Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 06

Seluruh pelajar SMA Jusang bersiap untuk meninggalkan sekolah sore itu setelah pelajaran berakhir. Begitupun dengan Hee Seung. Namun perhatian Hee Seung saat itu teralihkan oleh apa yang saat ini dilakukan oleh orang di sampingnya. Saat itu Young Jae tengah memperhatikan potongan kertas yang menyerupai sebuah kartu nama.

Hee Seung kemudian menegur, "apa yang sedang kau lihat?"

Young Jae menunjukkan kartu nama yang baru beberapa waktu yang lalu ia dapatkan.

"Aku baru mendapatkannya."

Dahi Hee Seung mengernyit ketika membaca nama yang tertera dalam kartu nama tersebut.

"Han Sung Hye?"

"Ibu Hwang Intaek. Aku dengar dia kembali menjadi pengacara dan baru saja membuka firma hukum."

"Lalu apa yang ingin kau lakukan dengan kartu nama itu?"

"Mungkin aku akan berkunjung sesekali untuk memastikan sesuatu."

"Memastikan sesuatu?"

Young Jae kembali memandang kartu nama di tangannya. Tersenyum tipis dan berucap, "satu hari sebelum insiden malam itu, aku mendengar Intaek menghubungi kakak laki-lakinya. Aku dengar dia membicarakan tentang ulang tahun ibunya ... aku hanya ingin memastikan apakah mereka baik-baik saja."

"Kau mengenal kakak Hwang Intaek?"

Young Jae menggeleng. "Aku tidak pernah melihatnya sebelumnya. Dan anehnya setiap kali aku mengunjungi rumah Intaek, orang itu tidak pernah ada di rumah. Bahkan tidak ada foto orang itu di rumah Intaek."

Hee Seung tersenyum, ingin menertawakan Young Jae. "Kau yakin orang itu benar-benar kakak Hwang Intaek?"

"Tentu saja. Aku sering mendengar Intaek berbicara dengan orang itu di telepon. Tapi ... ada hal yang benar-benar membuatku tidak habis pikir."

"Apa itu?"

Young Jae berucap penuh pertimbangan, "saat aku pergi ke rumah duka, aku hanya melihat ibu Intaek. Sampai akhir pun orang itu tidak terlihat."

"Siapa nama orang itu?"

"Tidak tahu. Aku tidak pernah menanyakan hal itu pada Intaek. Tapi aku dengar dia juga bekerja sebagai pengacara. Tapi kenapa dia tidak datang ke pemakaman Intaek?"

"Dia adalah kakak dari teman baikmu. Sangat mustahil jika kau tidak tahu namanya dan bahkan tidak pernah bertemu dengannya. Apakah orang itu manusia?"

Young Jae tersenyum tak percaya dan memandang Hee Seung. "Siapa yang mengatakan bahwa aku tidak pernah bertemu dengannya?"

Sebelah alis Hee Seung terangkat. "Kau mengatakan itu beberapa detik yang lalu."

"Aku pernah melihatnya. Hanya sekali."

Hee Seung menatap tak percaya. "Sungguh?"

"Hanya nomor plat mobilnya," ucap Young Jae yang kemudian tersenyum lebar.

Hee Seung tersenyum tak percaya dan menyahuti candaan Young Jae, "katakanlah setelah ini saat kalian bertemu lagi, kau hanya melihat puncak kepalanya."

Young Jae menyahut sembari tertawa ringan, "sungguh, aku benar-benar melihat mobilnya. Seandainya aku datang lebih awal, mungkin aku bisa melihat wajahnya."

"Kapan kau melihat mobil orang itu?"

"Sudah lama sekali. Sekitar lima bulan yang lalu saat dia datang menjemput Intaek."

"Dalam waktu lima bulan dia bisa saja membeli mobil baru. Kenapa kau masih mengingat nomor plat mobil orang itu?"

"Jika memang ditakdirkan untuk bertemu, dia pasti tidak akan membeli mobil baru."

Sudut bibir Hee Seung tersungging. "Hiduplah dengan imajinasimu sendiri."

Hee Seung lantas berdiri dan menepuk bahu Young Jae.

"Katakan padaku jika kau berhasil melihat puncak kepala orang itu," ucap Hee Seung yang lantas meninggalkan Young Jae.

Sementara garis senyum di wajah Young Jae menghilang ketika Hee Seung juga telah menghilang dari pandangannya. Sejenak kembali memandang kartu nama di tangannya, Young Jae kemudian mengarahkan pandangannya ke luar jendela. Menemukan cahaya matahari sore yang begitu menenangkan.

"Sampai kapan kau akan duduk di sini, Son Young Jae?" teguran itu datang dari samping Young Jae, di mana Hwang Intaek duduk di sana.

Tanpa mengalihkan pandangannya Young Jae menyahut dengan suara yang pelan, "jangan bicara lagi denganku."

"Kenapa? Kau tidak suka?"

Young Jae bergumam sebagai jawaban.

"Kenapa?"

"Karena kau sudah tidak ada ... hanya aku sendiri yang tersisa di sini."

Young Jae memandang tempat duduk Hee Seung dan tak ada Hwang Intaek di sana. Hwang Intaek telah pergi, namun pemuda itu masih hidup di dalam benak Young Jae yang memiliki penyesalan yang mendalam atas kepergian teman baiknya. Tanpa orang lain sadari bahwa kepergian Hwang Intaek telah membuat Young Jae tertekan. Pemuda itu tengah menjalani masa yang sulit. Tak jarang dia berbicara sendiri, namun dalam pikirannya dia tengah berbicara dengan Hwang Intaek. Tidak ada yang tahu tentang kondisi Young Jae saat ini, dan pemuda itu sama sekali tak berpikir bahwa dia membutuhkan bantuan dokter untuk mengurangi rasa penyesalannya.

Young Jae kemudian bergumam, "kau sudah tidak ada. Jika saja aku bisa melupakanmu, mungkin itu akan lebih baik bagiku."

Menghela napas dengan berat, Young Jae lantas berdiri dan bergegas meninggalkan ruang kelas.



HOME SWEET HOME

'Hwang Intaek beristirahat di sini, putra kami, saudara kami, teman kami'. Kalimat itulah yang saat ini berhasil menarik perhatian dari seorang pemuda yang kini berdiri di depan makam Hwang Intaek.

Kim Seon Woo, pemuda yang dirumorkan sebagai tersangka dalam kasus kematian Hwang Intaek itu berdiri di hadapan nisan korbannya. Raut wajah yang tak menunjukkan perasaan apapun, pandangan Seon Woo menemukan potret Hwang Intaek mengenakan seragam sekolah dan tampak tersenyum.

Setelah beberapa saat berdiam diri, mulut Seon Woo pada akhirnya bersedia untuk terbuka dan menggumamkan sesuatu.

"Bagaimana? Kau puas sekarang? Kau pasti sangat membenciku. Tapi ... aku datang bukan untuk meminta maaf. Jadi berhenti memandangku dengan tatapan seperti itu."

Seon Woo kembali terdiam tanpa melepas pandangannya dari nisan Hwang Intaek. Dan setelah beberapa saat, pemuda itu kembali berbicara.

"Musim dingin sudah berakhir, kau tidak akan kedinginan lagi di sana. Aku datang hanya untuk memberitahumu satu hal ... aku tidak akan dihukum karena membunuhmu. Maka dari itu jangan terlalu berharap bahwa aku akan menderita karena kematianmu."

Sekelebat ingatan menyentak batin Seon Woo. Seulas senyum yang menyerupai sebuah tangis Hwang Intaek sebelum pemuda itu jatuh dari atap gedung malam itu kembali mengusik batin Seon Woo. Potongan kecil dari ingatannya yang terus datang setiap malamnya sebagai mimpi buruk.

Perlahan kedua sudut bibir Seon Woo terangkat. "Kau tersenyum? Kenapa? Semua yang terjadi adalah salahmu, kenapa aku harus menanggung semuanya?"

Tawa pelan kemudian mulai terdengar dari mulut Seon Woo. Namun tawa itu bukanlah ekspresi dari sebuah perasaan senang, melainkan sebaliknya. Tatapan yang terluka itu tak mampu membohongi dunia. Meski ia tertawa sekeras apapun, dunia akan tetap tahu bahwa ia tengah menangis terlepas dari tawa yang keluar dari mulutnya saat itu.

23 Maret 2021. Sebenarnya apa yang sudah terjadi malam itu?

Seorang pria berusia sekitar tiga puluh tahunan, mengenakan setelan jas formal dan berkacamata menghampiri Seon Woo. Berdiri dalam jarak satu meter di belakang pemuda itu. Sekretaris Kim, begitulah pria itu biasa dipanggil.

Sekretaris Kim lantas menegur, "Tuan Muda ... Tuan Muda sudah terlalu lama berdiri di sini. Sudah waktunya untuk pergi."

Tawa serta garis senyum di wajah Seon Woo tiba-tiba lenyap hanya dalam hitungan detik. Kembali pada raut wajah seperti sedia kala, Seon Woo menunjukkan tatapan tak suka terhadap teguran Sekretaris Kim.

Pria itu kembali menegur, "kita harus pergi sekarang, Tuan Muda."

"Kau sudah mengurus kepindahanku?" Seon Woo menyahut.

"Ketua ingin agar Tuan Muda segera kembali ke sekolah."

"Bagaimana jika mereka membunuhku?"

Batin Sekretaris Kim tersentak. Pria itu pun segera menentang ucapan Seon Woo, "kenapa Tuan Muda mengatakan hal semacam itu?"

"Aku sudah membunuh anak ini. Kau pikir apa yang terjadi jika aku kembali ke tempat itu?"

"Tuan Muda tidak perlu khawatir. Semua akan baik-baik saja begitu Tuan Muda kembali ... Hwang Intaek meninggal karena bunuh diri. Jika Tuan Muda tetap diam, semua akan berlalu dengan cepat."

"Katakan pada pak tua itu untuk mencarikan tutor baru untukku."

Bertahan dengan sikap acuhnya, Seon Woo berbalik dan meninggalkan Sekretaris Kim begitu saja. Pria itu sekilas memandang nisan Hwang Intaek sebelum menyusul Seon Woo.

Berjalan menuju pintu keluar pemakaman, dari arah berlawanan Hee Seung datang masih dengan mengenakan seragam sekolah. Dan dalam waktu singkat, keduanya saling berpapasan.

Keduanya sempat saling bertemu pandang, namun saling mengacuhkan karena tak mengenal satu sama lain. Namun Seon Woo mengenali seragam yang saat ini dikenakan oleh Hee Seung.

Langkah Seon Woo kemudian terhenti. Pemuda itu berbalik, memandang punggung Hee Seung yang berjalan menjauh.

Sekretaris Kim kemudian menegur, "kenapa Tuan Muda berhenti? Tuan Muda mengenal pemuda tadi?"

"Dia memakai seragam SMA Jusang. Kenapa dia datang kemari?"

"Mungkin dia teman dari anak itu."

"Bukan," celetuk Seon Woo.

Awalnya Seon Woo juga mengira bahwa Hee Seung adalah teman Hwang Intaek. Namun setelah melihat bahwa Hee Seung pergi ke arah yang berbeda dengan letak makam Hwang Intaek, Seon Woo yakin bahwa pemuda asing itu tidak memiliki hubungan apapun dengan Hwang Intaek.

Tanpa mengucapkan apapun, Seon Woo kembali melanjutkan langkahnya yang tertunda. Sementara itu Hee Seung mampir ke makam ibunya terlebih dulu sebelum mengunjungi makam Hwang Intaek.

Makam ibu Hee Seung juga berada di tempat itu, namun jaraknya sedikit jauh dengan makam Hwang Intaek. Karena makam Intaek termasuk lahan pemakaman yang masih baru.

Tak menghabiskan banyak waktu, Hee Seung hanya datang untuk menyapa ibunya dan beralih ke makam Hwang Intaek.

Duduk bersila di depan makam Intaek. Seulas senyum lantas mengukir wajah Hee Seung.

Pemuda itu berucap, "aku datang. Kau pasti terkejut karena aku memakai seragam yang sama dengan milikmu ... bagaimana? Bukankah aku masih terlihat keren dengan pakaian ini?"

Senyum di wajah Hee Seung melebar, namun pemuda itu terlihat sangat kesepian. Garis senyum itu menghilang, tersisalah penyesalan dalam sorot matanya.

Pemuda itu kembali berbicara, "aku bertemu dengan temanmu, Son Young Jae. Dia adalah anak yang cerewet, bagaimana kau bisa berteman dengan anak itu? Tapi ... sepertinya dia sudah menjagamu dengan baik. Dia bahkan memperhatikan ibu dan kakakmu. Kau seharusnya baik-baik saja sekarang."

Sejenak memandang langit sore itu, helaan berat Hee Seung terdengar. Seulas senyum yang tampak menyedihkan itu lantas membimbing pandangannya untuk kembali menemukan potret Hwang Intaek.

"Jangan khawatir, aku tidak akan menelantarkan ibumu. Katakan padaku ... hadiah apa yang harus aku berikan pada ibumu? Jangan meminta yang terlalu mahal, aku sudah tidak berkerja sekarang."

Senyum Hee Seung melebar dan hampir tertawa. Namun sebelum itu terjadi, getar ponsel di dalam sakunya berhasil mengalihkan perhatiannya.

Hee Seung merogoh sakunya dan mengambil ponselnya. Memandang layar ponselnya yang menyala dan menunjukkan identitas dari sang pemanggil.

'Noona' menunjukkan bahwa sang pemanggil adalah perempuan yang lebih tua dari Hee Seung dan tentunya memiliki hubungan yang cukup dekat sehingga Hee Seung memberikan nama itu pada kontaknya.

Hee Seung menerima panggilan itu dan segera menyahut, "bicaralah, aku mendengarmu."

"Bisakah kita bertemu?" sahut suara wanita dari seberang.

"Di tempat biasa saat jam makan malam."

Hee Seung memutuskan sambungan dan kembali menjatuhkan pandangannya pada nisan Hwang Intaek.

"Udaranya sudah tidak dingin lagi, kau bisa beristirahat dengan nyaman sekarang. Aku mungkin tidak akan sering-sering mengunjungimu, jadi jangan menungguku ... aku pergi sekarang."

Kalimat perpisahan terucap, Hee Seung beranjak berdiri dan meninggalkan area pemakaman dengan langkah yang santai seperti saat ia datang sebelumnya.

Selesai ditulis : 23.03.2021
Dipublikasikan : 29.03.2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro