Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chorus 4 : Ia yang Perfeksionis

"Michel. Kalau Ayah cerita dari perspektifnya Ayah, Michel mau dengerin Ayah?"

Michel hanya mengangguk setuju. Namun gadis itu mengalihkan pandangan dari Syams. Ia lebih memilih menatap lautan dan debur ombak ketimbang fokus kepada Ayahnya.

"Michel, Ayah minta maaf."

Ucapan sang Ayah sukses mengembalikan fokus Michel. Gadis itu langsung menoleh ke arah Syams dengan mulut ternganga.

"Sejak kapan Ayah minta maaf? Ayah kesambet jin apa?" celetuk Michel.

"Ayah beneran minta maaf sama Michel. Ayah memang memaksa Michel terima sama keputusannya Ayah. Tapi Ayah punya alasan kenapa harus ambil keputusan, termasuk keputusan Ayah mau nikah sama Tante Widya."

"Terus Ayah nikah lagi buat apa?" tanya si anak gadis.

"Ayah butuh jabatan supaya enggak ada lagi kejadian seperti ibumu dulu."

"Cuma gitu doang?" cecar Michel.

"Michel, Ayah... Ayah sudah enggak bisa mundur. Pertama kali Ayah nikah sama ibumu, itu supaya Ayah punya koneksi dari kakekmu dan bisa jadi Kepala BPK Perwakilan Jawa Timur. Ayah mengakui, memang Ayah salah. Ayah terlalu mengejar ambisi sama idealismenya Ayah sampai mengabaikan kamu, ibumu, dan kakakmu. Sekarang Ayah sudah enggak ngejar hal yang sama lagi. Ayah harus bangun koneksi supaya enggak ada lagi yang jadi korban. Karena kalau ibunya Michel yang jadi korban, besok-besok bisa jadi istrinya Om Eka, calon istrinya Kak Arwin, atau bahkan Michel sendiri. Kalau Ayah punya koneksi dekat sama pak Presiden, otomatis mereka akan pikir-pikir dan tidak akan mengambil jalan ekstrim seperti yang mereka lakukan kepada ibumu. Michel bisa memahami ini kan?"

Si anak gadis terang-terangan memutar bola matanya dan mengalihkan pandangan ke lautan.

"Iya-iya terserah. Intinya juga sama toh. Michel udah khatam sama keinginannya Ayah. Lagian ngapain sih Ayah pake bikin penjelasan panjang lebar kayak gitu. Buang-buang waktu, cuma bikin hati Michel tambah berat."

Napas Syams tercekat ketika mendengar jawaban Michel. Tak ada sepatah kata yang keluar dari mulut pria paruh baya itu. Ia ikut bersandar di pagar dan menatap lautan bersama si anak gadis. Pada akhirnya tidak ada lagi negosiasi atau penjelasan di antara mereka. Semuanya berjalan seakan-akan tidak ada perseteruan atau perbedaan pendapat.

Selama makan siang, Michel cenderung diam. Baik Arwin atau Widya juga tidak banyak bicara. Saat mereka kembali ke mobil, semua orang lebih memilih sibuk sendiri-sendiri. Michel di bangku paling belakang lebih memilih main game. Widya berkutat dengan ponselnya dan sesekali menerima panggilan telepon yang cukup lama. Arwin di samping kemudi, lebih memilih akrab dengan sopir. Melihat semua orang yang sibuk sendiri, Syams lebih memilih mendengarkan audiobook sambil menikmati pemandangan sepanjang jalan.

Begitu sampai di hotel, Michel dan Arwin tiba-tiba jadi sangat akrab. Keduanya berjalan menuju kamar sambil terus mengobrol. Syams yang di belakang, tidak bisa mengikuti obrolan kakak beradik itu. Sampai di kamar, kedua anaknya masih terus mengobrol. Bahkan mereka menyendiri di balkon sambil terus membahas topik yang tidak dimengerti Syams. Ketika Syams selesai mandi, pria paruh baya itu mendapati kedua kakak beradik itu masih di balkon bermain game online.

"Ayo makan malam dulu," ajak sang Ayah.

"Enggak. Ayah kalo mau makan, makan aja dulu. Nanti Michel sama Kak Arwin cari makan sendiri," sahut Michel yang fokusnya masih terarah ke ponsel.

"Nanti perkara makan malam kita berdua gampang. Ojol sama fast food banyak di sini," timpal Arwin.

Pria paruh baya itu mundur dan berbalik arah. Dalam hening, Syams keluar kamar. Ia langsung menuju restoran.

Suasana restoran hotel yang mewah cukup ramai. Begitu melewati pintu restoran Syams berhenti sejenak. Mata pria itu mengedar ke sekitarnya, hingga ia mendapati seorang wanita berhijab melambaikan tangan. Syams kemudian menghampiri meja wanita berhijab itu dan duduk di depannya. Kini mereka duduk saling berhadapan. Seorang pelayan datang menyodorkan menu makanan. Setelah memesan makanan, pelayan menuangkan minuman ke gelas dan pergi.

"Arwin sama Michel ke mana? Kok enggak keliatan?" tanya Widya yang memulai pembicaraan.

"Mereka lagi main game di kamar. Yah, aku sudah terlalu tua buat ikut-ikutan main game online. Aku baru tau mereka se-abkrab itu," jelas Syams sambil membasahi tenggorokan.

"Arwin memang gampang akrab ke semua orang. Apalagi Arwin anak pertamanya Lina. Wajar kalau dia deket sama Michel," imbuh si wanita berhijab. "Tapi kayaknya Michel enggak setuju sama pernikahan kita."

"Sebenarnya tujuan kita menikah supaya aku bisa menggantikan posisi Eka setelah dia pensiun. Meskipun pernikahan kita ditunda, selama hubungan kita dan Haryo masih harmonis maka tujuan kita masih bisa dicapai. Jadi kamu enggak perlu khawatir."

"Ya memang seharusnya seperti itu. Tapi sepertinya bukan perkara itu yang membebani kamu. Iya kan?" todong Widya dengan senyuman lebar.

Syams tidak bisa menahan diri ikut menjungkitkan sudut bibirnya.

"Ini alasan aku suka sama kamu. Kamu kayak orang yang bisa baca pikiranku," imbuh Syams.

"Terus apa yang yang membebani pikiranmu sekarang?" tanya Widya dengan senyuman manis yang masih bertengger di wajahnya.

"Keluarga. Meskipun keluarga yang seperti kain tambal sulam, masih bisa disebut keluarga kan? Walaupun nanti terpencar-pencar dan tidak punya rumah yang tetap, masih bisa disebut keluarga kan?"

Pria paruh baya itu mengambil napas dalam-dalam dan menatap lamat-lamat wanita di depannya.

"Aku ingin menunda pernikahan kita, setidaknya sampai kamu dan Michel akrab. Aku ingin kamu benar-benar jadi ibunya Michel. Apa kamu mau menyanggupi permintaan ini?"

Widya meraih tangan kanan Syams. Jemari wanita itu bergerak menyentuh dua cincin yang terpasang di jari manis pria itu.

"Aku pasti jawab 'iya', Syams. Anggap saja ini penebusan kita berdua dari semua benang merah yang dihubungkan oleh Lina."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro