Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 8

Bennett

"Bennett, apa yang kau tunggu?"

Aku menatap ke pintu yang baru saja dilewati Henley, mulutku sedikit menganga. Untuk pertama kalinya setelah beberapa saat, aku ditinggalkan dalam keadaan tidak dapat berkata-kata. Tidak hanya karena hinaan dari kata-katanya, tapi juga karena kegalakannya. Tidak ada yang pernah bicara seperti itu kepadaku. Bahkan tidak sahabatku. Dan kibasan rambut? Apa itu perlu?

"Bennett," Sebastian mengulangi, nadanya terdengar tajam.

Berbalik ke arahnya, aku berdeham dan duduk di bangkuku sedikit lebih tegak. "A-apa?"

Alisnya terangkat sedikit tapi dia dengan cepat menutupinya dan dengan cepat menggantinya dengan ekspresi tidak suka. "Kenapa kau duduk di sini? Pergi bersamanya."

Pergi bersamanya? "Kenapa aku harus melakukannya? Kau dengar apa yang baru saja dia katakan kepadaku—"

"Pernahkah kau mendengarkan dirimu sendiri sepanjang malam?" selanya. "Sungguh, Ben. Aku tahu kau itu tidak pedulian, tapi aku tidak tahu ternyata separah ini."

Aku mencoba berpikir dan mengingat apa yang sudah aku katakan. Tidak ada satupun yang tampak menghina bagiku. Mungkin aku bisa memilih kata-kata yang lebih baik, tapi aku tidak bermaksud jahat. Aku hanya berkata jujur. "Bagaimana bisa itu jadi masalahku kalau dia tersinggung oleh kebenaran?"

Sebastian menghembuskan helaan napas kecil. "Bennett, aku tahu kau tidak terbiasa berada di sekitar orang seperti Henley dan aku tahu kau bangga dengan kejujuranmu, tapi setidaknya kau perlu lebih banyak berpikir sebelum bicara di dekatnya. Ya, dia miskin, tapi dia bekerja keras dan aku yakin dia tidak suka hal itu terus diungkit di depannya. Terutama di depan orang seperti kita. Setiap kali kau membuka mulutmu malam ini kau pasti mengatakannya. Dia gadis yang baik dan kau sudah bertingkah brengsek kepadanya sepanjang malam, baik itu kau sadari atau tidak. Pergilah meminta maaf kepadanya."

Melihat Sebastian yang tidak pernah mengumpat, membuatku berpikir mungkin aku sudah sedikit tidak sopan kepadanya. Tapi, jika dia tidak peduli dengan kata-kataku saat beberapa kali terakhir kami bersama, kenapa dia peduli sekarang? Atau mungkin dia sudah mencoba memendam dalam dirinya dan dia pikir aku tidak sopan selama ini. Mungkin alkohol mempengaruhi keputusannya untuk akhirnya mengamuk.

Aku menunduk memperhatikan piring kosong Henley. Beberapa pilihan komentar dariku tentang dia melayang di kepalaku dan aku merasakan rasa bersalah yang asing. Aku tidak menyukainya. Sebastian mulai berdiri dan aku menengadah ke arahnya. "Apa yang kau lakukan?"

"Ada gadis mabuk yang menarik dengan balutan gaun dan heels yang tidak biasa dia kenakan terhuyung-huyung di sekitar New York sekarang, tanpa tahu arah pulang. Ke mana lagi menurutmu aku pergi?"

Aku melemparkan serbetku, dan kemudian ikut berdiri. "Aku akan pergi menemukannya."

"Aku ikut denganmu," paksanya.

Aku menemukan diriku mulai mengatakan tidak sebelum dapat menyadarinya. Dia memberikanku tatapan lucu sementara aku menghindari sorot matanya. Kenapa itu penting jika Sebastian ikut atau tidak? Bukannya aku ingin sendirian dengan Henley. Jika dia sudah tidak menyukaiku sebesar ini, aku tidak ingin membebaninya lagi. Aku sudah benar mengundang Sebastian malam ini. Mungkin dia bisa membantu untuk menenangkan Henley.

Bahkan jika mendadak aku ingin bisa melakukannya sendiri.

Tapi aku sendiri tahu kalau aku kekurangan kemampuan dan rasa kasih untuk dapat menenangkannya dengan mudah. Aku bahkan tidak ingat terakhir kali seorang gadis marah kepadaku. Aku biasanya tidak bicara dengan mereka cukup lama untuk itu dapat terjadi.

"Ayo pergi," kataku, melemparkan beberapa lembar uang untuk membayar tagihan. "Dia tidak bisa pergi terlalu jauh. Dia seperti Bambi dengan heels itu."

"Berhubung aku ingat, kau seharusnya dengan serius mempertimbangkan apa makna dari kencan sebenarnya," ujar Sebastian ketika kami melewati pelanggan lain. Eugene melambaikan tangan kepada kami dan aku memberikannya lambaian tangan singkat kembali.

Kata-katanya mengejutkanku. Kebanyakan gadis yang aku perlakukan seperti ini biasanya menikmatinya. "Apa maksudmu?"

"Memaksakan selera berpakaianmu kepadanya? Mengundang sahabatmu? Aku tahu kalian berdua hanya berpura-pura berkencan, tapi dia tetap seorang gadis dan kau seharusnya memperlakukannya dengan benar."

"Gadis lain yang aku kencani—"

"Kau tidak berkencan dengan gadis-gadis itu Bennett. Kau menghabiskan satu malam dengan mereka dan kemudian melanjutkan hidupmu. Ini berbeda." Dia menyelaku, sedikit menyeringai. "Kau perlu belajar banyak padaku tentang dunia berkencan. Khususnya karena ini adalah Henley. Dia tidak seperti gadis yang pernah kau temui."

Aku merapatkan bibirku, memilih untuk tidak merespon. Kenapa Sebastian berpikir kalau Henley sangat istimewa? Kenapa dia bisa ada di pihak Henley secepat ini? Apa dia tertarik dengan Henley? Apa ini karena Henley sangat berbeda dariku? Semua orang yang memiliki mata dapat melihat betapa menariknya Henley, tapi ada banyak wanita menarik yang Sebastian dan aku temui setiap hari.

Tapi tidak banyak gadis menarik yang bicara seperti itu kepadamu.

Aku mencoba untuk mendiamkan suara dalam kepalaku—walaupun itu benar. Aku mengagumi keberaniannya.

Tidak ada tanda-tanda dari Henley di gedung ketika kami bergegas menuruni tangga dan melangkah ke jalan. Suhu udara menurun drastis sejak kami memasuki kota dan untuk sejenak aku berharap membelikannya jaket. Bahkan jika kota biasanya tetap hangat di malam hari karena kesibukan yang konstan, pada akhirnya suhu akan tetap dingin. Dan ketika kami kembali ke Poughkeepsie suhunya akan sedikit lebih dingin.

"Kita harus berpencar," Sebastian menyarankan ketika dia melihat dia jalur di jalan.

"Benar." Aku setuju, menggulung lengan kemejaku hingga ke siku. "Aku akan pergi ke arah sini. Hubungi aku jika kau menemukannya."

"Kau juga," jawab Sebastian dan dengan cepat bergegas menuju ke arah yang berlawanan.

Aku pergi dengan langkah yang cepat, melihat ke arah jam tanganku. Ini sudah hampir tengah malam. Aku melewati restoran lain yang terdapat sekelompok pria mabuk di depannya dan perasaan tidak nyaman memenuhiku. Henley sangat kecil. Dia akan mudah dihadapi. Apa dia bisa melawan jika mereka mencoba untuk menangkapnya?

Aku mengeluarkan ponselku dan menemukan kontaknya lalu menekan tombol panggil. Dia tidak menjawab dan aku menghubunginya lagi. Tidak ada. Aku terjebak antara merasa kesal dan khawatir. Apa dia sengaja tidak menjawab? Atau dia tidak bisa menjawab karena berada dalam bahaya?

Aku menyapu tangan ke rambutku, berhenti sebentar untuk mengintip CVS di sudut jalan. Itu kosong.

Mungkin dia sudah memanggil taksi. Apa dia sanggup membayar taksi untuk perjalanan pulang ke rumah? Aku mengeluarkan ponselku lagi dan memutuskan bahkan jika dia tidak ingin menjawab panggilan, dia setidaknya akan membaca pesan dariku.

Jangan menghabiskan uangmu dengan menaiki taksi. Kau tidak akan mampu membayar ongkos untuk perjalanan pulang. Di mana kau? Hubungi aku.

Dari sudut mata, aku menangkap sekilas gaun hitam panjang yang menyentakkan kepalaku, hanya untuk menemukan seorang gadis muda dengan rambut yang dipotong pendek mengenakan gaun itu. Bukan Henley. Aku menghela napas, meletakkan tangan pada nyeri di leher karena aksi tiba-tibaku.

Tidak ada gunanya berjalan ke seluruh kota untuk mencoba menemukannya, khususnya karena dia mungkin saja sudah pergi atau masuk ke restoran atau bar lain. Aku kembali berjalan ke arah hotelku. Kenapa aku harus mengalami kesulitan dan membuang-buang waktuku? Dia pergi atas kemauannya sendiri. Dia gadis yang sudah dewasa... yang hanya berukuran lima-kaki-tiga-inci dan dapat dengan mudah diangkat ke atas bahu. Dan mengenakan gaun dengan akses yang mudah bagi brengsek mana pun yang menemukannya. Lalu, jika menilai dari apa yang terjadi antara Henley dan Curtis di Michelangelo's...

Aku mengeluarkan ponselku lagi, menghujamkan jariku ke tombol panggil. Sambungan itu berdering dua kali kemudian aku mendengar suara nada dering standar. Ketika panggilanku masuk ke kotak suara, dering yang kudengar berhenti. Aku menekan tombol panggil sekali lagi. Mataku mengarah ke bawah lalu kemudian melihat sebuah layar ponsel menyala terang di trotoar. Aku dengan cepat mengambilnya dan melihat namaku sendiri berkedip di layarnya.

Ini ponsel Henley.

Jantungku mulai berdetak cepat dan aku menemukan diriku membeku. Henley tidak mungkin terjebak dalam masalah dalam waktu sesingkat ini. Itu tidak mungkin. Tapi kenapa ponselnya ada di tanah dan dia tidak terlihat di mana pun?

"Hey!" Sebuah suara tinggi, tajam, dan sangat familiar berteriak.

Aku menggenggam ponsel itu di tanganku dan berbalik. Itu sudah pasti suara Henley. Dan dia tidak jauh. Aku melihat ke sekelilingku—bagaimana bisa aku melewatkannya berjalan di sini? Sekelompok pengusaha masih berdiri di trotoar ketika aku melewati mereka, aku kemudian memperlambat langkahku dan mendengarkan suaranya dengan seksama.

"Jangan sentuh aku, aku baik-baik saja!"

Aku berhenti berjalan. Suaranya datang di tengah-tengah kelompok itu.

"Kami hanya mencoba membantu," salah satu pria menjawab. Dia adalah pria botak dan aku tidak dapat melihat wajahnya karena punggungnya menghadap ke arahku. Pria itu membungkuk dan ketika dia kembali berdiri tegak Henley muncul di depannya, rambut Henley berantakan.

"Lepaskan," dia memerintahkan lagi, suaranya sekecil tubuhnya.

Apa yang mereka pikir sedang mereka lakukan? Rahangku mengatup dan aku berjalan maju. "Permisi."

Mata Henley yang melebar mengarah kepadaku. Pria yang memegangi Henley juga menoleh ke arahku sementara aku tetap berdiri di tempatku, mengatupkan bibir dan alis yang mengernyit. Aku memperhatikan dia mengenakan nametag Kevin C. "Apa?" katanya.

Aku menunjuk ke arah Henley. "Dia milikku."

Pria botak—Kevin, aku harus mengingat namanya—membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu, tapi Henley mendahuluinya. "Tunggu, apa? Apa aku? Propertimu sekarang?"

Sikapnya membuatku tidak percaya. Apa dia tidak melihat kalau aku sedang menyelamatkannya sekarang? Kuputuskan untuk mengabaikannya dan tidak ikut berdebat, aku berjalan lebih dekat ke pria botak itu. "Lepaskan dia."

"Jangan lepaskan aku, dia mencoba menangkapku," kata Henley dengan cepat.

Mulutku menganga. Dia membuat aku menjadi pria jahat? Bukan aku yang mengelilinginya! "Jangan dengarkan dia—"

Kevin mendorong Henley ke belakangnya. Henley tertatih, wajahnya terlihat kesakitan. "Ow."

Aku bergerak mendekat. Berpura-pura atau pun tidak, aku tidak akan membiarkan pria ini menyakitinya. "Aku bukan seorang penyabar. Lepaskan dia."

"Siapa kau?" dia balik bertanya kepadaku, memastikan untuk berdiri di antara Henley dan aku.

"Aku... kekasihnya dan aku akan menelepon polisi jika kau tidak melepaskannya," aku memperingatkan pria itu, mencoba untuk mempertahankan suaraku agar tetap tenang. Pria itu lebih besar dariku dari segi apa pun dan aku yakin tidak akan menang melawannya dalam perkelahian jika akhirnya seperti itu.

"Dia sepertinya tidak terlihat mengenalmu," dia menjawab, membidangkan bahunya.

Henley menyeringai ke arahku dari belakang pria itu. Untuk beberapa detik aku sempat berpikir untuk berjalan pergi, tapi tahu aku tidak bisa. Dia mabuk dan marah denganku juga ternyata tidak dewasa—kombinasi yang baik untuk menjadi alasan atas tindakannya. Bagaimanapun menyebalkannya mereka.

"Kau pergilah, kami akan menangani gadis muda ini," Kevin berkata dengan suara manis yang membuatku langsung marah.

"Bisa aku lihat nametag milikmu?" tanyaku.

"Apa?"

Aku berjalan lebih dekat ke arahnya, menatap benda itu. "Ah, kau bekerja di restoran ini? Apa posisimu? Manajer? Tentu saja tidak lebih tinggi dari itu, melihat dari pakaianmu."

Keempat pria lain yang memperhatikan dengan diam, ekspresinya mulai membatu. "Apa yang kau bicarakan?" Kevin bertanya.

"Hanya perlu memeriksa kembali posisi dan namamu ketika aku menghadap ke atasanmu. Aku yakin dia akan tertarik sekali mengetahui jika karyawannya melecehkan seorang wanita," kataku santai, menyusupkan tanganku ke dalam saku. Apa yang tidak bisa kulakukan dengan tangan, bisa kulakukan dengan kata-kata.

Kevin mendengus. "Kau pikir siapa dirimu?"

"Teman baik dari pemilik tempat ini." Aku mencari ke dalam ingatanku. Nama restoran ini mengingatkanku pada sesuatu. Mereka pernah mencoba menjadi bagian dari hotel kami. Siapa nama pemiliknya? "Daniel, benar? Dia juga bukan seseorang yang bisa sabar."

Wajahnya memucat karena jawabanku dan kehilangan sikap defensif nya. "Aku tidak melakukan kesalahan apa pun."

Aku menyeringai sedikit. "Jika kau tidak melakukan kesalahan, kenapa kau bertingkah sangat gugup? Aku akan memintamu sekali lagi. Lepaskan dia dan pergilah."

Kevin terlihat ragu sesaat sebelum meraih ke belakangnya dan menarik Henley. Dia mendorong Henley ke arahku membuat Henley terkesiap dan tersandung. Aku maju untuk menangkapnya sebelum dia jatuh. Kepalaku menengadah untuk membentak si brengsek karena ini bukanlah cara yang benar untuk memperlakukan wanita tapi dia sudah pergi, sambil memaki pelan.

"Lepaskan aku," Henley bergumam, tetapi tidak melakukan pergerakan apa pun untuk menjauh dari dadaku ketika aku membantunya berdiri dengan kakinya.

"Aku berpikir kau adalah tipe gadis yang ceroboh dan kurasa aku benar," kataku, kerutan tampak di keningku.

Dia meringis ketika dia berdiri sendiri. "Owwww."

"Apa mereka menyakitimu?" tanyaku, perasaan marah mendadak muncul menguasaiku.

"Tidak, aku tersandung dan melukai pergelangan kakiku," dia mengeluh, memindahkan seluruh berat tubuhnya ke sisi kanan. Kemudian mulai berjalan terpincang-pincang menjauh dariku.

"Ke mana kau pergi?"

"Menjauh darimu. Tinggalkan aku sendiri. Aku masih marah."

Aku dengan mudah menyusulnya. "Lihat apa yang terjadi padamu terakhir kali kau melakukan ini? Kau ditangkap sekelompok pria mesum."

"Mereka bukan pria mesum," dia mengatakan kepadaku. "Aku tersandung dan jatuh di depan mereka, mereka membantuku berdiri dan kau salah paham."

Aku berhenti. "Apa?"

"Tapi kau cukup mengintimidasi, harus kuakui itu."

Aku merasakan otot rahangku berkedut. Jadi aku sudah membuat diriku terlihat bodoh? "Aku menemukan ponselmu di pinggir jalan."

"Tentu saja aku menjatuhkannya ketika aku tersandung."

Aku meraih tangannya, dan memaksa Henley untuk berhenti lalu menariknya kembali kepadaku. "Berhenti berjalan menjauh dariku ketika aku bicara denganmu."

Dia menatapku dengan marah dan menggoyang-goyangkan tangannya agar lepas dariku. "Aku tidak ingin bicara denganmu sekarang."

"Sebastian dan aku sudah mencarimu," kataku dan kemudian teringat kalau aku perlu mengirim pesan kepadanya untuk memberitahukan kalau aku menemukan Henley. Henley mulai berjalan menjauh lagi. "Henley. Aku tidak akan membiarkanmu berjalan sendiri saat kau sedang mabuk."

"Buat Sebastian datang dan menjemputku kalau begitu. Aku akan ikut dengannya," ucapnya. "Setidaknya dia memperlakukanku seperti manusia."

Tubuhku menegang. "Kau kekasihku."

"Tidak lagi. Aku akan mengembalikan uangmu, jangan khawatir. Aku tahu kau sangat khawatir soal itu."

"Kau ikut denganku," kataku padanya dan meraih tanganya lagi.

Dia menghindari tanganku dan akhirnya berbalik menghadap ke arahku lagi, alisnya terangkat. "Apa kau memperlakukan setiap gadis dengan kasar? Kau sangat menyebalkan. Kau seperti lalat."

Aku mengatupkan bibirku.

"Apa? Apa kau akan mengatakan sesuatu soal aku yang miskin lagi? Silakan. Bukan pertama kalinya aku menghadapi ini sejak bertemu denganmu," dia mengejekku.

"Aku tidak akan melakukan itu," aku membentaknya.

"Tidak mungkin."

"Aku tidak akan melakukannya," kataku. "Aku mengerti kalau aku sudah menyinggungmu. Aku rasa aku harus lebih baik dengan kata-kataku."

Dia mendengus. "Kau rasa?"

"Aku tidak sadar kalau kenyataan bisa sangat menyinggungmu."

"Bukan kenyataan yang membuatku marah," dia mengatakannya kepadaku, meletakkan tangannya di pinggang. "Aku tahu aku tidak punya banyak uang. Itu bukan hal yang baru. Percaya atau tidak, aku tidak keberatan dengan itu. Usiaku masih dua puluh satu tahun. Tidak semua orang diberikan hotel saat dia lahir."

Komentar itu membuatku kesal, tapi aku tahu dia belum selesai jadi aku membiarkannya melanjutkan. Setidaknya aku pantas mendapatkan ini.

"Tapi caramu mengatakannya. Seolah kau merendahkan aku karena miskin. Seolah kau orang yang lebih baik dari aku. Seolah hanya itu hal yang menarik dariku. Seolah aku tidak bisa melakukan hal lain selain menjadi miskin. Aku lebih besar dari pendapatanku. Bukankah aku pekerjamu? Apa kau memperlakukan semua pekerjamu seperti ini? Aku butuh sedikit rasa hormat untuk melakukan pekerjaan ini, dude."

Aku memperhatikannya saat dia bicara. Pipinya memerah dan matanya menyipit, mengkilat di bawah cahaya lampu restoran. Dia sedikit gemetar dan aku bertanya-tanya apakah ini karena dingin atau karena bicara denganku seperti itu. Apa dia takut padaku? Atau tidak biasa membela dirinya sendiri?

Ketika dia tidak lagi bicara. Aku berdehem dan menjernihkan tenggorokanku, bergeser pada kakiku. "Aku mengerti."

"Benarkah?" dia menantang.

"Aku akui aku bisa bersikap sedikit acuh seperti apa yang dikatakan Sebastian beberapa kali. Aku biasanya bicara sebelum berpikir. Mendengarkanmu, aku tahu sudah salah bicara beberapa kali."

"Dan?"

"Dan aku tidak seharusnya bicara padamu atau tentangmu seperti apa yang pernah kulakukan. Kau benar. Kau lebih dari pendapatanmu. Kau juga pekerjaku. Seharusnya saling menghormati," aku melanjutkan dan aku bisa merasakan telapak tanganku mulai berkeringat. Kenapa dia menatapku selekat itu? Butuh banyak hal untuk membuatku tidak nyaman tapi dia melakukannya tanpa kesulitan.

"Apa kau mengerti kalau kau menyakiti perasaanku?" dia bertanya.

Aku mengangguk, merasa seperti anak kecil yang sedang dimarahi.

"Jadi?" Dia menjawab tak acuh.

"Maafkan aku," kataku, merendahkan kepalaku. "Aku minta maaf karena sudah menyinggungmu dan menyakiti perasaanmu."

"Baiklah."

Aku kembali berdiri tegak, menatap ke arahnya sedikit tidak percaya. Baiklah? Itu saja yang aku dapatkan? Setelah aku meminta maaf kepadanya dan mengakui kesalahanku?

Dia balas menatap ke arahku, ekspresi bosan terlihat di wajahnya. "Apa? Kau ingin dimaafkan?"

"Itu... akan baik sekali?" aku menjawab. Bukankah itu pemberian? Itulah alasan aku meminta maaf sejak awal.

"Well kau harus mendapatkannya," dia berkata.

"Mendapatkannya?" aku mengulangi. Dia seharusnya senang aku bahkan meminta maaf. Aku jarang melakukan itu.

Dia mengangguk. "Aku tidak bisa memaafkanmu karena sudah bertingkah brengsek hanya karena kau mengatakan maaf. Siapa tahu kalau kau akan membuat komentar yang sama lagi segera setelah kita naik ke mobilmu?"

Aku menarik dasi di leherku. "Apa lagi yang kau ingin aku lakukan?"

"Cari tahulah." Dia membalas. "Dan selama kau mencari tahu, perbaiki kembali pemahamanmu soal kencan. Pura-pura atau tidak, ini payah. Aku merasa seperti mengganggumu dan Sebastian."

"Aku mengundang Sebastian supaya kau merasa lebih nyaman," kataku kepadanya.

"Karena berada di dekat dua pria asing akan lebih baik daripada satu? Aku akan memberikanmu kesempatan kedua Bennett," katanya, terpincang-pincang ke arahku. Dia berhenti tepat di depanku dan menghujamkan jari tangannya ke dadaku. "Terutama karena aku butuh uang yang kau tawarkan. Tapi jika kau terus melakukan ini cari saja gadis lain."

Aku mengangkat tanganku dengan defensif. "Oke, aku mengerti. Aku sama sekali tidak bermaksud untuk melukai perasaan seseorang. Aku akan lebih berhati-hati lagi."

Dia memicingkan matanya sedikit, mendekatkan wajahnya kepadaku. Aku tetap berdiri di tempatku, menolak keinginan untuk mundur. "Baiklah," mulainya, "Aku percaya kepadamu. Jangan uji kesabaranku. Aku akan selalu bisa membalasmu."

Apa dia mencoba mengancamku? Henley? Aku mulai tersenyum. Itu terlihat manis. Henley kecil mencoba mengancam mengingatkanku pada anak singa yang mencoba mengaum untuk pertama kalinya.

"Jangan tersenyum dengan wajah tampan bodohmu," dia bergumam.

"Kau pikir aku tampan?"

"Apa kau tidak punya kaca? Ayo pulang. Aku bisa sakit," katanya, berjalan mundur dariku.

Dengan hati-hati aku memperhatikan saat dia meringis karena mencoba memakai heel nya kembali. Dia membungkuk dan mulai mendorong kakinya. Aku mencoba usaha terbaikku untuk tidak melihat ke kulit yang mendadak terlihat. Dia sepertinya menyadari tatapanku dan mendorong kakinya sedikit lebih jauh. Jika boleh mengakui, Henley tentu saja adalah seseorang yang menarik. Aku mengagumi keberaniannya.

Ketika seorang pria melintas dan mulai bersiul pada Henley yang menunduk, membuatku menoleh untuk melotot ke arahnya sementara Henly kembali berdiri tegak, pipinya merona.

"Ayo pergi," kataku. Tidak boleh ada yang melihatnya selain aku. Aku memegangi tangannya dan menariknya menuju ke hotelku.

"Ow, ow, tunggu dulu. Pergelangan kakiku."

Kami berhenti, aku sempat mempertimbangkan suatu hal sejenak. Aku sungguh tidak ingin berdiri di sini menunggu taksi, tapi aku juga tidak ingin menyakiti Henley dengan memaksanya berjalan. Aku bisa menggendongnya, tapi itu akan merendahkanku.

"Ow," dia mengeluh, mengernyitkan wajahnya.

Aku menghela napas dan berjongkok. "Naiklah."

"Apa?"

Aku menyuruhnya untuk naik ke punggungku. "Naik sebelum aku berubah pikiran."

"Ya, tidak terima—"

"Henley."

"Jangan menggerayangiku," dia memperingatkan. Aku kemudian bisa merasakan tubuhnya di punggungku dan bagaimana dia melingkarkan tangannya di leherku.

Aku terkejut karena bisa mendorong diriku berdiri dengan mudah. Aku tahu dia adalah gadis yang kecil, tapi aku tidak menyangka kalau dia seringan ini. Pahanya terasa hangat di lenganku dan aku mencoba untuk tidak memikirkannya. Dia menggeliat sebentar untuk memperbaiki bentuk gaunnya supaya tidak tersingkap. Jantungnya terasa berdetak sangat cepat di punggungku.

Aku menghembuskan napas singkat dan berharap dia tidak bisa merasakan jantungku yang berdetak sama kencangnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro