❬ 14 ❭ @NyaiLepetj - Drawing Pen
Jangan mengambil pena itu!
Jangan!
Sekalipun kamu terdesak,
Jangan!
****
Ada banyak mitos mengenai SMA Taruna, salah satunya mengenai drawing pen. Tapi mitos mengrnai drawing pen ini adalah mitos paling legend. Karena bukan sekedar mitos, ada kejadian-kejadian janggal lainnya yang kerap mengikuti.
Jangan pernah mengambil pena yang kalian temui di manapun itu. Karena jika kalian mengambilnya, maka kalian akan menggantikan nya dengan jiwa kalian di ambil ke dunia lain. Dari beberapa kejadian ada yang pernah bisa kembali, ada yang kembali tapi hanya jasadnya saja,dan ada yang tidak pernah kembaki bahkan meski hanya bayangannya.
"Ta, elo lihat pena gue gak?" Klesta nampak kebingungan mencari penanya yang hilang. Seingat cewek itu, dia meletakkan pena itu di atas meja.
"Coba tanya Beno, dia kan punya tangan panjang."
Apa yang di katakan Tata benar, Beno memang kerap kali mengambil pena teman-temanya yang di letakkan di atas meja. Bila kalian memeriksa tas cowok itu, kalian tidak akan menemukan buku. Tetapi setumpuk pena.
"Itu cowok benar-benar, kena azab rasa."
"Azabnya apa Kes?"
Klesta nyengir. "Karena sering mengambil pena punya teman, pas meninggal kain kafannya di ambil orang." Lalu Klesta dan Tata terbahak-bahak mengabaikan teman-teman sekelas yang menatap mereka bingung.
Tata berusaha menghentikan tawanya. Mata cewek berkaca mata itu memicing menatap ke bawah kaki Klesta. "Nah itu, itu bukan pena lu." Tunjuk Tata ke bawah.
Klesta mengkuti arah yang di tunjuk Tata. "Bukan ih, bukan punya gue."
Tangan Tata hendak terulur untuk menyentuh pena itu.
Jangan di ambil!
Suara bisikan itu terdengar di telinga Klesta.
Jangan!
Lalu seolah baru teringat, Klesta segera memukul keras tangan Tata. Menarik tangan gadis itu dan bangkit dengan kasar dari kursi hingga membuat kursi yang di duduki mendang pena itu lalu bergelinding ke depan kelas.
"Aw! Lu apa-apan sih Kle!"
"Elo yang apa-apan. Main asal comot aja. Kalau itu pena yang sering di omongin sama anak-anak gimana?!"
Seolah baru teringat, wajah Tata berubah pucat. Astaga! Bagaimana bisa dia melupakan hal itu.
Mata Tata menelisik lantai, mencari keberadaan pena yang hampit dia ambil walau belum ada kepastian mengenai status pena itu.
"Udah lupain aja. Syukur itu pena udah hilang. Mending kita ke kantin aja. Gue lapar, tadi pagi enggak sempat sarapan." Klesta menarik tangan tata keluar dari kelas meninggalkan kelas dalam keadaan kosong.
Klesta dan tata berjalan bersisihan di koridor.
Ada yang aneh. Kenapa koridor mendadak sepi di jam istirahat.
Semakin banyak langkah yang mereka ambil semakin banyak pula keanehan yang mereka jumpai.
"Kle, kok aneh ya ... anak-anak pada kemana?" Tata memegang lengan Klesta begitu erat. Bulu kuduknya meremang.
Klesta pun merasakan hal yang sama seperti yang Tata rasakan. Dadanya terasa sesak.
Ada yang aneh.
Klesta menatap penjuru sekolah. Dari koridor tempatnya berdiri, dia bisa melihat lapangan tempat di mana anak futsal latihan. Lapangan itu sepi, hanya ada dedaunan kering yang tertiup angin. Angin yang bertiup saja terasa janggal. Klesta melihat langit yang begitu gelap membuat suasana sekolah mencekam tanpa adanya cahaya.
Klesta ikut memegangi tangan Tata. Ini memang sekolah mereka tapi bukan sekolah mereka. Ini .... ini ...
Entahlah! Klesta pun bingung.
Srkkk srkk srkkk ....
Refleks Klesta membawa Tata bersembunyi di bawah tangga tempat di mana dia berhenti tadi.
"Ken-" Klesta segera menutup mulut Tata saat suara itu makin dekat. Tidak ada suara seperti itu di sekolah. Suara itu lebih ke seperti desisan ular, tapi ular itu besar. Walau Klesta tak pernah bertemu ular besar hingga bisa menyimpulkan desisan tadi.
Suara kaki yang seperti di seret membuat Klesta dan Tata saking berpandangan. Mereka sadar, bahwa mereka tidak berada di tempat semestinya.
Kedua gadis itu merapatkan tubuhnya ke tembok dengan mulut tertutupi tangan. Nafas mereka tersendat.
Bola mata Klesta hampir keluar melihat pemandangan di dapan sana melalui sela kecil di bangunan tangga yang ternyata berlubang. Sebuah sosok dengan kaki hancur sebelah dan di seret kaki kanannya. Di setiap seretan langkah sosok itu akan meninggalkan bercak darah di keramik dingin. Sosok itu memiliki tubuh yang lumayan tinggi dengan tangan yang kurus dan kuku panjang yang bergerak-gerak. Entah apa uang ada di kuku sasok itu hingga bisa bergerak.
Srkkk ... srkk ... srk ....
Sosok itu menjulurkan lidahnya yang bercabang dan mengeluarkan cairan hitam pekat dan beraroma busuk. Rambut sosok itu yang berpotong tak rapi tampak sangat kaku sepertinya sudah lama tidak ke salon.
Tata rasanya ingin menangis saja. Dia bingung, di dunia belahan manakah mereka berada saat ini. Dia tidak pernah menjumpai sosok itu sekalipun dalam mimpi. Ini mengerikan.
Tangan Klesta yang bebas membekap erat mulut Tata yang hampir mengeluarkan isakan dan membuat sosok itu hampir mengetahui keberadaan mereka.
Klesta menangkap ada sesuatu di tangan kanan sosok itu. Dia tidak bisa melihat dengan jelas lantaran tertutub tubuh sosok mengerikan itu.
Sosok itu mengangkat tangan kanannya ke depan wajah hingga Klesta dapat melihat dengan jelas apa yang sosok itu pegang.
Klesta seperti kehilangan orientasinya. Seluruh tubuh gadis itu gemetar.
Yang di pegang sosok itu adalah kepala manusia. Dan baik Klasta maupun Tata mengenali pemilik kepala itu. Itu kepala Beno. Hanya kepala tanpa badan dengan mata melotot sempurna dan wajah berlumuran darah. Sosok itu menjulurkan lidahnya, menjilati kepala Beno. Cairan hitam kental itu membuat kepala Beno meleleh seperti plastik yang di bakar, dan mengeluarkan aroma busuk.
Klesta dan Tata tercengang. Bahkan untuk bernafas pun mereka seperti lupa bagaimana caranya. Menyaksikan kepala Beno hancur secara perlahan membuat mereka seperti patung.
Tata yang tidak bisa menahan lagi melihat pemandangan di depan sana kehilangan kesadaran.
Gawat!
Bagaimana mereka mencari cara kembali kalau Tata pingsan. Meninggalkan gadis itu? Tentu tidak akan Klesta lakukan.
Srkk ... srkk ... srk ...
Klesta mendengar sosok itu membawa langkahnya berjalan menjauh dari tempat mereka.
Menunggu dan terus menunggu hingga Klesta merasa keadaan sudah mulai sedikit aman.
"Ta! Bangun! Ta." Klesta menepuk-nepuk pipi Tata.
Tata terbangun dan langsung memeluk Klesta erat." Gue takut Kle." Klesta membalas pelukan Tata. "Gue juga Ta. Kita cari jalan kembali. Gue enggak ngerti kenapa sekolah berubah mengerikan kayak gini."
Tata mengurai pelukan mereka. "Apa jangan-jangan karena pena itu?"
Klesta tercengang. Tidak mungkin!
"Apapun itu sebabnya. Kita harus segera pergi."
Klesta keluar lebih dahulu dari persembunyian. Melihat ke kanan dan kiri. Di rasa aman dia membantu tata berdiri.
"Ayo Ta. Kita harus cepat!"
Mereka berjalan ke arah di mana mereka datang tadi-kelas mereka.
"Kle, gimana caranya kita keluar dari sini."
Klesta menggeleng lemah. "Gue juga enggak tahu. Apa kita ke gerbang aja, siapa tahu dengan kita keluar dari sekolah semua akan kembali normal."
"Iya benar. Kita ke gerbang sekarang."
"Hati-hati Ta. Kita harus tetap waspada"
Keduanya berjalan dengan penuh kehati-hatian takut bertemu sosok itu atau sosok lain. Sesampainya di Hall, di saat keduanya hampir saja mencapai gerbang yang hanya berjarak 100 meter dari Hall. Sosok yang mereka lihat tadi berdiri dengan pongah di pintu kaca yang akan mengantarkan ke halaman depan.
Sosok itu menyeringai. Sangat mengerikan. Seolah-olah dia memang sudah menunggu Klesta dan Tata. Seolah-olah sosok itu tahu kemana kedua gadis itu akan pergi.
Lidah sosok itu menjulur, matanya hitam seperti malam. Wajahnya seperti akar-akar pohon mangga.
Srkk ... srkk ... srk ....
Rambutnya melayang. Mata Tata menyipit melihat rambut itu yang familiar. Matanya membola, rambut sosok itu seperti pena uang yang hampir dia ambil. Nafas Tata seperti akan di cabut pasokannya saat itu juga hingga kepalanya pening. Tata kembali kehilangan kesadaran.
Klesta menangkap tubuh Tata yang ambruk. Keduanya terduduk di lantai. Fokus Klesta terbagi antara sosok itu yang tertatih mendekat ke arah mereka, dan juga pada Tata yang tak sadarkan diri.
"Jangan mendekat!"
Srkk ... srkk ...srkk ....
Jangan mengambil pena itu!
Jangan!
Sekalipun kamu terdesak,
Jangan!
Klesta mendengar bisikan itu keluar ketika sosok itu menjulurkan lidah.
Sosok itu kian mendekat.
Klesta merengsek mundur dengan posisi duduk di lantai sambil menyeret Tata. Air mata Klesta merembes keluar. "Aku mohon jangan mendekat."
Tapi sosok itu seperti tidak mengerti bahasa manusia hingga tubuh busuknya tetap maju.
Klesta melihat ada sapu di dekatnya.
Di sambar saja sapu tadi dan di acungkan ke hadapan sosok pemilik pena." Jangan mendekat aku bilang." Klesta menyenderkan Tata di tembok. Gadis itu berdiri menantang Pemilik pena dengan ketakutan yang berusaha dia redam. Meski demikian, tangannya nampak bergetar.
Pemilik Pena nampak Tidak suka di perlakukan demikian. Rambutnya terangkat dan teracung ke hadapannya.
Srkk ... srk ... srk ...
Dan-
Wush!
Sesuatu yang seperti pena keluar dari rambut sosok Pemilik Pena dan menerjang Klesta. Gadis itu tak tahu harus bagaimana hinga pena itu menusuk punggung Klesta.
Tubuhnya tersungkur ke lantai.
Rasanya sungguh sakit.
Srk ... srk ... srk ...,srk.
srk ... sr ... srk ...srk ... skr ...
Sepertinya sosok itu tengah bahagia karena desisannya tak seperti biasa.
Darah merembes keluar dan membasahi seragam Klesta. Darah hitam pekat dan mengeluarkan bau tak sedap. Bibir Klesta bergetar tapi tak mampu mengeluarkan sepatah katapun bahkan saat sosok itu mendekati Tata. Mengangkat kukunya yang panjang dan hitam.
Tak ...
Sosok itu menusuk Tata tepat di ulu hatinya membuat gadis itu terbangun dengan darah yang keluar dari mulut dan mata melotot. Rasa sakit yang amat sangat Tata rasakan. Hanya air mata yang mampu mendeskripsikan betapa sakit yang dia rasa kini. Mulutnya untuk mengeluarkan desisan sudah tak mampu.
Klesta mengisi di tempatnya. Selain karena rasa sakit yang di terima tubuhnya, juga rasa sakit melihat sahabatnya di perlakukan demikian oleh sosok pemilik pena.
Sosok itu mencabut lalu menusukkan lagi kukunya membuat Tata begitu tersiksa. Darah mengalir seperti keran.
Tangan lain sosok itu meraba wajah Tata dengan kuku sambil menusuk. Dara keluar dari wajahnya.
Klesta hanya bisa terisak.
Cabut pena di dadamu dan tusuk kepala bagian belakangnya.
Klesta tersentak mendengar bisikan lain.
Cabut pena di dadanya?
Klesta melirik dadanya. Dan benar ada pena tertancap di sana.
Klesta mencabutnya paksa. Dan rasanya sungguh sakit.
Klesta merangkak pelan ke arah sosok itu yang jongkok membelakanginya. Klesta menahan segala rasa sakit yang dia rasakan.
Di saat sosok itu akan menusuk dada Tata. Klesta memaksakan dirinya berisi lalu menusukkan pena itu di kepala bagian belakang sosok itu.
Sosok pemilik pena mengaum dan mendesis di saat bersamaan. Tubuh sosok itu itu terhempas ke sana kemari bahkan menghancurkan pilar di koridor. Api hitam menyelimuti sosok itu dan melahap sosoknya sedikit demi sedikit hingga lenyap.
Tubuh Klesta terjatuh di hadapan tubuh Tata yang keadaannya lebih parah dari dirinya.
Tata membuka matanya perlahan. Meski di ambang kesadaran, Tata masih bisa merasakan dan melihat dengan buram yang terjadi tadi.
"Mision complate Ta!"
Tata tersenyum dan mengangguk. Perlahan rasa sakit yang dia rasakan menghilang karena lukanya mengering dengan sendirinya.
Begitupun dengan luka Klesta yang berangsur hilang.
Kedua gadia yang hampir merenggang nyawa itu berpelukan erat dengan air maga yang tumpah.
"Kita enggak jadi mati Kle!"
"Iya Ta."
"CUT!"
Suara seseorang yang sedari tadi menyaksikan mereka berhasil mengurai pelukan keduanya. Keduanya tersenyum lega.
"Oke Klesya dan Tamara, filmnya benar-benar udah kelar. Congrats buat kalian. Acting kalian benar-benar bagus."
Klesya dan Tamara yang tadi memerankan Klesta dan Tata bengakit dari duduknya di lantai. Keduanya tersenyum sumringah. Tak sia-sia film ini mereka garap hampir sebulan padahal durasinya hanya 2 jam.
"Film drawing pen memang film paling berkesan buat Sya, om Taufik."
"Ara juga gitu om. Film ini karena ada unsur thrillernya jadi meski acting deg-degannya nyampe banget."
"Om juga excited banget sama film ini. Film horor-thriller pertama om."
Klesya menerima handuk pemberian asistennya dan mengelap sisa air mata sehabis menangis tadi. "Aku ada ide buat slogan filmya om."
Tamara tidak bisa menahan tawa. "Kok slogan sih Sya. Kayak pegadaian aja."
Om Taufik-sutradara dan penulis naskah film the drawing pen juga ikut tertawa. "Jadi, slogannya apa Sya."
Klesya nyengir. "Jangan mengambil pena itu!
Jangan!
Sekalipun kamu terdesak,
Jangan!"
TAMAT
Riri
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro