Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

11. Si Tanah Liat

Hai, Deers. Bisma dan Kirana update. Semoga kalian terhibur. Jangan lupa kasih komen dan votenya biar cerita ini bisa ngapung.

Udah vote?

💕💕💕

Orang bilang “Tak ada yang abadi di dunia ini. Ada pertemuan, pasi ada perpisahan. Ada kelahiran, ada juga kematian.” Tapi bagi Kirana, kematian itu menyakitkan. Di saat dia hendak merajut asa bersama Bima, dengan sangat kejam Tuhan mengambil melalui cara yang tragis. Sekarang pun, belum selesai Kirana dirundung perkabungan, Mama pergi meninggalkannya.

Untuk selamanya ….

Kesedihan Kirana pun seolah bisa dirasakan oleh semesta. Langit yang mendung sejak pagi, akhirnya menumpahkan air, seperti menangisi kepergian Mama. Di samping pusara berbentuk salib, Kirana berjongkok dan mengusap palang kayu seolah dia sedang mengusap punggung Mama. Isakan yang mengudara, melantunkan sesal karena merasa bersalah telah mengecewakan Mama.

“Mbak, ayo pulang. Mama sudah beristirahat dengan tenang.”

Kirana menatap Papa yang begitu tegar menutupi kesedihannya berpisah dengan sang garwa. Lelaki yang wajahnya selalu tampak mengumbar senyum itu membuat hati KIrana mencelus.

“Kalau Mbak masih di sini, kasihan Mas Bisma kehujanan megangin payung dari tadi,” timpal Aditya, adik Kirana.

Kirana terkesiap. Wajahnya mendongak. Alih-alih mendapati warna angkasa yang kelam, dia justru disuguhi warna pelangi kain payung yang menghindarkannya dari air hujan. Pantas … tak setetes pun air jatuh di tubuhnya.

Masih duduk berjongkok, Kirana menoleh ke kiri dan menengadah. Dia tak pernah menyadari ada Bisma berdiri di sampingnya, sambil memegang payung untuk menghindarkan tubuh Kirana dari curahan air hujan. Dalam kebisuan, dia menatap Bisma yang sepertinya tak peduli badannya telah basah kuyup terguyur air dari langit. Tatapan lelaki itu lurus ke depan, tak ingin mengganggu Kirana yang masih berusaha menguatkan hati melepas Mama.

Senandung lirih lagu "Jalan Terus" dari Sheila On Seven yang meluncur dari mulut Bisma berlomba dengan gemuruh guntur yang seolah ingin mengiringi nyanyiannya.

"Panas dingin tak bisa diterka. Maka apapun yang terjadi akan kujalani. Akan kuhadapi dengan segenap hati. Walau ku terluka memang ku terluka. Tak pernah ku lari dari semua ini."

Syair bernada sumbang itu menggetarkan Kirana. Seolah lagu itu memang sengaja dinyanyikan untuk menghiburnya. Namun, senandung ala kadarnya yang mengalun dari bibir merah Bisma, layaknya mantra yang membuat dinginnya air hujan yang membasahi bumi tak lagi dia rasakan karena telah berganti dengan kehangatan.

Kirana mendesah. Dia berusaha memancang nalar agar selalu mengingat Bisma bukanlah Bima. Walau serupa, tapi hati Kirana tak tertuju padanya.

Bisma akhirnya menunduk. Bibir yang sudah biru, mengembangkan senyum. Mereka bersirobok tanpa lisan untuk sesaat.

"Mbak, ayo …." Panggilan Papa kembali terdengar.

Kirana bangkit, masih memperhatikan Bisma yang juga tak mengalihkan tatapan darinya. Sementara itu, laki-laki di sampingnya menyesuaikan ketinggian payung agar Kirana bisa berdiri tegak.

Saat jarak pandang mereka terkikis, Kirana semakin jelas mendengar gemeletuk gigi yang beradu dan melihat bibir yang bergetar. "Sudah berapa lama Mas di sini?"

Namun, Bisma menjawab dengan pertanyaan lain. "Sudah puas nangisnya? Mau pulang?"

Kirana meremas kain rok hitam di samping pahanya. Dia menunduk menatap ujung sandal dengan tanah di sekeliling dia berdiri yang masih terlihat kering. Berkebalikan dengan sepatu sneakers Bisma yang berlumpur. Pandangannya seketika menjadi kabur dan otaknya kembali memutar kenangan 14 jam yang lalu.

***

Lewat tengah malam, Kirana tersadar setelah dia mendapati mamanya kritis. Saat itu, dia berbaring di brankar bilik IGD yang tertutup tirai. Di sisi kanannya ada Bisma yang duduk di kursi sambil menyandarkan kepala di atas permukaan brankar. Tangan kekar itu menggenggam tangan Kirana seolah takut dia akan pergi. Buru-buru, wanita itu menarik tangannya yang justru membuat Bisma menegakkan tubuh tegapnya dengan gelagapan.

"Ran? Apa yang kamu rasain? Mual? Muntah? Pusing?" Bisma langsung memberondongnya dengan pertanyaan.

Kirana menggeleng. "Di mana ini?"
Mama?"

"Kamu di rumah sakit. IGD. Tiba-tiba kamu pingsan."

Lambat laun  Kirana teringat apa yang terjadi setelah otaknya kembali mengumpulkan serpihan yang bertebaran. "Mama?"

"Mama …." Bisma menggeleng.

Kirana menatap Bisma yang menunduk, menghindari pandangannya. Namun, dia bisa menangkap mata merah yang berkaca-kaca.

"Sori … aku nggak bisa nyelametin Mama." Bisma tadi nekat memberikan bantuan hidup dasar sebelum perawat datang. Beruntung dokter jaga IGD mengenal Bisma, sehingga dokter itu justru berterima kasih ketika Mama hampir tertolong. Sayangnya, saat Bisma keluar untuk menemui Kirana dan Papa, kondisi Mama kembali memburuk. Bahkan alat defibrilator untuk mengejutkan jantungnya pun tak mampu menahan sukma Mama.

Susah payah Kirana menelan ludah. Dia pikir, semua itu hanya mimpi buruk, dan setelah Kirana terjaga semua akan kembali normal. Namun, itu hanya asa kosong Kirana. Seperti dulu Kirana berharap dirinya salah mendengar saat mendapat kabar Bima pergi untuk selamanya.

Kirana bangkit dari tidurnya. Namun, belum sempat punggungnya tegak, tiba-tiba pandangannya berputar, hingga wanita itu limbung. Walau kepalanya pening, dia berusaha menguatkan diri untuk menegakkan separuh tubuhnya.

"Kamu nggak pa-pa, Ran?"

Kirana kembali menggeleng. "Di mana Papa?"

"Papa lagi ngurusin Mama," jawab Bisma yang ikut bangkit dari kursinya. "Kalau kamu udah baikan, Papa pesen tadi supaya kita pulang buat nyiapin tempat."

Telinga Kirana berdenging. Hatinya serasa dicabik-cabik sembilu hingga menyisakan ngilu. Namun, saat mendengar kata 'kita' terucap dari bibir Bisma, batin Kirana sedikit terasa ringan. Seolah beban yang dia pikul, dibagi dua dengan Bisma.

"Kita?"

Bisma tersenyum sendu. "Iya. Kita … Aku dan kamu."

***

Kirana mengembuskan napas panjang, mengusir sesak di dada. Dia tatap lekat wajah yang memutih ronanya itu di balik tirai hujan yang tercipta dari tetesan ujung payung.

"Ayo, pulang. Kamu butuh istirahat," kata Bisma dengan suara bergetar.

Kirana mengangguk. "Mas …," panggilnya kemudian. Satu tangannya meraih ujung kain kemeja bagian lengan.

"Ya?" Kedua alis Bisma terangkat.

"Pakai payungnya. Aku nggak mau disalahin kalau Mas sakit." Kirana mendorong tangan yang menggenggam gagang yang berlekuk itu agak ke atas, melampaui kepala Bisma. Keduanya kini berada dalam satu naungan untuk berlindung dari dinginnya rinai hujan.

Kaki Kirana mulai melangkah pelan, menapaki lumpur cokelat yang pekat. Sekali lagi dia menoleh ke belakang, ke arah gundukan tanah yang ditaburi kelopak mawar. "Kirana pulang, Ma …."

Rasanya berat melepas Mama. Mau tak mau, hidup harus terus bergulir walau Mama tiada. Mata yang masih basah, kembali dibanjiri bulir bening hingga mengaburkan pandangan sehingga dia tak melihat ada batu licin di depannya. Sontak saat tungkai yang mengayun mendarat di atas batu, badan Kirana oleng dan hampir tergelincir. Beruntung, Bisma sigap menangkap lengan atasnya, merelakan payung yang dia pegang jatuh.

"Kamu nggak pa-pa?" tanya Bisma dengan mata membeliak. Wajah yang pucat itu semakin terlihat pucat ketika mendapati Kirana hampir terperosok.

Kirana mengerjap, menatap wajah Bisma yang berjarak dua jengkal darinya. Seketika jantungnya bergemuruh hebat, hingga membuat dadanya kembang kempis. Seandainya kepalanya tak terguyur air yang tercurah dari angkasa, dia pasti menyangka laki-laki di depannya ini adalah Bima.

Gelengan kepala berulang mengurai halusinasi Kirana. Dia kembali menyadari lelaki yang membantunya berdiri tegak itu Bisma yang berlaku layaknya Bima yang membuat dirinya jatuh cinta saat pertemuan mereka di MOS SMA.

"Kamu nggak pa-pa? Bajumu jadi basah." Bisma menatap cemas pada Kirana setelah mengambil payung.

Kirana menunduk, menatap baju putih yang kini menempel di kulit dan mencetak bra yang membalut dada. Namun, apa yang dialami Kirana tak seberapa dibanding baju putih Bisma yang basah. "Mas juga basah bajunya."

Bisma juga ikut menunduk, menatap bajunya dan terkekeh. "Kamu 'kan bumil. Jangan sampai ntar masuk angin. Udah mual, ketambahan sakit. Bukannya kamu udah janji mau jadi strong woman?" Bisma mengangkat lurus lengan kanan Kirana dan melipatnya ke atas, seolah ingin menunjukkan bahwa wanita itu punya otot yang membuatnya kuat.

Kirana tersenyum tipis. "Iya. Tapi kan praktiknya susah." Kirana menepis tangan Bisma. "Lagian bukan kuat fisik tapi kuat hati."

"Pelan-pelan aja. Semua butuh proses. Lihat tanah merah ini." Kirana mengikuti arah jari telunjuk Bisma. "Tanah merah ini akan tetap menjadi tanah merah yang lembek dan nggak berguna kalau seniman yang mau bikin tembikar nggak mengeruk. Tanah liat bingung … mau senang apa sedih karena sudah menjadi yang dipilih. Dia tahu seniman juga nggak janjiin kenikmatan. Ada perjuangan yang harus ditempuh. Sebelum dibentuk, tanah merah ini harus dibanting, digiling, dan diinjak agar liat. Setelah itu, tanah liat diputar-putar hingga linglung lalu mempertanyakan 'aku mau jadi apa sih?'. Sayangnya, penderitaan si tanah liat belum selesai. Dia masih harus bertahan ketika dijemur dan dibakar. Saat hatinya panas dibakar matahari dan api, mungkin keyakinan tanah liat pada seniman goyah. Bisa jadi dia akan nangis dan ngamuk. Tapi, kalau bertahan, tanah yang dulunya diinjak orang itu menjadi semakin kuat. Setelah itu, dia diambil dari tungku pembakaran dan didandani dengan indahnya, sehingga tanah liat akhirnya bisa tersenyum bangga dan menoleh ke belakang dengan senyuman sambil berkata, 'Hebat! Kamu kuat!'." Bisma menjeda ucapannya dan memperhatikan ekspresi Kirana. "Kaya kamu. Hati kamu lagi dikeruk sama Seniman Hidup buat dipersiapkan jadi bejana yang nggak cuma cantik tapi juga berguna. Tapi, semua proses harus kamu lalui dengan sabar dan ikhlas."

"Mas nggak ngalamin! Hidup Mas serba enak, kecukupan, dan jarang ngalamin kesedihan. Mas juga nggak jatuh dalam dosa."

Bisma menggeleng. "Kamu nggak tahu aja, apa yang terjadi sama aku. Selama manusia hidup akan ada masalah agar dia bisa berkembang." Bisma kemudian menoleh ke arah Papa yang menunggu di dekat mobil yang terparkir di sisi jalan. "Ayo, kasihan Papa seharian ini belum istirahat."

Kirana terkesiap. Dia melupakan papanya dan justru larut dalam kesedihan.

"Ran, aku tahu kamu nggak baik-baik aja. Tapi, tersenyumlah buat Papa sekarang," bisik Bisma saat mereka mulai mendekat.

Seperti terhipnotis, Kirana menarik bibir sekilas dan dibalas oleh Papa. Bisma benar, dia harus bahagia. Walau sulit, tapi setidaknya dia harus bahagia demi Papa.

"Om, saya langsungan. Saya harus jaga malam." Bisma membungkuk setelah menyerahkan Kirana berada satu payung dengan Papa.

"Makasih, ya, Mas. Hati-hati. Jaga kesehatan juga," ujar Papa sambil menepuk lengan berotot Bisma.

Bisma mengangguk. Saat dia akan melangkah menuju mobil, Kirana memanggilnya. Bumil itu berlari cepat, masuk dalam naungan payung Bisma.

"Udah dibilang jangan lari-lari!" Bisma memelotot. Sebagai dokter obsgyn, dia sering dihadapkan pada kasus abortus karena bumil terjatuh.

"Mas, aku mau nanya …." Kirana tak mengindahkan sergahan Bisma.

"Apa?"

"Apa bener ada kata 'kita' di antara aku dan Mas Bisma? Aku pikir selama ini, 'kita' akan tercipta kalau aku dan kamu melangkah seiring sejalan, dengan tangan saling berpaut dan hati bertaut. Tapi … apa hati kita bisa saling bertaut?"

Bisma mengernyit, berusaha memahami kata-kata cepat Kirana. "Hati kita bisa saling bertaut? Aku juga nggak ngerti. At least, hold my hand and i will never let you down." Tangan basah Bisma menyibak anak rambut Kirana ke belakang telinga.

Kirana melirik ke kanan, mendapati Papa masih berdiri menatap mereka dengan sendu. Untuk kesekian kali, dia menggigit bibir yang bergetar. Walau Papa akhirnya menghargai keputusannya, tapi Kirana paham … ada luka di hati lelaki yang sudah termakan usia itu.

Haruskah Kirana menerima Bisma untuk membahagiakan Papa? Tapi semua akan tak adil untuk Bisma.

"Beri aku satu alasan, kenapa Mas Bisma berubah pikiran." Kirana menatap tajam Bisma.

"Kalau aku bilang aku suka kamu, kamu percaya?"

💕Dee_ane💕

Buat kalian yang udah ninggalin jejak cinta ... saranghae😍

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro