[2] Chiko's Plan
“VELYANATA!”
Teriakan murka itu sama sekali tidak membuat si gadis pemilik nama tertarik untuk menoleh, atau sekadar memelankan langkah. Dengan santai dia tetap berjalan menuju kelas, mengabaikan si pemanggil yang jelas-jelas sedang merasa gusar dengannya.
“Velya!! Lo beneran minta disate, tahu nggak!”
“Lo ngapain lagi, Vel?”
Velya melirik Gusti yang berjalan di sebelahnya, sebelum menoleh sekilas ke belakang. Chiko mengambil dua langkah lebar dan berhasil menyusul Velya.
“Lo ngomong apa ke Cindy?” Chiko memelototi sahabatnya itu.
“The truth?” Velya mengerdikan bahu.
“Lo bilang ke dia gue belum sunat karena takut! Itu fitnah keji!”
Gusti melongo, sementara Velya terkikik.
“Nggak lucu!” omel Chiko. “Sekarang pokoknya gue mau lo bilang ke Cindy kalau itu cuma bercanda!”
“Ogah. Bilang aja sendiri.” Velya mendorong Chiko menjauh dan meneruskan langkahnya. “Lagian, lo sunat apa nggak emang ngaruh buat dia? Gitu doang bikin dia mundur, artinya dia nggak serius sama lo.”
“Bukan itu masalahnya...” Chiko menahan diri untuk tidak mencekik gadis itu. “Sumpah, Vel. Lo malu-maluin gue banget. Harga diri gue udah hancur gara-gara fitnah lo. Itu kalau sampai nyebar, habis udah reputasi gue, Vel. Habis!”
“Apaan deh, drama banget.” Velya mengibaskan rambutnya dengan santai. “Udahlah, lihat sisi positifnya. Dia jelas-jelas nggak serius, cuma mau manfaatin elo. Cewek nggak beres gitu kok dideketin.”
“Lo yang nggak beres,” dumel Chiko, gondok setengah mati. “Lagian gue juga masih belum mau serius, kali. Tapi bukan berarti semua hubungan gue lo bikin kacau balau gini dong!”
Velya mengabaikan ocehan Chiko selanjutnya, memilih berbelok memasuki ruang kelas. Untunglah mereka tidak satu kelas, jadi dia bisa terbebas dari omelan penuh drama ala cowok itu.
Menyadari tidak bisa lagi merutuki Velya secara langsung, sasaran Chiko berganti ke Gusti. Nasib Gusti tidak seberuntung Velya karena harus sekelas, bahkan satu bangku, dengan cowok itu. Dengan berlebihan, Chiko menyentakkan tasnya di atas meja.
“Keterlaluan, Gus. Beneran keterlaluan,” gerutu Chiko. “Nggak bisa gini terus. Gila gue lama-lama.”
Gusti duduk di bangkunya dengan tenang, mendengarkan segala ocehan tidak bermutu dari Chiko.
“Ini cewek kelima yang coba gue deketin bulan ini. Kebayang nggak lo? Semuanya kabur gara-gara kelakuan Velya Sinting itu. Jadi jones beneran gue lama-lama.”
“Ya gimana. Udah tabiatnya gitu, kan?”
Chiko mendengus. “Lo emang nggak terganggu apa? Sabri ngambek lagi, kan, sama lo? Tinggal ngitung waktu sampai kalian putus, dan gue yakin itu pasti gara-gara Velya. Sampai kapan kita diemin aja dia gini?”
Gusti membenarkan letak kacamatanya yang sedikit melorot, lalu menoleh ke arah Chiko. “Udah.”
“Udah, udah apaan?” semprot Chiko. “Gue nggak...”
“Gue sama Sabri udah putus.”
“NAH KAN!” Chiko menggebrak meja, lebay seperti biasa. “Kita harus bertindak!”
“Kita apain? Gue nggak mau ah musuhan gara-gara urusan pacaran gini doang. Lagian juga kayak yang lo bilang, masih pacaran main-main doang. Kalaupun disuruh milih ya gue masih milih Velya.”
“Tuh, kelakuan lo yang begini itu yang bikin tingkahnya makin hari makin liar.”
Gusti menghela napas, menatap Chiko dengan sabar. “Terus, lo maunya gimana? Kita pacaran diem-diem, PDKT sembunyi-sembunyi, jangan sampe Velya tahu?”
Chiko diam sejenak, tampak berpikir. Kemudian, sebuah pemahaman muncul di kepalanya. Alasan mengapa Velya bisa bertingkah menyebalkan sejak dirinya dan Gusti mulai mengenal pacaran. Bukan karena Velya menyukai salah satu dari mereka. Tetapi karena gadis itu tidak tahu asyiknya memiliki kekasih.
“Kita cariin dia cowok!”
Gusti mengernyit. “Siapa?”
“Ya Velya-lah. Lo mau sama cowok?”
Gusti berdecak. “Cowoknya siapa?”
“Oh, nggak tahu. Masih mikir.” Chiko, yang tadinya duduk di meja, pindah ke kursinya di sebelah Gusti. “Yang jelas, menurut gue, kita harus kasih lihat ke dia apa yang udah dia lewatin. Biar dia juga ngerti kenapa kita masih asyik cari pacar, walaupun dia gangguin bolak-balik.”
“Nggah ah.”
Chiko menoleh protes. “Kenapa?!”
“Velya tuh polos, Ko. Gue nggak mau dia nanti sampai diapa-apain cowok nggak jelas.”
Gantian Chiko yang berdecak. “Ya nggak asal-asal juga kali, Gus. Kita seleksi, cari yang bener, yang sekiranya nggak bakal macem-macem.”
“Contohnya?”
“Yang sama-sama polos, kayak Velya. Bukan dari kalangan atlet, udahlah. Kelakuan mereka nggak beda jauh sama gue. Gue juga nggak rela ngasih Velya ke mereka,” Chiko memulai analisis sotoy-nya. “Velya mulutnya udah kayak petasan gitu, kan? Bawel nggak ada ujung-pangkal, jadi kita cariin dia yang kalem. Dia suka nanya-nanya nggak jelas, persis bocah TK, jadi cowoknya harus pinter. Walaupun males banget ngomong langsung di depan dia, tapi gue jujur akui kalau dia cakep. Mukanya imut-imut gitu kayak anak kucing, jadi pasangannya juga harus yang enak dilihat, yang kalau bonceng dia pulang nggak dikira sopir Gojek.”
Gusti kadang benar-benar takjub dengan kemampuan Chiko berpikir cepat. Dia merasa kalau sahabatnya itu pintar, tetapi sayang kepintarannya hanya dimanfaatkan untuk masalah tidak jelas. Seperti sekarang.
“Kesimpulannya, kita cariin Velya cowok kalem yang pinter dan punya penampilan menarik.”
Belum sempat Gusti menanggapi, bel masuk berbunyi. Chiko menghentikan sejenak diskusi mereka, terlebih saat guru melangkah masuk dan memulai pelajaran. Saat tengah asyik menyimak penjelasan, sambil sesekali menyisiri suasana sekitar, pandangan Chiko kemudian terhenti pada seorang cowok, teman sekelasnya, yang duduk tepat di depan meja guru.
Evan Rahadian. Mantan ketua kelab KIR, selalu masuk tiga besar dari keseluruhan total nilai sejak kelas X, saingan berat Gusti. Tidak banyak tingkah, cenderung pendiam. Dan untuk ukuran siswa culun, dia lumayan enak dilihat.
Perfecto.
Begitu jam istirahat, Chiko mengatakan pemikirannya pada Gusti. Sahabatnya itu awalnya tidak terlalu yakin. Tetapi, Chiko terus beragumen dan meyakinkannya kalau itu bukan keputusan buruk.
“Dicoba aja dulu,” ujar Chiko. “Lagian, kalaupun dia beneran mau macem-macemin Velya, gue duluan yang gebukin.”
Gusti menghela napas berat, tanda menyerah. “Oke. Sekarang lo pikirin, gimana caranya bujuk Velya supaya mau ngikutin ide gila lo.”
Seringai usil Chiko tersungging. “Gampang. Serahin aja ke gue. Paling lama akhir minggu depan, Velyanata Arunika, our beloved sister, bakal ngalamin kencan pertama yang nggak akan terlupakan.”
***
___________________________
Halo...
Maaf telat update. Harusnya sebelum pukul delapan tadi, tapi karena nyampe rumah aja pukul tujuh, jadi baru ini bisa update.
Gimana ceritanya sejauh ini? Hehehe
Aku pribadi lagi seneng banget karena bisa nulis teenlit lagi. Semoga rasa senengnya nyampe ke tulisan dan bisa dirasain oleh para pembaca yaa..
Kritik dan saran membangun ditunggu banget di kolom komentar. Jangan lupa vote juga yaa :D
Sampai ketemu hari Sabtu~
Salam,
Elsa Puspita
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro