Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[15] There is Something

Chiko merasakan tengkuknya merinding, ketika dia sedang sibuk menyalin PR Kimia yang akan dikumpul hari ini. Saat menoleh ke arah sumber rasa tidak nyaman itu, dia mendapati tatapan Gusti tengah mengarah padanya.

“Apaan sih lo? Naksir sama gue?” omel Chiko, kesal karena keseriusannya terganggu. Mengabaikan Gusti, Chiko memilih melanjutkan kegiatannya.

“Lo ngasih Velya sesuatu, ya?” tanya Gusti, membuat Chiko kembali menoleh.

“Sesuatu apaan?”

“Dia nggak marah sama gue. Terus tadi pas gue sapa, balas senyum ramah banget. Gue sampai merinding.”

Chiko tersenyum kecil, tanpa menoleh ke arah Gusti. “Udah jinak kok dia. Tenang aja.”

“Makanya itu gue penasaran. Lo ngasih apa ke dia?”

“Cinta dan kasih sayang.”

Toyoran dari Gusti mendarat sempurna di kepala Chiko. Chiko tertawa pelan, tetapi tidak membalas, memilih menyelesaikan PR sesegera mungkin sebelum guru yang mengajar datang.

Gusti tidak bersuara lagi, membiarkan Chiko dan mengamati dalam diam.

Sahabatnya itu juga berubah, Gusti menyadari. Biasanya, Chiko blingsatan jika lama tidak mendekati perempuan. Tetapi, sejak berkata kalau dia akan menjaga Velya, Chiko benar-benar memegang ucapannya. Hanya beberapa hari lalu Gusti melihatnya mendekati salah seorang anak kelas X. Menurut Chiko, itu hanya taruhan konyolnya dengan Velya.

Velya juga tampak lebih tenang belakangan ini. Setelah insiden dia absen ikut ziarah ke makam papa gadis itu, Velya tidak marah dengannya. Tidak merajuk atau mengomel banyak. Dia memaafkan, saat Gusti menjelaskan alasan kedatangannya yang sangat terlambat. Tanpa omelan sama sekali.

Itu membuat Gusti jadi merasa terasing. Ketika mereka kumpul bertiga juga Velya dan Chiko seolah memiliki dunia sendiri. Dia didepak, tidak mengerti, hanya bisa melongo dan diam saat kedua sahabatnya itu asyik tertawa.

Gusti tahu itu konsekuensi atas perbuatannya sendiri. Secara tidak langsung, dia lebih memilih Sheryl dibanding Chiko dan Velya, walaupun sebenarnya dia sama sekali tidak bermaksud seperti itu. Gusti berharap, saat dia tengah berusaha meluluhkan gadis impiannya, Chiko dan Velya tetap berada di sampingnya.

Keinginan yang egois, memang.

Saat ini, hubungannya dan Sheryl kembali membaik. Jauh lebih baik dibanding sebelum konfrontasi Velya di mall kala itu. Gusti senang perjuangannya membuahkan hasil. Tetapi, di sisi lain, dia tidak ingin sahabatnya menjauh.

Gusti menghela napas pelan, menyadari sesuatu. Bukan sahabatnya yang menjauh. Dia yang menarik diri lebih dulu. Mereka berdua tidak ke mana-mana, dia yang melalang buana.

“Chik ...”

Chiko menutup bukunya dengan perasaan lega, lalu menoleh pada Gusti. “Apaan?”

“Lo sama Velya nanti mau jalan ke mana?”

“Nemenin dia cari kain flanel. Dia mau belajar bikin kerajinan tangan dari itu, nantangin gue buat bikin juga. Makin tua, makin nggak jelas aja idenya si Velya itu.”

Meskipun enggan mengakui, Gusti mulai merindukan direcoki oleh Velya. “Gue ikut, ya?”

Dahi Chiko berkerut. “Ngapain izin, ya elah? Ikut, ya, ikut aja. Kenapa? Ngerasa asing, ya?”

Gusti mendengus. Dia benar-benar sebal kalau celetukan Chiko tepat sasaran. Sahabatnya satu itu memang tidak mengenal basa-basi. Tidak peduli meskipun celetukannya itu membuat lawan bicara mati kutu.

“Gimana lo sama Sheryl?” Chiko bersandar di bangkunya, seraya menopang tangan di belakang kepala.

“Ya gitu aja.”

“Jangan nggak jadi, ya. Jangan nggak sampai nikah,” ujar Chiko, seraya mengeluarkan ponselnya.

Gusti tidak menanggapi, memilih ikut mengeluarkan ponsel. Grup Line “Tiga Kurcaci”, yang biasanya selalu ramai oleh obrolan mereka bertiga, belakangan ini sepi. Gusti mengakui kalau itu mungkin juga kesalahannya. Dia jarang ikut menanggapi belakangan ini. Mungkin itu membuat Chiko dan Velya lebih memilih jaringan pribadi, daripada hanya mengobrol berdua di grup.

Lagi-lagi, Gusti hanya bisa menghela napas. Dia berniat hari ini harus kembali mendekatkan diri dengan kedua sahabatnya.

Pulang sekolah, kedua cowok itu mampir ke kelas Velya. Gusti sudah mengabari Sheryl kalau hari ini dia ada acara dengan kedua sahabatnya. Tadinya Gusti menawari Sheryl, tetapi gadis itu menolak karena hari ini ada les.

“Vel, sama gue, ya?” ajak Gusti, begitu mereka sudah berada di tempat parkir,

Velya melirik Chiko, seolah meminta pendapat.

“Nggak, enak aja. Males gue kayak jomlo ngenes. Bawa helm dua, nggak ada yang dibonceng,” sungut Chiko, membuat Gusti berdecak sebal.

Akhirnya, Velya tetap bersama Chiko. Sesuai rencana, mereka mampir dulu ke toko kerajinan tangan untuk membeli kain flanel berbagai warna. Gusti tidak tahu kerajinan seperti apa yang ingin dibuat Velya dan Chiko, tetapi dia sudah bertekad untuk mengikuti kegiatan mereka.

Selesai membeli berbagai benda yang diperlukan di toko kerajinan, mereka melanjutkan perjalanan pulang. Gusti mengira acara itu akan dilakukan di rumah Velya, tetapi ternyata dugaannya salah. Mereka berhenti di rumah Chiko.

“Kasihan rumahnya, kesepian,” ujar Velya, melihat kebingungan Gusti. Gadis itu meletakkan kantong belanjaannya di meja ruang tengah, lalu berlari kecil ke dapur. “Chiko! Gue nemu es krim di kulkas!”

“Ambil, Vel. Ambil ...” Chiko mengacak rambut gadis itu saat melewatinya untuk mengambil minum.

Rasa penasaran Gusti kembali. Interaksi Velya dan Chiko tidak seperti biasa. Chiko bersikap lebih ... lembut?

Oke, Chiko memang tidak pernah sampai kasar, apalagi main tangan dengan Velya. Tetapi, tidak juga seperti ini. Di situasi normal, Chiko akan mengomel dulu, walaupun pada akhirnya tetap menyerahkan es krim itu pada Velya.

Gusti mulai merasa ada sesuatu di antara sahabatnya. Apa yang bisa berubah dalam waktu beberapa bulan?

“Lo berdua jadian, ya?”

Velya tersedak es krim, dan Chiko menyemburkan air minumnya. Itulah reaksi ketika pertanyaan itu terlontar. Untung Gusti mengelak tepat waktu.

“Males banget deh! Amit-amit!” semprot Velya, mendelik pada Chiko.

Chiko sendiri hanya menyeringai, tetapi tidak menanggapi. “Mau makan siang apa?”

“Pengin bento,” gumam Velya.

“Lo, Gus?”

“Samain aja.”

Chiko memesan makanan melalui layanan pesan-antar di ponselnya. Sembari menunggu makan siang, Velya membongkar belanjaannya.

“Gue mau bikin sarung buat hape,” kata Velya.

“Bikinin gue,” pinta Chiko. “Yang bagus tapi. Kalau jelek nggak usah.”

“Lo gue bikinin sarung flashdisc aja, ya?”

“Sekalian aja sarung pulpen, Vel,” sungut Chiko, sementara Velya terkikik.

Gusti kembali mengamati kedua orang itu. Dia makin merasa asing sekarang. Bagaimana kalau kedua sahabatnya itu benar-benar menjalin hubungan? Dia bisa didepak dari geng mereka. Semenyebalkan apa pun kelakuan Velya dan Chiko, Gusti tidak pernah mau kehilangan keduanya.

Perasaan aneh yang dirasakan Gusti bertambah ketika Chiko tiba-tiba meraih dagu Velya, lalu merapikan poni yang menutupi mata gadis itu dan menahannya dengan jepit rambut. Chiko melakukannya sendiri, tanpa menunggu teriakan Velya yang yang memintanya melakukan hal itu.

“Gue jadi berasa obat nyamuk,” protes Gusti, berusaha tetap bersikap biasa.

“Biasain dong. Jadi ntar nggak kagok kalau gue nikah sama Velya.”

Tinjuan dari kepalan tangan mungil Velya mendarat keras di bahu Chiko. “Siapa yang mau nikah sama lo!?” protesnya.

Gantian Chiko yang sekarang tertawa keras.

Gusti sendiri, hanya bisa menyeringai salah tingkah, menyadari sudah sejauh apa jarak yang dibuatnya.

***

____________________

Bentar lagi masuk konflik :D

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro