Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[12] Family

Gustiranda: Sher, gue bikin salah ya?

Sheryl menatap layar smartphone-nya, lalu menghela napas. Sejak insiden dengan Velya, Sheryl memang menjaga jarak dari Gusti. Juga Chiko. Untungnya, Chiko memang sudah tidak lagi mendekatinya. Hanya saling lempar senyum dan sapaan basa-basi saat mereka tidak sengaja berpapasan di sekolah. Sementara Gusti berbalikan dengan Chiko, masih mencoba mendekatinya. Jujur saja, tuduhan Velya di depan umum tempo hari, meskipun gadis itu sudah minta maaf dan dia memaafkannya, masih tetap membuat Sheryl sedikit trauma.

Gustiranda: yah, Sher ... bales dong ... masa dibaca doang.

Gustiranda: kalo gue bikin salah, maafin.

Mendiamkan Gusti sebenarnya membuat Sheryl merasa bersalah. Cowok itu baik, sangat. Setahun ‘vakum’ dari SMA-nya, membuat Sheryl agak kesulitan bergaul. Teman-teman yang dulu dikenalnya saat kelas X sudah menjadi senior, tidak lagi sering berinteraksi dengannya. Sementara teman seangkatannya terlalu segan tiap kali dia coba berbaur. Lagi pula, mereka semua sudah membentung geng sendiri-sendiri. Jadi, kehadiran Gusti sebenarnya membuatnya lega, tidak terlalu kesepian di sekolah.

Gustiranda: ya udah deh. Maaf ya, Sher, udah ganggu. Nite :)

Sheryl kembali menghela napas pelan, lalu mengetik balasan.

Sheryl: lo nggak salah kok. Gue aja yg lagi PMS. Hehe. Nite, too :)

Gustiranda: beneran nggak marah? Besok mau berangkat bareng?

Sheryl: beneran. Tapi nggak usah. Kasihan lo, rumah kita kan jauhan.

Gustiranda: nggak papa. Pokoknya besok gue jemput ya. Jangan berangkat duluan.

Sheryl: oke :)

Sheryl berharap itu bukan keputusan yang salah. Lagi pula, sekarang dia hanya akrab dengan Gusti, kan? Mengingat Chiko sendiri sudah menjauh. Jadi tidak ada alasan bagi Velya, atau siapa pun, berpikir jelek tentangnya.

***

Chiko mengeluarkan motornya, berbarengan dengan Gusti yang juga siap menaiki kendaraan roda dua miliknya di depan rumah cowok itu.

“Lo bareng Velya, kan?” Gusti memastikan.

“Iye. Sekalian mau numpang sarapan,” cengir Chiko, seraya mendorong motornya ke arah rumah Velya.

Gusti berdecak, tetapi tidak berkata apa-apa, memilih mulai menjalankan motornya.

Chiko membuka pagar rumah Velya, lalu mendorong motornya masuk dan memarkirkannya di teras. Meskipun satu komplek, tetapi rumah-rumah di sana memiliki desain dan model sendiri-sendiri. Rumah Velya tipe modern minimalis. Hanya satu tingkat, dengan halaman luas yang ditutupi rumput dan dipenuhi berbagai tanaman hias milik mama Velya, juga sebuah pohon mangga di dekat pagar. Rumah Gusti, yang berada di sebelah kiri rumah Velya, masih mengusung konsep serupa, hanya saja memiliki dua tingkat. Rumahnya, yang berseberangan dengan rumah Velya, adalah salah satu bangunan yang paling mewah di sana. Bangunan dua tingkat dengan pilar-pilar tinggi khas rumah Eropa. Modern, megah, dan kosong.

Seperti pagi ini, kedua orangtuanya yang merupakan manusia paling sibuk se-planet, sudah tidak ada di rumah saat dia bangun. Bukan hal baru bagi Chiko. Dia lebih sering makan dan menghabiskan waktu di rumah Velya atau Gusti, daripada di rumahnya sendiri, kecuali dia memang sedang malas keluyuruan. Kalau bukan karena kedua sahabatnya itu, Chiko mungkin sudah ikut-ikutan pergaulan liar teman-temannya. Dulu, dia sempat ikut balap liar motor. Saat ketahuan Gusti, sahabatnya itu menunjukan jelas sikap tidak setuju, tetapi tidak pernah melarangnya. Sampai kemudian Chiko kecelakaan dan harus dirawat seminggu di rumah sakit, hanya orangtua Gusti dan mama Velya yang merawatnya. Ayah Gusti sampai terang-terangan memarahinya saat tubuh Chiko masih berbalut perban, membuat Chiko hanya bisa cengar-cengir sambil sesekali meringis. Sementara orangtuanya sendiri saat itu sedang berada di benua lain, hanya mengirimkan nominal besar untuk biaya pengobatannya. Chiko tidak lagi mengeluh. Terutama karena walaupun orangtuanya nyaris tidak pernah ada waktu, dia tidak merasa sendirian.

“Pagi, Tante Cantik!” sapa Chiko, seraya memasuki ruang makan rumah Velya. “Chiko Ganteng mau numpang sarapan boleh, kan?”

Mama Velya tertawa. “Boleh.”

“Lima ratus ribu,” balas Velya, dengan mulut penuh nasi goreng.

“Ganti duit bensin gue yang dipakai buat anter-jemput lo ke mana-mana, impas jadinya,” balas Chiko, menarik kursi di depan Velya sambil menjulurkan lidah.

“Tuh, Ma! Chiko melet-melet ngeledek aku! Nggak usah lagi kasih makan!”

“Udah, ah. Nggak baik pagi-pagi ribut,” tegur mama Velya, melirik kedua anak itu bergantian. “Chiko mau jus jeruk apa susu?”

“Susu aja, Tan. Biar cepet tinggi.”

“Kamu mau sampai nyentuh atap rumah apa tingginya?”

Chiko kembali menyeringai, menerima segelas susu yang diserahkan mama Velya dan mengucapkan terima kasih. Mereka bertiga sarapan dengan tenang, sambil sesekali mengobrol.

Jika Chiko memiliki orangtua lengkap yang sering menghilang sesuka hati, Velya sedikit lebih kurang beruntung dibanding dirinya. Ayah Velya seorang pilot, meninggal saat Velya baru berusia lima tahun dalam kecelakaan pesawat. Sejak itu, mama Velya yang tadinya bekerja sebagai pramugari, memilih resign dan melamar pekerjaan kantoran. Bukan hanya trauma, tetapi beliau juga tidak mau lagi terlalu sering meninggalkan Velya bersama pengasuh. Setidaknya meskipun tetap sibuk, mengingat beliau adalah single parent, tetapi Velya bisa bertemu mamanya setiap hari.

Karena itu, Chiko sangat mengerti perasaan tidak suka ditinggalkan yang dirasakan Velya. Gusti juga tahu kondisi itu, tetapi mungkin tidak benar-benar memahami perasaan gadis itu. Di antara mereka bertiga, Gusti yang paling beruntung. Dia memiliki keluarga utuh yang sangat harmonis, tipikal keluarga yang bisa membuat iri anak mana pun. Menurutnya, Gusti hanya bisa sebatas bersimpati, bukan berempati.

“Nggak usah ngebut ya, Ko,” pesan mama Velya, begitu putri tunggalnya sudah duduk manis memakai helm di boncengan cowok itu.

“Siap, Tante!” Chiko berlagak hormat. “Lagian, anak Tante ini juga punya jurus cubitan maut tiap kali aku ngebut dikit. Pinggang aku sampai biru-biru semua.”

“Biarin. Dia sih cari mati ngajak-ngajak.”

“Velya, mulutnya.” Mamanya berdecak. “Udah sana berangkat. Nanti telat.”

“Pergi, Ma. Assalamualaikum,” sapa Velya, sementara Chiko hanya pamit tanpa mengucapkan salam.

Waalaikum salam,” balas Mama.

Begitu motor Chiko menghilang dari pandangan, beliau baru berbalik ke dalam rumah untuk bersiap ke kantor.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro