[16] Heartbeat
“Van, jangan deket-deket banget duduknya. Cewek gue itu ...”
Evan, yang tadinya sedang membicarakan sesuatu dengan Velya di kantin saat jam istirahat, sontak gelagapan mendengar teguran itu. Sebelum sempat bersuara, Chiko sudah mengisi ruang kosong di sebelah Velya, dan merangkul bahu gadis itu.
“Apaan sih, Chikodok!” Velya mendorong Chiko menjauh.
“Kalian ... pacaran?” tanya Evan, pelan.
“Nggak!” sentak Velya, mendelik galak pada Chiko yang hanya cengengesan tanpa dosa, seperti biasa. “Lo cari cewek lain aja deh sana! Gangguin Bu Ida, kek!” Velya mengerdikan dagu ke arah ibu penjaga kantin.
“Nggak ah, enakan gangguin elo.” Chiko mengacak rambut Velya, yang langsung ditepis dengan sebal. Masih sambil menyunggingkan seringainya, Chiko kemudian berdiri untuk memesan makanan. “Jangan nempel-nempel, Van. Awas lo!”
Evan menelan ludah, mengangguk kaku, sementara Velya mendorong Chiko menjauh.
“Nggak usah dengerin dia. Otaknya makin geser,” gerutu Velya, mengaduk minumannya dengan sedotan. Dia memilih melanjutkan obrolan tentang tempat les tambahan untuk pesiapan UN dan SBMPTN. Evan memiliki banyak rekomendasi, mengingat dia sudah beberapa kali pindah tempat les, sementara Velya sendiri masih bingung mau les di mana.
Evam memaksa dirinya kembali fokus pada obrolan penting itu, mengenyahkan segala ucapan dan kelakuan Chiko barusan. “Kalau mau fokus banget, enakan les privat. Gue sekarang juga milih gitu, jadi mentornya cuma fokus ke gue.”
“Duh, nggak deh. Ntar salting kalau fokusnya cuma ke gue.”
“Belajar bareng aja, mau?” tawar Evan, membuat Velya mengerjap. Evan mengutuk diri sendiri setelahnya, mengutuk mulutnya yang sudah lancang menawarkan hal itu.
“Emang bisa? Kan, beda jurusan ...”
Evan berdeham, menahan diri supaya tidak salah tingkah sekarang. “Ya ... asal ada buku pegangan, kayaknya sih bisa.”
Obrolan mereka kembali terpotong ketika Chiko kembali dengan mangkuk bakso. Dia langsung duduk di sebelah Velya, makan dengan lahap.
“Ngobrolin apa sih?” tanyanya, dengan mulut penuh.
“Ih, jorok!” Velya mendorong wajah Chiko menjauh. “Telen dulu, napa?”
Chiko hanya menjawab dengan seringainya, membuat Velya berdecak.
“Gue nanya tempat les yang bagus sama Evan. Katanya privat aja. Menurut lo gimana?” Velya sedikit memutar tubuhnya menghadap Chiko.
Evan mengamati dalam diam bagaimana kedua orang itu berinteraksi. Dia tahu Chiko dan Gusti adalah sahabat Velya, malah kedekatan mereka sudah menyerupai saudara kandung. Tetapi, belakangan dia melihat Velya lebih banyak menghabiskan waktu berdua Chiko, tanpa Gusti. Dia merasa seperti ada yang berbeda sekarang. Chiko tidak lagi menggoda cewek-cewek di sekolah, hanya fokus pada Velya. Membuatnya berpikir ada sesuatu di antara kedua orang itu.
Mau tidak mau, itu membuatnya ... kesal, sedikit. Sebelum Chiko merayunya supaya mau jalan dengan Velya, Evan tidak pernah terpikir untuk mendekati siswi di sekolahnya. Tetapi, setelah insiden itu, ditambah beberapa kali interaksi lain, Evan mulai tertarik. Kalau sekarang tiba-tiba Chiko yang bersama Velya, tidak salah kalau dia merasa kesal, kan?
“Tanya Gusti aja coba, kalau lo masih bingung,” usul Chiko. “Gue les nggak, ya?” gumamnya. “Pengin sih, tapi percuma deh. Gue, kan, udah pinter. Lo yang beneran butuh bantuan banyak.”
“RESEK!” Velya mencubiti pinggang Chiko tanpa ampun, membuat cowok itu terbahak dan coba menghindari serangannya.
Evan makin terdiam saat melihat Chiko menahan tangan Velya dan mengganggamnya dengan satu tangan, sementara tangan yang lain lanjut menikmati baksonya. Velya sendiri membiarkan tangannya di sana, walaupun wajahnya tampak cemberut.
“Bibir lo minta dikuncir banget kalau lagi manyun-manyun gitu,” ledek Chiko.
Velya menarik tangannya dan menghadiahi tinjuan terakhir di bahu Chiko.
***
Velya menunggu Chiko di depan kelasnya, sesekali melirik ke arah kelas cowok itu yang masih belum menunjukan tanda akan berakhir. Dia menghela napas, mengeluarkan ponselnya, dan mengetik chat.
Velyanata : masih lama ya?
Federico: tanya sama yang ngajar coba.
Velya mendengus. Baru akan menyimpan ponselnya kembali, benda itu bergetar. Dia pikir Chiko yang mengirimkan chat lain. Saat dibuka, ternyata itu dari Evan.
Evan: bisa temenin nyari buku nggak?
Velyanata: hari ini banget?
Evan: kalau bisa aja sih...
Velya menimbang beberapa saat. Bukan apa-apa, dia sebenarnya sedang malas ke mana-mana. Hanya ingin tiba di rumah, lalu tidur siang. Dengan agak tidak enak hati, Velya menolak ajakan Evan. Balasan cowok itu kemudian membuatnya mengernyitkan dahi.
Evan: nggak dibolehin Chiko ya?
Velyanata: apa hubungannya?
Evan tidak membalas lagi. Chat terakhirnya itu hanya dibaca. Terlalu malas menanggapi, Velya memilih menyimpan ponselnya di tas.
Untunglah, tak lama kemudian kelas Chiko bubar. Velya yang tadinya asyik bersandar di balkon, sontak menegakkan tubuh, mencari sosok Chiko di antara kerumunan. Chiko berjalan beriringan dengan Gusti, menghampiri tempatnya berdiri.
“Lama, ya?” tanya Chiko, mengacak rambut Velya.
“Banget. Gue ngantuk, laper juga.”
“Yuk kita makan dulu, terus baru pulang.” Chiko menggandeng tangan gadis itu dengan santai, lalu berpaling pada Gusti. “Ikut nggak?”
Gusti melihat gesture itu, tetapi memilih diam dan menjawab pertanyaan Chiko. “Tanya Sheryl dulu. Ntar ketemu di parkiran aja.”
Chiko mengacungkan jempol dengan tangannya yang bebas, lalu menarik Velya menuju parkiran motor siswa.
“Lo belakangan aneh deh,” gumam Velya, saat mereka sudah berada di sebelah motor Chiko dan cowok itu memasangkan helm padanya.
“Aneh gimana?” Chiko memastikan kaitan helm Velya sudah terpasang baik, lalu baru memakai helmnya sendiri.
“Aneh aja.”
Chiko berdecak. “Lo yang aneh,” balasnya.
Begitu Gusti dan Sheryl muncul, keduanya ternyata mau bergabung untuk makan siang. Velya langsung semangat memilih mi ayam, yang diiyakan oleh yang lain. Dia naik ke boncengan Chiko, begitu sahabatnya itu sudah menyalakan mesin motor. Saat Velya akan berpegangan di bagian samping jaket Chiko, cowok itu malah menarik tangannya hingga melingkari pinggang. Dada Velya tertarik maju, menempel di punggungnya.
“Gini kek sekali-kali, biar gue nggak kayak Go-Jek,” sungut Chiko.
Di belakangnya, Velya membeku. Gadis itu sudah akan menarik tangannya, tetapi ditahan oleh Chiko. Tanpa bisa dicegah, Velya merasakan sesuatu yang baru. Debaran kencang di dadanya.
“Chik ... risih, ah!” Velya masih mencoba menarik tangannya.
“Udah, biarin aja. Biar nanti lo nggak kagok pas punya pacar.” Chiko menepuk pelan lengan Velya yang berada di pinggangnya. “Jangan dilepas, ya. Awas lo, gue turunin di flyover ntar.”
Velya mendengus, tetapi tidak membantah. Begitu motor Chiko sudah melaju, Gusti dan Sheryl menyusul di belakangnya.
Meskipun awalnya kikuk dan kagok, lama-kelamaan Velya bisa santai dengan posisi mereka. Kalau tadi tubuhnya agak tegang, hampir setengah perjalanan kemudian dia merasa lebih relaks. Tetapi, satu hal yang tidak berubah hingga motor Chiko berhenti di warung mi ayam langganan mereka, debaran jantung Velya masih terasa sama.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro