29. Menghindar (2)
Ada yang nungguin?
Klik bintang dulu donk😉
Happy reading😊
💕💕💕
Namun, Kirana memendam beberapa saran teman-temannya untuk segera memberitahukan pada 'sang sahabat'. Dia belum siap kehilangan Keira dan memilih untuk diam sejenak dan menanti saat yang tepat, walau Kirana sendiri tidak tahu, kapan saat yang tepat itu datang.
Sore ini, Kirana langsung pamit pulang karena sudah berjanji untuk memasakkan lodeh untuk Bisma. Walau dia tahu Bisma masih pulang malam nanti, tapi dia telah menyiapkan sayur itu sedari sore. Bahkan Kirana memasak beberapa lauk pendamping seperti tempe dan ikan asin goreng serta sambal dan kerupuk.
Setelah tertata rapi di atas meja makan, Kirana memotret dengan gawainya dan mengirimkan ke Bisma.
[Makan malam sudah siap, Mas.]
****
Tarikan bibir Bisma terbingkai lebar di wajah saat membuka pesan dari Kirana. Jarinya lantas menari dengan cepat di permukaan layar gawai, untuk memberi balasan.
[Ini mau pulang.]
Sangka yang sedang mengambil tasnya di loker sebelah Bisma mengernyit. "Bro, makan dulu yuk."
"Sori. Aku dimasakin istri." Bisma mengacungkan gawainya dan memamerkan pesan Kirana.
Sangka berdecak. "Susah ya sekarang ngajakin suaminya orang."
Bisma terkekeh. "Lha kan aku hampir tiap makan sama kamu. Dari sarapan trus maksi … masa dinner juga barengan sama kamu lagi. Pantes dulu kita dikira gay gara-gara ke mana-mana bareng."
"Iya … iya … ngerti deh yang udah nikah. Moga pernikahannya sakinah, mawadah, warohmah." Sangka mencibir pamernya Bisma sambil mencangklong tas, lalu menutup loker.
"Makanya, buruan aja nikah. Enak loh ternyata." Bisma berjalan berdampingan keluar dengan Sangka dari ruang persalinan.
"Enak?" Sangka mengerut. "Enak apaan? Eh, jangan-jangan kamu udah dapat jatah?"
Bisma menaik turunkan alisnya sambil tersenyum lebar. Sementara itu mulut Sangka menganga lebar memberi respon.
"Beneran? Dalam kondisi hamil anak kembaranmu? Gimana rasanya?" Keingintahuan Sangka tak bisa dibendung lagi.
"Ish, kepo mulu. Nikah aja dulu kalau penasaran." Bisma tergelak lebar.
Mereka akhirnya berpisah. Sangka berjalan kaki menuju kosnya, sedang Bisma menuju parkiran motor. Di saat Bisma hendak memakai helm, suara telepon berbunyi.
"Keira?" Bisma mengernyit. Dia lalu menerima panggilan itu. "Ada apa, Kei?"
"Mas Bisma bisa ke rumah?" Keira sesenggukan. "Please. Aku nggak bisa hubungi Kirana. Aku … aku butuh temen …."
"Aku ada janji—"
"Please …."
Bisma hanya bisa mendesah panjang. "Oke. Aku ke sana."
Lelaki itu akhirnya melupakan niatnya untuk segera pulang. Mendengar isakan Keira, dia khawatir sesuatu yang besar terjadi. Bagaimanapun Keira pernah ada di hatinya, sebelum gadis itu menyerah untuk suatu hal yang tak pernah bisa Bisma yakinkan.
Setelah menembus kepadatan jalanan, akhirnya Bisma sampai di daerah Solo Baru. Deretan rumah elite berjajar di sepanjang gang sejak dia memasuki perumahan blok B1. Bisma mengerem motor maticnya begitu sampai di depan rumah bernomor 38. Pagar hitam yang menjulang tinggi itu terbuka sehingga memudahkan Bisma memasukkan motor.
Mengetahui Bisma datang, Keira langsung menghambur ke pelukan lelaki itu yang masih memarkir motor. Dia meluapkan tangisnya, sementara Bisma menepuk punggung Keira.
"Ada apa, Kei?" tanya Bisma setelah Keira tenang. Dia menuntun Keira masuk dan duduk di sofa ruang tamu
"Sori. Seharusnya aku nggak ngrepotin Mas. Aku berusaha hubungin Kirana tapi kayanya dia sibuk." Keira duduk dengan isak yang belum lenyap.
Bisma hanya bisa tersenyum sendu karena pasti Kirana berusaha menghindari Keira. "Trus, ada apa?"
"Aku … aku berantem sama Papa. Papa udah menikah. Bayangin dia nikah sama selingkuhannya dan aku anaknya nggak tahu! Aku nggak nyangka sahabat Mama itu bener-bener tega ngrebut semuanya dari Mama! Besok Papa bilang mau bawa pelakor itu tinggal di sini."
Bisma mengembuskan napas panjang. Dia tahu sekilas kalau hubungan orang tua Keira tidak terlalu baik. Sampai akhirnya orang tua Keira bercerai lima tahun lalu, tepat saat dia dan Keira putus.
"Sebenarnya aku pengin ke tempat Kirana. Kalau kaya gini, aku bakal nyaman ada dia di sampingku. Tapi, pas aku hubungin dia, dia nggak terima teleponku. Kalau mau datang langsung, aku nggak enak. Terakhir ketemu, dia masih berkabung gitu." Keira mengusap air matanya dengan sapu tangan yang diulurkan Bisma. "Kaya separuh nyawanya ilang. Ikut Bima pergi."
Jakun Bisma naik turun. Dia sungguh prihatin dengan persahabatan Kirana dan Keira yang sedang sangat rapuh. Salah melangkah saja, Bisma yakin jalinan pertemanan itu akan retak. Kirana akan terjerat dengan rasa bersalah, sementara Keira pun akan bertambah terpuruk karena dibohongi sahabatnya.
"Kamu tinggal di sini sendiri?" tanya Bisma memandang berkeliling rumah berfurniture klasik, tapi justru meninggalkan kesan hampa.
Keira mengangguk. "Sejak Papa Mama bercerai, rumah ini hanya aku yang nempatin sama Mbak Sumi. Mbak Sumi udah paham apa yang terjadi sama ortuku."
Keira beringsut mendekati Bisma dan menyandarkan kepalanya di dada bidang sang mantan. "Makasih mau nerima teleponku. Aku yakin aku bakal stress banget kalau nggak ada temen. Kaya dulu, sewaktu kita putus dan ortuku resmi berpisah, Mas Bisma sengaja menghindariku. Untungnya ada Kirana."
"Sori, dulu … aku nggak tahu." Nada bersalah mengalun dari mulut Bisma. Dia bingung harus bagaimana menghadapi Keira yang sudah menempel erat di tubuhnya.
"Waktu kita putus terakhir, apa bener Mas Bisma sakit hati?"
"Kei …." Bisma enggan membicarakan masa lalu. Setelah apa yang terjadi semalam dengan Kirana, jelas dia tidak mungkin mundur dari pernikahannya. Apalagi Kirana sudah memutuskan untuk membuka hati pada pernikahan mereka meski untuk sementara harus menyembunyikan kenyataan di hadapan Keira yang ceria tapi memiliki luka batin yang menganga.
"Apa bener Mas serius sayang sama aku dulu?" kejar Keira.
Bisma berdeham. Kepalan tangannya menutup bibir seolah menahan agar mulutnya tak berucap kenyataan.
"Mas?"
"Kei, dulu … aku serius. Yang terakhir itu, aku emang pengin kita balikan dan mulai menata hubungan kita lagi. Sayangnya, kamu nggak percaya sama aku. Kamu nyerah dan akhirnya pergi." Bisma akhirnya membuka suara.
"Aku takut … Mas kaya Papa. Selingkuh sama sahabat Mama. Aku tahu perasaan Mas sama Kirana kaya apa. Dan, sejak awal aku berusaha untuk bikin Mas jatuh cinta, tetep aja di mata Mas cuma ada Kirana," terang Keira.
"Aku bukan papamu. Ketika aku minta kamu jadi pacarku lagi, aku udah ngubur semua perasaanku sama Kirana. Tapi, kamu justru pergi." Bisma mendengkus.
"Makanya itu aku nyesel. Kirana yang nggak tahu kenapa kita putus, selalu ngomelin aku supaya kita bertahan." Keira mengalungkan tangan ke perut Bisma. "Kali ini aku nggak mau kehilangan Mas lagi."
"Kei, aku …." Ucapan Bisma terhenti di udara. Melihat Keira yang terlihat lelah jiwa raga, dia membiarkan gadis itu bersandar di pelukannya. Mengatupkan kembali mulutnya dan menelan lagi kata-katanya.
Bisma hanya bisa mendesah pasrah. Kalau seperti ini, bagaimana dia dan Kirana harus mengaku dosa pada Keira tentang pernikahan mereka? Bisma yakin, bila fakta itu terkuak, jiwa Keira akan remuk karena peristiwa masa lalu gadis itu seolah berulang kembali.
Keira mengurai pelukan. Dia menarik perlahan wajah Bisma hingga tatapan mereka bersirobok. "Mas, kita … jadian lagi yuk? Atau lamar aku sehingga Mas bisa bawa aku pergi dari rumah ini …."
Bisma mengerjap. Lidahnya seketika gagu. Namun, yang lebih mengejutkan, ketika wajah Keira semakin mendekat dan bibir merah itu mendarat di bibir Bisma.
"Love you, Bisma Antasena …."
💕Dee_ane💕
Auuuwww, Keira melancarkan serangan😱!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro