Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

28. Membuka Hati

Hai, Deers, aku hampir lupa masih punya cerita on going. Semoga masih ada yang nungguin. Jangan lupa jejak cintanya ya😊

💕💕💕

Bodoh! Goblok! Tolol! Bisma ingin merutuki jawaban Kirana. Bisa-bisanya Kirana sebucin itu pada Bima. Bahkan wanita itu rela memberikan segalanya termasuk kehormatannya atas nama cinta.

Bisma mendengkus dengan senyum miring nan miris terukir. "Kamu segitu cintanya sama Bima?"

"Kalau nggak cinta, kita nggak bakal makan bersama detik ini."

Hati Bisma tercubit. Jawaban Kirana yang mengandung kebenaran susah disanggah. Kalau misalnya Kirana tidak memberikan kesuciannya, tentu wanita itu tidak akan hamil. Dan, belum tentu Bisma akan berpikir menikah karena sebelumnya mereka punya kehidupan masing-masing. Ada atau tanpa Bima.

Untuk sesaat mereka membisu. Hanya bunyi renyah buah mangga muda yang dikunyah yang menjadi pemecah sunyi. Sebelum mengakhiri makan malam, Bisma akhirnya membuka mulut.

"Kamu kemarin ketemu Keira. Kenapa bohong kalau lembur dan jalan sama temen?" Akhirnya Bisma membuka topik tentang Keira.

Kirana menggigit sudut bibir yang memerah karena kepedasan. Dia mengusap pelan hidung dengan punggung tangan sebelum menjawab. "Mas udah ketemu Keira? Jadi nembak?"

Bisma berdecak. Dia mengangkat kaki kanannya dan menyandarkan lengan ke lutut. "Dia cerita sama kamu kalau mau nembak?"

Kirana mengangguk pelan.

Kekehan miris terdengar dari bibir Bisma. "Wah ... kenapa aku macam boneka di sini? Dua cewek main dan yang si B seolah bilang mau minta boneka si A. Dan si A langsung kasih aja."

Kirana mengerjap. "Mas ...."

Bisma mendesah sambil meniup udara dari mulut yang kepedasan. "Kamu ... kapan mau jujur sama Keira?"

Kirana terdiam. Dia menunduk dengan hati galau. "Aku nggak siap kehilangan sahabat. Sejujurnya aku takut waktu diumumkan di gereja. Gimana kalau temen-temen tahu? Tapi, aku inget, aku kan cuma bayangan Keira. Temen-temen sering nggak tahu namaku apalagi nama lengkapku. Seenggaknya, waktu itu ... kekhawatiran Keira tahu nggak terjawab. Karena jujur aku nggak siap kalau dia tahu gimana egoisnya aku menyekap Mas Bisma dalam masalahku."

"Temen-temenku juga nggak tahu waktu pengumuman itu. Tapi, aku nggak peduli sih. Mau mereka tahu apa nggak, aku tetep nikahin kamu kan?" jawab Bisma santai. "Lalu, kamu mau gimana sama Keira?"

Kirana menggigit sudut bibir kirinya sejenak, sambil otaknya merangkai kata yang tepat untuk mengorek apa jawaban Bisma.

"Mas ... jawab apa ke Keira?" tanya Kirana dengan suara bergetar.

"Lha kamu pengin aku jawab apa?" Pertanyaan Kirana justru dibalas dengan pertanyaan lain.

Kirana hanya menjawab dengan bunyi kriuk mangga muda yang dikunyah. Kirana pun bingung bagaimana Bisma harus menjawab, mengingat mereka sudah disatukan Tuhan dan dia tahu bahwa Keira begitu menyukai Bisma. Tapi, sekali lagi ... hati kecil Kirana menjerit tidak ingin kehilangan Bisma. Dia sudah terlanjur merasa aman di samping lelaki itu.

Kirana menggeleng. "Itu terserah, Mas."

"Terserah. Gimana kalau aku jadi cowok bangsat. Udah punya istri tapi pacaran sama cewek lain. Kamu mau?" tantang Bisma.

Hati Kirana tercubit. "Silakan aja. Apa hakku ngelarang?"

"Lalu ... kamu anggap apa pernikahan kita, Ran? Pernikahan yang udah diberkati. Monogami dan nggak bisa diceraikan? Kamu pikir pernikahan ini hanya permainan rumah-rumahan kaya anak kecil?" Bisma menatap tajam Kirana.

Kirana menunduk. Rahangnya mengerat. "Dari awal pernikahan ini nggak seharusnya terjadi. Seandainya kita nggak memanipulasi, pernikahan ini bakal gagal karena bukan didasari cinta tapi sebuah keterpaksaan. Pernikahan yang dipaksakan bisa dianulir bukan?"

Kini dengkusan Bisma yang keras, yang menjawab pernyataan Kirana. Selanjutnya, mereka memilih tak lagi melanjutkan percakapan itu. Keduanya diam menikmati sisa buah mangga yang terasa asam seperti hidup Kirana yang kecut.

***

Selepas makan malam, Bisma dan Kirana membereskan alat makan. Saat Kirana akan mengangkat piring kotor untuk dicuci, Bisma menahannya.

"Taruh aja piringnya di wastafel. Biar aku yang cuci. Kamu harus banyak istirahat," kata Bisma.

Kirana mengurai senyum tipis. Lagi-lagi perhatian kecil Bisma membuat batinnya berbunga. Padahal Kirana tahu, Bisma bukan Bima.

"Nggak pa-pa. Mas kan harus belajar," tolak Kirana. Dia tidak ingin terlalu bergantung pada Bisma. Bisa-bisa dia patah hati kalau Bisma pergi seperti yang dia bilang tadi.

Patah hati? Kirana ingin tertawa. Apa mungkin dia mulai menyukai mantan pacar sahabatnya?

Namun, Kirana segera membasuh pikirannya. Dia berharap air yang menggerojok di wastafel ini, juga mampu menetralkan perasaannya. Tidak mungkin dia menyukai mantan sahabat sendiri karena sejak awal mula dia menyukai Bima. Ya, mungkin semua ini hanya pelampiasan rindu semata.

"Ran, sini ... aku gantiin." Dari sebelah kiri, Bisma menggenggam kedua pergelangan tangan Kirana.

Kirana mendongak. Mengerjap sesaat untuk menerbangkan bayangan konyol karena menyadari tatapan teduh itu mampu membuat hatinya oleng. Kedua tangan Bisma masih mencengkeram tangannya yang memegang piring dan spon berbusa. "Mas belajar aja. Cuma cuci piring ini."

Bisma mengembuskan napas. "Mesti banget pakai ngeyel ya? Heran dulu Mama ngidam apa? Ya wes, kita kerjakan sama-sama. Aku yang cuci dan bilas, kamu yang lap."

Rahang Kirana beroklusi erat. Dia meremas spon hingga busanya terperas. Kalau Bisma dekat dengannya seperti ini, bisa-bisa dia tidak dapat membedakan kenyataan dan fantasinya. Kerinduan pada Bima ... perhatian Bisma ... kekosongan hatinya menjadi paket lengkap pemicu debaran jantung yang menggila.

"Ran ...." Suara berat Bisma berlomba dengan gemericik air yang membilas piring. Kali ini Kirana hanya berdeham saja. Dia takut mendongak karena jarak wajah mereka begitu dekat. "Ehm, kira-kira anak kita cowok apa cewek ya?"

Deg!

Kirana serasa mendapati serangan jantung karena seolah organ pemompa darahnya sempat berhenti berdetak beberapa detik hingga otaknya yang tak teraliri darah menjadi kusut, tak bisa mengkoordinasikan gerak tubuhnya. Piring yang sedang dia pegang untuk dikeringkan tergelincir begitu saja dan jatuh di lantai.

Kirana spontan berjongkok untuk mengambil piring hadiah sabun yang suka sekali dia pakai. Namun, saat dia mengambil serpihan kaca, tanpa sengaja ujung jarinya tergores bagian tajam dan membuatnya memekik.

"Ran! Ati-ati!" Bisma ikut berjongkok. Dia lalu menarik tangan Kirana dan menghisapnya.

Wajah Kirana terangkat, menatap ekspresi cemas yang tulus. Dia tak habis pikir kenapa Bisma bisa sebaik itu. Bahkan dia benar menganggap anak ini adalah anaknya.

"Sakit?" Bola mata beriris hitam itu menjuling, mengamati apakah masih ada darah yang keluar.

"Pak Dokter jorok," komentar Kirana dengan suara bergetar.

Bisma terkekeh. "Spontan. Ayo, berdiri. Pecahan kacanya di mana-mana ini."

"Mas, kenapa Mas baik banget sih?" Kali ini Kirana melepas tangannya dari genggaman Bisma dan mengusap pipi lelaki itu dengan sangat lembut.

Jakun Bisma naik turun. Matanya menatap intens Kirana dengan pandangan yang sulit dimengerti. Apalagi saat Kirana mengusap bibir bawah merah yang merekah karena terkena panasnya sambal rujak.

"Ran ...." Suara Bisma tercekat.

Kelembutan bibir Bisma yang disapu jemari Kirana, menghantarkan kenangan ketika Bima sering mengecupnya. Kilatan peristiwa ketika sang tunangan merengkuhnya mendatangkan rasa bersalah karena dia tak lagi suci menjadi istri Bisma. Namun, seandainya Kirana bisa menolak rayuan setan Bima, mungkin Bisma tak akan ada di sampingnya saat ini.

Entah kenapa, pada detik ini, Kirana tak menyesal dengan apa yang dia lakukan. Karena kehamilannya, dia bisa merasakan manisnya perhatian kecil yang membuat hatinya meleleh. Sangat berbeda dengan Bima yang menyukai seremonial dalam menyampaikan perhatiannya dengan kencan, bunga, atau hadiah. Perhatian Bisma begitu sederhana tapi bisa menyentil kekosongan hati Kirana yang paling dalam.

Sungguh, Kirana iri dengan Keira yang pasti sangat puas dihujani perhatian yang membuat hati berbunga-bunga. Pantas saja Keira tak rela kehilangan Bisma karena lelaki itu sangat baik dan terlihat sempurna. Walau Kirana pada akhirnya paham, Bisma kurang bisa rapi seperti Bima yang hobi bersih-bersih dan lelaki itu juga bisa tidak memberi kabar seharian kalau sudah fokus dengan pekerjaan, tapi semuanya bisa tertutupi dengan sikap manis yang membuat siapapun akan melupakan kekurangannya.

Tanpa sadar air mata Kirana meleleh. Bayangan Bisma yang mengkhawatirkannya menjadi kebur. Sekabur perasaannya saat ini. Apakah memang Kirana terlalu geer dengan perhatian Bisma yang sebenarnya tak bermaksud macam-macam?

"Sakit?" Bisma menyeka pipi Kirana yang basah. "Ayo, aku bantu berdiri."

Hati Kirana tercubit. Bisma tak menanggapi pertanyaannya. Tapi, apa yang dia harapkan dengan reaksi Bisma. Bukankah memang Bisma orang yang rendah hati dan biasa berbuat kebaikan sehingga hal itu bukan suatu hal yang perlu dibesar-besarkan?

Kirana hanya bisa menurut saat raganya dituntun berdiri. Ketika dia akan melangkah untuk menghindari serpihan kaca, tiba-tiba tangannya ditarik mengalung ke lehernya dan sesaat kemudian tubuhnya melayang, menumpu pada dua lengan yang mengangkatnya.

"Mas!" Kirana memekik.

"Bahaya. Kakimu bisa luka." Bisma melirik Kirana.

Dada Kirana kembang kempis ketika jarak di antara mereka begitu dekat. Lengan yang kini menjadi tumpuannya terasa kokoh hingga membuatnya aman dan nyaman. Seolah Kirana tahu bahwa Bisma akan melindunginya.

Kirana akhirnya menyerah. Ia ikuti saja gelombang hati yang meronta ingin mencecap perhatian Bisma. Perlahan, diletakkannya kepala Kirana di bahu Bisma. Matanya terpejam sementara hidungnya menghidu aroma manis yang menenangkan.

"Mas ...."

Bisma berdeham. Kakinya masih mengayun menuju ke kamar.

"Aku berat ...."

"Siapa bilang ringan?" jawab Bisma.

"Ngeselin!" Kirana menepuk dada Bisma pelan. "Ya udah, ngapain gendong-gendong segala?"

Bisma terkekeh. "Kamu berat karena isi kepala dan hatimu banyak."

Kirana kembali mengalungkan tangan kirinya dan menautkan jemari kedua tangan di belakang leher Bisma. Seolah ia tidak ingin melepasnya. Mendengar ucapan Bisma, dalam hati Kirana mengakui bahwa selama ini beban pikiran dan perasaannya begitu berat.

"Kalau berat, mestinya kamu bagiin. Jangan kamu tenteng sendiri." Bisma membungkuk dan menurunkan Kirana di atas ranjang.

Mau tidak mau, Kirana mengurai kalungan tangan di leher Bisma. Dia tak punya alasan lagi memeluk lelaki itu. Namun, saat Bisma beranjak menegakkan punggung, buru-buru dia menarik ujung kaus Bisma.

Merasakan tarikan di bajunya, Bisma menoleh menatap tangan mungil Kirana. Dia lalu menatap Kirana yang menunduk sehingga rambut berombaknya menutup wajah.

"Ada apa, Ran?"

"Ehm ..." Jantung Kirana kembali mendobrak rusuk-rusuknya. Sekuat tenaga dia ingin mengekang lidahnya.

"Ada apa, Ran? Jarimu sakit?" Bisma menatap jari-jari Kirana yang bergerak gelisah.

Kirana menggeleng. Dia menggigit bibirnya agar kata-kata yang sudah sampai di tenggorokannya tertelan kembali.

"Aku ambilkan obat dulu."

Namun, sekali lagi Kirana menarik baju Bisma seperti anak kecil yang ketakutan di hari pertama bersekolah. "Nggak usah! Aku nggak pa-pa!" Suara Kirana bergetar.

"Ya udah. Aku beresin dulu pecahan kaca di dapur."

Kirana menggeleng. Cengkeraman di baju Bisma makin erat.

"Kamu mau apa?" tanya Bisma keheranan.

Susah payah Kirana menjawab pertanyaan Bisma. Perlahan dia melepas baju Bisma dan membiarkan lelaki itu berlalu. Namun, saat kaki Bisma baru berjalan selangkah, suara Kirana kembali menggaung.

"Mas mau nggak ngunjungin ...."

Bisma menoleh. Alis kirinya terangkat. "Ngunjungi siapa?"

.

.

.

Keheningan menyergap. Kirana tak langsung menjawab.

"Mau ngunjungi siapa?" tanya Bisma lagi.

"A-anak kita ...."

****

Ada versi lengkap uhum-uhumnya Bisma Kirana di KK ya, Deers😊 kalian bisa buka gembok part 28 versi panjang.

Kira-kira malam pertama Bisma bakal bertahan berapa lama nih?😆

💕Dee_ane💕


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro