Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[20] Never be The Same Again

Chiko menghela napas, mencoba mengendalikan debaran keras yang sekarang terasa di dadanya. Dia tengah duduk di teras, sudah berpakaian lengkap, menunggu sosok gadis muncul dari rumah di depannya. Begitu gadis itu muncul, dengan sigap Chiko berdiri dan memanggil namanya.

“Bareng gue, ya?” tawar Chiko, berusaha bersikap sesantai mungkin.

Velya menggeleng. “Naik angkot aja.”

Seperti itu saja, lalu Velya kembali melangkah.

Mengumpat pelan, Chiko buru-buru mengeluarkan motornya dan menyusul Velya. Begitu sudah berada di dekatnya, Chiko memelankan laju motornya, mengimbangi langkah kaki gadis itu.

“Vel ... gue bikin salah apa sih?”

Velya tidak menjawab.

“Vel, lo ngomel aja deh. Kayak biasa gitu. Jangan jauhin gue tapinya.”

Tanpa menunjukkan tanda peduli sama sekali, Velya masih terus berjalan, tidak menoleh ke arah Chiko sedikit pun.

Emosi Chiko mulai menggelegak. Dengan dongkol, dia memarkir motornya sembarangan, lalu turun dan menyentak lengan Velya sedikit kasar. Gadis itu terpaksa menghentikan langkah, memutar tubuh menghadapnya.

Niat awal Chiko adalah mengomeli Velya panjang lebar. Tetapi, saat melihat penampilan gadis itu dengan jelas, segala omelannya lenyap. Dia menelan ludah dengan perasaan sangat tidak enak.

Wajah Velya tidak terlihat segar seperti biasa, cenderung pucat. Kedua matanya sembab, lengkap dengan lingkaran hitam samar di bagian bawahnya.

Chiko mengusap lembut pipi putih Velya. “Pergi sama gue aja, ya? Uang angkotnya biar lo pakai buat beli Pop Ice ntar. Please?”

Velya menggigit bibirnya, memilih menunduk.

Chiko benci melihat Velya yang seperti ini, dan itu gara-gara dirinya. Perlahan, dia menggandeng Velya ke arah motornya, membantu gadis itu naik dan memasangkan helm. Kemudian, motor itu kembali melaju menuju sekolah mereka.

Percakapan dengan Gusti semalam kembali terngiang di benak Chiko. Obrolan yang sukses membuatnya tidak bisa tidur nyenyak. Pagi ini, dia memutuskan untuk tidak lagi mengabaikan Velya, semenyebalkan apa pun tingkah gadis itu. Bagaimana mungkin dia bisa abai, padahal dia sendiri yang membuat Velya bertingkah begini?

Sesampainya di sekolah, Velya langsung turun begitu motor Chiko terparkir. Dia meletakkan helm begitu saja di jok belakang, kemudian berjalan tergesa menuju kelas. Chiko menghela napas pelan, membiarkan Velya berlalu sementara dia sendiri menuju kelasnya.

Gusti sudah duduk di bangkunya ketika Chiko tiba, langsung melempar tatapan prihatin, tetapi tidak berkata apa-apa. Chiko merebahkan kepala di meja, tanpa melepaskan ransel dari punggungnya.

“Stres gue, Gus,” gumam Chiko.

“Salah lo sendiri, tebar pesona nggak lihat tempat,” omel Gusti. “Gue udah bilang dari awal, jangan sampai bablas. Gini, kan, sekarang jadinya.”

Chiko mengacak rambutnya, frustrasi. “Ya Tuhan, ini Velya. Velyanata, yang kalau gue godain biasanya noyor, gue bilang sayang balasannya najis-najis! Mana kepikiran coba kalau dia bakal ....”

Gusti menutup buku di tangannya, seraya membenarkan letak kacamatanya. “Gue juga penasaran. Lo sama dia ngapain aja sampai bisa bikin Velya baper gitu?”

“Nggak ngapa-ngapain!” balas Chiko. “Ya, jalan biasa aja. Antar-jemput, nemenin dia ke mana-mana, diporotin pula. Pesona gue udah sedahsyat itu apa, sampai Velya aja nggak  bisa nahan diri?”

Sebuah toyoran mendarat di kepala Chiko dengan keras, membuat cowok itu menggerutu.

“Terus, sekarang lo mau gimana?” tanya Gusti.

“Gue nggak tega matahin hatinya.” Chiko bertopang dagu, menatap lurus ke depan. “Di mimpi terliar gue, yang ada gue bakal hajar siapa pun cowok pertama yang bikin Velya patah hati. Ironis.”

“Lo beneran nggak ada rasa lebih ke dia?”

Chiko menoleh ke arah Gusti, lalu kembali menatap ke depan dan menghela napas pelan. “Gue bisa coba,” gumamnya. “Lagian, gue sayang kok sama dia. Sayang banget.”

“Yang kita bahas sekarang perasaan orang, Chik. Perasaan Velya. Kalau lo nggak yakin, mending kasih dia penjelasan sekarang. Sebelum perasan dia makin besar, dan lo beneran nggak bisa balas lebih.”

Ucapan Gusti benar. Tetapi, Chiko juga yakin pada dirinya sendiri. Velya adalah sosok gadis yang sangat mudah untuk dicintai. Dengan sedikit usaha dan dorongan, dia pasti bisa merasakan apa yang gadis itu rasakan untuknya sekarang. Dia menyayangi Velya, merasa sangat nyaman bersama gadis itu. Bukan hal sulit untuk memupuk cinta.

Bukankah ada pepatah yang berkata, witing tresno jalaran soko kulino*? Terbiasa bersama, terbiasa menghabiskan waktu berdua. Itu sudah bisa menjadi modal awal yang baik, kan?

Setidaknya, itulah yang sedang berusaha diyakini oleh Chiko. Dia akan belajar untuk membalas perasaan Velya, sekerasnya.

***

Evan menarik napas pelan, membenarkan letak kacamata tebalnya, sambil terus berusaha mengendalikan degup jantungnya. Dia tidak yakin, tetapi masih memantapkan langkahnya menuju kelas Velya. Setelah percakapan antara Chiko dan Gusti yang didengarnya tadi pagi, bukan waktunya untuk bersikap cemen sekarang. Dia harus bergerak, atau akan menyesal nanti.

Dia sangat menyadari apa risiko dari perbuatannya. Kehilangan satu-satunya orang yang masih mau mengajaknya mengobrol normal, selayaknya murid SMA pada umumnya. Tidak menatapnya seolah dia alien, atau hanya mendekat untuk memanfaatkan kepintarannya. Meskipun begitu, Ivan juga tidak mau kehilangan kesempatan begitu saja.

Dia harus bicara, sebelum Chiko mendahuluinya.

Kenyataan kalau ternyata Velya menyukai Chiko merupakan tendangan telak bagi Evan. Dia pikir, Chiko yang menyukai Velya. Membayangkan Velya harus jatuh ke tangan playboy seperti Chiko, membuat Evan sangat tidak rela. Velya terlalu polos, lugu, dengan hati yang sangat baik, meskipun suka bicara blak-blakan. Gadis itu tidak boleh disakiti begitu saja oleh Chiko.

“Vel,” tegur Evan, melihat Velya masih duduk di bangkunya. Saat gadis itu mendongak, melemparkan senyum kecil, Evan berjalan mendekat dan duduk di sebelahnya. “Nggak ke kantin?”

Velya menggeleng. “Belum laper. Nanti aja, istirahat kedua,” jawabnya. “Lo sendiri, ngapain ke sini?”

Evan menggaruk tengkuk, merasakan keringat dingin kembali membasahi dahinya. Dia menelan ludah saat rasa gugup itu bertambah parah. Terutama saat kedua mata cokelat bening Velya menatapnya penasaran. Tatapan itu sangat berbahaya bagi jantungnya.

“Mau ngajak elo tadinya,” Evan mencari alasan. “Tapi, ikut pas istirahat kedua aja deh. Belum laper juga.”

“Aneh lo,” ledek Velya, lalu kembali pada ponselnya yang sedang menampilkan portal berita online tentang selebriti Korea.

“Drama Korea yang lagi ramai apa, Vel?” tanya Evan, saat melihat apa yang sedang dibaca Velya. Segera saja dia mengutuk diri sendiri untuk pertanyaan tidak penting itu.

Seharusnya dia mulai membahas tentang perasaannya pada Velya, yang berujung pada pernyataan cinta. Tetapi, sekarang yang terjadi malah Velya dengan semangatnya menceritakan tentang drama Korea yang menceritakan seorang goblin dan malaikat maut, lalu anak perempuan yang seharusnya meninggal sebelum lahir, tetapi tidak jadi meninggal dan malah menjadi pengantin goblin. Cerita yang sangat di luar nalarnya. Tetapi, Evan tetap mendengarkan semua penuturan Velya.

Dia suka mendengar suara gadis itu. Bukan tipe suara lembut, melainkan jenis suara riang, tetapi tidak juga cempreng berisik. Entah memang suara Velya seperti itu, atau telinganya saja yang menangkap begitu. Yang jelas, dia sangat suka mendengarkan Velya bercerita, tertawa, mengomel. Hidup datarnya pasti akan berubah penuh warna kalau saja perasaannya berbalas.

“Lucu, kan? Belum tamat sih tapinya. Gue baru nonton sampai episode sembilan.”

“Iya, lucu,” gumam Evan. Tapi lebih lucu elo, sambungnya dalam hati.

Evan membiarkan Velya kembali asyik dengan ponselnya. Satu tangan gadis itu tampak asyik mengetuk permukaan meja dengan ujung-ujung jemari, sementara tangan yang lain masih memegang ponsel. Evan melirik sekeliling. Hanya ada tiga teman sekelas Velya di sana, yang tampak sibuk dengan aktivitas masing-masing.

Sekarang, atau tidak akan pernah.

Mengumpulkan segenap sisa keberaniannya yang tersisa, Evan mengulurkan tangannya perlahan di permukaan meja, makin mendekati tangan Velya hingga berhasil menggenggamnya. Velya menoleh, kaget. Dia sudah akan menarik tangannya, tetapi ditahan Evan.

“Van, lepas nggak?” ancam Velya.

“Dengerin dulu, bentar aja,” pinta Evan, enggan melepaskan tangan Velya. “Gue suka sama lo, Vel.”

Velya diam, sementara Evan mengeluarkan semua isi hatinya. Tentang betapa spesialnya sosok Velya di matanya, sejak ‘kencan’ pertama mereka, hingga kedekatan yang terjalin setelahnya. Membuat rasa tertarik itu berkembang menjadi suka, yang semakin lama makin besar.

“Lo nggak harus jawab sekarang,” Evan melanjutkan, sebelum keberaniannya menguap.

Velya menghela napas pelan. Dia meletakkan ponsel di meja, lalu menepuk pelan kedua tangan Evan yang membungkus tangannya. “Maaf,” ucap Velya. “Tapi gue bakal ngerasa jahat kalau nerima elo, padahal perasaan gue cuma sebagai teman.”

Evan tersenyum, kecut. Genggamannya terurai, melepaskan tanggan Velya. “Gue tahu lo bakal jawab gitu.”

“Sori ....” ucap Velya. “Kita masih tetap teman, kan?”

Evan mengangguk. “Seenggaknya gue nggak akan nyesel sekarang.”

Velya menepuk bahu Evan. “Lo tuh cakep, tahu nggak. Tunggu aja lima sampai sepuluh tahun dari sekarang, cewek-cewek yang pandang elo sebelah mata bakal nyesel habis-habisan pas lihat lo udah kerja di perusahaan bonafit, seragam SMA lo ganti sama stelan resmi, udah bawa mobil sendiri juga, nggak lagi disopirin.”

Evan tertawa kecil.

Velya ikut tersenyum. “Maaf, ya ....” ucapnya lagi, lebih sungguh-sungguh.

Kali itu, anggukan Evan juga terlihat lebih mantap. Hatinya patah, tentu saja. Tetapi, melihat bagaimana Velya memperlakukannya, Evan merasa cukup baik.

“Kalau nanti lo juga berubah pikiran pas lihat gue udah jadi keren, jangan sungkan buat ngomong, ya.”

Velya tergelak, menoyor kepala Evan. “Pede banget lo!”

Evan menyeringai. “Namanya juga usaha, Vel.”

Setidaknya, cinta pertamanya tidak dihancurkan dengan brutal. Hanya ditolak baik-baik. Untuk saat ini, seperti itu saja cukup.

***

* cinta ada karena terbiasa

Nanya donggg... gimana menurut pendapat kalian cover barunya?
Kalau ada pendapat atau masukan, boleh banget di-share, biar nanti jadi lebih kece :D

Ditunggu komennya :)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro