Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[19] Heart Attack

Gusti mengernyitkan dahi saat melihat Chiko asyik bersenda gurau dengan segerombolan siswi, sepertinya adik kelas, di meja pojok kantin, sementara Velya duduk sendirian di bagian tengah, tampak mengaduk makanannya tanpa minat. Dia berpaling pada Sheryl yang asyik melihat-lihat sekitar, menimbang apa yang ingin dimakannya.

“Kamu cari makannya sendiri nggak apa-apa, ya? Aku mau ke sana bentar.” Gusti menunjuk meja Velya.

“Oh, oke,” ucap Sheryl. “Kamu mau aku beliin sesuatu?”

“Samain aja kayak kamu.” Gusti tersenyum kecil, lalu menghampiri Velya, sementara Sheryl memesan makanan. “Makanannya puyeng, Vel, lo aduk gitu terus.”

Velya mendongak, mendapati Gusti duduk di depannya. “Tumben ....”

“Sheryl lagi pesan makanan,” jelas Gusti, tanpa diminta. “Lo kenapa sama Chiko? Berantem?”

Velya hanya mengerdikan bahu sebagai tanggapan. Wajahnya terlihat benar-benar muram.

Gusti menghentikan introgasinya, ketika Sheryl bergabung dengan mereka. Gadis itu menyodorkan sepiring siomay pada Gusti, dan satu porsi untuk dirinya sendiri. Gusti mengucapkan terima kasih dan mulai menikmati makanannya.

“Tumben sendirian, Vel? Chiko mana?” tanya Sheryl.

“Dimakan hiu,” jawab Velya, ketus.

Gusti mengusap pelan lengan Sheryl saat melihat pacarnya itu tersentak mendengar nada bicara Velya. “Lagi berantem.”

Sheryl mengangguk paham, memaklumi, sementara Velya melempar tatapan garang pada Gusti.

“Lo berdua ngapain deh pacaran di sini? Bikin sakit mata aja!” semprot Velya.

“Kasihan lihat lo nelangsa banget sendirian. Makanya gue sama Sheryl nemenin.” Gusti menarik hidung Velya gemas.

Sheryl, yang perlahan mulai memaklumi kelakuan sahabat Gusti, memilih tidak mengambil hati atas ucapan Velya. Berbeda dengan Gusti yang berhati-hati tiap bicara, Chiko dan Velya cenderung blak-blakan. Terutama Velya. Awalnya dia masih sering terkejut. Tetapi, sejak dia dan Gusti resmi pacaran, sering ikut kumpul dengan mereka, mau tidak mau harus mulai terbiasa.

Siomay di piring Gusti sudah lenyap, sementara Sheryl baru menghabiskan setengah, saat Velya kembali hanya mengaduk makanan di piringnya yang terlihat belum berkurang sama sekali. Berkali-kali Gusti juga mendapati gadis itu menghela napas berat, seolah beban hidup yang dilimpahkan Tuhan padanya benar-benar luar biasa. Dia ingin bertanya, tetapi tahu itu percuma. Velya tidak akan mau bercerita apa-apa kalau ada ‘pihak ketiga’ di antara mereka. Dalam hati Gusti memutuskan akan mampir ke rumah Velya setelah mengantar Sheryl pulang nanti.

Chiko bergabung di meja mereka saat Gusti dan Sheryl menandaskan makanan masing-masing. Begitu Chiko duduk di sebelahnya, Velya langsung berdiri, dan pergi dari sana tanpa berkata apa-apa. Gusti bisa melihat kalau Chiko mengamati sosok Velya hingga hilang dari pandangan, tetapi tidak terlihat ingin menahan kepergian gadis itu.

“Kalian kenapa lagi sih, Chik? Katanya nggak pacaran, tapi intensitas berantemnya lebih dari yang pacaran.”

Chiko menatap Gusti, mengembuskan napas kasar. “Dia tuh aneh banget belakangan ini,” ujarnya, memulai curhat. “Gue dijudesin terus. Pegang dikit, dibentak. Biasanya gue godain dia cuma ngambek lucu gitu, sekarang jadi marah-marah serius. Nggak bisa diajak bercanda sama sekali. Terus, tiba-tiba juga dia ngejauhin gue. Awalnya cuma di sekolah, pulang-pergi masih sama gue. Tapi udah berapa hari ini dia pulang-pergi duluan. Gue tanya baik-baik, malah nyolot banget jawabnya. Kan, gue kesel juga lama-lama.”

Gusti tidak heran jika memang benar itu yang terjadi. Chiko bukan tipikal penyabar sama sekali. Dia cenderung tempramen, malah. Gampang meledak jika dipancing sedikit saja. Justru dia takjub atas perubahan sikap Chiko pada Velya sejak percakapan terakhir mereka mengenai Sheryl tempo hari. Dia jadi lebih memaklumi Velya. Padahal, biasanya harus Gusti yang turun tangan menjadi penengah.

“Lo bikin salah kali sama dia,” gumam Sheryl. “Nggak sengaja ngapain gitu?”

Pandangan Chiko beralih pada Sheryl. “Udah gue tanya. Tetap aja jawabnya nggak enak. Makanya sekarang gue diemin aja maunya apaan.”

“Minta maaf aja, udah,” usul Gusti.

“Ogah. Gue nggak salah apa-apa, ngapain minta maaf?”

Gusti berdecak. “Ya udah kalau nggak mau. Ntar habis antar Sheryl, gue ke rumah dia deh. Coba nanya. Kali dia mau jawab.”

Chiko tidak menanggapi, hanya menghela napas pelan.

***

Velya duduk di halte dekat sekolah bersama para murid yang juga menunggu angkutan umum untuk pulang ke rumah masing-masing. Setiap kali ada angkot atau kopaja lewat, Velya melihat sekilas untuk memastikan itu melewati komplek perumahannya atau tidak, lalu kembali menunduk jika bukan.

Sejujurnya, Velya tidak terlalu nyaman menggunakan angkutan umum. Bukan karena ramainya. Tetapi karena dia pernah dua kali salah naik, mengakibatnyan tersasar ke lokasi yang tidak diketahuinya sama sekali. Karena itu dia lebih memilih merengek supaya bisa ikut Gusti atau Chiko pulang, daripada naik angkutan umum.

Kali ini, Velya memberanikan diri. Beberapa hari ini dia sudah mulai akrab dengan kendaraan publik semacam itu, tanpa drama salah naik atau tersasar. Dia tidak mau bergantung lagi pada sahabatnya, terutama pada Chiko. Pelan-pelan, dia harus membiasakan diri untuk mandiri. Gusti sudah sibuk dengan pacarnya. Dan bersama Chiko, tidak lagi membuatnya nyaman.

Angkutan umum yang melewati rumahnya akhirnya muncul. Velya segera berdiri, menunggu di pinggir halte. Sebelum angkot itu tiba di dekatnya, sebuah motor lebih dulu berhenti tepat di depannya. Si pengemudi melempar helm, yang ditangkap Velya dengan sigap.

“Naik, buruan.”

Velya diam, menatap sorot mata dari balik helm fullface yang dikenakan si pengemudi. “Sheryl mana?”

“Dijemput sopir mamanya.”

Velya mengangguk paham, mengenakan helm yang diberikan Gusti, lalu naik ke boncengannya. Mereka tidak bersuara sepanjang perjalanan ke rumah.

Berbeda dengan Chiko yang lebih suka memacu motornya sedikit ngebut, Gusti cenderung santai. Dia memegang prinsip biar lambat asal selamat, kecuali berangkat dari rumah sudah mepet bel masuk.

Begitu motor Gusti berhenti di rumahnya, Velya melompat turun, melepas helmnya, dan mengucapkan terima kasih.

“Kangen juga dibonceng elo,” gumam Velya.

Gusti menggantung helm yang tadi dipakai Velya di stang motornya. “Siapin makanan, ya. Gue ganti baju dulu, ntar ke rumah lo.”

“Lo dong yang bawa makanan. Rumah gue kosong gini, cuma ada mi instan.”

Gusti mendengus. “Iya, nanti gue bawain rantang.”

Velya tersenyum manis, mengacungkan ibu jarinya.

Gusti geleng-geleng kepala, seraya menjalankan motornya menuju rumah. Selesai ganti baju, dia meminta ibunya mewadahi makanan untuk Velya. Setelah itu, dia baru berjalan ke rumah gadis itu. Saat menoleh ke rumah Chiko, Gusti melihat motor sahabatnya itu sudah terparkir di teras. Dia akan mengurus Chiko nanti. Sekarang yang harus dilakukannya adalah mencari tahu ada apa dengan Velya.

Mereka berdua makan siang dengan damai. Gusti baru menyadari dia rindu hanya berdua Velya seperti ini, menghabiskan waktu untuk melakukan hal-hal absurd, sampai meladeni ocehan Velya yang sering tidak jelas juntrungannya. Selesai makan, Gusti membantu Velya mencuci piring kotor, kemudian mereka memilih duduk di ruang tengah dengan TV menyala.

“Jadi, lo kenapa?” tanya Gusti langsung, saat Velya duduk di sebelahnya sambil menyesap jus jambu biji dalam kemasan kotak.

“Nggak apa-apa ....”

Gusti menghela napas. “Kita kenal berapa tahun sih, Vel? Lo ngarep gue percaya gitu sama ‘nggak apa-apa’ elo?”

Velya diam, tidak langsung menjawab atau mengelak.

Gusti membiarkannya. Meskipun penasaran, dia tidak mau sampai memaksa Velya. Toh, dia tahu Velya akan cerita. Gadis itu paling tidak bisa menyimpan masalahnya sendiri. Yang penting ada seseorang di dekatnya, yang sudah dia percaya, bersedia bersabar dan menunggu sampai mulutnya menyuarakan apa yang mengganjal. Gusti selalu berhasil menjadi sosok yang seperti itu sejauh ini.

Velya menghela napas lagi, yang terdengar semakin berat. Dia menunduk, merasakan matanya memanas dan berkaca-kaca. Kemudian, bukannya mulai cerita, Velya malah terisak. Dia menempelkan dahinya di bahu Gusti, masih dengan posisi kepala menunduk. Gusti mengusap pelan punggung gadis itu, makin penasaran dengan apa yang sebenarnya sedang terjadi.

“Gue ... suka ... Chiko ....”

Tiga kata itu secara terpatah meluncur dari mulut Velya, membuat gerakan Gusti di punggung sahabatnya itu terhenti.

“Apa, Vel?” Gusti memastikan, merasa telinganya sudah salah mendengar.

“Gu—gue ... suka sam—sama Chiko, Gus ...,” isak Velya. “Beneran ... suka ....”

Speechless.

Itulah yang dirasakan Gusti sekarang. Dia tidak tahu harus menanggapi seperti apa, memilih hanya memeluk Velya dalam diam, sementara sahabatnya itu menangis sambil terus memuntahkan kegundahan dan kesedihannya belakangan ini.

Ini benar-benar bencana.

***

Jeng jeng.......

Ada yang bisa nebak, gimana kira-kira reaksi Chiko pas tahu ini? :D

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro