Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

22. Putaran Kebohongan

Hai, Deers! Hampir kelupaan aku update di sini. Semoga kalian nggak lupa klik bintang dan kasih komen banyak-banyak ya.

💓💓💓

Tak ada kabar dari Bisma.

Padahal Kirana ingin menanyakan apa Bisma berhubungan lagi dengan Keira sehingga gadis itu memutuskan untuk merajutkan kembali kisah mereka. Tidak! Untuk apa Kirana penasaran. Itu urusan Bisma dan Keira. Walau rasa ingin tahu merongrong jiwa dan membuat Kirana ingin berlari dan menanyai Bisma secara langsung, tapi dia harus menahan diri.

Kirana paham posisinya. Ia tidak punya hak apapun untuk mengatur Bisma. Memang benar Bisma suaminya, tapi dia hanya melakukan demi Mami, demi janin Kirana, demi nama baik keluarga Kirana, walau tanpa ada cinta di antara mereka.

Pantaskah dia bertanya sementara selama ini Kirana selalu menganggap Bisma adalah Bima? Bahkan semalam pun dia bermimpi Bima menciumnya, di saat Kirana sudah menjadi istri Bisma.

Lalu, ketika nanti apabila kemungkinan buruk terjadi Bisma kembali kepada Keira, haruskah Kirana marah, sementara Kirana sendiri masih terjebak dalam kenangan masa lalu bersama Bima?

Mungkin sebuah kesalahan karena dia tidak berterus terang pada Keira sehingga membuat segala sesuatu yang terjadi di luar kendalinya. Dia paham betul betapa Keira menyayangi Bisma, sehingga Kirana kini justru merasa seperti pelakor yang merebut kekasih sahabatnya.

Haruskah dia diam kali ini? Sungguh Kirana bingung ….

***

Kirana mengembuskan napas panjang sambil bibirnya menjepit sedotan untuk menghisap mango passion fruit di depannya. Sudah empat puluh lima menit Kirana menunggu dan Keira belum juga tampak. Selalu seperti ini. Kirana Si Bayangan selalu menanti Keira yang bersinar.

"Sori, aku telat. Tadi ada panggilan mendadak." Keira tampak terengah dan kemudian duduk di depannya.

"Ini pesenanmu. Caramel Macchiato." Kirana menyodorkan minuman yang diminta Keira.

"Thanks. Aku butuh asupan kafein. Semester awal gini, rempong banget. Untungnya aku dan Mas Bisma serumah sakit, jadi aku bisa lebih semangat kalau bisa ngelihat dia dari jauh." Keira mengusap peluh di dahi dengan punggung tangannya.

Kirana tersenyum canggung. Sungguh, dia tak lagi bisa bereaksi seperti dulu ketika Keira bercerita apapun tentang Bisma. Dia dulu memang ingin Keira tetap bersama Bisma sehingga nantinya mereka akan jadi saudara ipar. Tapi, kini nasib mempermainkan mereka bertiga. Alih-alih dengan Keira, Bisma justru menikahi Kirana tanpa sepengetahuan sahabatnya itu.

"Kamu kok diem gitu sih? Nggak seneng ketemuan sama aku?" Keira menyesap langsung dari gelasnya. Dia seperti orang kehausan di padang gurun.

"Seneng dong." Kirana berdusta. Dia masih bingung menanggapi apa yang terjadi. Apakah dia harus memberitahu kalau Bisma suaminya? Jelas tidak mungkin! Lagipula Kirana belum siap menceritakan soal kehamilannya pada Keira yang membuat Kirana akan merasa rendah diri di depan sahabat yang begitu sempurna di matanya.

"Aku nggak nyangka aku pengin kami balikan lagi setelah lima tahun ini pisah." Keira tersenyum manis sambil menyeka bibirnya dengan tisu. "Aku deg-degan banget, Ran. Dulu kami putus nyambung. Habis kamu jadian, kami juga jadian. Trus, habis itu kami putus. Trus, nyambung lagi. Putus lagi. Gitu terus sampai empat kali. Dan, tahun keempat, aku nyerah. Tapi, mana bisa ngelupain cowok kaya Mas Bisma?"

Kirana hanya bisa berusaha sekuat mungkin untuk menarik bibirnya. Kedua tangan yang memegang gelas minuman itu meremas kuat permukaan gelas berembun, berusaha mendinginkan pikiran. Dia merasa bersalah pada Keira karena telah membohongi sahabatnya, mengambil laki-laki yang paling disayangi Keira.

Dehaman keras meluncur dari bibir Kirana untuk menetralkan ganjalan batinnya. "Kei, kamu mau kasih apa ke Mas Bisma?"

Keira mengerucutkan bibir. Mau pose apapun, Keira tampak ayu dari berbagai sudut. Bila bersanding dengan Bisma, mereka akan menjadi pasangan serasi yang membuat orang-orang iri. Termasuk … Kirana.

"Apa, ya?"

"Parfum aja gimana?" Kirana menggigit bibir. Selama ini dia menganggap Bisma seperti Bima karena parfum yang dipakai Bisma. Maka dia harus memupus bayangan itu dengan menggantikan aroma Bima yang melekat di tubuh Bisma.

Mata bulat Keira berbinar. Dia lalu menjentikkan jarinya. "Ide bagus!"

Melihat senyum lebar Keira, Kirana mencelus. Dia sekarang seperti orang munafik dan bersikap seolah seperti sahabat yang sejati. Nyatanya, dia menyembunyikan fakta yang akan menusuk sahabatnya.

"Kamu kok nggak minum kopi? Biasanya kamu minum kopi?"

"A-aku tadi udah ngopi di kantor."

Benar kata orang, satu kebohongan akan membuahkan seribu kebohongan lainnya. Dan, sekarang Kirana melakukannya. Dia seperti terjebak dalam lingkaran kebohongan yang tidak tahu kapan akan putus.

"Padahal kamu kan coffee lover banget. Kaya lagi hamil aja."

Reaksi Keira membuat Kirana tiba-tiba tersedak. Dia buru-buru mengelap permukaan meja dengan tisu yang ada di sebelahnya. "Ma-mana ada?"

Keira terkikik. "Iyalah! Bima kan sudah nggak ada. Lagian kamu juga belum nikah, nggak mungkin 'kan hamil. Pacaran aja nggak bisa diapa-apain. Anak Pak Pendeta gitu loh!"

Rahang Kirana mengerat. Seharusnya dia mengatakan kebenaran. Tapi kenapa susah sekali? Seandainya bukan Bisma yang menjadi suaminya, pasti semua akan lebih mudah. Nyatanya ….

"Ayo, Ran! Aku harus ngerjain tugas habis ini." Keira langsung berdiri, diikuti Kirana.

Punggung Kirana terasa penat ketika melihat keceriaan Keira. Bagaimana dia harus mengatakannya kalau Bisma adalah suaminya? Lagipula, itu artinya … Kirana adalah pelakor.

Kirana menggeleng. Susah payah, dia menepis anggapan itu. Dia bukan pelakor! Dia tak pernah ingin merebut Bisma dan berada di posisi sulit ini. Tapi, dengan keputusan Bisma menggandeng tangannya, lambat laun Kirana merasa aman walau mengancam keutuhan persahabatannya dengan Keira.

Sepanjang perjalanan menuju toko di lantai satu, seperti kebiasaan yang sudah-sudah, Keira mengalungkan lengan kiri di tangan kanan Kirana seolah tak ingin Kirana melarikan diri. Namun, sebenarnya tangan Keira yang menggandengnya seperti belenggu yang ingin memenjarakan seorang sahabat yang tidak setia.

Walau Keira berceloteh tentang segala hal yang ia alami, tapi telinga Kirana terasa pekak. Kirana bahkan tak bisa mendengar keriuhan suasana mall sore itu. Suara musik rancak yang berkumandang di seluruh gedung, seolah angin lalu di pendengarannya.

Kirana seperti terjebak di keramaian yang berkebalikan dengan hatinya yang hampa.

"Ran, kamu kok diem aja dari tadi?" tanya Keira.

Kirana terkesiap. Dia menoleh ke arah Keira. "Lagi sariawan aku."

Lagi! Kebohongan lainnya muncul tanpa Kirana duga. Padahal belum ada satu jam, dia tadi sudah melontarkan dusta.

"Mau mens?"

Batin Kirana tercubit. Dia merutuk pembicaraan yang ujung-ujungnya mengarah ke kehamilannya. Jelas tidak mungkin dia mengaku sudah terlambat haid selama beberapa bulan.

"Mungkin," jawab Kirana singkat.

"Kok mungkin? Biasanya kamu tandain kan tanggalanmu?" Keira mengetuk dagunya. "Siklusmu sekitar 28 harian. Sama kaya aku. Inget nggak, kita dulu selalu izin ke UKS gara-gara dismenorhae?"

"Dismenorhae? Apa itu?" tanya Kirana yang asing dengan bahasa Keira.

"Nyeri haid. Kita hampir barengan terus kalau mens." Keira terkikik.

Kirana mengangguk-angguk dengan senyum canggung. Dia semakin tak nyaman dengan pembicaraan itu. Rasanya Kirana ingin lenyap diserap bumi dari hadapan Keira. Bersama sahabatnya, Kirana merasa kerdil karena dirinya seperti sudah kotor, tak suci, dan tak tulus. Tidak seperti Keira yang ceria dan selalu bersemangat.

"Ran, ntar kapan-kapan aku pengin mampir ke rumahmu. Pas Tante meninggal aku baru sekali ke sana. Itupun baru malam aku datang." Keira mengguratkan ekspresi bersalah.

Kirana gelagapan. Otaknya kalut. Mana bisa dia melarang Keira datang ke rumah? Keira pantang ditolak. Tapi, jelas tidak mungkin menerima Keira dengan sukacita seperti dulu. Mengingat sekarang di ruang tamu sudah terpasang dengan manis foto pernikahannya dengan Bisma. Bahkan di kamar, Mami sudah mencetak foto pernikahan yang berukuran besar dan digantung di atas ranjang.

"Ehm … nanti kasih kabar aja kalau mau datang." Hanya itu jawaban terbaiknya. Karena bila Keira tiba-tiba datang tanpa kabar, jelas dia akan mendapati bukti pernikahannya. Dia akan tertangkap basah merebut laki-laki kesayangannya.

Sungguh, Kirana tak ingin menyakiti hati Keira yang sangat menyukai Bisma. Namun, dia juga tidak ingin mengecewakan Papa dengan menolak Bisma dan kehilangan kenyamanan setelah ditinggalkan Bima serta Mama. Dua sisi yang berseberangan ini seolah menghimpitnya hingga membuat sesak di dada.

Walau batinnya berontak, Kirana masih setia bersama Keira. Bahkan dia memilihkan parfum White Musk EDT untuk laki-laki di salah satu gerai yang menjual segala macam skincare dan bodycare yang konon katanya berasal dari Inggris. Kirana begitu miris ketika menyadari bahwa kini dia sedang memilihkan kado untuk suaminya sendiri. Dalam hati dia berharap, agar Keira cukup sibuk sehingga mereka akan jarang berkomunikasi dan lidahnya tak menjadi terbiasa memelintir kenyataan.

Setelah menentukan pilihan kado untuk Bisma, sebagai tanda terima kasih, Keira membelikan Kirana satu set perawatan badan. Walau Kirana awalnya menolak, tapi Keira tetap memaksa.

"Ish, terima aja kenapa? Kaya sama sapa aja!" Keira menyodorkan tas belanja kertas berwarna cokelat kepada Kirana.

Kirana mengerjap, menatap nanar paper bag itu. Keira selalu seperti itu. Baik … ceria … dan suka berbagi.

"Tapi ini mahal banget. Parfumku semua kamu yang beliin. Trus ini body care." Kirana menatap sendu kepada Keira.

"Ran, kamu itu … teman baikku. Jadi, apapun akan aku beri …" Kirana menjeda ucapannya beberapa detik. Matanya lalu memincing. "asal bukan Mas Bisma loh!"

Perkataan Keira seperti guntur di malam berbintang. Kakinya mendadak lemas dan otot lidahnya serasa lumpuh tak bisa menggetarkan kata. Kalau seperti ini, rasanya Kirana ingin mengaku dosa, serta meminta ampun pada sahabatnya dan mundur tanpa jejak … Ya, seharusnya begitu. Tapi, kenyataannya, Kirana diam.

Sebuah cipika cipiki menjadi penanda perpisahan mereka malam itu. Ketika Keira sudah melangkah menuju parkiran mobil, Kirana berjalan pelan menuju motor yang terparkir di sayap kanan basement. Tas kertas yang dia jinjing seolah berisi batu yang beratnya berton-ton. Beban kebaikan hati seorang sahabat tertampung di dalam tas itu yang menjadi ganjalan batinnya. Begitu motor sudah menembus keramaian jalanan, isakan dan rintihan yang sarat rasa bersalah meledak. Bahu yang bergetar naik turun terkadang membuat oleng motornya di saat melalui jalan yang bergelombang seperti jalan hidupnya.

Otak Kirana sekarang buntu. Penyesalan akan dosa yang dia buat, kembali merongrong jiwa, mengubur logika. Bahkan dia tak bisa menentukan arah yang benar untuk kembali pulang. Seperti kondisinya sekarang yang berputar-putar pada kesalahan yang harus dia tanggung konsekuensinya tanpa bisa kembali ke masa lalu.

Namun, semua sudah terjadi. Dia sudah mengambil keputusan menerima Bisma. Sementara itu, Bisma sudah menyelesaikan tugasnya dengan baik saat sakramen. Apa lagi yang Kirana harapkan? Pernikahan ini dari awal sudah abnormal, jadi seharusnya Kirana sadar dia tidak bisa mengekang Bisma. Kirana tak mungkin berharap Bisma akan bertindak menjadi suami setia bila nanti Keira memintanya kembali. Kirana tahu, tak ada cinta di antara mereka, sehingga sudah sewajarnya hati Bisma akan berlabuh pada seorang gadis yang baik dan suci seperti Keira. Sepertinya, Kirana hanya menunggu waktu saja hingga Bisma meminta berpisah karena tugasnya memberi nama ayah di akta lahir sudah terlaksana. Bila hari itu tiba, pada akhirnya, Kirana akan sendiri.

Walau sudah berkeliling kota Solo berjam-jam hingga bensinnya menipis, batin Kirana belum juga membaik. Namun, malam sudah semakin larut. Dia tak ingin Papa cemas menunggunya, mengingat dia belum memberitahu Papa bahwa dia pulang terlambat. Ia pun segera memutar stang, berbelok ke kanan dan melajukan motor menuju rumah di daerah Manahan.

Begitu memasuki gang kampung, Kirana memutar kunci untuk mematikan mesin dan membiarkan roda menggelinding begitu jarak sudah dekat agar deru motornya tidak mengganggu tetangga yang beristirahat. Saat dia akan turun, derik pintu pagar yang terbuka terdengar. Namun, yang menyembul dari dalam bukan Papa.

"Mas Bisma mau ke mana?"

"Kamu dari mana aja? Jam segini belum pulang." Bisma meraih stang motor Kirana, tak menjawab pertanyaan sang istri.

Kirana terkesiap. Sikap Bisma mirip Papa yang menunggunya pulang di teras depan, membukakan pintu pagar, dan menggantikan mendorong motor. "A-aku lembur. Habis itu jalan sama temen." Lagi! Untuk kesekian kali Kirana berbohong hari ini.

"Lain kali, ngabarin Papa kalau pulang telat. Pas aku pulang tadi, beliau masih di teras. Khawatir sama kamu."

Kirana menepuk dahinya. Dia memang lupa memberi kabar ke Papa karena terlalu kalut sewaktu Keira mengajak bertemu. "Iya! Aku lupa!"

Bisma meringis saat mengangkat sadel tengah untuk menyangga motor Kirana. Sementara, Kirana masih kesusahan membuka kunci pengait helm di sisi kanan motor.

Dengan motor yang menjadi pembatas mereka, lagi-lagi Bisma memperlakukan Kirana seperti anak kecil. Tangan lelaki itu terulur untuk membantu Kirana mengurai kaitan tali pelindung kepala.

Entah kenapa, mata Kirana tidak bisa lepas dari Bisma. Lelaki itu bersikap begitu manis sehingga membuat Kirana semakin didera rasa bersalah.

"Ngapain lihatnya kaya gitu?" Bisma menarik bibir, sambil melirik sang istri.

Dari tempatnya berdiri, Kirana bisa melihat jelas cekungan yang lebih dalam di pipi lelaki itu. "Tadi belum jawab. Mau ke mana malam-malam gini?" tanya Kirana karena tidak ingin terlalu geer, Bisma sengaja menantinya.

Bisma mengangkat helm dari kepala Kirana dan meletakkannya di rak dinding penyimpanan helm. "Menurutmu?"

"Mana aku tahu?" Kirana mengangkat bahu.

Bisma berbalik sambil mengembuskan napas panjang. "Aku cemas. Dari tadi teleponku nggak diangkat. Aku takut kamu kenapa-napa di jalan. Seperti Bima."

Kirana mengeratkan rahang. Dia meremas tali selempang tasnya. Kalau seperti ini, Kirana takut akan nyaman dengan Bisma. Kirana takut bila Bisma ingin mereka berpisah, dia enggan melepas laki-laki itu.

"Mas nggak perlu cemas! Aku bisa jaga diri," jawab Kirana ketus walau sebenarnya batinnya merayapkan kehangatan karena ada pengganti Mama dan Bima yang mencemaskannya.

Eling, Kiran! Bisma itu punya Keira! Bisa aja dia memilih pergi karena tugasnya sudah tuntas. Jangan pernah ngarep dan megang tangannya terlalu erat. Suatu saat kamu harus nglepasin kaitan itu. Inget itu, Kiran!

💕Dee_ane💕

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro