Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 5

Henley

Ponselku berdering untuk yang kesepuluh kalinya dalam dua puluh menit terakhir. Kesal, aku mengeluarkannya dari sakuku dan mendapati nama Bennett Calloway berkedip-kedip di layar. Apa dia ini semacam penguntit gila? Aku tidak pernah bertemu dengan seseorang yang akan menelepon orang lain setiap dua menit sekali jika mereka tidak segera menjawabnya. Tidak ingin memberikannya rasa puas ketika aku menjawabnya, aku memutuskan untuk mematikan ponselku. Sekarang dia tidak akan dapat menggangguku lagi.

"Bennett lagi?" Ariana berteriak dari ruangan di belakang.

"Apakah dia tidak tahu aku sedang bekerja?" aku bertanya-tanya dengan keras. Seperti yang dia minta sebelumnya, aku telah mengiriminya jadwal kerjaku di Coffee House selama seminggu. Jadi jika dia telah mengetahuinya, kenapa dia terus mencoba meneleponku di tengah-tengah jam kerjaku? Aku tidak bisa begitu saja menjawab panggilan di ponselku di tempat kerja.

Sebenarnya aku bisa, tetapi aku tidak akan mengatakan itu padanya.

"Kenapa kau tidak bersemangat?" kata Ariana ketika dia kembali dengan setumpuk kantung biji kopi. "Dia sangat tampan."

"Dia menggemaskan, tapi kepribadiannya harus diperbaiki," jawabku, mengingat lagi komentarnya tentang dadaku. Apa dia tidak memahami standar kesopanan umum? Tidakkah dia tahu betapa memalukannya itu? Aku menatap bajuku, memastikan tidak ada yang sesuatu yang aneh menempel. Bagaimana mungkin ukuran dadaku yang lebih besar dari tubuhku menjadi kesalahanku atau kesalahan si toko retail yang tidak membuat ukuran "rangka kecil, dada besar"? Dan lagi, dia tidak perlu menyebutkan hal itu secara blak-blakan.

Pipiku mulai terasa hangat hanya karena ingatan itu dan aku menggelengkan kepalaku.

Ariana memperhatikanku dengan begitu penasaran. "Kau tahu, tentang masalah dada itu, aku yakin dia hanya mencoba memberimu saran—"

"Ugh, jangan membicarakannya," aku memotongnya, menutup telingaku. "Ah, aku sangat malu."

Dia tertawa, mendorong biji kopi sebelumnya ke bawah konter. "Kau pasti bisa melupakannya. Ditambah lagi, aku ingin dia kembali dan membawa seseorang yang selalu bersamanya."

"Sebastian?"

"Ya, Sebastian."

Aku memandangnya dengan waspada dan mulai menggiling biji kopi tanpa kafein. "Kenapa?"

"Dia sangat menggemaskan dan baik," dia segera menambahkan. "Sepanjang waktu kalian berbicara kemarin, dia di sini menemaniku. Dia juga lucu."

Aku tidak tahu banyak tentang Sebastian, tetapi dia tampak seperti orang baik-baik pada umumnya. Akan tetapi tetap saja aku tidak suka membayangkan dia menggoda Ariana. Jika dia adalah teman Bennett, maka dia bisa seaneh Bennett. "Cobalah untuk tidak terlalu terlibat dengannya."

Mengangguk, dia menghela napas perlahan. "Lagi pula, aku tidak akan pernah sebanding dengan gadis-gadis dari kalangan atas."

Ketika berbicara tentang uang, mungkin tidak, tetapi jika itu soal tampang, aku akan mengatakan bahwa Ariana lebih unggul. Dia memiliki kecantikan kelas A. Bahkan sekali pun dia tidak menyadarinya sendiri, tetapi itu adalah bagian dari pesonanya.

"Setidaknya aku tidak lagi menyukai kakakmu," katanya.

Aku berhenti, mesin penggiling juga kini berhenti.

"Rasanya agak aneh menyukai seseorang yang berada di penjara." Dia tertawa, tetapi tawa itu memudar dengan cepat. "Dia seharusnya tidak berada di sana..."

Membersihkan tenggorokanku, aku terus menggiling biji kopinya. "Aku tahu."

"Berapa lama lagi dia akan berada di sana?"

"Uh, sekitar enam bulan?" jawabku ragu-ragu. Aku tidak terlalu yakin. Saat ini semuanya sudah terasa seperti selamanya sejak dia dijatuhi hukuman itu. Setahun harusnya tidak terasa begitu lama, dan hukumannya terbilang ringan, tetapi entah mengapa rasanya bagai sudah selamanya bagiku. Terutama karena Brandon adalah satu-satunya keluarga yang aku miliki, selain seorang kakek di Kanada yang sudah terlalu pikun untuk mengingat kami berdua.

Ariana mengangkat tinjunya ke udara. "Pikirkan semua uang penyelesaian yang akan kalian dapatkan ketika dia terbukti tidak bersalah! Ribuan dolar!"

Aku hanya bisa tersenyum pada bayangannya. "Itu kalau dia terbukti tidak bersalah."

Kasusnya rumit. Bahkan hingga saat ini, aku tidak sepenuhnya yakin dengan apa yang aku yakini. Ya, kakakku pernah minum minuman keras. Ya, dia pernah mencuri mobil sebelumnya. Namun, untuk sesaat aku tidak percaya dia telah mencuri sebuah mobil saat berada di bawah pengaruh minuman keras dan menabrakkannya. Aku mengenalnya seumur hidupku. Dia bukan tipe orang yang akan melakukan itu.

Tetapi menurut CCTV di bar, dia adalah tipe orang yang akan melakukan itu.

Menggigit bibirku, aku mengusap rambutku. Kepalaku selalu mendadak sakit saat harus memikirkannya.

Telepon di toko mulai berdering dan aku sedikit terlonjak, karenanya Ariana terkekeh. Menyorotnya dengan tatapan jengkel, aku segera berjalan ke sana untuk mengangkatnya. "Poughkeepsie Coffee House, Henley berbicara. Ada yang bisa aku bantu?"

"Kenapa kau tidak menjawab panggilanku?"

Butuh beberapa saat bagiku untuk menyadari itu bukanlah panggilan dari pelanggan. Itu dari Bennett.

Aku langsung menutup teleponnya.

Tiga detik kemudian teleponnya mulai berdering lagi. Ariana menatapku bertanya. Aku berdebat dengan diriku sendiri untuk tidak mengangkatnya, tetapi aku terlalu takut panggilan itu mungkin benar-benar dari pelanggan kami. "Coffee House, Henley di sini, ada yang bisa aku bantu?"

"Apa kau baru saja menutup teleponku?"

Ugh. "Ya," kataku.

Ada keheningan selama beberapa detik. "Jangan menutup teleponnya."

"Kau punya dua menit," aku memperingatinya.

"Kenapa kau tidak menjawab panggilanku?"

"Aku sedang bekerja."

"Terus?"

Seharusnya aku sudah bisa menebaknya dia pasti tidak akan bisa melihat ada yang salah dengan itu. Dia mungkin terbiasa dengan orang-orang yang menjawab panggilan teleponnya pada dering pertama. "Aku agak sibuk di sini jadi aku tidak bisa bicara denganmu terlalu lama—"

"Di sana harusnya tidak terlalu sibuk," dia memotongku, berbicara dengan acuh tak acuh. "Aku tahu seberapa besar keuntungan perusahaan itu dan itu tidak setinggi kedai-kedai kopi lain di sekitar sana, juga dengan mempertimbangkan adanya Dunkin Donuts yang tak jauh dari sana. Perencanaan yang buruk dari sisi pemiliknya."

"Wow, terima kasih atas informasi yang sangat menarik itu."

"Sama-sama," jawabnya. Dia entah mengapa terdengar agak puas, jadi kurasa dia baru saja melewatkan sindiranku.

Aku bersandar pada kusen pintu. "Apakah kau akan memberitahuku alasanmu meneleponku?"

Ada hening sesaat lagi. "Aku punya rencana untuk kita malam ini."

"Rencana?"

"Iya. Kita akan pergi untuk melakukan kencan pertama."

"Kencan?" aku mengulangnya.

"Aku akan menemuimu di tempatmu, sehingga aku bisa melihat gaunmu dan memutuskan apakah kau akan membutuhkan sesuatu atau tidak."

"Gaun?"

"Apakah kau sedang sengaja mencoba menirukan burung beo?"

Aku sedikit merengut. "Tidak. Kenapa kita harus berkencan?"

"Itulah yang umum dilakukan para pasangan."

"Tapi..." aku menangkupkan sikuku, menatap ke arah lantai keramik. Rasanya sudah terlalu lama sejak terakhir kali aku pergi berkencan. Atau memiliki kekasih. Setelah Brandon masuk penjara, aku harus mencari pekerjaan kedua dan aku tidak pernah benar-benar memiliki waktu luang untuk bertemu siapa pun atau berkencan dengan siapa pun.

Bennett terkekeh di sisi lain dari sambungan itu. "Jangan terlalu memikirkannya. Mainkan saja peranmu. Itu pekerjaanmu."

Betul. Itu pekerjaanku. Kenapa aku menjadi sangat gugup? Yang harus kulakukan hanyalah berakting. Aku pernah sedikit mempelajari drama di SMA. Seharusnya ini bukanlah masalah. "Oke."

"Bertemu di tempatmu pukul empat?"

Jam kerjaku selesai pada pukul tiga, itu artinya aku memiliki waktu sekitar satu jam untuk bersiap-siap. "Baiklah."

"Sampai jumpa."

"Oh, tunggu, kau harus tahu kalau apartemenku—" aku mendengar bunyi klik. "Halo?"

Tidak ada.

Berdecak, aku menutup teleponnya. Dasar brengsek.

"Siapa itu?" tanya Ariana ketika aku kembali.

"Kau tahu siapa dia."

"Ooh, apa yang dia inginkan?"

Aku mengedikkan bahu, sedikit merasa canggung. "Pergi berkencan."

Matanya melebar. "Betulkah? Menyenangkan sekali!"

"Ehhh." Aku tidak yakin menyenangkan akan menjadi kata yang tepat. Mendebarkan sepertinya lebih dapat diterapkan.

"Hei, setidaknya ini akan menjadi makan malam gratis, kan?"

Huh. Itu akan menjadi makan malam gratis. Lumayan juga. Aku menyeringai. Halo empat hidangan makan malam.

*

Setelah kami menutup toko, aku mengucapkan selamat tinggal pada Ariana dan langsung bergerak secepat kilat menuju Buick. Apartemenku hanya beberapa menit jauhnya dan sampai di sana dalam waktu singkat. Aku melompat keluar dari mobilku, memastikan telah menguncinya dan berjalan menaiki tangga ke apartemen, tetapi sebelum itu tak lupa juga mengawasi sekelilingku. Hal terakhir yang aku inginkan adalah seseorang merampas paksa uang dua puluh lima dolar di dompetku.

Poughkeepsie adalah lokasi yang aneh. Satu detik kau akan berada di area yang bersih dan ramai, tetapi kemudian kau akan tergelincir dan berada di area sebaliknya. Aku dulu tinggal di lokasi yang lebih baik dari Poughkeepsie, dekat kampus, tetapi setelah Brandon masuk penjara, aku harus mencari apartemen yang lebih murah. Aku tidak terlalu keberatan. Ada tempat-tempat yang jauh lebih mengerikan. Dan aku tidak memiliki banyak tetangga.

Kecuali jika kau menghitung orang-orang tunawisma yang terkadang berjongkok di apartemen di bawahku. Tetapi mereka umumnya adalah orang-orang yang menyenangkan setiap kali aku berpapasan dengan mereka.

Bangunan tempat aku tinggal adalah gubuk reot; aku biasa menyebutnya demikian. Catnya hampir tidak ada, tangganya yang berbunyi terdengar seakan mereka siap menyerah kapan saja, mungkin ada lebih banyak semak belukar daripada rumput di halaman luar sana dan juga ada jeruji di atas setiap jendelanya.

Beberapa orang yang melihatnya mungkin akan berpikir ini tidak layak huni. Aku melihatnya dan berpikir ini terjangkau.

Aku menyeringai ketika ingatan tentang barter yang kulakukan dengan pemilik rumah melintas di kepalaku. Dia awalnya menginginkan empat ratus dolar sebulan, tetapi aku membuatnya harus berpuas dengan angka tiga ratus dolar dengan janji aku akan menyekop jalan garasiku sendiri ketika salju turun.

Bagian dalam sedikit lebih baik daripada bagian luarnya—tetapi itu semua berkat diriku sendiri. Ada dua apartemen di gedung itu. Aku tinggal di lantai atas dan lantai bawah saat ini tidak berpenghuni. Ketika aku baru pindah aku harus menggosok dan menyusuri lorong serta tangga sampai lantai kayunya terlihat hampir bersinar. Aku tidak menyentuh apartemen di lantai bawah, tetapi aku tidak keberatan memberikannya perlakuan yang sama dengan bagian lobinya. Aku mengepel, menyapu, menyedot debu, dan membersihkan semua sisi yang terlihat. Walaupun masih tampak sedikit usang, saat ini bangunan ini cukup layak huni dengan sanitasi terjamin.

Aku melepas sepatuku di pintu dan segera menuju kamar mandi untuk mandi. Kamar mandinya sedikit lebih kecil dari yang kuingin, tetapi karena aku hanya tinggal sendiri di sini, itu tidak terlalu buruk. Air panas dan pipa ledengnya bekerja dan itulah yang terpenting.

Setelah mandi, aku pergi ke kamarku untuk mengeringkan rambut dan memilih-milih pakaian. Aku tahu tidak ada sehelai pakaian pun yang saat ini kumiliki dapat bersaing dengan apa yang dikenakan Bennett, tetapi aku harus mencoba dan menemukan sesuatu. Aku menggali sisi terdalam dari lemariku hanya dengan mengenakan pakaian dalam, mencari gaunku, memeriksa semua kotak yang terisi penuh. Lalu aku beralih mencarinya di lemari riasku. Karena tak kunjung menemukan apa pun, perasaan cemas mulai memenuhiku. Tidak ada gaun di sini. Aku pasti sudah menyingkirkan semua itu saat aku pindah ke sini.

Aku mengerang, meletakkan tanganku di atas kepalaku. Sebelumnya saat pindah aku menyingkirkan banyak sekali pakaian dengan tujuan membuat diriku lebih mudah karena tidak ada banyak ruang di tempat ini. Namun aku tidak mengira aku juga akan menyingkirkan gaun-gaunku! Aku tahu aku tidak akan benar-benar memiliki kesempatan untuk memakainya, tetapi mereka masih lucu-lucu!

Aku kembali menghadap lemariku. Pasti ada sesuatu yang cukup bagus dan bisa kupakai. Sebagian besar pakaianku sudah usang dan tampak payah.

Ponselku mulai berdering dan aku berjalan menuju kasurku—tempat aku melemparkannya. Identitas penelepon yang tertulis di sana adalah Bennett Calloway. "Halo?" aku menjawab.

"Apa kau baru saja memberiku alamat palsu untuk menipuku?"

"Uh, tidak. Kenapa?"

"Kurasa aku tidak berada di tempat yang tepat."

Berjalan ke satu sisi jendela di kamarku yang menghadap ke jalan, aku mengintip ke luar, melihat sebuah BMW hitam berhenti di depan apartemenku. Ya, itu pasti dia. "Aku akan segera keluar," kataku dan menutup telepon, cepat-cepat mengenakan celana jeans dan mengenakan baju pertama yang menarik perhatianku.

Tangga berdecit ketika aku menuruninya dengan kaus kakiku, merasakan detak jantungku mulai meningkat. Aku tidak sempat mengingatkan Bennett tentang betapa buruknya apartemenku. Tidak heran jika dia mengira dia berada di tempat yang salah.

Seorang gembel memasuki lantai pertama apartemen. Aku memberinya lambaian kilat.

Begitu di luar, aku bergegas menuju mobil BMW itu, mengetuk jendelanya yang gelap. Kacanya mulai bergerak turun dan Bennett muncul, tampak gelisah. "Ini lelucon, kan?"

"Apanya?"

"Kau tinggal di sini?"

Aku tertawa canggung. "Uh, ya. Harganya terjangkau. Aku sudah hampir siap. Kau boleh ikut masuk dan menunggu jika mau."

Ekspresinya memberi tahu aku bahwa dia sama sekali tidak ingin naik.

"Hmm, lebih baik, tetap di sini. Aku akan segera kembali. Kunci pintumu."

Alisnya terangkat, tetapi aku langsung memunggunginya dan berlari kembali menuju apartemenku. Aku berharap celana jeans dan kausku dapat diterima ke mana pun kami akan pergi karena aku sungguh tidak memiliki yang lainnya lagi.

Aku melangkah ke kamar mandi untuk memakai riasan ringan dan memperbaiki rambutku. Aku mengerutkan bibirku ketika melihat bayanganku. Tidak peduli bagaimanapun aku telah berusaha memandang diriku sendiri, aku tidak bisa membayangkan diriku berdiri di sebelah Bennett. Dia sangat berkelas dan tampan... dan aku kebalikannya. Segala sesuatu tentangku terlihat murahan. Bahkan rambutku.

Menghela napas, aku meninggalkan kamar mandi, berusaha meyakinkan diriku untuk sedikit lebih percaya diri. Aku mengenakan sepatu kasualku lalu mengambil dompet, memastikan untuk mengunci pintu sekali lagi sebelum pergi. Tidak yakin kapan aku akan kembali, aku membiarkan lampu lorong menyala.

Aku kembali menuju mobilnya, berjalan ke sisi penumpang dan berhenti sejenak. Ini akan menjadi waktu pertama kalinya kami benar-benar sendirian. Aku menghela napas dalam-dalam sebelum meluncur masuk, menutup pintu di belakangku. "Hai," kataku, menoleh ke arah Bennett.

Segera setelah itu aku tahu bahwa aku tidak berpakaian semestinya. Dia mengenakan kemeja biru tua dan dasi hitam dengan rompi abu-abu gelap. Mataku bergerak turun mengamati tubuhnya sampai aku melihat sabuk hitam mengkilap mengikat celana jeans gelapnya.

Yah, setidaknya dia memakai jeans juga.

Dia memergokiku menatapnya dan balik mengamatiku sejenak hingga aku akhirnya memutuskan untuk mengalihkan perhatianku ke arah interior mobilnya yang cukup mengesankan, meskipun serba gelap. Kursi kulitnya berwarna hitam, pinggiran kayunya hitam, bahkan alas yang melingkupi permukaan di bagian bawah juga berwarna hitam.

"Apakah kau membawa gaun di dalam tasmu itu?" dia bertanya kepada aku.

Aku menggelengkan kepala. "Bukannya apa yang kukenakan cukup oke?"

Dia menatapku dan aku menunduk untuk melirik kausku, dan seketika melihat sebuah lubang yang cukup besar di sana untuk menunjukkan bagian dari dalamanku. Menghirup napas dalam penuh keterkejutan, aku menarik kausku hingga bagian lainnya dapat menutupinya.

"Aku sudah mengira kalau kita memang harus mencari sesuatu untukmu, jadi aku sudah membuat reservasi untukmu," katanya, tidak terpengaruh.

"Reservasi?"

"Kau akan lihat nanti," jawabnya, berbelok lalu melajukan mobilnya di jalanan.

Aku terkesan dengan betapa cekatannya gerakan itu. Jalanan tidak dalam kondisi terbaik, tetapi aku tidak merasakan adanya lonjakan yang biasanya aku alami. "Aku suka mobilmu," kataku padanya.

Senyum arogan melintasi wajahnya. "Terima kasih. Aku baru saja menukar dengan yang lama untuk yang ini."

"Berapa harganya?" tanyaku sebelum aku bisa menahan diri.

"Sedikit lebih dari $80.000."

Rahang aku hampir jatuh. Bagaimana dia bisa mengatakan itu dengan santai? Aku bisa membeli lebih dari lima mobil dengan harga yang itu!

"Jangan menatapku seperti itu," katanya, sambil menatap jalan. "Ini adalah mobil yang sangat sederhana untuk keluargaku. Ada BMW yang lebih mahal. Aku kebetulan suka yang ini."

Aku menenggelamkan tubuhku sedikit lebih dalam di kursiku. "Pasti menyenangkan," gerutuku.

Bennett melirikku. "Apakah itu benar-benar apartemenmu?"

"Ya, kenapa?"

"Aku merasa bisa mendapatkan asbestosis hanya dengan melihatnya."

Aku menipiskan bibirku. "Itu terjangkau."

"Tentunya kau mampu membeli sesuatu yang lebih baik dari itu."

"Tidak juga, aku mencoba menabung untuk kuliah."

"Kau tidak kuliah?"

Entah mengapa pertanyaan darinya terdengar jauh lebih buruk daripada saat orang lain yang bertanya. Pertanyaannya membuatku merasa malu dan pada akhirnya merasa kesal. "Tidak sampai September karena beberapa orang benar-benar harus bekerja keras untuk membayar biaya pendidikan itu." Ini adalah tahun pertamaku akhirnya berhasil menabung cukup uang sejak aku lulus dari SMA untuk membayar biaya kuliah selama satu tahun nantinya. Dan itu akan dikurangi dari pinjaman dan beasiswaku.

"Kenapa keluargamu tidak membantumu?"

Tidak ingin terdengar seperti gadis yang oh-malangnya-orang-tuaku-sudah-mati, aku menutup mulut. Aku tidak ingin atau membutuhkan belas kasihan atau simpati darinya.

"Apa kau mendengarku?" dia bertanya setelah beberapa saat.

Aku menghela napas. "Ini bukan urusanmu, aku juga tidak ingin membicarakannya."

Dia diam sesaat. "Baiklah."

Sekarang situasinya menjadi canggung. Tetapi sungguh, hal terakhir yang ingin aku katakan adalah 'Hei! Ayahku telah meninggal, ibuku pergi meninggalkan kami, dan kakakku di penjara. Bagaimana dengan keluargamu?' aku ngeri sendiri hanya dengan memikirkannya.

"Ngomong-ngomong, ke mana kita akan pergi?" kupikir seharusnya aku menanyakan ini sejak awal.

"Ke kota," katanya.

Kota? Tidak ada tempat seperti kota di Poughkeepsie. "Seperti Arlington?"

Dia menggelengkan kepalanya. "Tidak, Kota New York."

"Kota New York?" Aku mengulangi dengan tidak percaya. "Jarak ke sana hampir dua jam perjalanan!"

"Ini akan menjadi perjalanan kilat. Mobilku memiliki Wi-Fi jika kau ingin menghubungkan ponselmu ke sana."

Aku menatapnya sejenak, mulutku terbuka. Aku harus berada di mobil bersamanya selama dua jam berturut-turut? Apakah dia berencana menculikku? Ya Tuhan. Seharusnya aku tidak begitu cepat memercayainya. Aku mungkin akan dijual ke beberapa kelompok perdagangan manusia.

Tidak, tidak, tidak. Dia terlalu berpengaruh untuk menculik seseorang. Dia mungkin akan mempekerjakan orang lain untuk melakukannya jika dia benar-benar harus melakukannya. Setidaknya aku aman dari itu. Saat ini aku hanya tidak aman karena berada di dalam mobil dengan situasi canggung.

"Juga... tentang beberapa hari yang lalu," dia memulai, berdehem. "Sebastian menyuruhku—atau lebih tepatnya, aku juga..." suaranya menjadi lebih kecil. "Aku tidak bermaksud..."

"Apa? Aku tidak dapat mendengar suaramu."

Dia mencengkeram kemudi. "Aku tidak bermaksud menyinggung perasaanmu tempo hari."

Teringat beberapa kali bahwa dia menyinggungku secara tidak sadar; aku tidak tahu persis yang dia maksud. "Tentang apa?"

Dia menatapku dengan tidak sabar. "Jangan memaksaku mengulanginya."

"Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan, Bennett."

Dia menegakkan punggungnya. "Aku minta maaf karena berkomentar tentang dadamu kemarin," katanya secepat kilat, lalu segera terdengar menghela napas lega.

Aku mengerang. Kenapa dia harus membicarakan itu? Di mana kami masih harus terjebak bersama di dalam mobil selama dua jam?

"Meskipun aku sebenarnya benar tentang apa yang kukatakan—" dia mencoba melanjutkan tetapi aku memotongnya, menyalakan stereo.

"Mari kita dengarkan musik." Mendapati dia mendengarkan SiriusXM, aku mengubahnya ke ALT Nation dan menaikkan volumenya begitu keras hingga aku tidak akan bisa mendengarnya jika dia berbicara lagi.

Ini akan menjadi perjalanan yang panjang.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro