Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

3. Undangan Tak Terduga

Jira baru saja keluar dari toko buku dalam mall setelah membeli satu buku incarannya. Kendati ia sering berpikir membeli buku daring lebih terjangkau dibanding toko luring, namun sensasinya jelas berbeda saat kita dapat memegang langsung buku yang telah diincar dan membawanya ke kasir. Tanpa menunggu berhari-hari, bukunya pun sudah bisa dibawa pulang!

Setelah keuar dari toko buku, Jira pun  melangkah pada sebuah toko yang menjual beraneka ragam barang-barang rumah tangga, perkantoran, bahkan yang diperuntukkan bagi anak indekos.

Kunjungan seperti ini wajib ketika berada di mall. Entah hanya untuk cuci mata dengan barang-barang yang ia tak sangka akan ada, atau membeli satu set kuncir rambut baru---yang seringkali Diya atau Nara katakan dahulu sekali, bahwa Jira akan menjual kuncir rambut miliknya, sebab setiap kali mereka berbelanja dan mengunjungi toko seperti yang Jira kunjungi itu, ia selalu membeli barang yang sama.

"Lo masih punya sepuluh yang kayak gitu, kali, Ji," celetuk Diya suatu hari saat Jira bertanya padanya, kuncir mana yang berwarna menarik. Kemudian Jira hanya menyengir mendengar ucapan Diya dan mengembalikan set kunciran itu pada tempatnya.

Sama seperti hari ini, Jira pun memutuskan untuk menaruh set kunciran yang menarik matanya. Tidak ada yang berkata demikian padanya lagi saat ia akan membeli set kunciran baru. Ia mendadak merindukan kedua sahabatnya itu, hingga sebuah suara mengejutkannya.

"Jira, ya?"

Jira menoleh pada sumber suara dan melongo. "Eh, Rara?"

Sementara yang disebut Rara tadi mengulas senyum semringah. "Ih, masih ingat sama gue?"

Jira terkekeh. "Ya, iyalah. Gimana nggak ingat sama cewek populer SMANSARE?"

Rara tertawa dan memukul pelan pundak Jira---masih sama seperti kebiasaannya saat SMA. Kemudian berkata, "Apaan, sih, udah jadi ibu-ibu gini juga ... ih, apa kabar, Ji? Kok, gue baru tau, sih, lo di Tangerang? Bukannya kerja di Surabaya?"

Jira mengulas senyum. "Gue kabar baik, kok. Dan gue udah lama kali di Tangerang, ada hampir setengah tahun juga. Lo sendiri apa kabar?"

"Gue baik juga. Kok, nggak ngabarin gue, sih? Kan, bisa gue ajak main, ih, Jira," jawab Rara dengan wajah yang dibuat sedih.

"Beneran bisa diajak main? Entar suaminya kangen, loh."

Mendengar ucapan Jira, Rara mendadak ingat sesuatu. "Ih, bener! Gue ke sini tadi sama suami dan anak gue!"

Jira menggeleng heran, bisa-bisanya kawan lama semasa SMA-nya lupa dengan siapa ia berada di sana.

"Ah, tapi nanti pasti ketemu. Palingan lagi lihatin mainan," ucap Rara tenang. "Lo sendiri sama siapa? Suami juga? Udah punya anak?"

Jira mengulas senyum sebelum membalas, "Suaminya nggak ada, anaknya ...." Jira nampak berpikir sebelum menjawab, "Anak juga nggak ada."

"Eh, maksudnya?"

Jira terkekeh, ia juga heran mengapa tidak langsung sama mengatakan pada Rara bahwa ia belum menikah. "Gue masih single, Ra."

Rara menggumamkan kata "Oh" dan mengangguk-angguk, namun daripada mendengar kata-kata pahit tentang; sudah seusia begitu, kenapa belum menikah atau mungkin kata-kata tentang alat reproduksi yang 'kan mengering, dan segala macam kalimat dengan konotasi negatif untuk perempuan single sepertinya, Rara justru mengatakan, "That's cool, Ji. Lo tau, menikah nggak selalu jadi pilihan baik, yaa ... hidup nggak selalu berjalan baik, sih. Tapi bakal banyak perubahan terutama buat perempuan saat ada di pernikahan."

Mendengar ucapan Rara, Jira mendadak menghapus senyumnya. "Lo nggak apa, Ra?"

Rara menggeleng dan berkata, "Nggak, bukan hal yang gimana-gimana juga, gue happy sama pernikahan gue. Cuma ... hidup sebagai seorang istri dan ibu, berbeda banget rasanya dengan hidup sebagai perempuan itu sendiri. Dan ... gue ngerasa seneng aja, masih ada temen seumuran gue yang bisa jalanin hidup di atas kakinya sendiri."

Jira tertegun dengan ucapan Rara. Namun agaknya perkataan Rara kurang sesuai baginya. Mungkin di luaran sana, banyak perempuan yang merasa bisa bebas dengan status single-nya, namun mungkin juga ada sisi gelap tak terlihat yang dirasakan oleh mereka---termasuk dirinya---saat sendiri, saat merasakan lelah harus menjadi tulang punggung sendiri, saat merasa lemah dan tak ada pelipur diri.

Pada dirinya pun, daripada menikmati hidup sebagai seorang single, Jira masih kerap menemui banyak sandungan yang membuatnya merasa hidup single sebagai perempuan pun, tidak kalah melelahkannya dengan hidup perempuan dengan status pernikahan. Dipikirkan lagi, hidup menjadi perempuan memang tidak mudah untuk mencari kenyamanan, bukan? Saat ingin berdiri di atas kaki sendiri, akan dicap terlalu jual mahal. Saat banyak mengeluh, dikatakan manja.

Banyak hal yang akan menjadi cap baru bagi perempuan, entah bagi mereka yang masih single atau sudah menikah. Banyak tuntutan yang harus mematok perempuan ini, perempuan itu.

Lamunan Jira tergugah saat Rara menepuk pundaknya. "Lo nggak apa, Ji?"

"Oh ... hmm ... sorry, Ra, tadi---"

"Sayang," suara panggilan untuk lawan bicaranya pun menginterupsi mereka.

"Oh, Pa. Bentar," Rara menoleh pada Jira selepas mengatakan kata sebentar pada suaminya. "Ji, kayaknya gue harus pergi. Sorry banget nggak bisa lama-lama ngobrol. Nanti kita ngobrol lagi, ya! Eh, minta nomor lo, dong?" Rara mengeluarkan ponselnya dan memberikan pada Jira. Jira pun mengetikkan nomor pada ponsel Rara.

"Ih, Ji! Gue hampir lupa! Ada reuni SMA, loh, awal bulan depan!" Rara menerima uluran ponsel dari Jira.

"Oh, iya? Gue baru tau."

Rara mencibir, "Eh, ya, gimana mau nggak baru tau, orang lo nggak ada di grup alumni. Bentar, gue kirimin undangannya nanti. Ini ada Whatsapp-nya, kan?" Jira mengangguk sebagai jawaban.

"Oke, deh, nanti gue kirim undangannya! Dateng, loh, Ji."

Jira mengangguk dan berkata ia akan mengusahakannya. Kemudian Rara dan suaminya yang tengah menggendong seorang balita berusia sekitar dua tahun itu pun pamit dan berlalu pergi. Jira sendiri lagi. Ia pun sempat bingung akan melakukan apa, hingga akhirnya mengambil kembali set kuncir rambut yang ia pilih tadi dan menuju kasir.

Antrian kasir tidak terlalu ramai saat itu. Ia pun ikut mengantri, kemudian merasakan getaran pada ponselnya. Sebuah pesan dari nomor tak dikenal muncul, berisi, "Ini Rara, Ji!^^"

Kemudian satu bubble chat muncul, menampilkan gambar undangan reuni berbegron biru.

Jira memandangi undangan itu. Ia menghela napas. Masa SMA sebenarnya bukan hal yang terlalu mengesankan baginya, apalagi jika mengingat seseorang.

Oh, apa si dia juga bakal datang? Pikirnya.

Jira seketika menekan tombol kunci ponselnya dan melangkah maju sebab waktu menghitung belanjaannya sudah tiba.

Datang, ketemu Rara, ketemu yang lain sebisa mungkin, udah, balik. Begitu pikirnya.

Iya, begitu saja. Tidak perlu bertemu dengan yang lain. Apalagi ... si dia. []

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro