||17. Jungkook Hanya Anak - Anak||
Jungkook meletakan ranselnya yang berisikan pakaian-pakaiannya di tengah-tengah ruang di depan sofa. Mata bambinya menyusuri seisi ruangan. Meskipun rumah ini sudah lama tidak di huni perabotan di dalamnya terlihat masih dirawat dengan baik. Semua itu lantaran Yoongi rutin menyewa jasa untuk membersihkan rumah ini.
Rumah Yoongi bersama orang tua serta kakaknya dulu. Ini kali pertamanya Jungkook menginjakan kaki di rumah ini. Mungkin sama dengan yang lainnya juga.
"Jungkook, kenapa bengong di sana? Cepat bantu Hyung yang lain mengangkat beberapa barang lagi."
"Ah, iya Hyung." Jungkook buru-buru melangkah keluar. Sementara Seokjin cuma bisa menggelengkan kepalanya sebelum memerhatikan sekitar dan menghela napas seraya bergumam, "Semoga ini memang pilihan yang tepat."
Sewaktu Jungkook tiba di basement, Hoseok tampak sedang bercengkrama singkat dengan seorang ibu-ibu, sementara Namjoon mengeluarkan beberapa barang dari garasi mobil. Karena mereka cuma akan tinggal sementara waktu di tempat Yoongi, jadi mereka tidak membawa begitu banyak barang. Saat Jungkook mendekat, wanita paruh baya itu sudah menjauh. "Siapa Hyung?"
Hoseok menjawab seraya mengangkat sebuah kardus yang penuh dengan buku-bukuan. "Bibi Song. Katanya dia tinggal di unit sebelah kita. Dia mengundang makan malam bersama kalau ada waktu." Jungkook mengangguk singkat. "Kook, kau bisa bawa kardus yang itu?"
"Eum, tentu." Jungkook segera mengangkat kardus yang Hoseok tunjuk menggunakan dagunya. Itu yang terakhir.
*
Petang menyingsing dengan cepat, waktu yang berlalu tidak terasa lantaran para pemuda itu sibuk mengatur barang - barang mereka di tempat tinggal baru mereka mulai hari itu—tentu saja Yoongi tidak termasuk di dalamnya.
Jungkook baru saja selesai membersihkan dirinya, ketika sayup - sayup ia mendengar perbincangan yang nyaris mengarah ke perdebatan di kamar yang di akan ditempati oleh Seokjin dan Namjoon. "Aku tidak setuju, Hyung. Aku tidak akan membiarkan mereka mengintrogasi Jungkook." Itu suara Yoongi. Langkah Jungkook yang tanpa ia sadari mendekati arah suara, spontan terhenti begitu namanya disebut.
"Yoongi, aku tahu. Aku paham—"
"Kalau Hyung memang paham. Seharusnya sejak awal Hyung tidak membicarakan hal ini." Kepalan tangan Jungkook mengerat begitu Yoongi memotong perkataan Seokjin.
"Tapi mereka memerlukan pernyataan Jungkook. Sekecil apa pun itu. Itu bisa membantu mempercepat penyelidikan. Kita semua ingin masalah ini segera selesai, Yoongi-ah. Kita tidak bisa berlama - lama dikungkung kekhawatiran dan ketakutan seperti ini." Setiap kata yang Seokjin lontarkan penuh akan penegasan dan sarat kerfrustasian. Telak membuat rasa bersalah menyeruak dalam diri Jungkook. Sebab ia lebih dari sadar akar dari perdebatan kedua kakaknya tidak lain tidak bukan adalah dirinya sendiri.
Ada jeda seperkian detik sebelum suara Yoongi kembali terdengar. Suara yang keluar jelas lebih pelan serta gusar disaat bersamaan. "Tidak, Hyung. Mereka detektif. Sudah seharusnya mereka bisa menyelesaikan kebodohan mereka sendiri yang membiarkan kriminal itu kabur dari sel tanpa harus melibatkan Jungkook dalam penyelidikannya."
Tanpa melibatkanku? Batin Jungkook kontan bertanya getir. Sejak awal masalah ini sudah terjerat denganku. Bagaimana mungkin Yoongi Hyung ingin menyelesaikannya tanpa melibatkanku.
Sementara di dalam ruangan di mana Seokjin dan Yoongi berdiri berhadap - hadapan, Yoongi menggertakan giginya. Matanya terpejam beberapa saat sebelum akhirnya menatap Seokjin dengan sorot yang menyesakan. "Hyung ...," panggilnya. Seokjin membalas tatapan itu, lebih dalam menyelami manik cokelat tua pemuda yang setahun lebih muda darinya. "Jungkook kita hanya anak-anak."
Seokjin menarik napasnya dalam-dalam. Mengangguk kecil. "Kau benar," afirmasinya. "Jungkook kita memang hanya anak-anak. Anak-anak yang sudah melalui banyak hal mengerikan." Seokjin terdiam sesaat. "Tapi itu dulu. Sekarang dia sudah tumbuh menjadi remaja yang aku yakini, dia bisa memutuskan menolak memberikan keterangan atau menerimanya."
"Hyung—" Yoongi tampak tak puas dengan respon kakak tertuanya. Namun tidak mampu merampungkan protesannya kala Seokjin mengangkat tangannya, memintanya berhenti bicara.
"Tidak Yoongi. Namjoon dan Hoseok sudah menyetujui keputusan untuk membiarkan Jungkook yang mengambil keputusannya. Dia berhak melakukannya, Yoongi." Seokjin menepuk pundak Yoongi sekali dan merematnya kecil. Lantas berbalik melenggang pergi. Akan tetapi, ia berhenti di tengah-tengah seraya berucap, "Jika kau memang sangat tidak ingin Jungkook melakukannya, kau bisa memintanya untuk menolaknya."
Yoongi mengangkat kepalanya, menatap punggung lebar Seokjin yang menjauh dari pandangannya. Kini ia paham, Seokjin tidak jauh berbeda dari dirinya yang enggan melibatkan Jungkook dalam penyelidikan, tetapi kesadaran mereka yang lain juga memahami bahwasannya hal tersebut diperlukan.
"Sialan!" erang pemuda berwajah pucat itu. Merasa frustasi. Frustasi akan ketidakberdayaannya sebagai orang dewasa.
Sementara itu, di sisi lain, Jungkook menarik langkahnya mundur perlahan-lahan. Berusaha keras agar tidak menimbulkan suara, ia sama sekali tak mau ketahuan telah mencuri dengar pembicaraan Yoongi dan Seokjin. Pemuda itu berjalan keluar, menutup pintu apartemennya. Napasnya berderu tak karuan, dengan dada yang terasa berat. Pikirannya semrawut selayaknya semak belukar, setelah menangkap perdebatan kedua kakak tertuanya. Di tengah - tengah kekalutannya itu, di lorong sepi apartemen. Suara seorang wanita paruh baya mengejutkannya.
"Nak," panggilnya. Jungkook cepat menoleh. Tak menyadari kehadiran sesosok itu. Entah menyadari ketegan Jungkook atau tidak, wanita itu—yang jika Jungkook tak ingat, adalah wanita yang sempat berbincang dengan Hoseok di basement sebelumnya, Bibi Song?—memberikan Jungkook senyuman, jenis senyum yang entah bagaimana caranya mampu sedikit membuat sesak di dadanya terasa lebih ringan. "Kau pemuda yang baru pindah hari ini itu bukan? Aku sempat melihatmu sebentar dengan pemuda itu, jika tidak salah namanya, Ho? Hogeum?"
"Hoseok." Jungkook mengoreksi, dengan seutas senyum terpatri.
"Ah! Benar! Hoseok!" Ia menepuk tangan sekali dengan senyum cerah. "Apa kalian sudah makan malam? Aku sudah memasak banyak sekali hari ini. Sengaja untuk menyambut kedatangan kalian. Ayo, kemarilah ambil dan bagikan untuk yang lainnya," ajaknya dengan ramah. Melambaikan tanganya pada Jungkook, isyarat agar Jungkook mengikutinya memasuki apartemen wanita itu. Jungkook mengangguk, mengekori wanita itu sulit menolak kemurah hatiannya.
"Ah iya! Aku sampai lupa bertanya. Siapa namamu anak muda?"
"Jungkook, bi."
"Nah, baiklah Jungkook. Kau bisa membawa semua makanan yang ada di meja makan itu bersamamu."
Jungkook sempat tertegun sesaat begitu melihat banyaknya makanan yang tersaji, sebelum akhirnya menggaruk kepalanya dengan rikuh sembari tersenyum menampilkan deretan gigi kelincinya. Mendadak, ia merasa lapar.
Barangkali benar kata Yoongi. Jungkook memang hanya anak-anak.
•
To Be Continued
Hallo, apa kabar semua? Apa masih ada yang menunggu cerita ini? Cerita ini udah lama banget aku terlantarkan karena satu dan lain hal. Tapi aku bakal berusaha buat menyelesaikan apa yang aku mulai.
Terima kasih buat yang masih bersedia membaca. Semoga kalian suka sama chapter ini.
Cerio.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro