||14. Mengunjungi Teman||
Kala Jungkook terbangun dari tidurnya di pagi hari, bagian di mana Hoseok tidur kemarin malam sudah terasa dingin. Menandakan pemuda itu sudah terbangun puluhan menit sebelumnya. Jungkook bangkit dengan tubuh yang jauh lebih segar dari semalam. Ia rasa ia tak perlu absen ke sekolah lagi. Jungkook beranjak, menarik tungkai kakinya menuju kamar mandi. Ada cermin kecil yang terpasang di sisi tembok. Ia meniti pantulan dirinya, meraba bagian leher. Meski samar, masih tertinggal sedikit bekas cengkraman di sana. Jungkook menghembuskan napasnya panjang, mencoba melegakan gamang yang perlahan mengaliri jiwanya.
Sebelah tangannya Jungkook gunakan untuk memutar keran. Menampung air di kedua telapak tangan yang ia satukan, lantas membasuh wajahnya. Seperkian detik memejamkan mata, secepat itu seringaian mengerikan pria itu menginvansi penglihatan. Kontan Jungkook di bikin tersentak, ia mengepalkan kedua tangannya erat. Sekelebatan ingatan kelam terus berlalu-lalang di dalam kepalanya.
Memori kala ia cuma seorang bocah berusia empat atau lima tahun, yang entah bagaimana caranya bisa terjebak bersama sekumpulan pria di sebuah rumah di pegunungan. Di sana Jungkook hidup dengan segala siksaan fisik maupun batin.
Jungkook bukan satu-satunya anak kecil di sana, ia mempunyai beberapa teman yang jumlahnya tak menetap, dan dari beberapa teman itu tak semuanya mau bersikap baik padanya. Akan ada satu anak yang lebih superior dibanding anak yang lain, menambah luka bagi anak lain setelah apa yang pria-pria itu berikan.
Ada hari di mana segerombolan pria itu datang membawa anak baru serta akan ada hari di mana para lelaki bertubuh besar itu, mengambil temannya, dan anak itu tak akan pernah kembali lagi. Hari itu merupakan hari yang paling ditunggu-tunggu sebagian besar anak-anak, karena mereka berpikir anak yang diambil adalah anak yang akhirnya dibebaskan—lantaran memang itulah yang pria-pria itu iming-imingkan. Namun tak sedikit pula yang skeptis, Jungkook adalah salah satunya.
Jungkook bersyukur ia tak menaruh kepercayaan semudah itu pada orang-orang itu. Sebab kalau tidak, barangkali ia sudah lama tinggal nama.
"Kook kau di dalam?" Jungkook tersentak dari lamunannya begitu ketukan diiringi seruan dari Seokjin terdengar.
Jungkook membuka pintu, dan menemukan Seokjin sudah rapi dengan kemeja putihnya. Seokjin langsung meletakan telapak tangannya di kening Jungkook, memeriksa suhu anak itu. "Sudah merasa lebih baik?" tanya Seokjin memastikan.
Jungkook mengangguk. "Jauh lebih baik. Aku sudah tidak apa-apa."
"Ingin sekolah atau istirahat sehari lagi?"
"Sekolah saja. Aku sudah terlalu banyak absen belakangan ini. Senang sih, tapi repot juga kalau tertinggal terlalu banyak pelajaran."
"Yakin sanggup? Nanti malah pingsan di sekolah." Jungkook memberengut, merasa Seokjin meledeknya lantaran kejadian kemarin. Sedikit was-was sebenarnya, apakah kakaknya itu sudah tahu kejadian sebelum ia pingsan. Seokjin terkekeh melihatnya, langsung menyahut. "Baiklah. Kalau gitu cepat bersiap-siap. Hyung akan mengantarmu." Sejujurnya agak aneh karena Seokjin langsung mengizinkan setelah apa yang terjadi kemarin, tetapi untuk sekarang Jungkook tak mau memusingkannya.
"Hyung, tidak boleh bawa sepeda saja? Lagi pula sudah selesai diperbaiki 'kan?"
Seokjin menggeleng sekali dan tegas. "Tidak ada sepeda-sepeda. Mulai hari ini, kau akan tetap di antar jemput. Tidak hanya ke sekolah, tapi ke mana pun kau pergi."
Bola mata Jungkook kontan membulat. "Apa? Tapi kenapa?"
Alih-alih menjawab, Seokjin malah tersenyum lalu melenggang pergi seraya berkata. "Cepat bersiap, kalau tidak ingin telat Kook."
"Hyung!" teriak Jungkook hendak melayangkan protes. Namun Seokjin tak acuh padanya. Tetap melenggang sampai menghilang dari pandangan Jungkook. Jungkook sudah hendak berteriak lagi, tetapi ia menelannya kembali.
Pasti sudah terjadi sesuatu
*
"Iya, halo Paman, ada apa?" Seokjin mendengarkan seseorang di seberang sana sembari kedua tangannya fokus mengemudi. Sesekali ia melirik Jungkook yang duduk dengan tenang di sampingnya.
"Seokjin-ah, aku ingin mengabarkan sesuatu. Dan ini bukan sesuatu yang baik." Seokjin tetap diam mendengarkan. "Tim kami berhasil menemukan jejak Jang Goeun kemarin. Tempat terakhir yang ia datangi adalah rumahmu, setelah pergi dari sana kami lagi-lagi kehilangan jejaknya. Apa kalian baik-baik saja?"
Pemuda berbahu lebar itu tak langsung menjawab. Cengkraman pada kemudinya mengerat, mengingat kejadian semalam. "Tidak sepenuhnya, Paman. Aku sedang mengantar Jungkook ke sekolah sekarang." Jungkook yang merasa namanya disebut, melirik sekilas.
Ada jeda di seberang sana, sebelum akhirnya suara pria tua itu kembali terdengar. "Dengar Seokjin, mulai sekarang kau harus meningkatkan pengawasanmu, pria itu entah apa yang bisa ia lakukan. Selama berhari-hari ini kami kesulitan melacaknya, tetapi kemarin tiba-tiba dengan mudah kami bisa menemukan jejaknya. Ini tidak seperti kami yang menemukannya, tapi seolah dia yang sengaja membiarkan jejaknya terendus. Paman juga akan mengirimkan beberapa rekan Paman untuk melindungi kalian dari kejauhan."
"Iya, Paman," sahut Seokjin singkat.
"Bagaimana dengan Jungkook? Apa dia ada mengatakan sesuatu tentang Jang Goeun?"
"Belum, Paman. Aku merasa dia sengaja menyembunyikannya. Aku akan segera membicarakan ini dengannya." Jungkook kembali melirik Seokjin. Kakaknya itu tampak serius dengan air muka campuran antara resah dan takut. Jungkook yang awalnya tak mau ikut campur, menjadi penasaran topik pembicaraan kakaknya dengan entah siapa itu yang Seokjin panggil paman.
"Lebih cepat lebih baik. Segera kabari Paman jika terjadi sesuatu."
Setelah Seokjin mengiyakan, panggilan tersebut terputus. Jungkook yang ingin bertanya, memilih mengurungkan niatnya begitu merasakan atmosfer di sekitarnya terasa keruh. Keheningan di mobil itu terus berlanjut sampai akhirnya mereka sampai di depan gerbang sekolahnya.
"Nanti pulang sekolah, Hyung yang akan menjemputmu. Jangan pergi ke mana-mana."
Jungkook mengangguk patuh. Sebelum ia membuka pintu mobil, ia berbalik pada Seokjin lalu berkata, "Hyung, pulang sekolah nanti aku mau mengunjungi teman-temanku. Sudah lama aku tidak ke sana."
Seokjin terdiam sejenak. Detik berikutnya pemuda itu mengukir senyum tipis seraya mengangguk.
*
Jungkook menunduk sekali memberi penghormatan kepada teman-temannya sebelum beranjak pergi dari rumah abu. Jungkook barangkali tidak lama mengenal mereka, tetapi setidaknya dulu mereka sempat berbagi tangis dan luka yang sama.
Tidak semua dari mereka berhasil ditemukan raganya kala itu. Mereka yang berhasil ditemukan pun tidak kembali dengan raga yang utuh. Sebab orang itu sudah dengan kejamnya merebut organ teman-temannya untuk dijual dipasar ilegal. Malam itu, andaikata Jungkook tidak kabur setelah mencuri dengar bahwa gilirannya sudah datang, barangkali abunya sudah turut berjejer di sana.
Saat menuruni tangga, Jungkook tak sengaja melihat kedatangan Sungjae. Sesuatu yang tak pernah Jungkook duga. Si anak superior yang dulu kerap kali merebut jatah makan anak lainnya. Si anak superior yang dulu kerap menabur garam pada luka basah mereka. Pemuda itu melempar senyum pada Jungkook saat mereka berpapasan, tetapi Jungkook cuma menatapnya tanpa minat.
"Temanmu, Kook?" tanya Seokjin saat mereka sudah berada di dalam mobil dan bersiap-siap untuk pergi.
"Hanya berbagi kelas yang sama."
"Sama saja, itu berarti teman sekelasmu."
Jungkook mengedikkan bahu, malas memperpanjang pembicaraan ini. Detik berikutnya kendaraan beroda empat itu sudah melaju dengan kecepatan sedang. Dua menit pertama perjalanan berlangsung dengan tenang. Namun menit berikutnya, Seokjin menunjukan gerak-gerik aneh yang mengundang perhatian Jungkook.
"Ada apa, Hyung?"
Seokjin tak menjawab. Ia tampak sibuk menginjak-nginjak sesuatu si bawah sana. Bola matanya bergerak awas ke depan dan belakang melalui kaca spion. "Sial!" umpatnya. "Remnya tidak berfungsi," desis Seokjin dirambati kepanikan.
Bola mata Jungkook melebar. Ia melempar pandangan ke depan. Beruntung jalanan di sana tengah lengang. Namun itu tidak bertahan lama sebab kekhawatiran mereka bertambah lantaran adanya terdapat tikungan tajam di depan sana. Jungkook menggigiti bibirnya panik. Seokjin mendesis, buru-buru membanting stir ke sisi kanan sebelum mobilnya meluncur lurus di tikungan tersebut. Tak dapat dihindari kendaraan yang mereka tumpangi akhirnya menabrak sebuah pohon, yang dahannya seketika itu juga jatuh menghantam kap sekaligus kaca depan mobil.
•
To be continued
Terima kasih sudah membaca. Jangan lupa tinggalkan jejak vote dan komen. Karena semakin banyak jejak yang kalian tinggalkan, akan semakin cepat aku update^^
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro