[14] Papa
Velya bukan tipe remaja yang tergila-gila dengan perayaan. Hari ulang tahun pun dianggapnya biasa saja, sekadar pertanda kalau dia bertambah tua dan sisa umurnya di dunia semakin berkurang. Tetapi, ada satu hal yang tidak pernah dilewatkan olehnya. Peringatan meninggalnya Papa.
Dua belas tahun berlalu, sosok Papa nyaris tinggal berupa kenangan baginya. Velya baru lima tahun saat itu, ditambah pertemuan yang jarang karena pekerjaan papanya. Bisa dihitung jari berapa banyak waktu yang mereka habiskan sebagai keluarga utuh. Yang Velya ingat, setiap kali pulang Papa akan membawakan banyak hadiah untuknya. Oleh-oleh hiburan, membuat Velya lupa kalau dia sedang merajuk karena Papa melewatkan pentas kecil di TK, atau meminta salah seorang Om-nya yang menggantikan posisi Papa saat pemotongan kue ulang tahun. Hingga berita buruk itu datang, Papa benar-benar tidak kembali lagi.
Setiap tahun, di tanggal dan bulan yang sama, Velya akan mendatangi makam Papa. Hanya itu satu-satunya saat dia mau ziarah. Bukan saat menjelang puasa Ramadan atau Lebaran. Mama akan menemaninya jika itu hari libur. Kalau bukan, Chiko dan Gusti yang setia menjadi pendampingnya. Ikut membersihkan makam Papa, hingga membacakan doa di samping pusara.
Kecuali hari ini.
Pulang sekolah, Velya langsung mandi dan bersiap pergi. Tetapi, hanya Chiko yang menunggu di ruang tengah rumahnya, sudah mengenakan kemeja polos dan jin hitam. Velya sendiri memilih memakai gamis putih dan kerudung.
“Gusti ... mana?”
“Nanti nyusul, katanya,” jawab Chiko. “Yuk?”
Velya mengangguk, mengikuti langkah Chiko meninggalkan rumahnya. Motor Chiko kemudian melaju pelan menuju Tempat Pemakamam Umum, di mana papanya dikebumikan.
Mereka tidak banyak bersuara begitu tiba di sana. Chiko langsung berjongkok untuk mencabuti rumput liar yang menganggu pemandangan, sementara Velya mengeluarkan tisu basah dan mengelap kotoran pada batu nisan. Hingga tulisan Baskara Pramudya bin Tantowi kembali terlihat jelas. Selesai menaburkan bunga dan air bersih, Velya berjongkok dan membuka aplikasi al Quran di ponselnya. Sementara Velya mulai membaca untaian ayat suci di sana, Chiko diam, mendengarkan suara pelan gadis itu.
Sejenak, suasana di sekitar mereka sangat sunyi. Wajar saja, mengingat ini belum memasuki musim ziarah. Hanya Velya dan Chiko yang ada di sana, selain penjaga makam. Tetapi, kenyataan itu sama sekali tidak menganggu Velya. Dia tetap mengaji dengan khusyuk, tidak mengindahkan sekitarnya.
Selesai mengaji, Velya menyimpan ponselnya, ganti menengadahkan tangan untuk memanjatkan doa. Setelah itu, dia mengusap pelan nisan papanya, lalu berdiri.
“Udah?” tanya Chiko.
Velya mengangguk. “Nggak lama, kan?”
“Lama juga nggak apa-apa kok. Setahun sekali juga.”
Velya tersenyum kecil, seraya menggandeng lengan Chiko. “Ntar lo kerasukan kalau kita kelamaan di sini.”
Chiko mendengus. “Ya udah, ke mana sekarang? Pulang apa makan?”
“Mau puding pisang.”
Dahi Chiko berkerut. “Puding pisang di mana?”
“Kafe kecil yang deket sekolah itu. Mereka punya menu baru, enak banget. Yuk, yuk!?”
“Oke,” balas Chiko.
Velya bersorak senang. Baru akan memakai helm yang disodorkan Chiko, sebuah motor lain yang juga dikenalnya berhenti. Si pengemudi turun dan melepas helmnya, menampilkan wajah bersalah.
“Sori, telat. Tadi gue ...”
“Nganter Sheryl?” potong Chiko. “Nggak apa-apa. Velya punya gue, nggak sendirian kok.”
Biasanya, Velya akan mengomel panjang pada Gusti karena terlambat di hari sepenting ini dan berujung merajuk, mengabaikan cowok itu beberapa hari. Tetapi, kali ini Velya hanya diam, tidak menanggapi permintaan maaf Gusti, memilih naik ke boncengan Chiko.
“Vel ...”
Velya menarik tangannya dari pegangan Gusti, melingkarkan erat di pinggang Chiko, dan menoleh ke arah lain. Chiko sendiri sudah malas meladeni prilaku Gusti belakangan, memilih menjalankan motornya meninggalkan tempat itu.
Kehilangan seseorang, walau baru pertanda, tetap terasa menyesakan. Itulah yang dirasakan Velya sekarang. Itulah yang membuatnya sulit menerima orang baru dalam hidupnya, termasuk hanya untuk main-main seperti yang dilakukan Chiko dan Gusti pada pacar-pacar mereka. Dia tidak akan pernah kebal menghadapi kehilangan.
“Udah, nggak usah cemberut. Gue lebih ganteng dari Gusti. Mendingan jalan sama gue ke mana-mana.” Chiko mengacak rambut Velya, begitu motornya sudah terparkir di depan kafe yang dimaksud gadis itu dan mereka sudah melepas helm. “Pesen aja puding pisangnya banyak-banyak, gue yang bayarin.”
“Emang harus elo-lah yang bayarin.” Velya memeletkan lidahnya, seraya berlari masuk lebih dulu.
“Nyesel gue, Vel! Nyesel!” omel Chiko sebal. Dia menyusul Velya yang sudah duduk manis lebih dulu.
Sembari menunggu pesanan, Velya menumpukan dagunya di kedua tangan, menatap Chiko saksama.
“Apaan? Naksir sama gue?”
“Dih, males,” sungut Velya. Kemudian, dia tersenyum kecil. “Chik, janji sama gue, ya?”
Chiko tidak langsung menjawab, mencoba menebak pikiran Velya. “Apa?” tanyanya.
“Kalau nanti lo juga harus ninggalin gue, jangan langsung kayak Gusti, ya? Boleh nggak gue minta pelan-pelan aja? Sampai gue nggak sadar kalau lo udah pergi.”
Chiko berdecak. “Lo ngomong gitu kayak gue mau mati dalam waktu dekat aja sih.”
“Ih, serius!” Velya mencubit lengan Chiko. “Lo jadi kuliah di Prancis, kan?”
Chiko mengembuskan napas kasar. “Udah ya, Velyanata. Nanti aja kita bahas itu. Gue bisa kuliah di mana aja kok. Nggak masalah.”
“Gue beneran sedih lho kalau lo ngilang tiba-tiba kayak Gusti juga ...”
“Iya, gue tahu lo diem-diem cinta sama gue. Gue juga kok.” Chiko mengacak kepala Velya.
Velya menepis tangan Chiko dengan wajah cemberut. “Lo tuh, nggak bisa banget diajak ngobrol serius ih. Pantes nggak laku lagi.”
“Sembarangan!” protes Chiko, tidak terima. “Tunggu ya lo, besok gue jadian sama anak kelas X. Lo tunjuk aja yang mana, bakal langsung jadi!”
“Kalau nggak?”
“Gue jadi bodyguard lo seumur hidup. Kalau iya, lo jadi tukang cuci sepatu gue sampai kita lulus.”
Velya tertawa keras, lalu mengulurkan tangannya. “Deal.”
***
______________________
Satu part lagi ya hutangnya... hehehe
Masih ada yg ngikutin cerita ini, kan? :)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro