Bab 11 - Kabur
Deon tertegun saat melihat Asya yang kini sudah siap untuk mengantarnya. Perempuan itu kemudian menatap ke arahnya dengan wajah yang tak dapat dijelaskan.
"Lo mikirin apa sih? Ayo buruan!" ucap Asya lagi dengan nada yang sedikit dinaikkan.
Deon kemudian menggelengkan kepalanya, "nggak usah, gue bisa naik taksi kok."
Deon menolak karena merasa tidak enak jika harus berboncengan dengan Asya. Terlebih lagi, perempuan itu yang mengendarai motor dan bukan dia.
Wajah Asya berubah bingung, "lo yakin?" tanya Asya memastikan.
Deon tidak menjawab karena sebenarnya dia sendiri ragu akan ucapannya. Selama ini dia tidak pernah naik taksi. Dia selalu diantar oleh sopirnya kemana pun, sejak dia masih kecil hingga sekarang.
"Ya udah sih, sama gue aja, lo takut gue apa-apain di tengah jalan?" tanya Asya lagi.
Seperti dapat membaca pikiran Deon, Asya menebak secara acak kemungkinan apa yang ada di pikiran pria itu.
Deon masih terdiam bingung karena dia harus memilih salah satu di antara pilihan tadi. Menggunakan taksi atau malah diantar oleh Asya.
"Buruan, mau bareng gue atau mau naik taksi?"
Asya terburu-buru karena memilikinya alasan lain. Namun, Deon masih termenung yang akhirnya membuat Asya menarik pria itu dengan cepat agar mengikutinya.
Deon berjalan cepat mengikuti Asya dari belakang, terlihat jelas bahwa perempuan itu sangat cantik dari sisi mana saja sehingga membuat Deon terpesona.
Selama perjalanan menuju parkiran, Deon merasa janggal dengan rumah tersebut. Tidak, Asya tidak tinggal di rumah. Melainkan di sebuah kost lantai tiga. Pantas saja, kamar Asya sangat lengkap dan jika tinggal di sana, tentu akan benar-benar merasa nyaman.
Sesampai di parkiran, Asya langsung menggunakan helmnya dan naik di atas motor. Deon menatap ngeri tubuh Asya yang jauh lebih kecil darinya.
Deon ragu untuk digonceng oleh perempuan itu. "Lo yang nyetir?" tanya Deon dengan pelan agar tidak membuat Asya kesal lagi.
Asya menoleh ke belakang dengan dahi mengkerut. "Lo bisa bawa motor?" tanya Asya yang langsung dijawab dengan gelengan oleh Deon.
"Ya, ngapain nanya!".
Dengan ragu, Deon naik ke atas motor Asya. Sebelumnya, dia hanya pernah digonceng oleh Rexa sehingga pria itu menjadi sedikit canggung sekarang. Apalagi Asya seorang perempuan dan dia seorang pria.
"Pegangan!" perintah Asya yang dengan refleks langsung dilakukan oleh Deon.
Pria itu memegang jaket yang Asya gunakan dengan erat. Cengkramannya terlihat begitu menggemaskan sehingga hal itu membuat Asya tersenyum geli karena merasa bahwa Deon takut digonceng olehnya.
"Rumah lo dimana?" tanya Asya setelah menjalankan motornya dengan kecepatan standar.
Deon menjelaskan dimana rumahnya berada dan seketika kecepatan motor yang perempuan kendarai itu semakin laju. Tanpa Deon sadari, pria itu menutup matanya dengan kencang sembari berdoa di dalam hati.
Bisa mati gue nggak lama, ucap Deon di dalam hati.
Agak cukup lama mereka berada di jalan. Padahal, Asya sudah melajukan motornya dengan cukup kencang. Sepertinya jarak rumah Deon dan Asya cukup jauh. Namun, pria itu tidak terlalu yakin karena dia menutup matanya sepanjang jalan.
Saat tiba tepat di depan rumah Deon, Asya segera menepuk tangan pria itu yang ternyata sudah melingkar di perutnya. Deon yang akhirnya sadar pun langsung melepas pelukan itu dan bergegas turun dari motor Asya.
"Sorry ya," ucap Deon dengan rasa bersalah.
"Nggak papa, santai aja...."
Belum sempat ucapan Asya selesai. Tiba-tiba pintu rumah Deon terbuka. Di sana terlihat ada sepasang suami istri yang sepertinya orang tua Deon.
Asya kemudian turun dari motornya dan melepaskan helm yang dia gunakan sebelumnya.
"Pagi Tante, pagi Om," sapa Asya dengan ramah.
Asya kini tengah berdiri di sebelah Deon dengan wajah tersenyum ke arah orang tua pria itu.
Tidak ada sapaan balik dari kedua orang tua Deon dan hal tersebut membuat Asya bingung.
"Masuk, Eon!" perintah Ayah Deon dengan tegas. Kemudian, pria paruh bayah itu masuk ke dalam rumahnya di ikuti oleh sang istri.
Asya kemudian menyikut tubuh Deon. Namun, tidak ada tanggapan dari pria itu. Asya lalu menatap wajah Deon yang ternyata memiliki ekspresi berbeda dari sebelumnya.
Wajah pria itu menunduk dengan tatapan kosong pada jalanan aspal di depan rumahnya.
Asya memegang lembut lengan Deon. Namun, pria itu secara tiba-tiba melepaskan genggaman tangan Asya dengan kasar.
"Lo kenapa, Eon?" tanya Asya dengan dahi mengkerut.
Deon kemudian mengangkat pandangannya, "Gue nggak papa."
Pria itu lalu berjalan masuk ke dalam rumahnya tanpa mempedulikan Asya yang kini masih bingung dengan kejadian sebelumnya. Kenapa Deon berubah dengan cukup cepat? Dan apa hubungannya dengan kedua orang tuanya?
Asya menggelengkan kepalanya, menjauhkan pikirannya tentang Deon dan kedua orang tuanya. Perempuan itu tidak mau mengurusi hidup orang lain.
Dengan cepat, Asya kembali mengendarai motornya dan pergi dari halaman rumah Deon.
Di sisi lain, Deon terdiam tanpa berani menatap wajah kedua orang tuanya yang entah sejak kapan pulang dari luar negeri.
Kini, pria itu seperti tengah diinterogasi. Dia duduk tepat di depan kedua orang tuanya yang hanya di batasi oleh meja kaca ruang keluarga mereka itu.
Belum ada satu kata pun yang keluar dari mulut kedua orang tua Deon. Namun, pria itu merasa begitu diintimidasi oleh tatapan tajam sang ayah.
Jujur, Deon muak berdiam diri. Namun, apa yang bisa dia lakukan sekarang karena hidupnya masih bergantung dengan kedua orang tuanya itu.
Di dalam kesunyian, tiba-tiba saja Ayah Deon menghempaskan gelas yang dia pakai untuk minum ke atas meja kaca di hadapannya.
Jelas, Deon terlonjak kaget. Bahkan pria itu nyaris menangis sekarang. Trauma yang begitu membekas kini menghantuinya. Dia masih ingat bagaimana dia diperlakukan buruk oleh ayah kandungnya itu.
"Saya capek-capek datang ke sini, buat rayain ulang tahun kamu, Eon. Tapi, apa. Kamu malah semalaman tinggal sama cewek itu!"
Suara Ayah Deon meninggi saat menyebutkan tentang perempuan yang mengantar anak bungsunya tadi.
"Sudah kamu apakah dia! Kamu hamili, hah!"
Ayah Deon berdiri secara tiba-tiba. Pria paruh bayah dengan tubuh sehat itu kemudian ingin berjalan ke arah anaknya. Namun, segera ditahan oleh sang istri.
"Udah, Yah, dengerin dulu penjelasan Deon."
"Nggak, nggak ada yang perlu dijelasin. Anak ini selalu saja buat saya pusing. Anak tidak tau diri!"
Amarah yang sebelumnya ditahan oleh Deon, akhirnya meledak. Pria itu kemudian bangun dari duduknya dan mendekati sang Ayah.
"Saya enggak pernah minta dilahirkan di keluarga ini, enggak. Saya juga sudah nggak tahan tinggal di sini!"
Deon keluar dari rumahnya setelah mengeluarkan semua amarah yang ada di dalam hatinya. Pria itu tidak tau ingin pergi kemana. Namun yang pasti, dia akan pergi jauh dari rumahnya yang begitu menyiksa.
***
Yeay, bab 11
Semoga suka.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro