[18] Love Letter
Velya tengah serius menekuri buku Geografi di depannya, ketika seorang siswi menghampiri. Dia menoleh, menatap gadis itu tanpa minat. Dari tanda di bagian lengan kanan, Velya tahu anak itu adik kelasnya. Apa yang membuat anak kelas X ini mendekatinya sekarang, Velya tidak tahu sama sekali. Dia bukan tipikal kakak kelas populer, yang senang bergaul dengan berbagai kalangan.
“Ehm ... Kakak ... Kak Velya, kan?”
Velya mengangguk, masih tidak tertarik sama sekali. Dia mulai terganggu karena kesibukannya diinterupsi.
“Temennya Kak Chiko?”
“Hm. Kenapa, ya?” tanya Velya, malas berbasa-basi.
Gadis itu merogoh saku rok biru kotak-kotaknya, yang merupakan seragam untuk hari Rabu dan Kamis, lalu mengeluarkan sepucuk surat dari sana. Dia menyerahkannya pada Velya. “Boleh titip buat Kak Chiko?”
Velya menatap surat itu tanpa berniat mengambilnya. Dalam hati dia mendengus, menyadari gadis di depannya ternyata salah satu fans Chiko. “Kasih aja sendiri. Gue bukan tukang pos,” semprotnya, siap kembali pada bukunya.
“Please ....” Suara anak itu terdengar memelas. “Kak Chiko pasti nggak mau terima kalau tahu ini dari aku. Nomorku, Line, WA, semua medsos, udah di-block sama dia.”
Velya kembali menoleh dengan malas, tetapi segera menahan omelannya saat melihat mata gadis itu berkaca-kaca. Dia menghela napas, menahan dongkol. “Taruh di sana. Ntar gue kasih kalau inget.”
Anak itu menurut, meletakkan suratnya di atas buku yang tengah dibaca Velya. Setelah mengucapkan terima kasih, dia segera memelesat pergi.
Velya menatap surat beramplop merah muda di depannya itu. Tulisan “to: Kak Chiko” tertulis di bagian depan. Meraihnya, dia membalik untuk melihat tulisan di bagian belakang amplop. “from: seseorang dari masa lalumu”. Velya menahan diri agar tidak memuntahkan makan siangnya saat istirahat pertama tadi.
Velya menyelipkan surat itu di bukunya, lalu melanjutkan menyelesaikan tugas. Dia menolak ajakan Chiko ke kantin saat istirahat kedua ini, memilih mengerjakan tugas. Tugas Geografi itu tentu hanya alasan. Dia sebenarnya bisa saja mengerjakannya di rumah nanti. Tetapi, Velya menggunakannya untuk menghindari Chiko.
Tidak benar-benar menghindari, sebenarnya. Velya hanya butuh ruang dan jarak untuk menelaah perasaannya yang semakin tidak karuan. Kalau sebelumnya hanya sentuhan Chiko yang membuatnya berdebar, sekarang dia bisa merasa gugup hanya dengan melihat senyum usil cowok itu. Penyakit jantungnya semakin bertambah parah saja.
Karena itu Velya perlahan menjaga jarak. Dia hanya menghampiri Chiko saat pergi dan pulang sekolah. Sisanya, dia sebisa mungkin meminimalisir interaksi mereka. Sejauh ini, dia berhasil. Tidak tahu sampai kapan. Mungkin sampai dia bisa mengendalikan kerja jantungnya supaya tidak berdebar gila-gilaan lagi setiap berada di dekat Chiko.
Lima menit sebelum bel masuk, Velya memutuskan meninggalkan perpustakaan menuju kelasnya. Sebelum berbelok masuk kelas, dia menangkap sosok Chiko sedang nongkrong di koridor dengan teman sekelas cowok itu. Velya kembali merasakan debaran di jantungnya saat melihat sahabatnya itu tertawa. Dia mengatur napas beberapa saat, lalu mendekati gerombolan itu.
“Kodok,” panggilnya, membuat Chiko menoleh. “Ada titipan buat lo.”
Chiko bangun dari posisi jongkoknya untuk menghampiri Velya. “Titipan apa? Makanan, ya?”
Velya mengambil surat dari selipan buku dan menyerahkannya pada Chiko.
Chiko mengernyit, tidak tampak tertarik untuk mengambil surat itu sama sekali. “Apaan itu?”
“Surat cinta, dari anak kelas sepuluh.”
Chiko berdecih. “Sekalian aja suruh ukir prasasti buat gue, biar makin kelihatan niatnya.”
“Bodo ah, nih!” Velya menyodorkan surat itu.
“Buat lo aja.” Chiko berbalik, kembali jongkok bersama teman-temannya.
Velya menggeram kesal. Dengan sebal, dia melipat benda itu menjadi empat bagian kecil, lalu melemparnya pada Chiko. Tanpa meladeni omelan Chiko setelahnya, Velya sudah berbalik untuk ke kelasnya.
Velya tidak tahu bagaimana perasaan jelasnya terhadap kejadian barusan. Satu sisi, ada rasa senang melihat Chiko menolak mentah-mentah surat itu. Di sisi lain, dia seperti melihat dirinya sendiri jika suatu saat nanti memutuskan menyatakan perasaannya belakangan ini pada Chiko.
Pasti, sebuah penolakan mentah-mentah yang sama menyakitkannya seperti kejadian barusan.
Velya merebahkan kepalanya di meja, menghela napas berat. Kalau benar begini yang namanya menyukai seseorang, Velya memilih nanti saja merasakannya. Seharusnya ada aba-aba sebelum perasaannya berubah. Supaya dia bisa mempersiapkan diri juga mental. Jika sudah seperti ini, siapa yang harus disalahkan?
Pulang sekolah, Velya menunggu Chiko di koridor, seperti biasa. Begitu sahabatnya itu muncul dan merangkul bahunya, Velya menyingkirkan tangan itu.
“Nggak usah ganjen,” omelnya, sebal.
Chiko berdecak. “PMS resek,” dumelnya, membuat Velya melotot.
“Lo sotoy ih. Tahu dari mana gue PMS?”
“Kelihatan jelas, kali. Seminggu ini tingkah lo nyebelin banget. Makin jutek aja sama gue. Lo begitu, kan, kalau lagi PMS doang. Hafal gue, Vel.”
Velya tidak menanggapi, hanya mengerucutkan bibirnya. Tidak ada yang bersuara hingga motor Chiko berhenti di depan rumah Velya. Chiko memutuskan mampir, karena di rumahnya tidak ada makanan apa-apa. ART-nya sedang izin pulang kampung, dan dia sedang malas ke supermarket. Karena tidak ada alasan menolak, Velya membiarkan Chiko ikut masuk dan mengacak-acak kulkas di rumahnya.
“Chik ...” panggil Velya, saat Chiko mengeluarkan roti sobek dari dalam kulkas. “Apa isi suratnya?”
“Tauk. Belum gue buka,” Chiko menjawab tak acuh, sudah asyik mengunyah roti. “Baca aja kalau penasaran.”
“Ih, siapa yang penasaran?” sungut Velya.
Chiko merogoh saku celananya, melemparkan benda yang dimaksud pada Velya. “Tuh. Bacain yang keras. Gue lagi pengin ketawa.”
Karena penasaran, Velya meraih benda itu dan membukanya. Tulisan kecil dan rapi terlihat di sana, menandakan jelas kalau yang menulis adalah seorang perempuan. Velya berdeham, lalu mulai membaca.
“Dear, Kak Chiko,
Kak, apa kabar? Semoga sehat selalu. Mungkin, Kakak sekarang bingung karena tiba-tiba dapet surat. Tapi aku juga bingung gimana lagi harus hubungi Kakak.
Kak Chiko, aku cuma mau bilang kalau aku tuh beneran sayang banget sama Kakak. Walaupun kita cuma pacaran dua hari ....”
Velya berhenti membaca. “Lo pernah macarin anak orang cuma dua hari?!” Dia menatap sahabatnya itu tidak percaya.
Chiko mengusap selai srikaya yang mengotori sudut bibirnya. “Beberapa kali,” akunya. “Itu udah termasuk lama, kali. Pagi jadian, sorenya gue putusin aja pernah.”
Velya geleng-geleng kepala. Chiko benar-benar sudah tidak tertolong.
“Lanjutin dong, belum ada yang lucu.”
“Ini perasaan orang, Chik. Bukan bahan ketawaan elo.”
Velya diam sendiri setelah mengucapkan kalimat itu. Sejak kapan dia peduli saat Chiko mempermainkan perasaan penggemarnya? Biasanya dia yang paling tak acuh untuk masalah ini, sementara Gusti mengomeli Chiko.
“Lo nggak asyik deh belakangan ini,” gumam Chiko. Dia menyimpan sisa roti sobek di kulkas. “Balik deh gue.”
Velya mengembalikan surat di tangannya. “Nih, buat lo ketawa.”
“Udah nggak minat.” Chiko berjalan melewati Velya begitu saja, meninggalkan rumah itu untuk kembali ke rumahnya sendiri.
Meninggalkan Velya yang terdiam di tempatnya.
***
Mulai galau-galauan deh kita ... hahahaha :D
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro