Bab 7
Henley
Bennett terus menatapku ketika kami berjalan menyusuri jalan, mencoba mencari keberadaan sopirnya. Aku berusaha untuk tidak merasa waspada, tetapi sulit untuk tidak melakukannya. Aku tidak terbiasa didandani... seperti ini. Dan yang juga agak membuatku jengkel adalah karena dia bahkan tidak pernah menatapku sebelum aku dirias seperti ini, tetapi dengan enggan aku harus mengakui bahwa aku telah berubah dari standar enam menjadi sepuluh dalam tampilan baruku.
"Kenapa kita tidak naik kereta bawah tanah saja?" usulku, berbalik dengan kening berkedut padanya dan mendapati dia sedang mengamatiku lagi.
Dia terbatuk kecil dan meletakkan tangannya di atas mata untuk meneduhkan pandangannya dari sengatan sinar matahari ketika dia sedang mencari-cari sopirnya. "Apakah kau sadar bahwa sekitar lima belas persen udara yang kau hirup di kereta bawah tanah sebenarnya adalah partikel kulit? Dan bukan hanya dari kulit yang terbuka, tetapi dari seluruh tubuh."
"Bagaimana kau bisa tahu itu?"
"Aku suka membaca," jawabnya. "Itu ada di sebuah studi tentang metro pada tahun 2008."
Dia sepertinya bukan tipe orang yang suka membaca. Namun ucapannya semacam menjelaskan alasan dia tahu fakta-fakta acak seperti itu. "Bukannya ada materi manusia di semua jenis udara? Terutama di kota New York?"
"Ya, tapi tidak akan seburuk yang ada di kereta bawah tanah. Belum lagi para gelandangan yang tidur di kursi itu. Aku baru saja menghabiskan seribu dolar untuk gaun itu dan kau sudah ingin menodainya?"
Aku mengerucutkan bibirku padanya, tetapi upayaku untuk terlihat mengancam digagalkan oleh pergelangan kakiku yang menyerah saat heels yang kukenakan mendarat di celah-celah trotoar. Tepat saat aku kehilangan keseimbangan, Bennett melingkarkan tangan di pinggangku dan menarikku ke tubuhnya agar aku tetap tegak. "Henley, apa yang baru saja aku katakan?"
Karena malu, aku mendorong diriku menjauh darinya dan berdiri tegak, berusaha untuk tidak memikirkan seberapa keras dadanya. "Maaf, aku tidak terbiasa dengan heels," gumamku.
"Itu tidak mengejutkan," katanya.
Aku berbalik untuk memelototinya dan dia menatapku sejenak, dengan senyuman geli di wajahnya. Mengetahui tidak ada gunanya mengatakan apa-apa, aku melakukan hal yang paling menantang lainnya. Aku menyilangkan tangan.
"Haruskah kita berpegangan tangan?" usulnya.
Aku menatapnya dengan waspada. "Uh, kenapa?"
"Jadi kau tidak akan jatuh lagi."
Memutar bola mataku, aku mulai berjalan di trotoar, kali ini dengan hati-hati agar tidak terpeleset lagi. Dia dengan mudah mengikutiku dan dari sudut mataku kulihat dia tersenyum sedikit. Kami akhirnya menemukan sopirnya dan aku bergegas masuk ke dalam mobilnya yang dingin dengan penuh syukur.
"Ke mana kita akan pergi selanjutnya?" tanyaku ketika mobilnya kembali ke jalanan yang dipenuhi taksi. Perutku sedikit bergemuruh dan aku meletakkan tangan di atasnya, berharap agar dia bisa tetap diam.
"Kita akan pergi makan," katanya padaku, menyilangkan kakinya dan membiarkan pergelangan kakinya di atas lutut kakinya yang lain.
Aku akan meniru gerakannya sebelum akhirnya aku sadar aku mengenakan gaun dan tidak bisa melakukannya. Mengusap dengan hati-hati gaunku, aku hanya menyilangkan kaki di pergelangan kaki. "Tempat apa itu?"
Bennett menyeringai sedikit. "Kau akan melihatnya nanti."
Kami bergerak perlahan melalui jalan-jalan yang ramai dan sekitar dua puluh menit kemudian kami berhenti di sebuah gedung bertingkat ramping yang hampir bisa menyaingi Trump Tower. Kaca-kaca mengkilapnya memantulkan bayangan jalanan dan lampu-lampu di bawahnya, termasuk air terjun buatan yang membuatku mengalihkan pandanganku ke sesuatu di depan sana yang kuduga sebagai pintu masuk. Air mancurnya sedikit lebih tinggi dari tinggi remaja pada umumnya dan diterangi oleh lampu-lampu berwarna. Di atas pintu masuk raksasanya terdapat tulisan CALLOWAY dalam huruf super besar dan tebal.
"Apakah kita makan di hotelmu?" aku bertanya, terkejut.
Mobilnya berhenti dan Bennett menoleh ke arah aku, memberiku anggukan singkat. "Iya. Tapi jangan khawatir. Ibuku tidak ada di sini. Ini akan menjadi pengalaman pertamamu di salah satu hotel unggulan kami, kan?"
Aku merasakan jantungku berdebar di dadaku dan aku mencoba untuk menenangkannya. Kenapa aku begitu gugup? Ini hanyalah sebuah hotel. Siapa pun bisa menyewa kamar hotel di sini. Kau tidak harus kaya dan tidak ada aturan berpakaian untuk melakukannya. Aku tidak akan terlihat mencolok. Namun, ini adalah hotel Bennett. Dia benar-benar pemilik tempat itu. Kenapa kami harus pergi kemari di antara semua tempat yang ada untuk melakukan kencan pertama ini? Kenapa dia tidak mempermudah semua ini? Apakah aku akan sengaja dilempar ke dalam sorotan—?
"Henley?"
Aku menarik diri keluar dari pikiran aku. "O-oh, maaf. Apa katamu? Ya, ini pertama kalinya aku di sini. Aku pernah menginap di Express sebelumnya."
"Express tidak memiliki restoran. Akan ada beberapa rekan bisnisku di sini dan aku harus memperkenalkanmu kepada mereka untuk membuat hubungan kita tampak lebih dapat dipercaya. Ikuti apa yang aku katakan dan seharusnya tidak ada masalah. Aku akan mencoba menjawab pertanyaan yang mungkin muncul sehingga kau tidak akan mempermalukan kita. Semoga mereka hanya melihat kita dan tidak perlu ada perbincangan apa pun."
Aku akan mulai mengingat kalimat-kalimat merendahkan yang keluar dari mulutnya tanpa disadarinya lagi dan membuat catatan. "Apakah kau juga akan memberitahuku tentang apa yang harus kupesan?" kataku sinis.
Sekali lagi, dia sepertinya tidak menyadari sarkasmeku, karena sekarang dia sedikit memiringkan kepalanya ke samping dan menatapku dengan bingung. "Kau tidak bisa melakukannya sendiri?"
Mendesah, aku meraih gagang pintu. "Lupakan."
"Tunggu!" tuntut Bennett, melepaskan sabuk pengamannya. "Aku akan membukakan pintu untukmu."
Aku ingin mengatakan aku baik-baik saja, tetapi kupikir aku harus membiarkannya melakukan hal itu. Aku rasa itu adalah hal yang sopan untuk dilakukan. Dia mungkin ingin terlihat sesopan mungkin. Pintuku terbuka sesaat kemudian dan dia mengulurkan tangannya kepadaku. Aku meraihnya dan dia dengan mudah menarikku keluar dari mobil dan melingkarkan tangannya di pinggangku. "Beri tahu aku kalau aku membuatmu tidak nyaman," gumamnya di telingaku, tangannya meremas pinggangku.
Aku merasa dingin mengaliri punggungku dan aku menarik napas pendek. Bukan karena tangannya tidak nyaman. Mendorongku maju sedikit, kami berjalan melalui pintu masuk kaca. Beberapa pria yang mengenakan jas rapi berlama-lama berdiri di pintu masuk, mengobrol dan sesekali menghisap rokoknya. Bahkan dari tempatku berdiri aku dapat melihat tanda 'Dilarang Merokok' terpasang. Asap mengepul di udara dan aku sedikit terbatuk.
Aku mendengar Bennett tertawa pelan ketika kami berjalan ke arah gerombolan itu. Mereka langsung berdiri di hadapan kami dan tidak bergerak ketika kami mendekati mereka. Bennett berdehem. "Permisi, tuan-tuan. Ini adalah area dilarang merokok."
Hanya satu dari sekumpulan pria itu yang menoleh ke arah kami, wajahnya tampak kesal. Setelah melihat Bennett, ekspresinya berubah menjadi ngeri dan dia dengan cepat membuang rokoknya dan memasukkannya ke trotoar. "Mr. Calloway, aku minta maaf!" dia membungkuk untuk hampir sembilan puluh derajat dan menundukkan kepalanya.
Tiga pria lainnya menoleh dan dengan cepat mengikutinya, mengeluarkan rokok-rokok itu dari mulut mereka dan mengucapkan permintaan maaf. Aku sedikit terkesan. Bennett membuat orang-orang ini seakan sedang berjalan di atas kaca hanya dengan satu pandangan. Aku tidak tahu apa yang begitu mengintimidasi tentang Bennett, tetapi setelah mengamati para pria itu dengan lebih seksama, aku menyadari bahwa mereka semua mengenakan tanda pengenal.
"Kami tidak tahu kau akan mampir," pria pertama berbicara, matanya membelalak. "I-ibu Anda di luar kota."
"Kami menerapkan aturan larangan merokok untuk menjaga keamanan tamu dari masalah pernapasan. Itu bukan saran. Melainkan sebuah aturan. Aku berharap para karyawan setidaknya dapat mematuhi aturan yang sudah ditetapkan ini," kata Bennett, berbicara dengan nada berwibawa.
"Kami mohon maaf," pria lain berbicara.
Aku menatap Bennett dan hampir tidak mengenalinya. Ekspresi tegasnya membuatnya tampak lebih tua. Apakah memang begini sikapnya saat sedang berada di depan para karyawannya? Apakah dia akan memecat orang-orang ini?
"Aku tahu para tamu dapat membuat kalian tertekan, tetapi jika kalian sangat membutuhkan rokok itu, silakan gunakan halaman karyawan dan tidak berdiri di depan pintu masuk. Gunakan isi kepalamu." Kata-katanya kasar, tetapi ekspresinya akhirnya mulai melunak. "Aku berasumsi kalian berempat sedang istirahat. Silakan lanjutkan di halaman. Jika aku melihat kalian melakukan ini lagi, aku tidak akan hanya memberikan peringatan."
Orang-orang itu mengangguk dan dengan cepat menghilang ke dalam gedung dan kami mengikuti mereka, pintu dipegang terbuka oleh petugas hotel lain yang menyapa Bennett dengan namanya.
"Orang-orang itu beruntung aku yang menangkap basah mereka dan bukan ibuku," kata Bennett ketika kami berjalan melewati lobi.
Aku hanya setengah fokus pada kata-katanya, terlalu terganggu oleh desain interior hotelnya. Sangat cantik. Semuanya rapi dan modern. Lantainya terbuat dari marmer putih, dengan beberapa pola yang dibuat dengan ubin cokelat campuran. Dindingnya cokelat tua dengan hiasan putih dan langit-langitnya tinggi.
"Mereka tampaknya sangat menghormatimu," kataku. Bennett yang sedang serius tampak sangat berbeda. Aku bertaruh sebagian besar karyawan wanita sangat menyukainya.
"Begitulah cara semua hubungan bos-karyawan yang baik bekerja."
Aku memikirkan bosku di Coffee House dan seketika tidak setuju, tetapi aku tidak mengatakan apa-apa. Lagi pula, dia tidak seperti kebanyakan bos. Kami lebih seperti teman baik. Sebagian besar tempat di luar sana mengutamakan profesionalitas.
"Ayo, kita harus menaiki lift," kata Bennett dan menuntunku ke sudut terjauh lobi.
"Kau tidak perlu mengumumkan keberadaanmu di sini atau sesuatu?" hal semacam itu tidak akan mengejutkanku jika dia harus melakukannya—dia mungkin suka ketika semua orang tahu siapa dia dan menyapanya.
"Aku di sini bukan untuk bekerja hari ini," jawabnya sambil tersenyum. "Aku di sini untuk berkencan."
Jawabannya agak konyol, tetapi aku mulai balas tersenyum padanya sebelum cepat-cepat membuang muka. Ini bahkan bukan kencan sebenarnya. Aku tidak boleh terlena. "Di mana restorannya? Di atas?"
"Ada di rooftop."
"Rooftop?" aku mengulangi. Bangunan ini bahkan sepertinya dua puluh lantai!
Bennett menertawakan reaksiku. "Tidak di paling atas. Kami memiliki beberapa tempat di mana ada teras rooftop. Restorannya ditempatkan di bagian tengah."
"Oh. Baiklah."
"Dunia ini pasti asing bagimu."
Aku menatapnya dengan tatapan menghina. "Ini hanya sebuah hotel."
Senyumnya memudar dan aku sedikit menjauh darinya. Sejauh ini rekornya adalah tiga menit.
Perjalanan ke atas dengan lift itu terasa tegang. Aku bertanya-tanya apakah aku telah menyinggung Bennett dengan komentarku, tetapi aku tidak begitu peduli. Dia menyinggungku hampir setiap kali dia membuka mulut. Ketika lift menandakan kedatangan kami di lantai sepuluh, dia bergerak lebih dekat ke arahku lagi, meletakkan tangannya di pinggangku. "Aku mengandalkanmu," katanya.
Aku mengaitkan lenganku sebagai tanggapannya. Meskipun aku sangat ingin melakukan hal yang memalukan kepadanya, aku tidak akan melakukannya. Ini adalah pekerjaanku. Aku akan melakukan yang terbaik untuk bertindak sebagai kekasihnya yang sempurna.
Lift terbuka dan kami berjalan menyusuri lorong yang remang-remang, heels yang kukenakan berdetak di atas lantai kayu. Aku mencoba berjalan dengan lebih ringan, tetapi suaranya masih memekakkan telinga. Aku menelan ludah dengan gugup ketika kami melewati sepasang wanita yang sedang terkikik nyaring. Mereka menatap Bennett dan saling berbisik. Aku mempererat genggamanku padanya.
Kami melewati satu set pintu kaca dan melangkah keluar dan tiba-tiba telingaku dipenuhi oleh suara tawa dan musik. Embusan udara hangat menyapu bagian kulitku yang telanjang dan mulutku sedikit ternganga. Lampu-lampu dari kota berkelap-kelip di sekitar kami, hanya terhalang oleh satu sisi hotel yang menjulang di atas kami. Ada pilar yang dipasang secara sporadis dengan lampu lentera kecil yang tergantung di sana, memancarkan cahaya lembut. Sangat indah. Matahari mulai terbenam saat ini dan aku hanya bisa membayangkan seperti apa pemandangan itu ketika benar-benar gelap.
Meja-meja kayu diatur di atas di lantai, banyak di antaranya tepat di sepanjang tepian rooftop itu untuk memberikan pemandangan terbaik kepada para pelanggan. Di sisi di mana dinding hotel berdiri adalah bar yang terang benderang dengan pria dan wanita berpakaian mewah berbaur di depannya, dengan minuman di tangan mereka.
"Wow," aku mendesah.
"Ayo, aku memesan meja terbaik untuk kita," katanya, mendorong punggungku sedikit.
Aku hampir terhuyung ke depan tetapi berhasil menahan diriku sendiri. Aku tidak boleh mempermalukan diriku sendiri saat ini. Meskipun pengaturan cahayanya redup dan aku ragu ada orang yang akan memperhatikannya. Tetap saja, aku harus berhati-hati.
Ketika kami melewati bar, pramutama bar memanggil Bennett dan beberapa orang lain menoleh. Aku meluruskan punggungku, mempersiapkan diriku untuk berinteraksi dengan manusia.
"Siapa gadis ini?" pramutama bar itu bertanya dengan malas, mengangkat alisnya ke arahku. Dia memamerkan gigi putihnya padaku dengan seringai lebar, kontras dengan kulit keemasannya. Rambut hitamnya ditata tinggi. Dia sangat menarik.
"Ini kekasihku, Henley," kata Bennett, bahkan tanpa sedikit pun keraguan. Dia pasti pembohong yang baik. "Henley, ini pramutama bar kami, Eugene."
"Kau kekasih Bennett?" ulang Eugene, alisnya naik lebih tinggi, jika itu mungkin dibayangkan.
Aku tersenyum malu-malu, menghindari tatapannya. "Y-ya." Lebih tenang, Henley. Tenang.
"Wow," katanya. "Wow, wow, wow. Tidak menduga hari seperti ini akan datang. Bagaimana kalian bertemu? Sebuah bar? Sebagai rekan bisnis? Jangan bilang di klub pecinta buku."
Bennett berdehem, tampak sedikit tidak nyaman. "Eugene."
Eugene tertawa dan kemudian merentangkan tangannya. "Baiklah, baiklah. Aku akan berhenti. Apa yang ingin kau minum, Ms. Henley? Aku yang traktir karena kau harus bertahan dengan pria ini sepanjang malam."
Minum? "Uh, anggur juga boleh," jawab aku segera. Alkohol pasti akan membantuku melewati malam dan anggur adalah minuman paling berkelas yang bisa kupikirkan.
"Bawakan dia botol terbaik kita," perintah Bennett. "Aku ingin dia mencoba sesuatu yang dia tidak pernah bermimpi meminumkannya sebelum ini."
Eugene mengangguk sementara aku berusaha untuk tidak membiarkan senyum lepas dari wajahku. Ya, alkohol adalah ide yang sangat bagus.
"Mr. Calloway, apa yang sedang kau lakukan di sini?" sebuah suara baru saja terdengar.
Bennett dan aku menoleh dan mendapati seorang pria botak dengan setelan bisnis berseri-seri pada kami. "Aku berkencan," Bennett memberi tahu pria itu.
Dia tertawa kecil. "Ah, pasti menyenangkan menjadi muda. Aku tidak tahu kau sedang mengencani seseorang. Ibumu belum menyebutkan apa-apa."
"Memang baru."
"Jangan biarkan dia mengganggumu, oke?" kata pria itu padaku.
Aku memalsukan tawa dan mempererat genggamanku pada Bennett. Sudah terlambat untuk itu.
"Henley, dia adalah salah satu manajer hotel kami, Mr. Sowlen," kata Bennett dan aku mendapat petunjuk untuk mengulurkan tanganku padanya.
"Senang bertemu denganmu," kataku. "Aku Henley."
"Nama yang manis untuk gadis yang manis," jawab Mr. Sowlen, menggenggam tanganku dengan kuat. "Perlakukan dia dengan baik, Bennett."
Bennett tertawa kecil dan mengangguk. "Aku berencana untuk melakukannya."
Tiba-tiba orang baru muncul di samping Bennett, matanya terbelalak dan seolah terkagum-kagum. "Mr. Calloway! Senang melihatmu!"
"Robert," Bennett menyapanya. "Apa kabar?"
"Aku baik-baik saja, terima kasih telah bertanya. Apakah kau kebetulan memiliki waktu untuk mengintip cetakan biru yang baru saja kukirimkan ke emailmu? Aku memiliki beberapa ide—"
"Ah, aku tidak di sini untuk urusan bisnis sekarang," Bennett memotongnya, tersenyum ramah. "Maaf. Aku akan senang berbincang-bincang denganmu tapi rasanya tidak sopan untuk tamuku." Dia memberi isyarat kepadaku.
Robert akhirnya memperhatikanku. Aku tidak menyadari seberapa biasanya aku sampai saat itu. "Oh. Maaf sudah mengganggu kalian berdua."
"Tidak apa-apa," kataku cepat. "Jangan ragu untuk berbicara—"
"Dia lapar jadi aku akan memberinya makan sebelum dia menggigit kepalaku," sela Bennett, menatapku dengan tajam.
Aku merapatkan bibirku dan berhasil tidak memelototinya. Apa aku ini seekor anjing? Apa dia tidak ingin berbicara dengan pria ini?
"Ayo duduk, Henley. Sebelum orang lain menginterupsiku lagi."
Dia kemudian membawaku menjauh dari bar dan ke sisi lain restoran yang tempatnya sedikit lebih tinggi dari meja lainnya. Tidak ada yang duduk di bagian ini kecuali seorang pria yang duduk di meja sudut terjauh di pinggir balkon. Ketika kami semakin dekat dengannya, aku baru menyadari kalau itu adalah teman Bennett, Sebastian.
"Henley, senang bertemu denganmu," sapa Sebastian ketika kami mendekati mejanya. Dia berdiri dan mengulurkan tangan padaku.
Aku meletakkan tanganku di tangannya, sedikit terkejut melihatnya. Dia tampak sama tampannya dengan Bennett, setelan baru yang dibuat pas di tubuhnya. "Halo lagi."
"Apakah kau masih ingat namaku?" tanyanya, tepian matanya berkerut.
"Crab?" aku menjawabnya, memberinya cengiran.
Dia tertawa. "Sepertinya begitu."
Bennett menarik keluar kursi, membiarkan kakinya menggesek di lantai. Aku menoleh padanya karena suara keras itu dan dia memberi isyarat agar aku duduk, wajahnya lurus. Aku melakukannya, memastikan rok gaunku tidak terangkat. Sebastian duduk kembali setelah aku melakukannya dan kemudian Bennett duduk di seberangnya dan di sebelah aku.
"Apa yang kau lakukan di sini?" tanyaku pada Sebastian. Aku pikir Bennett dan aku sedang berkencan.
"Bennett takut sendirian denganmu, jadi dia menyuruhku ikut."
"Bukan karena itu!" bentak Bennett, bersandar sedikit di kursinya. "Aku pikir kau akan merasa lebih nyaman jika bukan hanya kita berdua."
Aku bertanya-tanya kenapa dia berpikir mengundang orang ketiga yang juga orang asing bagiku akan membuat semua ini tidak begitu canggung. Namun, Sebastian memang memiliki aura yang menenangkan di sekitarnya. Aku sudah merasa lebih nyaman.
"Apakah konyol kalau aku mengatakan bahkan kau terlihat sangat cantik?" kata Sebastian, sedikit tersenyum padaku.
Aku menyentuh rambutku dan tersenyum kembali padanya. "Mungkin begitu."
"Tentu saja dia cantik. Apakah kau mengharapkan sesuatu yang rendah dari orang-orang yang aku pekerjakan?" Bennett berkata dengan angkuh dan syukurlah seorang pelayan muncul dengan anggur kami saat itu.
"Sassicaia Red, Nona?" tanyanya, kata-katanya asing di telingaku.
Aku mengambil sebuah gelas dan membiarkannya mengisinya, segera menyesapnya ketika dia pergi. Rasa itu membuat wajahku mengerut dan Sebastian tertawa ketika dia mengangkat gelasnya sendiri ke bibirnya. "Tidak suka anggur?"
"Tidak," aku mengakui, berpikir untuk meletakkan gelas itu dan tidak akan pernah menyentuhnya lagi selama sisa malam itu.
"Mungkin ini terlalu tinggi untuk seleranya," komentar Bennett.
Rencana itu kubuang ke jendela. Aku perlu mabuk. Cepat. Sambil menguatkan diri, aku membawa gelas itu kembali ke bibirku dan mengambil tegukan besar. "Berapa harga anggur ini?" Kupikir Bennett akan mengatakan lebih dari seribu.
"Dua ratus lima puluh dolar," katanya.
Aku memandangnya. "Apa? Benarkah?"
"Hotel kami harus terjangkau untuk kelas bawah," katanya, sambil memutar-mutar anggur di gelasnya. "Siapa pun dapat tinggal di sini sehingga kami perlu membuat harga kami sedikit terjangkau. Banyak dari tamu kami menganggap ini sesekali sebagai kunjungan bulan biru dan akan menghabiskan sedikit uang ekstra untuk makan malam dan minuman, tetapi jika kami menaikkannya terlalu tinggi mereka tidak akan kembali."
Masuk akal, tapi tetap saja. "Aku tidak akan menghabiskan uang sebanyak itu untuk sebotol anggur."
Bennett menepuk pahaku, membuatku terlonjak. "Tidak akan, atau tidak bisa?"
Mengabaikannya, aku menghabiskan sisa anggurku. Sebastian tersenyum kecil dan dengan penuh semangat mengisinya kembali.
Pelayan kami kemudian membawa menu, tetapi Bennett dan Sebastian sudah tahu apa yang mereka inginkan. Merasa sedikit tertekan, aku menunjuk ke hal pertama yang memiliki nama ayam. Setelah dia pergi, aku mengikuti kedua pria itu untuk meletakkan serbet di pangkuan aku.
"Kau pasti benar-benar serius membodohi ibumu," Sebastian memulai, bersandar di kursinya. "Restoranmu sendiri untuk kencan pertama?"
"Cara terbaik untuk menyampaikan berita ini. Seseorang akan mengatakan ini kepada ibuku."
"Kenapa kau tidak bilang saja kau berkencan dengan seseorang?"
"Karena dengan begitu dia akan memintaku untuk bertemu dengan gadis ini segera," jawab Bennett, tiba-tiba tampak lelah. "Jika dia bertemu Henley sekarang, dia akan segera tahu bahwa Henley tidak memenuhi standarnya."
Aku menyipitkan mata padanya. "Maksudnya apa?"
"Kau miskin dan tidak memiliki pendidikan tinggi," katanya padaku. "Hanya dengan pakaianmu dia pasti akan tahu itu."
Sebastian sedikit meringis dan aku memaksakan senyum sambil memegang gelas anggurku dengan erat. "Oh, bodohnya aku. Seharusnya aku tahu kemiskinanku akan begitu tampak."
"Rencananya akan gagal sebelum aku bahkan sempat mengklaim aku sedang jatuh cinta. Itu sebabnya dia benar-benar tidak boleh bertemu Henley sebelum itu. Kita harus membuat semacam latar cerita untukmu."
Aku mengabaikan Bennett dan beralih mengamati lampu-lampu terang kota. Bagaimana aku bisa berpura-pura menjadi seseorang yang bukan diriku? Aku tidak terlalu pandai berbohong. Aku harus tetap diam di sebagian besar waktu. Atau aku bisa pura-pura bisu! Itu juga akan berhasil. Aku bisa meninggalkan semua percakapan pada Bennett.
"Kau tidak kuliah?" kata Sebastian, mengarahkan pertanyaan kepadaku.
Dengan malu-malu, aku mengangkat bahu. Aku benci cara orang mengatakan itu. Untuk diri mereka masing-masing. Beberapa orang ditakdirkan untuk bisa pergi ke sekolah, sementara beberapa tidak. "Uh, aku belum mulai, tapi aku akan mengambil beberapa kelas di bulan September. Ini akan menjadi tahun pertama kuliahku karena ini adalah tahun pertama untukku juga berhasil menabung."
Dia mengerutkan kening. "Aku mengerti. Apakah kau memiliki saudara kandung?"
Aku mengangguk. "Kakak laki-laki."
"Di mana dia?"
Seketika aku merasa tenggorokanku menutup dan aku hampir tersedak. Mata Bennett melebar dan dia bergerak untuk membantuku, tetapi aku berhasil mengatur napas. "Aku baik-baik saja. Uh. Maaf. Aku benar-benar tidak ingin membicarakannya."
"Itu membuat kalian berdua serasi."
Kali ini Bennett yang tegang. Aku memandangnya dan melihatnya memelototi Sebastian. "Jangan mulai."
"Maaf, maaf."
"Kau memiliki seorang saudara laki-laki?" tanyaku pada Bennett. Aku tidak tahu apa-apa tentang keluarganya. Aku bahkan tidak tahu apa-apa tentang dia.
Rahangnya mengetat begitu keras sehingga aku dapat melihat otot-ototnya. Sebenarnya aku ingin tahu banyak tentangnya, tetapi aku tahu bagaimana rasanya tidak ingin didesak tentang sesuatu. Meskipun aku sungguh penasaran. Apakah saudaranya itu seorang kakak laki-laki? Atau seorang adik?
"Ah, mari kita ganti topik pembicaraan," kataku cepat. "Adakah yang menonton acara TV yang bagus?"
Sebastian dan Bennett mengerjap padaku. "Yah," kata Bennett perlahan setelah beberapa saat. "Kurasa kau masih memiliki waktu untuk menonton TV"
Aku mengabaikannya dan meneguk anggurku, memutuskan untuk tidak mencoba dan memulai percakapan.
Kedua pria itu mengalihkan pembicaraan ke dalam urusan bisnis dan aku melamun, meminum anggurku dengan linglung. Ini tidak terasa seperti kencan. Apakah ini akan terlihat begitu seperti itu bagi orang lain? Apakah seseorang benar-benar akan cukup peduli dan menyebarkan desas-desus ini? Tiba-tiba aku merasa agak bodoh duduk di sana dalam gaun mahal menyesap anggur yang tidak kan pernah mampu kubeli. Apakah ini yang Bennett pikirkan tentangku sepanjang waktu? Aku tidak bisa menyalahkannya. Aku tidak menyukainya atau Sebastian.
Saat matahari terbenam, aku mulai sedikit mabuk, dan pada saat kami selesai makan dan suasananya sudah menjadi gelap gulita, aku cukup mabuk. Rasanya tidak membantu ketika Bennett terus menunjukkan cara yang tepat untuk makan ayam. Kenapa juga harus ada cara yang tepat untuk makan ayam? Aku tidak mengerti.
"Henley, apakah kau siap untuk pergi?" tanya Bennett.
Mengangguk, aku mencoba mendorong diriku dan sedikit tersandung. Mungkin aku lebih mabuk dari yang aku kira.
"Mungkin kau harus minum air sebelum kita pergi," saran Sebastian, berdiri dari set juga.
Aku melambaikan tangan padanya. "Aku baik-baik saja." Kepalaku berputar dan aku menutup mata sejenak.
"Henley, tolong tetap sadar sampai kita keluar dari pandangan publik," gumam Bannett padaku, meraih pergelangan tanganku.
Aku berusaha menarik diriku dari genggamannya. "Apa?"
"Jangan membuatku malu."
Sekarang, seandainya aku tidak mabuk, aku akan menerima ucapan itu seolah aku telah terbiasanya mendengarkan kalimat menyakitkannya sepanjang hari. Tetapi karena aku mabuk dan aku sedikit tidak rasional dan sedikit lebih berani ketika aku mabuk, aku tidak membiarkan yang satu ini berlalu begitu saja.
"Dasar brengsek."
Mulut Bennett terbuka sedikit. "Apa?"
Aku menarik tanganku ke samping, melepaskan genggamannya padaku. "Aku muak sekali denganmu yang merendahkanku. Sepanjang malam. Bahkan sejak aku pertama kali bertemu denganmu. Aku membantumu, apa kau menyadari itu?"
"Aku membayarmu," balasnya.
Aku melangkah mundur, pergelangan kakiku hampir menyerah. Aku menggapai sekeliling dengan liar untuk membantu menyeimbangkan diriku dan Sebastian muncul di sisiku untuk membantuku. Aku menempel padanya. "Membayar aku? Benar, aku bawahanmu. Apakah kau memperlakukan semua karyawanmu seperti ini? Aku mengerti. Aku miskin. Kau mendapatkan semua hiburanmu dari mengolok-olok orang lain?" aku melanjutkan.
"Henley, berhenti."
Tidak. Aku akan mengeluarkan apa yang sudah kutahan sejak aku bertemu dengannya. Aku mengangkat jari telunjukku dan berjalan ke arahnya. "Dasar brengsek." Dengan setiap kata, aku menusuk-nusuk jariku ke dadanya. "Sepanjang hari aku mendengarkan hinaanmu. Kenapa aku harus repot-repot mendengarkanmu? Kau hanya mainan Paris Hilton, tetapi lebih arogan."
Sebastian mendengus, tetapi dengan cepat menenangkan diri. Bennett mengambil napas dalam-dalam dan menyilangkan lengannya dan kurasa akhirnya dia sedikit marah. "Henley, kau membuat dirimu sendiri tampak bodoh."
Aku tertawa. Setelah semua yang aku katakan, itulah tanggapannya? "Aku selesai."
"Bagus," jawabnya. "Aku akan meminta sopirku untuk menjemput kita di depan."
Aku menggelengkan kepala. "Tidak. Aku selesai denganmu. Aku tidak akan lagi berkencan denganmu dan kau dapat mengambil uangmu kembali. Carilah orang lain untuk berpura-pura berkencan dengan kehidupan mewahmu, karena aku mengakhiri ini." Dengan harga diri yang bisa tersisa, aku berbalik dan melangkah menuruni tangga platform tempat kami berada. Aku berusaha membuat diriku tetap fokus, bertekad untuk tidak jatuh dan merusak adegan berlaluku yang dramatis.
"Henley!" aku mendengar Sebastian memanggilku. "Tunggu!"
Aku tidak berhenti dan tidak berbalik ketika aku keluar dari ruangan dingin itu dan kembali ke lorong hotel yang remang-remang. Ketika pintu menutup, aku memastikan untuk mengibas rambutku dengan harapan Bennett melihatnya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro