Mereka bilang, ada dua cara untuk memusnahkan penyihir. Satu, kau harus menusukkan benda tajam berbahan dasar perak, tepat pada jantungnya—padahal hal ini agak tidak masuk akal, sebab penyihir telah mengeluarkan jantungnya dan merematnya, mencampurkan pada ramuan milik mereka dan mereka minum sendiri untuk keabadian mereka.

Kedua, membakar mereka hidup-hidup dengan api yang berbahan bakar cairan perak. Well, yang satu ini tidak salah, sih. Namun, hal itu hanya berlaku bagi penyihir kelas teri. Mereka pasti akan terbakar habis, menjadi abu dalam waktu beberapa jam.

Namun, hal itu tidak akan terjadi padaku. Astaga, aku ingin tertawa melihat tatapan mereka. Bagaimana mengatakannya, ya? Mata mereka bisa saja terlepas dari kepalanya jika tetap menatapku selebar itu. Bahkan api yang tengah menyelimutiku saat ini benar-benar terasa seperti sentuhan bulu-bulu angsa lembut, kobarannya bahkan tak sudi menyentuh jubahku. Aku ingin tertawa, serius.

Mereka ini salah belajar dari mana, sih? Barangkali leluhurnya terlambat memberi tahu mereka tentang cara yang benar untuk membasmi dan membunuh penyihir—oh, mereka telah terbunuh terlebih dahulu sebelum sempat meninggalkan pesan-pesan bermakna bagi anak-cucunya, ya? Kasihan sekali.

Mereka masih menggemakan seruan, "Penyihir biadab! Sialan!" Tolong beri penghargaan bagi mereka. Jika itu aku, pasti aku telah berlari tunggang langgang, meninggalkan tempat pembakaran. Baiklah, kurasa sudah cukup menatap mainannya. Jadi kukerahkan kekuatanku, mengangkat kobaran api yang menyelimutiku ke atas, kemudian melemparkannya pada lautan manusia yang penuh amarah itu. Nah, yang seperti ini baru menyenangkan, bukan. Lihatlah, mereka berlarian dan berteriak. Ah, siapa suruh membuatku kesal!

Well, manusia panggang siap dihidangkan. []