!” balas Velya, buru-buru menyambar tas sekolahnya dan berjalan keluar kamar.
“Perasaan kelar mandinya udah lama, kok masih aja keluar kamar jam segini?” tegur Mama.
Velya hanya menanggapi dengan cengiran, seraya berjalan menuju meja makan. Dia mengira akan melihat Chiko di sana. Tetapi, tidak ada.
“Di teras dia, mau cari pokemon sambil nunggu kamu. Katanya udah sarapan di rumah.”
Tumben, Velya membatin. Alasannya juga terlalu dibuat-buat. Cowok itu lebih sering nongkrong di sini daripada di rumahnya sendiri. Mustahil Chiko tidak tahu kalau di teras rumahnya tidak ada pokemon apa pun.
Selesai sarapan, Velya menyalami tangan Mama untuk pamit, kemudian menghampiri Chiko. Cowok itu tengah duduk di teras sambil memainkan ponsel. Bukan aplikasi Pokemon Go, tetapi aplikasi chat. Velya berdeham, menarik perhatian Chiko dari ponselnya.
“Hai,” sapa Chiko. Dia berdiri, menyimpan ponselnya di saku celana. “Udah?”
Velya mengangguk.
“Yuk, berangkat.” Chiko pamit pada mama Velya, sebelum menghampiri motornya. Begitu Velya sudah duduk mantap di boncengan, dia menjalankan benda itu perlahan menuju sekolah mereka.
Velya meremas pelan ransel Chiko yang berada di antara mereka. Perubahan pagi ini ternyata bukan hanya terjadi padanya, tetapi juga Chiko. Biasanya, saat di motor Chiko akan memakai ranselnya di depan, sengaja supaya Velya hanya bisa berpegangan di pinggangnya. Kali ini, ransel itu seperti punya tugas memberi batasan di antara mereka. Membuat hubungan yang tadinya tidak berjarak, malah melonggar.
Apa memang seperti ini yang dialami semua cewek dan cowok yang awalnya bersahabat, lalu memutuskan pacaran? Canggung dan aneh?
Atau hanya dia dan Chiko yang seperti ini?
Velya tidak tahu harus menanyakan hal itu pada siapa demi bisa mendapat jawaban yang paling memuaskan batinnya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro