[10] Angry
Gusti menoleh ketika mendengar pintu kamarnya dibuka dengan kasar. Sosok Chiko muncul dengan wajah merah padam. Tanpa bertanya, Gusti tahu sahabatnya itu sedang marah.
“Lo apain Velya?” cerca Chiko.
Gusti diam, kembali menatap buku pelajarannya yang terbuka. “Dia ngomong asal di depan Sheryl.” Dia lalu menceritakan pertemuannya dengan Velya di mall siang tadi, termasuk semua ucapan yang dilontarkan Velya pada Sheryl.
Chiko mengumpat. “Itu bikin lo bentak dia? Sampe dia nangis dan nggak mau keluar kamar? Nyokapnya nelepon gue, tahu nggak.”
“Gue kesel, Chik. Dia nggak harus ngomong gitu!”
“Lo tolol. Jelas aja dia mikir gitu. Kita nggak ngomong apa-apa sama dia. Coba lo di posisi dia, lihat dua sahabatnya digilir satu cewek, apa nggak mikir gitu juga?”
“Dia kelewatan.”
“Kapan dia nggak kelewatan?” balas Chiko, membuat Gusti kembali bungkam. “Kita udah tahu dia emang gitu. Manja, resek, nyebelin. Kenapa baru sekarang lo sampe hilang kendali?”
Gusti tidak menjawab.
“Lo yang bilang jangan sampe urusan ginian bikin kita musuhin Velya. Lo, malah udah negasin depan gue, tetap milih Velya dibanding cewek-cewek itu. Kenapa sekarang berubah?”
“Sheryl nggak sama kayak cewek-cewek itu. Dia beda.”
Chiko mendengus. “Nikmatin sana PDKT-an lo. Gue sama Velya nggak bakal ganggu lagi.”
Gusti menatap punggung Chiko yang menjauh dari kamarnya. Menghela napas kasar, dia segera beranjak untuk menyusul sahabatnya itu. “Gue minta maaf!”
“Sama Velya, nggak perlu sama gue,” ketus Chiko, tanpa berpaling. Sebelum membuka pintu rumah, dia berbalik. “Dia cuma punya kita, Gus. Nyokapnya juga udah nitipin dia ke kita.”
“Gue tahu. Gue cuma ...”
Chiko melipat tangan di depan dada, menatap Gusti beberapa saat. “Lo beneran suka sama Sheryl?”
Gusti merasakan pipinya memanas. Dia dan Chiko tidak pernah terlibat obrolan menye menjijikan seperti ini. Karena biasanya juga mereka PDKT hanya untuk senang-senang, mengisi kisah masa SMA. Tidak untuk serius.
Setidaknya sebelum Gusti dibuat kembali jatuh oleh Sheryl. Sama seperti ketika mereka awal berkenalan dulu. Biasanya, Gusti juga tidak ambil pusing dengan kelakuan Velya pada gadis yang didekatinya. Kali ini, dia tidak terima.
“Oke.” Chiko menghela napas, merasa diamnya Gusti sudah cukup menjadi jawaban. “Gue mundur. Lo terusin aja. Biar gue yang jaga Velya.”
“Chik, jangan ginilah. Gue beneran nggak mau musuhan gara-gara cewek doang.”
“Buat gue, dia emang cewek doang. Buat lo, lebih dari itu, kan?”
Gusti menahan diri untuk tidak mengangguk. Memang seperti itu, kan? Makanya dia tidak rela menyerahkan Sheryl begitu saja pada Chiko. Karena dia tahu, bagi Chiko, Sheryl hanyalah gadis cantik menarik lain yang butuh didekati, ditaklukan, lalu tinggalkan. Dia tidak mau mengalah tanpa perlawanan.
“Lo minta maaf sama Velya, gue lupain semuanya. Gue beneran nggak akan ganggu kalian, dan pastiin Velya juga ngerti kalau kali ini lo serius.”
“Lo yakin?”
“Yakin.”
Gusti merasa bersalah, sekaligus malu. Selama ini dia merasa selalu menjadi yang paling dewasa di antara mereka bertiga. Tetapi, kali ini dia dikalahkan oleh Chiko. Begitu dia berjanji akan minta maaf pada Velya, Chiko mengangguk kecil, lalu meninggalkan rumah itu. Gusti menghela napas pelan, seraya berbalik masuk ke kamarnya lagi.
***
Velya mempercepat langkahnya, menghindari sosok Gusti yang sejak tadi coba mengajaknya bicara. Dia masih kesal dengan cowok itu. Kesal dan malu. Dengan Chiko juga. Setelah mengetahui apa penyebab Gusti memarahinya, Chiko malah ikut mengomel, berkata kalau dia tidak seharusnya bicara seperti itu. Chiko juga menjelaskan yang sebenarnya. Bukan Sheryl yang salah. Dia dan Gusti sendiri yang membuat kesepakatan untuk mendekati gadis itu dan membiarkan Sheryl sendiri yang memilih nanti.
Chiko tidak membahas tentang kesepakatan untuk menjaga Velya bagi siapa pun yang ‘kalah’. Kalau Velya tahu, gadis itu pasti makin mengamuk.
“Vel ... maafin gue dong ...” Gusti memelas.
Velya masih sok-sok tidak mendengar, dan berbelok ke toilet perempuan, di mana Gusti tidak akan bisa mengikutinya lagi. Alasan lainnya, Velya merasa malu dan bersalah pada Sheryl. Karena tingkah konyol kedua sahabatnya, dia jadi salah paham pada gadis itu. Velya sudah berniat akan minta maaf kalau bertemu nanti.
Dia menyalakan keran untuk mencuci tangan, ketika salah satu pintu bilik toilet terbuka. Gerakan Velya terhenti sesaat melihat sosok Sheryl keluar dari sana. Sheryl juga terlihat kaget. Tetapi, dia bersikap tak acuh, memilih ikut mencuci tangannya di sebelah Velya. Begitu Sheryl akan memelesat keluar, Velya menahannya.
“Maaf. Omongan gue kemarin kelewatan.”
Sheryl menoleh, setengah tidak percaya atas apa yang didengarnya.
“Dua sahabat gue emang stupid banget. Gue jadi salah paham sama lo. Gue beneran minta maaf.”
Sesaat, Sheryl terlihat seperti tidak tahu harus membalas apa. Tetapi, kemudian dia menyunggingkan senyum kecil, sedikit canggung, pada Velya. “Makasih juga udah negur langsung. Itu lebih baik daripada denger kasak-kusuk di belakang. Omongan lo juga bikin gue sadar kalau apa yang gue lakuin emang rentan bikin orang salah paham. Seenggaknya gue bisa lebih hati-hati sekarang.”
Velya menyandarkan pinggulnya di wastafel. “Lo beneran suka sama mereka? Atau salah satunya?”
Sheryl tidak langsung menjawab, ikut bersandar di samping Velya. “Nggak tahu. Gue nerima ajakan mereka, ya, temen aja. Mereka baik.”
“Boleh gue minta satu hal?”
“Apa?”
“Jangan sakitin mereka. Dua-duanya emang geblek. Tapi mereka baik. Gue nggak rela kalau mereka disakitin. Jadi, kalau lo emang nggak punya rasa apa-apa, jangan kasih mereka harapan.”
Ucapan itu kembali membungkam Sheryl selama beberapa detik. Kemudian, dia tersenyum. Kali ini lebih lebar dan lepas. “Oke,” ucapnya. “Gue sekarang tahu kenapa mereka berdua juga sayang banget sama lo.”
Velya mendengus. “Sayang apaan. Habis dibentak Gusti, Chiko ikut marahin gue.”
“Gusti nyesel, tahu. Habis narik gue menjauh dari lo kemarin, dia jadi diem banget. Kelihatan merasa bersalah. Tapi kayaknya gengsi mau minta maaf langsung.”
“Geblek.”
Sheryl tertawa. “Emang. Tapi seru deh, lo jadi kayak punya dua kakak.”
Velya tidak membantah. Walaupun terkadang dibanding dua kakak, dia lebih merasa seperti memiliki tiga ibu yang cerewet. Menghela napas lega, Velya mengulurkan tangannya pada Sheryl. “Gue beneran dimaafin, kan?”
Sheryl menyambut uluran tangan itu. “Iya,” balasnya, lengkap dengan senyum manis.
Membuat Velya ikut menyunggingkan senyum kecil padanya. Perasaannya terasa jauh lebih baik dan lega sekarang.
***
____________________
Velya sama Sheryl bersatu, bakal jadi malapetaka nggak nih buat Chiko sama Gusti? Hahahaha
Ikutin terus ya ceritanya!
Jangan lupa vote dan tinggalin jejak komentar yaa :)
See you at Saturday!
Salam,
Elsa Puspita
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro