[25] Bad Decision (?)
Gusti menatap Chiko yang sekarang sudah duduk bersila di tengah kasurnya dengan pandangan tidak percaya. Sementara itu, yang ditatap hanya memberikan ekspresi tanpa dosa, menikmati satu stoples kacang goreng buatan ibunya, sama sekali tidak terlihat akan memberi penjelasan lebih lanjut atas berita yang baru saja di dengarnya.
“Bentar deh ....” Gusti melipat tangan di depan dada. “Lo tadi bilang apa?”
Chiko meraup segenggam kacang goreng dan memasukkannya ke mulut. Dia mengunyah perlahan, tampak sangat menikmati ekspresi geram Gusti yang menunggu jawabannya dengan tidak sabar. Setelah menelan kacang di mulutnya, Chiko baru bersuara. “Iya, Velya pacar gue sekarang.”
“Lo nembak dia?” Gusti memastikan.
Chiko mengangguk.
“Terus, Velya nerima?”
“Yah ... menurut lo ajalah gimana.”
Gusti berdecak. “Serius nih gue nanya.”
“Gue juga serius daritadi cerita,” dumel Chiko. “Apa yang salah sih? Dia sendiri, gue sendiri. Dia sayang sama gue, gue sayang sama dia. Clear, right?”
“Clear kepala lo botak!” Gusti meraih bantal dan melemparnya pada Chiko. “Dia naksir elo, Kampret!”
Chiko menggaruk kepalanya.
“Gue hajar lo, Chik, kalau berani mainin dia,” ancam Gusti. “Beneran. Bodo amat lo sahabat gue dari orok, ya. Lo mau ngapain sama cewek lain, gue nggak ambil pusing. Tapi, ini Velya. Lo sadar nggak sih barusan ngapain?”
Chiko menutup stoples di tangannya dan meletakkan benda itu di meja kecil di samping kasur Gusti. “Kenapa sih nggak percaya banget sama gue?” protesnya. “Lagian baru pacaran doang. Gue bukannya ngajak dia nikah besok. Kalau nanti-nanti dia naksir cowok lain dan mau ngelepas gue, ya udah. Biasa, kan, gitu? Yang jelas sekarang gue mau sama dia, dia juga mau sama gue. Kenapa lo yang repot?”
“Gitu?” Gusti berkacak pinggang. “Gimana kalau penyakit lama lo yang kumat? Ada cewek bening dikit yang bikin lo tertarik, lo juga bakal langsung ngelepeh Velya gitu aja, kayak cewek-cewek lo sebelumnya?”
Chiko tidak menjawab.
Gusti menghela napas. “Lo berantem lagi, kan, sama nyokap lo? Gue lihat mobilnya di teras rumah lo. Makanya lo kesambet setan terus tiba-tiba nembak Velya.”
Pandangan Chiko berubah dingin. “Lo nggak tahu apa-apa, Gus. Diem ajalah,” desisnya.
Gusti mengangkat kedua tangan, tanda menyerah. “Lo mau gue ngucapin selamat, apa turut berduka cita?”
Chiko memilih meraih kembali stoples kacang dan melahap isinya, sengaja mengunyah dengan suara berisik supaya Gusti tidak lagi merecokinya. Merasa sudah cukup menyerang Chiko untuk kali itu, Gusti membiarkan sahabatnya itu lolos kali ini. Tetapi, dia jelas tidak akan lepas tangan begitu saja.
“Sekali lo bikin Velya nangis, gue tonjok lo bolak-balik.”
“Benerin dulu skill beladiri lo, baru nantang gue tonjok-tonjokan,” cibir Chiko.
Gusti mendengus, menoyor kepala Chiko, lalu berbalik menuju lemari pakaiannya untuk mengambil piyama dan berjalan ke kamar mandi.
***
“Ada nyokap lo di depan.”
Chiko menggeliat di kasur, membenamkan separuh wajahnya makin dalam di bantal, sama sekali tidak berniat bangun dan menanggapi informasi yang baru disampaikan Gusti.
“Woy!” Gusti melempar guling ke kepala Chiko.
“Bodo amat,” omel Chiko, menarik selimut hingga menutupi wajah. “Gue masih ngantuk.”
Gusti berdecak. “Temuin bentar kenapa sih? Kelakuan lo masih aja kayak bocah.”
“Suruh telepon aja. Atau SMS. Atau tempel sticky notes di kulkas. Kayak biasa.”
Tidak kehabisan akal, Gusti melipat tangan di depan dada. Dengan agak mengeraskan suaranya, dia berkata, “Bu, ini Chik .... aw!”
Chiko bergegas bangkit duduk, menyambit belakang kepala Gusti dengan bantal. “Resek lo!”
Gusti mengusap bagian belakang kepalanya, terlihat sama sekali tidak merasa bersalah. “Sana, sebelum nyokap gue yang narik lo keluar.”
Sambil menggerutu, Chiko akhirnya memaksakan diri turun dari kasur, berjalan malas ke kamar mandi untuk cuci muka dan sikat gigi. Setelah itu, dia baru keluar kamar untuk menemui maminya.
“Chiko nggak pernah ngerepotin kok. Nggak usah khawatir.”
Langkah kaki Chiko terhenti sejenak sebelum benar-benar tiba di ruang tengah.
“Syukurlah kalau gitu.”
Chiko melihat maminya menyerahkan sebuah amplop cokelat pada ibu Gusti, yang dia tahu dengan pasti apa isinya. Sesuatu yang menurut orangtuanya bisa mengatasi permasalahan apa pun dalam hidup sekaligus hal terpenting di dunia yang berhasil menyita seluruh waktu mereka.
“Nggak usah.” Ibu Gusti mendorong amplop itu.
“Saya tahu dia nggak cuma numpang tidur di sini, Mbak.”
“Dia ikut makan apa pun yang saya masak, nggak pernah minta menu spesial sendiri. Baju dia cuci sendiri. Peralatan mandi juga punya dia sendiri yang ditaruh di sini. Lagian, saya juga bukan induk semang, kok.”
“Tapi ....”
“Anak-anak itu nggak cuma butuh uang, Sar. Iya, uang penting. Kalau nggak ada itu, kita nggak bisa kasih mereka kehidupan terbaik. Tapi mereka juga butuh perhatian. Butuh sekadar ditanya, mau makan apa, PR-nya udah diselesaiin apa belum, lagi ada masalah apa, semacam itu.”
Mami Chiko terdiam.
“Mereka emang senang kalau dikasih uang saku banyak. Tapi, kalau cuma itu yang bisa kamu kasih, jangan ngarep timbal-balik banyak juga dari mereka. Kamu beruntung Chiko nggak sampai jadi anak yang nilai semua hal cuma dari materi.”
Chiko bisa melihat kalau maminya mulai tidak nyaman. Dia juga tahu kalau ibu Gusti menyadari hal itu. Beliau tidak lagi ‘menyerang’ maminya, memilih pamit masuk. Saat berpapasan dengannya, ibu Gusti memelankan langkah sekadar untuk mengacak rambutnya. Chiko menyunggingkan senyum salah tingkah, seraya berjalan menghampiri maminya.
“Berangkat jam berapa?” tanya Chiko, basa-basi.
“Satu,” jawab maminya. “Kamu tuh di rumah orang bangun sesiang ini.”
Chiko tidak menanggapi.
“Pas Mami pulang lagi nanti, Mami mau kamu udah punya keputusan mau ikut Mami atau papá kamu.”
“Gimana kalau aku nggak mau milih?”
Mami menatap Chiko tajam. “Kamu harus milih,” beliau berkata dengan nada rendah.
Terlalu malas berdebat sekarang, apalagi di rumah orang, Chiko menahan argumennya. Kabar yang dibawa mamanya kemarin sudah cukup menguras emosinya. Dia tidak mau makin memperburuk suasana hatinya dengan pertengkaran lain.
“Mami pergi dulu.”
Chiko hanya mengangguk, sementara maminya beranjak untuk pamit pada orangtua Gusti. Setelahnya, Chiko mengantar maminya hingga teras rumah Gusti, sama sekali tidak berminat untuk pulang ke rumahnya sekarang. Dia akan pulang setelah memastikan maminya sudah pergi, demi ketentraman jiwanya sendiri.
“Chik,” tegur Gusti, yang ternyata sudah berada di ruang tamu. “Gue nggak sengaja dengar tadi.”
“Dengar apa?”
“Orangtua lo ... pisah?”
Chiko membuang muka. Dia sama sekali tidak berminat membahas hal itu.
Syukurlah Gusti memahaminya. Sama seperti Velya, Gusti juga tidak mencercanya dengan banyak pertanyaan kepo. Kedua sahabatnya tahu batas, bisa menghargai privasi, satu dari sekian banyak hal yang membuat Chiko nyaman bersama mereka.
Tanpa bertanya lebih jauh, Gusti memilih merangkul Chiko dan menepuk pelan bahunya, seolah memberi kekuatan.
***
Ps: mau promosi nihh...
buat yang suka baca Teenlit, boleh lho dicoba novel terbaruku "Other Half of Me", salah satu cerita bertema olahraga terbitan Bentang Belia. Tentang parkour, hubungan ayah dan anak (angkat) laki-lakinya, juga ada selingan romance (tetep) 😁
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro