❬ 11 ❭ @KLANDESTINNE - Satan's Grip
What the hell?!!
Aku benci sekali. Kenapa juga harus gudang? Akan jauh lebih baik jika pak Ceking itu menyuruhku membersihkan perpustakaan utama. Di ruangan sana memang jauh lebih luas, namun kondisinya lebih baik. Yang kumaksud lebih baik adalah tempatnya yang lebih bersirkulasi, tidak pengap. Dan juga lebih wajar daripada membersihkan gudang belakang yang dari jauh-jauh hari memang tidak pernah dibersihkan ini. Malah dilimpahkan padaku begini. Bikes, deh!
Saat aku meminta penjelasan darinya, alih-alih dijelaskan, aku malah disetrap.
"Kerjakan atau hukuman kamu saya tambah!?" hardiknya seraya mendelik padaku.
Huh, memang menyebalkan!
Baiklah, akan kuceritakan awal tragedi yang menimpaku hari ini. Saat jam pelajaran ke-9, hampir-hampir mendekati jam pulang, aku memutuskan keluar dari sekolah lebih awal. Bukan membolos! Tapi mendahului jam pulang.
Alasannya sederhana namun romantis, aku ingin menonton pertandingan klub bola favoritku. Persija Jakarta hari ini bertanding melawan Sriwijaya FC sekitar pukul empat sore. Tentu aku tidak mau ketinggalan. Biasanya kan aku menontonnya setiap malam. Karena jam itu aku belum tentu sudah sampai di rumah, jadi kuputuskan untuk diam-diam pulang. Lagi pula mana bisa aku konsentrasi belajar jika pikiranku melayang-layang pada Marco Simic, Rezaldi, juga Fitra Ridwan? Big No! Setiap Persija bertanding, aku akan menontonnya dari kick off babak pertama sampai peluit panjang babak kedua dibunyikan. Itu sudah seharusnya dilakukan oleh Jak Mania sejati.
Tapi sialnya, gara-gara cowok bau comberan yang menabrakku saat aku hendak melompat pagar sekolah, pak Ceking jadi berhasil menangkapku yang memang sudah ketahuan olehnya. Kalau saja cowok menyebalkan itu tidak ada, aku pasti sudah berhasil kabur dan sekarang duduk manja menonton bang Rezaldi kesayanganku beraksi.
Tapi, yah ... karena cowok itu ternyata juga hendak kabur, alhasil dia ikut terhukum oleh pak Ceking. Biar saja! Biar dia rasakan membersihkan seluruh toilet sekolah. Jumlahnya ada enam sekaligus toilet guru. Meski hukuman yang aku terima tidak jauh lebih baik.
Haaah ... pupus sudah mimpiku malam ini memimpikan abang Rezaldi kesayangan memberiku seikat bunga. Gara-gara pak Ceking dan cowok sialan itu! Aku harus membersihkan gudang seukuran ruang kelas yang kotornya minta ampun! Mungkin ini yang disebut sarang penyamun.
***
Gawat! Aku ketiduran di gudang belakang sekolah! Sekarang jam berapa? Hei dimana arlojiku kutaruh tadi? Kenapa sih hari ini aku sial terus?! Oh, itu dia, ternyata di lantai dekat aku tertidur tadi. Dasar.
Gudang belakang sudah kubersihkan, kinclong malah. Tidak ada sarang laba-laba alang melintang di sudut-sudut ruangan. Kardus-kardus bekas sudah kutata rapi saling tumpuk dan berjejer. Alat-alat olahraga yang tak terpakai kumasukkan ke dalam kardus. Kanvas dan lukisan hasil karya anak-anak ekstra kesenian sudah kutata juga. Sekarang kurang apa coba? Sudah kulakukan semua yang diperintahkan oleh pak guru kerempeng itu dan meninggalkan pertandingan penting klub idolaku. Seharusnya dia membangunkanku dong kalau lihat aku ketiduran di sini. Jangan-jangan dia tidak menengokku lagi. Dasar guru tak berperasaan!
Sekarang sudah jam tujuh malam. Di luar pasti sudah gelap. Lampu bohlam gudang memang sudah kuhidupkan sejak mulai bebersih tadi. Jadi suasananya tidak terlalu berbeda. Entahlah kalau nanti aku keluar. Aku memutuskan tidur sebentar karena lelah. Selesai bersih-bersih kalau tidak salah jam lima sore. Eh, malah kebablasan dan tidak ada yang membangunkan. Menyebalkan! Awas saja, besok aku akan protes sama pak Ceking itu.
Aku keluar gudang dengan hati dongkol sekaligus senewen. Tapi perasaan itu langsung lenyap begitu melihat keadaan luar yang gelap gulita tanpa ada cahaya. Kecuali lampu bohlam kuning di dalam gudang yang kubersihkan tadi. Ya Tuhan, kok aku jadi takut begini. Melihat pohon mangga yang berdiri agak doyong tak jauh dari tempatku berada membuat bulu kudukku berdiri semua. Sial, serem amat sih! Pokoknya ini gara-gara pak Ceking!
Sejenak aku jadi ragu apakah akan pergi dari tempat itu atau tidak. Tapi masa aku harus semalaman berada di gudang ini? Siapa yang menjamin kalau tempat ini tidak berhantu? Tuh, kan mendengar kata hantu saja membuat nyaliku ciut drastis. Sial, sial, sial! Malam semakin larut dan aku harus segera pulang. Ibu pasti sudah menungguku di rumah dengan perasaan was-was. Mana aku tidak pamit. Dia pasti mencariku.
Aku celingak-celinguk sendirian di ambang pintu gudang. Sudah seperti anak tuyul yang ragu hendak mulai mencuri atau tidak. Aku takut! Serius!
Coba bayangkan dirimu seorang gadis yang imut nan menggemaskan terjebak di tempat menyeramkan di bagian belakang sekolah. Aku yakin kalau itu kamu pasti sudah menangis gulung-gulung di lantai. Sayangnya aku terlalu gengsi pada setan penunggu pohon mangga yang siapa tahu hinggap di sana. Mbak Kunti misalnya.
Jadi bagaimana sekarang? Aku pulang atau memilih menunggu pagi di tempat ini? Kalau pulang, aku harus berjalan sekitar sepuluh meter menuju gedung utama sekolah. Tepatnya ruang lab komputer di samping gudang. Tapi jalanan menuju ke sana gelap. Aku tak punya senter dan sekali lagi aku masih takut. Belum lagi menyusuri lorong-lorong kelas, toilet cowok, kantin dekat kelasku, nanti turun undakan kecil, lewat halaman sekolah, ruang guru lanjut terakhir pos satpam. Hei itu belum terhitung perjalanan menuju rumah. Keadaan sekolah yang gelap cukup membuatku gemetar. Bayangan tentang kejahatan di jalanan terus berputar di kepalaku; begal, pembunuh berdarah dingin, pemerkosaan. Hei, hei kenapa itu semua mampir di kepalaku sih?! Aku jadi semakin takut begini, kan. Dasar otak tak berguna!
Tidak ada ponsel. Bagaimana mengabari ibu kalau begini. Rasanya aku pengen nangis. Dasar sialan, kenapa sih pihak sekolah tidak memperbolehkan muridnya membawa ponsel? Kukutuk sekalian oknum yang membuat peraturan itu. Gara-gara dia aku tidak punya celah untuk pulang dari sini. Ya, Tuhan, gimana dong?
Aku mendengar kasak-kusuk di sebelah kiriku. Di sana hanya ada semak berduri yang tak pernah terjamah pemotong rumput. Adrenalinku meningkat. Sial! Bisa-bisa aku mati kebanyakan mengumpat. Kuhela napas lalu kutelan salivaku yang sebenarnya sudah kering dari tadi. Mencoba menabahkan hati sebentar.
Krusek!
"Waaaaaaaaa!!" Aku lari sekuat tenaga menuju gedung lab komputer tanpa pencahayaan. Masa bodoh dengan kaki yang menabrak batu di kegelapan. Pokoknya aku mau pulang! Pulang!
Aku berhenti begitu sampai di depan lab komputer. Lampu neon putih menerangi sepanjang koridor kelas sebelas. Syukurlah, aku sedikit lega. Ngomong-ngomong yang bergerak-gerak di semak tadi apa. Jangan-jangan cuma kucing. Bodo ah! Kalau diingat-ingat lagi bisa membuatku takut.
Aku berhenti sejenak di depan pintu lab itu. Kuatur napas sembari melihat keadaan sekitar. Memang cukup terang dibandingkan pemandangan di depan pintu gudang tadi. Tapi tetap saja seram. Lihatlah lorong panjang itu. Membuatku teringat lorong-lorong rumah sakit berhantu yang pernah kutonton. Suasana hening berpadu dengan keadaan gelap di dalam kelas. Aura mistis perlahan mengaduk-aduk perasaanku. Untung saja logikaku masih berjalan untuk menenangkan. Kalau lampu koridor menyala begini, pak satpam pasti yang melakukannya. Kemungkinan dia masih mondar-mandir ke seluruh penjuru sekolah. Mungkin aku bisa meminta pertolongan padanya.
Setelah merasa cukup tenang, aku berjalan perlahan, aku harus segera pulang. Tetapi belum lima langkah kakiku bergerak, sesuatu terdengar dan menginterupsi. Aku seperti mendengar bunyi gamelan Jawa. Sebentar, sepertinya sekolah tidak punya fasilitas seperangkat gamelan Jawa. Setahuku, ekskul musik yang merupakan bagian dari ekskul kesenian hanya punya alat musik band modern seperti drum dan gitar akustik. Mustahil ada gamelan di sekolah ini. Lagipula kalaupun ada, masa latihan musik malam-malam begini? Sekarang bulu romaku berdiri lagi.
Aku komat-kamit merapal doa yang kubisa. Sabodo walaupun cuma bisa doa makan saja. Suara gamelan masih terdengar. Suaranya kian nyaring dan aku merasa bahwa bunyi itu berasal dari arah yang kutuju sekarang. Aku harus berpikir positif. Mungkin itu suara musik yang keluar dari ponsel pak satpam. Siapa tahu dia memang penyuka musik jawa yang mendayu-dayu itu. Oke, tak usah pikirkan gamelan itu. Lanjut saja berjalan dan keluar dari sekolah ini secepatnya.
Semakin aku berusaha mengenyahkan suara gamelan dari telingaku, semakin suara itu terdengar keras. Aku terus berjalan dan berpikir positif. Tapi rentetan pertanyaan yang berjejer di otakku sulit sekali dienyahkan. Dari mana asal suara itu? Kalau benar punya pak Satpam, kenapa aku tidak menemukannya? Suara itu semakin jelas seiring jauh langkahku berjalan. Dan entah mengapa caraku berjalan seperti penyanyi sinden yang memakai jarik panjang yang melilit bokong sampai kaki. Cara jalanku sangat pelan dan langkahnya pendek-pendek. Sialan! Gak perlu takut begini dong, Yefa! Berani dong! Mau pulang gak sih!
Walaupun aku terus memaki diriku sendiri, tetap saja langkahku tidak berubah. Dasar, keinginan sama perbuatan memang kadang tidak selaras.
Tiba-tiba suara gamelan berhenti. Aku ikut berhenti. Aku mengembuskan napas karena lega. Kemudian kulanjutkan lagi jalanku. Tapi sekarang perasaanku tidak enak. Seperti ada yang berjalan menguntitku di belakang. Disaat-saat seperti ini pun aku masih sempat berpikiran iseng. Aku berhenti, aku merasa seseorang yang di belakangku ikut berhenti. Aku berjalan, seseorang seperti berjalan mengikuti. Aku berhenti lagi, 'dia' juga. Aku maju satu langkah, 'dia' juga. Aku mulai merinding. Kutelan saliva susah payah. Dan, ya Tuhan, kakiku gemetar. Aku takut.
Dengan cepat aku menoleh ke belakang. Tidak ada siapa-siapa. Aku berbalik lagi. Kenapa begini? Tadi aku panik karena merasa ada seseorang mengikutiku. Sekarang aku takut karena dugaanku salah. Padahal aku benar-benar yakin ada seseorang di belakang sana.
Tenggorokanku tercekat, napasku mulai tak beraturan lagi. Rasanya lelah padahal aku sedang tidak lari marathon. Woi, tenang dong. Mana boleh begini padahal aku seharusnya terus melangkah pulang. Harusnya aku sudah berjalan melewati halaman sekolah, bukannya berpikir yang tidak-tidak tentang hal tidak jelas.
Aku berjalan cepat-cepat dan bertekad untuk bisa keluar dari sini. Harus! Pokoknya aku harus pergi. Tapi sekali lagi langkahku tersendat. Bahuku ditepuk seseorang yang bertangan dingin. Rasanya temperatur dingin itu menembus seragam sekolahku sampai ke pembuluh nadi. Kutengok sedikit bahu sebelah kananku.
"Waaaaaaaaaaaa!!!!" Aku menjerit sejadi-jadinya kemudian lari. Sebuah tangan entah dari mana asalnya, terasa dingin seperti es, menyentuh pundakku. Dan walaupun hanya sekilas saat aku menoleh tadi, bisa kulihat rambut panjang yang menjuntai ke depan. Entah apa itu, yang langsung kuasumsikan sebagai sesuatu yang mengerikan, aku lari begitu saja.
Aku lari, terus lari, debum telapak sepatuku memecah keheningan. Koridor bergema menyambut suaranya. Tiba-tiba aku terjatuh. Seperti ada yang menjegal kakiku secara sengaja. Aku bingung celingukan mencari penyebab kenapa aku bisa jatuh. Namun tiba-tiba kakiku dicengkeram kemudian diseret. Tubuhku terlentang, punggungku menyapu lantai, tanganku meraih-raih udara dengan panik. Aku berteriak histeris. Tubuhku terseret jauh oleh seseorang atau justru hantu. Sekarang aku mulai menangis karena ketakutan. Tubuhku terus terseret sampai entah di mana. Mataku terus terpejam karena kekalutan yang luar biasa.
Lenganku menabrak tembok atau apa itu aku tidak tahu. Begitu tahu aku menabrak bingkai pintu, aku menahan diri padanya. Kutahan kuat-kuat tanganku supaya tidak terseret jauh oleh hantu atau entah apa itu. Aku meronta dan mulai menendang kakiku asal. Beberapa detik kemudian, sepasang tangan meraih tanganku yang masih bertahan pada bingkai pintu bagian bawah. Aku semakin meronta dan histeris. Disaat itulah aku sadar bahwa itu manusia, bukan hantu atau setan yang menyeretku tadi.
"Hei, hei... tenang," suara bariton itu menghentikan teriakan ketakutanku. Aku memberanikan diri untuk membuka mata dan mendongak pada seseorang yang membungkuk, berusaha menarik tanganku, menyuruh berdiri.
Setelah berdiri, aku memandang lamat-lamat seseorang berambut pendek yang membelakangi cahaya lampu itu. Tingginya sedikit melebihiku sekitar 7 cm. Dia juga balas menatapku, sedikit heran.
"Lo ngapain di sini?" tanyanya.
"Lo ... lo ... lo bukannya yang tadi disuruh pak Mahmudi bersihin wc?" tanyaku masih menyisakan gemetar dalam suaranya.
"Lo yang mau lompat tembok belakang tadi kan? Lo masih di sini?" cercanya. Aku langsung merapat padanya dan mulai tersedu. "Setan ... gue ditarik sama setan yang entah gimana bentuknya. Tolongin gue, gue takut ...,"
"Mana? Gak ada?" cowok itu celingak-celinguk berusaha mencari setan yang kumaksud. Aku menggeleng. "Ngimpi kali lo."
Aku menatapnya tak percaya. "Gue gak bohong. Lo liat sendiri kan gue di lantai tadi narik diri biar gak diseret jauh sama setan itu. Lo nolongin gue, kan? Lo tahu kalo gue diganggu setan?!"
Dia mengendikkan bahu. "Yang gue tahu lo teriak-teriak ga jelas. Mungkin lo ketiduran gara-gara kecapekan bersihin gudang terus ngimpi dikejar setan!" dia terkikik.
Aku kesal dan terus mencoba menjelaskan. "Kalo gue tidur gara-gara kecapekan, gue gak mungkin di sini. Mestinya gue teriak-teriak di gudang!" Memang benar tadi aku kelelahan memberisihkan gudang kemudian tidur. Tapi itu tadi! Aku sudah sengaja pergi dari sana dan mau pulang. Tidak mungkin kalau cuma mimpi seperti apa yang cowok itu katakan.
Dia mulai diam lalu merenung. Kemudian manggut-manggut, "Iya juga."
"Tapi kenapa lo masih di sini? Gak pulang?" tanya cowok itu sambil mengamati penampilanku dari atas sampai bawah. Aku menggeleng. "Gue ketiduran di gudang sampe malem, baru keluar sekarang. Lo sendiri kenapa belum pulang?"
"Sama, ketiduran juga." Dia nyengir sedikit lalu menggaruk rambutnya yang sedikit ikal.
"Bagus! Gue gak sendiri di sini. Gue mau pulang sekarang, plis bantu gue supaya gak diganggu makhluk astral lagi." Cowok itu menatapku dengan pandangan menyelidik. "Lo serius di ..."
"Iya, gue beneran di seret sama setan dari koridor sana sampe sini!" Sekarang aku baru sadar jika tempatku sekarang berada di dalam toilet cowok. Pantas si cowok ini menemukanku, dia kan membersihkan bagian ini juga. "Lo gak percaya?" tanyaku memastikan. Cowok itu menggeleng. "Jam-jam segini mana ada setan. Setan tuh keluar tengah malam," katanya sambil melangkah keluar kamar mandi. Aku mengikutinya, takut.
"Emang siapa yang jamin kalo jam-jam segini setan gak keluar?" tanyaku. Kulirik arlojiku, sekarang sudah jam setengah delapan. Aku harus bergegas pulang sebelum ibu semakin cemas.
"Gak ada."
"Nah, kenapa lo mikir kalo setan gak pada keluar jam segini?"
Dia mengendikkan bahu. "Gue mikir aja, abis gue punya otak." Menyebalkan sekali cowok ini. Kalau tidak ingat kejadian barusan saat dia menolongku, sudah kulemparkan kepalanya ke tempat sampah!
Aku masih berjalan mengikuti kemana dia pergi. "Gara-gara lo, gue gagal kabur dari sekolah dan harus bersihin enam toilet di sekolah ini," gerutunya seraya membelakangiku.
"Heh, ada juga gara-gara lo gue harus bersihin gudang yang kotornya minta ampun. Debunya aja ngalahin abu vulkanik gunung merapi!"
"Cuma gudang," cibirnya.
"Cuma lo bilang?! Coba aja lo bersihin, kalo lo berani nganggep enteng begitu!"
"Oke." Cowok itu berbalik arah. "Eh, eh, eh.. mau kemana?" tanyaku heran. Dia bersedekap tangan lalu menatapku. "Bersihin gudang, kan?"
Aku menggeram. "Kalo sekarang mah udah bersih, ya gampang-gampang aja kalo lo bersihin." Dia memutar bola mata lalu berbalik badan dan berjalan lagi. Tidak ada lagi pembicaraan diantara kami. Dia berjalan santai sementara aku mengikuti di belakangnya. Sampai pada akhirnya aku merapat padanya karena mendengar seseorang bernyanyi
Lingsir wengi ...
"Lo denger itu?" tanyaku takut-takut pada cowok yang belum kukenal namanya itu. Aku merapatkan diri padanya.
"Apa?" tanyanya heran."Ituu ..."
... marang mega ing angkasa...
Cowok itu terlihat mengerutkan dahi lalu melirik ke arahku.
"Suara ... itu?" dia bertanya. Aku mengangguk kuat-kuat. Aku tahu itu lagu Jawa. Cukup terkenal karena lagu itu identik dengan pemanggilan roh-roh halus atau jin-jin atau entah apalah aku kurang paham. Tapi aku tahu itu seram, sekarang saja bulu romaku berdiri. Tadi suara gamelan, sekarang suara sinden. Ini sekolah atau tempat karawitan sih.
"Kita cari." Aku berjengit.
"Hah?! Apanya yang dicari?" tanyaku tak mengerti. Sedangkan dia menjauh dariku dua langkah dengan kaki panjangnya. Aku buru-buru menyusul.
"Kita cari asal suaranya."
"Buat apa?" tanyaku. Dia tak menjawab. Langkah kakinya semakin mantab dan suara lirik lagu menyeramkan itu semakin jelas. Aku bergidik berkali-kali.
"Hei, hei, mendingan kita segera pulang aja dari sini." Aku mencoba mencegah namun cowok itu keras kepala. "Gue penasaran."
Rasanya bogem tanganku sudah siap melayang ketika tiba-tiba dia berhenti dan bersandar di dinding. Dia juga menyuruhku melakukan hal yang sama dengan gerakan tangannya yang terulur mundur. Ada apa? Detak jantungku berpacu cepat. Sumpah demi apapun aku takut. Suara gending Jawa itu juga terdengar sangat dekat dan jelas. Aku teringat kejadian tadi dimana tiba-tiba kakiku diseret jauh oleh seseorang atau malah setan tadi.
"Ada seseorang," bisik cowok itu sambil menengok ke samping tembok. Apa sih? Aku jadi ikut penasaran. Sejujurnya rasa takut itu lebih mendominasi, dan denyut nadiku seolah menari-nari membunyikan nada tuts piano. Aku gemetar luar biasa. Apalagi lagu itu begitu terdengar menyeramkan.
"Dia meletakkan sesajen di bawah pohon mangga sambil bernyanyi," bisiknya memberi tahu. Hal itu sukses membuatku semakin lemas. Aku sampai bingung mau mengeluarkan kata apa menanggapinya. Bahkan aku tidak berani ikut melongok ke arah si cowok itu mengintip.
"Dan jelas dia wanita, dilihat dari pakaiannya, dan didengar dari suaranya ...,"
Apa katanya? Wanita malam-malam begini menaruh sajen di bawah pohon lalu bernyanyi 'lagu itu'? Buat apa? Coba dinalar sedikit, tidak ada manusia normal apalagi wanita melakukan itu di sini. Oh, jangan-jangan dia hantu, kuntilanak!
Aku menarik lengan baju cowok itu. "Lebih baik kita pulang sekarang!" bujukku penuh permohonan.
"Sebentar, aku penasaran dengan apa yang dia lakukan." Gila! Aku sudah gemetar ketakutan seperti ini dan dia bilang masih penasaran? Kalau saja aku tidak lemas, benar-benar sudah kubogem cowok menyebalkan ini.
"Aku takut ..." lirihku bermaksud memberi tahu. Benar tidak bohong! Lantunan nyanyian itu semakin mengungkungku dalam rasa takut yang menyundul-nyundul. Rasanya ingin meledak dan berteriak sekeras-kerasnya.
"Sepertinya dia sedang memuja ... oh bukan, dia sedang memanggil roh." Terserah! Aku tidak tanya! Aku tidak peduli dan tidak ingin peduli. Aku sudah hampir menangis sementara si cowok ini terlihat tenang-tenang saja. Apa dia tidak melihatku yang lemas ini? Aku sudah hampir pingsan begini dan dia memilih mempedulikan pemujaan roh itu?
"Ayo kita pulang saja ... tidak usah ikut campur urusan pemujaan orang itu. Ayo pulang." Kali ini aku benar-benar memelas. Sejak tadi aku terus berusaha tidak peduli dengan apa-apa yang terjadi. Mulai dari suara aneh yang berasal dari semak di samping gudang tadi, sampai kejadian tubuhku terseret jauh hingga ke toilet cowok. Aku berusaha mengabaikan semuanya dan memutuskan mencari jalan untuk pulang. Tapi cowok ini sepertinya memang datang untuk memecah fokusku agar tidak segera keluar dari sekolah ini. Sial pangkat lima kuadrat!
Akhirnya cowok itu mengalihkan pandangannya padaku. Dia menatapku dengan alis bertaut. "Mukamu pucat," ucapnya perlahan.
"Jelas, bodoh! Aku ketakutan!" hardikku dengan suara tertahan. Dia mengangguk perlahan. Lantunan suara merdu namun menakutkan itu masih saja menjadi momok bagi pendengaranku. Aku benar-benar ingin pulang sekarang juga.
"Kita pergi dari sini," ucapnya sambil menengok sekilas ke arah samping lalu berbalik ke arahku. Saat aku mengikuti gerak tubuhnya yang berbalik, saat itu juga aku berteriak kencang hingga membuat suara nyanyian tadi berhenti seketika.
"AAAAAAAAAA!!!!" pekikku tak karuan.
"SIAPA ITU?!!"
Dia menarik tanganku dengan kencang. Kami berlari berlawanan arah dari yang seharusnya. Jadinya kami melewati wanita yang bernyanyi di bawah pohon sambil meletakkan sajen. Akhirnya aku melihat wanita itu. Walaupun sekilas karena cowok itu membawaku lari kencang, aku masih bisa melihatnya yang berpakaian panjang terusan seperti daster. Ya, seperti ibu rumah tangga kebanyakan. Rambutnya terurai panjang sampai ke punggung. Dan pasti dia melihatku bersama cowok itu.
Dan yang membuatku berteriak nyalang adalah ... adalah ... penampakan sesosok perempuan yang memakai pakaian seragam sepertiku. Dia berdiri tepat di belakangku. Aku yang secara reflek menoleh ke arahnya karena ingin pergi malah kontan berteriak histeris. Aku terkejut, takut, panik, semua campur jadi satu.
Rambutnya panjang menutupi wajah. Beberapa bagian wajahnya luka-luka dan banyak sobekan hingga hampir rusak. Banyak darah mengalir dari wajahnya itu. Lehernya juga seperti berbekas jeratan tali. Mengerikan! Benar-benar mengerikan. Aku yakin dia bukan manusia meski aku tidak bisa memastikan apakah kakinya menapak di tanah atau tidak.
Cowok itu terus menarikku menjauh dari dua sosok wanita itu. Dan mengetahui reaksi yang dia lakukan, aku yakin cowok ini juga melihat penampakan itu.
"Lari! Cepat, hei!" Tenagaku terkuras drastis. Tapi cowok ini terus memforsir kaki pendekku untuk berlari. Dia menarikku, menggelandang kemudian memprotes saat gerakanku perlahan melemah. Cowok sialan! Sudah kuajak pergi dari tadi, kalau seandainya dia menghiraukanku, pasti wanita menyeramkan itu tidak muncul di depan tulang hidungku! Keparat sialan!
"Cepat lari!" hardiknya seraya menyentak tanganku. Benar-benar cowok kasar!
"Capek tahu! Gue bukan elo yang bisa lari cepet!"
"Setan itu bisa ngejar kita! Nenek lampir tadi juga bakalan ngejar! Lo mau ditangkap?!"
"Salah siapa dari tadi gak dengerin apa yang gue bilang! Harusnya kita pergi dari tadi!"
"Hei, salah siapa teriak-teriak kayak gitu?!"
"Mana ada manusia normal gak teriak di depan matanya ada setan!!"
"Hoo ... sedang bertengkar, ya. Bolehkah aku menyela sebentar?" Aku berjengit kemudian merapat pada cowok yang belum kukenal namanya itu. Aku menggenggam lengannya kuat-kuat.
"Ss..ss..s-si-siapa kamu?" tanyaku terbata. Kakiku lemas gemetaran.
"Hm? Bukankah aku yang seharusnya bertanya? Sedang apa kalian malam-malam di sini?" Wanita itu mendekat padaku. Tangaku semakin erat pada lengan cowok di sebelahku. Dia diam saja. Aku menengok padanya yang terlihat pias wajah dan bibirnya.
Aku tergagap hendak menjawab tanyanya. "Ka-ka-kami ..." belum sempat aku melanjutkan kata-kata, wanita bermuka seram yang mengejutkanku tadi berdiri tepat di belakang bibi berdaster di depanku. Dia menatapku ... aneh. Bibi berdaster menunggu jawabanku sambil tersenyum-senyum. Gadis berpakaian seragam sekolah itu mendekat ke arahku. Kakiku lemas, tanganku berkeringat. Detik berikutnya aku merasakan sesuatu masuk ke dalam tubuhku. Aku tak tahu apa yang terjadi.
***
David ikut tersentak saat tubuh Yefa tiba-tiba tersentak ke belakang. Pegangannya pada lengan David terlepas begitu saja. Cowok itu tidak tahu harus bagaimana. Sementara perempuan hampir paruh baya itu mengerutkan kening.
"Bu ..." ucap Yefa lembut sambil melangkah perlahan mendekati perempuan itu. David kontan terperanjat. Sejak kapan gadis itu kenal perempuan itu? Apakah dia sedang menyusun skenario dengan berpura-pura beramah-tamah agar mudah terbebas dari ibu itu atau justru ...
Jangan-jangan cewek sarkas itu kesurupan? Ya Tuhan?!
"Wilujeng ...?" panggil wanita itu pada Yefa yang mendekatinya. Wanita itu hampir tak percaya, namun saat melihat senyuman Yefa itu, dia merasa ada sesosok Wilujeng di dalamnya. Kontan wanita itu memeluk Yefa erat-erat.
"Wilujeng anakku ... akhirnya nak, akhirnya ibu bisa bertemu denganku lagi." Yefa diam tak bergerak. Dia membiarkan wanita itu memeluknya dengan puas.
"Sekian lama ibu memanggilmu, ibu merindukanmu sayang ... kembalilah, ibu mohon,ibu kesepian."
"Tidak ..." Yefa mencicit pelan.
"Wilujeng tidak akan pernah kembali." Wanita itu meraup wajah Yefa dan menatapnya lekat-lekat. David hanya bisa diam di tempat. "Tidak sayang ... tidak ... ibu yakin kamu akan kembali. Ayo, pulang bersama ibu. Ibu kesepian nak ..."
"Jangan cari Wilujeng ... aku tidak akan pernah bisa tenang jika ibu terus mencariku. Jangan kembali ke sini. Biarkan Wilujeng pergi ..."
"Ibu tidak akan pernah bisa membiarkanmu pergi ... bedebah-bedebah itu membuatmu tersiksa dan menjauhkanmu dari ibu sayang ... ibu tidak akan pernah rela mereka membunuhmu secara keji seperti itu ... tapi ibu tidak pernah bisa membalasnya walau hanya demi kamu ... maafkan ibu ...."
"Biarkan aku tenang ... berbahagialah di sini. Biarkan aku pergi ... ikhlaskan aku pergi. Biarkan aku bahagia ...." Yefa menatap lekat wanita itu. David hanya mampu menunggu dengan was-was. "Kumohon ...."
Wanita itu menangis tersedu lalu memeluk Yefa. Pelukannya erat seolah dia tak mau lagi berpisah dengan gadis kesayangannya. Lalu dilepasnya Yefa dan ditatapnya lekat anak itu.
"Ibu tidak pernah rela, nak ... tapi demi kebahagiaanmu di alam sana ... baiklah ... ibu ikhlaskan kamu pergi ... berbahagialah sayang ...,"
Ketika itu juga Yefa tersenyum riang. Wanita itu juga balas tersenyum. Detik selanjutnya, Yefa roboh ke tanah dan buru-buru di tangkap oleh wanita itu dan juga David. Akhirnya David bisa menarik kesimpulan; gadis sarkas itu sungguh-sungguh kesurupan.
***
Finally!
Aku ga pernah bikin cerita horor. Dan aku gak yakin ini betulan horor. Waktu challenge pertama juga aku zonk banget bikin fantasi.
Aku ga bakat banget sama dua genre itu. Tapi aku mau ngucapin makasih sama admin-admin Creawili yang udah dorong aku buat keluar dari zona nyaman. Makasih juga buat teman-teman Creawili yang udah nyemangatin. Aku tayank kalian cemuwaaahh...
Padahal banyak banget masalah pas aku bikin cerita ini. Terima kasih untuk semuanya, yang pertama dan utama tentulah ALLAH SWT. Dan semua teman-teman Creawili baik admin maupun member. Pokoknya makasih banget. I hope you enjoy my absurd horor.
From the hopeless writer and eror
Anggita Albertiani
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro