[22] A Date
Sejujurnya, Chiko tidak tahu ke mana dia akan membawa Velya. Dia hanya ingin memiliki waktu berdua dengan gadis itu, demi menenangkan dirinya dari rasa bersalah. Dia berharap bisa meyakinkan diri kalau apa yang dikatakan Gusti padanya hanyalah kebohongan. Velya tidak mungkin tiba-tiba ‘naksir’ dengannya. Untuk itu, dia membutuhkan bukti kuat. Cara yang terlintas hanyalah mengajak Velya jalan, demi melihat tidak ada yang berubah di antara mereka. Setelahnya, dia akan merasa lebih tenang.
Di tengah macetnya jalanan Jakarta hari Minggu, Chiko memutuskan membelokkan motornya menuju sebuah mall. Dia bisa memulai di sana. Yang penting ada tujuan dulu. Velya sendiri tidak banyak bersuara saat mereka memasuki basemen bangunan mall untuk memarkirkan motor.
“Lagi banyak film bagus ya, kayaknya. Gue mau nonton aja,” gumam Chiko, begitu motornya terparkir sempurna. “Lo lagi pengin nonton sesuatu?”
Velya tampak mengingat-ingat. “Pengin Beauty and The Beast sih, tapi belum tayang.”
Mereka berjalan beriringan memasuki bangunan mall, menuju lantai di mana bioskop berada. “Logan aja, gimana?” tawar Chiko, saat mereka sudah berada di bioskop, menatap satu per satu poster film.
“Gue nggak ngerti. Nggak ngikutin gituan.”
“Lo kebanyakan nonton Korea, makanya nggak paham sama beginian,” cibir Chiko. “Nggak apa-apa, ini aja. Nanti gue jelasin filmnya.”
Velya menggeleng tegas. Dia menujuk poster lain. “Itu aja, film Indonesia. Remake film lama, kan. Yang jadi Galih cakep lagi.”
“Kan, gue yang ngajak nonton.”
Velya bersidekap. “Nggak mau ya udah. Lo nonton aja sendirian, gue tunggu di kafenya.”
Chiko buru-buru menahan Velya yang sudah akan balik badan. “Iya, iya. Apa pun mau lo pokoknya, ya....”
“Gitu dong.”
Chiko berdecak, memutuskan mengantre tiket, sementara Velya tetap berdiri di depan poster-poster film. Meskipun sebal karena dia sama sekali tidak menyukai film pilihan Velya, tetapi Chiko sedikit lega karena gadis itu tidak berubah. Masih tetap keras kepala dan ingin menang sendiri. Tidak mungkin itu tanda Velya naksir, kan? Kalau misalkan benar, Velya pasti akan lebih penurut dan lembut padanya, seperti yang biasa gadis incarannya lakukan.
Setelah mendapatkan tiket, Chiko pindah ke konter makanan. Dia memesan iced chocolate dan popcorn caramel untuk Velya, serta Pepsi dan popcorn asin untuk dirinya sendiri. Velya muncul di sebelahnya begitu petugas menyerahkan pesanannya.
“Udah dibuka studionya,” Chiko memberitahu Velya, yang disambut anggukan oleh gadis itu.
Velya memilih menikmati camilannya, menatap lurus ke layar yang masih menampilkan trailer film lain yang masih coming soon. Sementara di sebelahnya, Chiko duduk diam sambil mengamati gadis itu. Pun saat film dimulai, Chiko masih enggan mengalihkan pandangan. Dia hanya sesekali menatap layar, lalu kembali mengamati gerak-gerik Velya. Bagaimana gadis itu bersikap tenang, fokus menonton sambil menikmati popcorn, sesekali tertawa kalau ada adegan yang menurutnya cukup lucu.
Jatuh cinta pada Velya seharusnya hal yang mudah. Terutama bagi dia yang sudah sangat lama mengenal dan peduli pada gadis itu. Yang jadi masalah sekarang, dia belum sepenuhnya yakin kalau apa yang dirasakan Velya itu memang lebih dari yang seharusnya. Meskipun mustahil Gusti berbohong, apalagi untuk masalah seperti ini, tetap saja. Satu-satunya cara supaya dia yakin sepenuhnya adalah mendengar langsung pengakuan Velya. Hal yang sangat mustahil.
Chiko menghela napas, kembali menatap layar. Dia melihat tokoh perempuan di film itu tengah berada di angkot, dengan backsong lagu mellow yang entah apa liriknya. Dari ekspresi si perempuan, dia terlihat sangat menghayati lagu itu dan berusaha mencerna maknanya.
Kejadian di layar selanjutnya membuat Chiko berdecak, memilih kembali menatap Velya. Apa yang dilihatnya kemudian membuatnya mematung. Velya terdiam di bangkunya, dengan pandangan fokus ke layar, sambil menangis. Chiko menoleh ke layar, berharap adegan yang baru saja terjadilah yang menjadi alasan air mata Velya jatuh. Tetapi dia tidak menangkap hal menyedihkan di layar. Kedua tokoh utamannya sekarang malah asyik gendong-gendongan sambil tertawa di pinggir jalan.
Terdengar Velya membersit hidungnya. Chiko melirik. Gadis itu terlihat sedang berusaha menenangkan diri. Dia menggaruk kepalanya yang tiba-tiba sangat gatal. Inilah mengapa dia sangat malas menemani Velya menonton drama romantis. Semua adegan di dalamnya berpotensi membuat gadis itu menangis.
Jadi, saat film itu akhirnya selesai, Chiko merasa sangat lega dan bahagia. Dia sudah akan beranjak, tetapi urung saat melihat Velya masih duduk diam di bangkunya. Akhirnya dia ikut duduk, membiarkan penonton yang duduk di bangku atas mereka turun lebih dulu. Setelahnya, Velya baru berdiri, mendahului langkah Chiko.
“Makan yuk?” ajak Chiko.
Velya mengangguk, mengikuti Chiko memasuki sebuah kafe.
“Tahu nggak,” gumam Velya, setelah duduk dan waiter selesai mencatat pesanan mereka. “Menurut penelitian, rata-rata cerita cinta sad ending itu lebih berkesan daripada yang happy, karena lebih dekat sama kehidupan sehari-hari.”
“Oh, ya?”
Velya mengangguk. “Kayak Titanic, Romeo and Juliet, itu disebut-sebut sebagai kisah cinta sepanjang masa, kan? Padahal jelas-jelas ending-nya tragis.”
“Iya juga....”
“Orang-orang emang suka happy ending, tapi yang paling diingat pasti yang punya akhir tragis.”
Chiko tidak tahu ke mana arah percakapan ini, tetapi dia membiarkan saja Velya berbicara.
Tiba-tiba Velya menatapnya, telak ke kedua mata. “Tahu nggak kenapa orang-orang banyak yang masih ingat sama cinta pertamannya?”
Chiko menggeleng, ragu.
Velya tersenyum kecil, yang terlihat sedih di mata Chiko. “Karena kebanyakan cinta pertama itu berakhir sedih. Cocok, kan, sama penelitian tentang cerita cinta yang berkesan tadi?”
Chiko memaksakan diri tertawa, meskipun terdengar janggal. “Lo ngomong gitu kayak pernah jatuh cinta aja. Emang pernah naksir orang?”
Ekspresi Velya seketika berubah. Senyumnya berganti kecut, lalu dia menunduk, menghindari tatapannya dengan memberi perhatian penuh pada serbet di meja.
Saat itu juga Chiko ingin sekali meninju wajahnya sendiri.
***
________________________
Part ini khusus buat film Galih dan Ratna, yang sukses bikin aku baper dan berhasil nyelesain satu part ini.
Patah hati kadang lebih baik daripada mati rasa :’)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro