Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 47

Bennett

"Kecepatan tertinggi dapat mencapai 189mph dengan dengan M driver's package. 0-60 dalam 3.2 detik. Twin-turbo 4.4-liter V-8. Kulit upholster. Ini juga versi paling ringan," ucap Cara, menunduk ke arah jendela layar BMW, terdengar persis sekali seperti saleswoman yang telah bersama kami beberapa saat sebelumnya.

Tanganku meluncur pelan ke stir hingga melewati dasbor. BMW terbaru M5. Bahkan belum keluar ke publik. Rasa gatal muncul dari bawah. Khususnya, dompetku. "Aku tidak tertarik dengan kecepatan. Aku ingin tetap hidup."

Dia menyeringai. "Benar. Kau sepertinya tipe orang seperti itu."

"Tipe apa?"

"Kedua tangan di stir, mata di jalan..."

"Seorang pengemudi yang aman?"

Dia mengangguk.

Aku memutar bola mataku. "Bukankah kita semua harus menjadi seperti itu?"

"Tidak mengatakan tidak harus. Tapi ketika kau berada di jalanan yang sepi di mana kau tidak akan menyakiti orang lain, tidak apa-apa mendapatkan sedikit kesenangan bukankah begitu?"

Mataku bergerak ke arah wajahnya yang berbentuk hati, mata yang cerah, hidung kecil, dan bibir seperti busur, kemudian berpindah ke kemeja pastel merah mudanya, terkancing sampai ke lehernya dengan pita hitam terikat di sekitar kerahnya. Semua hal tentangnya berteriak aman dan polos. Tapi kata-katanya mengatakan hal yang berbeda. Dia adalah semua hal yang bertolak belakang dengan aman dan polos.

"Kuharap kau sampai pada usia tiga puluh tahun."

Dia tertawa. "Jadi bagaimana menurutmu? Nilai pertukaran BMW mu yang lain setidaknya 50K. Berapa banyak yang ingin kau habiskan? Si manis ini memiliki tiga mil di atasnya. Itu dia. Hanya didorong oleh tim penjualan."

Aku melarikan tanganku di atas kursi kulit upholstered berwarna putih. Tentu saja aku menginginkan itu. Aku biasanya tidak jatuh hati sedalam ini pada sebuah mobil, tapi ini adalah penawaran yang tidak dapat aku tolak. Terkadang tidak apa-apa untuk ... "mentraktir dirimu sendiri" seperti apa yang dikatakan Henley. Mungkin tidak akan seburuk itu mengendarai mobil yang sedikit mencolok berkeliling kota. Mungkin ini akan mengesankan Henley.

Dia suka Maseratis, sebuat suara menjengkelkan di dalam kepalaku yang terdengar seperti saudara laki-lakiku mengingatkan.

Aku ragu-ragu. "...Dimana dealer Maserati terdekat?"

Cara mengerjap ke arahku. "Apa?"

"Itu... tidak, sudahlah," aku menghentikan topik itu. "Aku harus tetap menjadi diriku sendiri. Aku mengerti. Aku sudah cukup mengesankan sebagai diriku sendiri."

"Tidak yakin apa maksudnya itu, tapi bagus sekali!" Cara sumringah. "Kau ingin mengatur pinjaman atau membayar dengan tunai?"

"Pinjaman. Jadi aku bisa mempertahankan kreditku," Aku menjelaskan ketika dia mengangkat satu alisnya. "Aku akan memasukkan uang muka yang layak sehingga bunganya tidak terlalu tinggi."

Mengangguk, dia melambaikan tangan kepada saleswoman itu untuk kembali. Semoga saja dia akan mendapatkan gaji yang besar dengan penjualan ini.

"Oh, ngomong-ngomong Bennett, aku ingin memperkenalkanmu. Ini kekasihku," Cara mengatakannya dengan kasual.

Mulutku menganga. Bagaimana bisa dia tidak mengatakan hal itu? Di sinilah aku berpura-pura menjadi kekasih Cara di depan kekasih sesungguhnya tanpa memperkenalkan diriku? Aku buru-buru keluar dari mobil, mencoba untuk merapikan kemejaku dengan satu tangan, sementara mengulurkan kepada saleswoman itu— tidak kekasih Cara— tanganku yang satunya lagi. "Kenapa kau tidak berkata demikian lebih cepat, Cara? Maafkan aku. Namaku Bennett."

Wanita itu menyambut tanganku dan menggenggamnya dengan kokoh, mata cokelat gelapnya menatap lurus ke mataku. Dia masih sedikit lebih pendek daripada aku, tapi tidak terlalu. "Namaku Tala. Aku tidak tahu suami masa depan Cara akan terlihat setampan ini."

Kata-katanya mengakibatkan pipiku menjadi hangat dengan cara yang tidak nyaman. "Kami tidak akan menikah."

Genggaman tangan Tala mengerat. "Apa? Jadi dia tidak cukup baik untukmu?"

"Tidak, bukan itu yang aku—"

"Jangan terlalu keras padanya," Cara menginterupsi dengan tawa. "Dia sensitif."

Tala akhirnya melepaskan tanganku dan tersenyum kepadaku, mendorong rambut gelapnya ke balik telinganya. "Baiklah, aku akan berhenti bermain-main. Senang sekali bertemu denganmu. Senang mengetahui kau bukan orang yang aneh."

"Tal," Cara menegur.

Tala tertawa. "Oke, aku sungguh akan berhenti kali ini. Terima kasih sudah membantu kami, Bennett. Aku menyesal situasinya harus serumit ini."

"Kami saling membantu," kataku. "Tidak ada yang perlu disesali. Ini adalah situasi yang tidak menguntungkan, tapi kita akan melakukan yang terbaik dari itu."

"Tala adalah alasan aku mendapatkan koneksi yang bagus," Cara menyebutkan, menyampirkan tangan ke pundak wanita satunya itu. "Well, dia dan beberapa hal yang meyakinkan dari ayahku. Dia memiliki kenalan dengan grup Volkswagen."

"Jadi kita akan menandatangani beberapa berkas?" Tala bertanya.

Mengangguk, aku mengikutinya kembali ke mejanya, duduk di depannya. "Aku akan menukarkan mobilku saat ini juga."

"Tentu saja. Aku bisa membuatmu mengendarai si cantik yang baru ke rumah hari ini."

"Aku menyukai dia," kataku pada Cara.

Cara sumringah. "Aku juga."

"Oke, aku akan meminta tim kami untuk memberikan penilaian atas mobil lamamu dan memberikan harga untuk penukaran, lalu aku akan kembali ke sini dan kita bisa langsung menuju ke bagian menyenangkannya," kata Tala, menunjuk ke arah tempat parkir. "Bisa aku minta kuncimu?"

Aku memberikan kepadanya, berhenti sejenak. "Aku masih bisa mengatakan selamat tinggal kan?"

"Tidakkah kau masih memiliki barang-barang pribadi di dalamnya? Jangan khawatir kami tidak akan mencuri mobilmu. Kau bahkan tidak perlu memberikannya hari ini jika kau tidak mau. Selama kau memasukkan deposit, kami bisa menahan yang baru."

"Oh, aku akan baik-baik saja setelah mengumpulkan barang-barangku."

Tala menyeringai. "Bagus. Aku akan kembali."

Cara memperhatikan Tala yang melangkah dengan heels miliknya kemudian memfokuskan perhatiannya kembali padaku. "Bukankah dia saleswoman yang hebat?"

"Dia sangat... kasual."

"Benarkan?"

Biasanya aku tidak akan berpikir itu adalah hal yang bagus, tapi dalam situasiku saat ini, rasanya menyenangkan mengetahui Tala begitu santai denganku. AKu hampir merasa melakukan hal yang salah dengan berpura-pura berkencan dengan Cara. Menyenangkan rasanya mengetahui Tala tidak membenciku.

"Bagaimana kabarnya dengan Henley?" Cara bertanya, menyandar pada kursinya. "Apa dia menjalani semuanya dengan baik?"

"Semuanya baik-baik saja. Kami mengusahakannya."

"Yeah, aku juga. Rasanya sangat berat. Kenapa orang tua kita tidak bisa bahagia untuk kita?"

"Aku tidak tahu."

"Maksudku, kita sudah dewasa. Kita tahu apa yang kita inginkan dan kita tahu yang terbaik untuk diri kita. Beberapa orang mungkin tidak mengetahuinya, tapi tidak dengan kita. Kita dibesarkan dengan cara yang berbeda. Kita dibesarkan untuk menjadi dewasa sepenuhnya pada usia sepuluh tahun. Pada kenyataannya, kebanyakan orang tidak sungguh-sungguh menjadi dewasa sampai mereka berusia dua puluh lima tahun. Aku pikir kita sudah membuktikan kalau kita dapat memilih jalan hidup kita sendiri, bukankah begitu?"

Aku menemukan diriku meniru posturnya, bersandar ke punggung kursi. Cahaya lampu menyilaukan mataku dari atas. "Aku membaca secara online kalau laki-laki belum menjadi dewasa sampai mereka berusia empat puluh lima tahun."

"Well... aku sebenarnya percaya itu. Tapi memangnya ada orang yang benar-benar dewasa? Ketika aku berusia dua belas tahun aku berpikir usia delapan belas tahun sangat dewasa dan ketika aku berusia delapan belas aku pikir usia dua puluh lima tahun sangat dewasa. Dan sekarang ketika aku berusia dua puluh lima, aku sudah tidak tahu lagi. Maksudku kita tahu bagaimana menjalani hidup kita. Kita tidak perlu diberi tahu apa yang harus dikenakan, apa yang harus dimakan, siapa yang harus dikencani, seksualitas seperti apa, dan lain-lain."

"Kita tidak perlu ibu yang memata-matai kita melalui sistem keamanan kita."

"Uhh, apa? Itu sungguhan?"

"Ya."

"Dude, ibumu gila. Tidak heran orangtuaku takut kepadanya." Dia menarik napas tajam. "Ups. Jangan tersinggung."

"Tidak sama sekali."

"Jadi apa rencananya?"

"Kakak laki-lakiku dan aku akan memberikannya pensiun kejutan dan mengambil alih perusahaan."

Cara berdiri dari kursinya, nyaris terjatuh dari sana. "Tunggu, apa?"

Aku menegakkan punggungku juga. "Dia sudah melakukan hal yang buruk, Cara. Setelah kami membuktikannya, kami akan memaksanya untuk turun. Kami hanya membutuhkan bukti."

"Kau serius?"

"Ya. Semoga saja saat itu terjadi, orang tuamu akan menyerah untuk menikahkan kita. Khususnya jika aku mengumumkan pertunangan dengan Henley." Kata-kata itu keluar dari mulutku sebelum aku bisa berhenti untuk memikirkannya.

Mata Cara melebar. "Kau akan melamarnya? Bitch, what?!"

"B-bitch?" aku mengulangi.

"Itu manis sekali!" dia memekik, memegangi pundakku dan mengguncangnya. "Oh my gosh! Sudah berapa lama kalian bersama?"

"Dua bulan."

Aku bisa mendengar suara rem yang berdecit di dalam kepalanya ketika semuanya berhenti. Dia melepaskan pundakku, bibirnya membentuk garis yang sempurna, dan mulai mundur. Dia menilaiku sejenak dan kemudian bergumam. "Well..."

"Apa?"

"Kau tidak benar-benar mengenal seseorang setelah dua bulan. Aku hanya berpikir kalau kau terburu-buru. Aku tidak mengatakan kalau ada batasan seberapa lama kau harus mengencani seseorang sebelum menikah, tapi kau harus tahu apa yang kau hadapi."

Aku menjernihkan tenggorokanku, menemukan pipiku merona lagi. "Bukan itu yang aku maksudkan. Aku tidak berencana untuk melamarnya dalam waktu dekat. Aku bahkan tidak tahu berapa lama yang dibutuhkan untuk menarik mundur ibuku dari jajaran dewan. Maksudku jika semuanya berjalan baik dan kami masih bersama dan ada waktu yang tepat, ya, Aku akan melamarnya, dan itu akan menjadi akhir bagi siapa pun yang memaksa anak perempuannya untuk menikahiku juga."

"Ooh, mengerti. Oke. Itu yang ingin kukatakan."

"Meskipun begitu jika dia memintaku untuk menikahinya besok, aku akan mengatakan ya."

Cara menahan senyum. "Terkadang kau sudah tahu, huh?"

"Ya, tapi aku tetap ingin menjalani waktu kami."

"Benar. Cinta bukan sesuatu untuk diburu-buru," dia setuju.

"Kau terdengar seperti saudara laki-lakiku."

"Sungguh? Kukira aku memiliki suara yang cukup feminim. Mungkin aku bisa mengikuti mimpiku mencapai nada rendah dalam You're a Mean One, Mr. Grinch."

Mataku mengerjap ke arahnya.

Dia menatapku. "Jangan bilang padaku kau tidak tahu film itu."

"Kalau begitu... Aku tidak tahu."

Dia menarik napas dalam, siap untuk mengomel panjang, tapi sebelum dia bisa melakukannya Tala muncul, kunci mobil berada di tangannya. "Siap untuk membeli mobil barumu?"

Dua jam kemudian, aku sedang dalam perjalanan ke apartemen Henley dengan mobil baruku. Jariku mengetuk-ngetuk stir saat aku menyeringai, membayangkan apa yang akan dia katakan ketika melihat mobil ini. Komentar sarkastik seperti apa yang akan dia buat. Atau akankah dia mengejutkanku dan sungguh-sungguh menyukai mobil ini? Kuharap dia menyukainya. Mengubah pikirannya, menunjukkan padanya kalau BMW adalah pilihan utama untuk mobil...

Senyum mulai menghilang dari wajahku ketika aku sadar tidak ada tempat parkir yang tersisa untukku di jalan masuk apartemennya. Maserati milik Lee terparkir di belakang mobil Henley di sisi kanannya dan Maserati milik Brandon terparkir cukup jauh di belakang di sebelah kiri di mana aku tidak bisa masuk ke belakangnya. Yang artinya aku harus memarkirkan mobilku di jalan.

Aku menimbang-nimbang pilihanku. Membahayakan mobil baruku atau menemui Henley. Membahayakan mobil baruku atau menemui Henley...

Menarik napas dalam, aku berhenti di tepi jalan sedekat mungkin, keluar dari dalam mobil dan memastikan ada cukup ruang untuk mobil lain melintas dengan aman. Ini bukanlah jalan utama, tapi jalannya tetap sempit. Tidak apa-apa. Jika tidak, aku akan membeli asuransi gap.

Setelah mendorong kacaku, aku menuju ke pintu depan dan mengetuknya. Ketika tidak ada yang muncul setelah semenit, aku mencoba membukanya, dan nyaris terjatuh saat pintunya berayun ke dalam. Henry memegangiku dan menggumamkan permintaan maaf.

"Henry? Apa yang kau lakukan di sini?"

"Pergi untuk membeli pizza," katanya, kepalanya tetap tertunduk ketika dia melewatiku.

"Tunggu, bertukar tempat parkirlah denganku. Aku baru datang dari dealer dan— Henry, apa kau mendengarkan? Henry?"

Sepertinya dia tidak tahu jika aku sedang bicara dengannya. Pundaknya terkulai lemas ketika dia turun menuju ke jalan masuk, membuatnya terlihat lebih kecil dari biasanya. Aku memperhatikannya ketika dia kesulitan memegangi kunci mobil Lee, lalu menjatuhkannya pada prosesnya. Untuk sesaat dia berdiri di sana, menatap ke bawah, sebelum menghembuskan napas panjang dan mengikuti kuncinya kembali.

Sedikit jengkel, aku menunggu sampai dia naik ke dalam mobil untuk masuk, langsung menuju ke dapur di mana aku menemukan Henley mencari sesuatu di laci. Aku tersenyum kecil dan memperhatikannya berusaha menjangkau rak teratas, tapi tidak cukup tinggi untuk mencapainya. Tepat saat aku ingin membantunya, dia memukul benda itu hingga jatuh dari rak, dan nyaris tidak dapat menangkapnya sebelum menghantam permukaan meja konter.

Mendengar langkah kakiku, dia menolehkan kepalanya ke samping. "Lee kau tidak seharusnya berjalan— oh!" Dia nyaris menjatuhkan cangkir itu lagi ketika pandangannya mendarat kepadaku, matanya melebar. "Bennett! Kau menakutiku. Kapan kau sampai di sini?"

"Baru saja."

"Apa yang kau lakukan di sini?" dia bertanya, memainkan cangkir yang ada di tangannya.

Pertanyaannya membuat hatiku sedikit sedih. Kenapa pertanyaan itu terdengar seperti dia tidak menginginkan aku ada di sini? Aku memperhatikannya ketika dia menggigit bibir bawahnya. Ada sesuatu yang tidak beres dengan situasi ini. Dia berdiri dengan kaku, menghindari tatapanku. "Apa yang kau katakan ketika kau pikir aku adalah Lee?"

"Oh, uh. Tidak ada?"

"Tidak, kau bilang dia tidak seharusnya berjalan. Apa dia terluka?" tanyaku, rasa takut mulai merayap di punggungku. Kegembiraan untuk menunjukkan mobil baruku pada Henley lenyap. "Di mana dia?"

Mata Henley beralih ke ruang keluarga. "Well... Sebenarnya." Terlihat jelas kesulitan menelan ludahnya, dia melangkah ke arahku, melihat ke pintu depan. "Kita perlu bicara—"

"Bennett?" suara Lee datang dari ruang keluarga. "Apa itu kau?"

Henley meringis dan aku mengernyit, meraih tangannya dan membawanya ke ruang keluarga denganku. Lee melambaikan tangan padaku dari tempat dia berbaring di atas sofa, sebua selimut menutupi tubuhnya yang panjang.

"Ada apa?" tanyaku, genggaman tanganku pada Henley mengerat.

"Tidak ada yang serius. "Pergelangan kakiku terkilir sedikit, hanya itu. Masih belum terbiasa menggunakan kedua kakiku seharian di tempat kerja, kurasa. Kenapa kau melihat seperti itu? Aku baik-baik saja. Jangan panik."

Aku menyeret kakiku. "Tidak."

"Kau sungguh terlihat panik. Ayolah, Ben. Jangan seperti itu."

Rahangku mengatup rapat. "Aku minta maaf karena sudah khawatir."

"Kau boleh khawatir, tapi jangan terlalu memikirkannya. Lagi pula Henley sudah mengobatiku. Your girlfriend is a keeper. Cantik dan pintar," kata Lee, menggerak-gerakkan alisnya.

Pipi Henley bersemu merah jambu dan dia menundukkan kepalanya.

"Kenapa dengan Henry, kalau begitu?" tanyaku, tidak kuasa menghilangkan perasaaan mengerikan ini. Tidak peduli apa yang Lee katakan, sesuatu tidak terasa benar. Tingkah laku Henry terasa aneh.

"Kenapa dengannya?"

"Dia mengabaikanku tadi. Dia tidak pernah melakukan itu sebelumnya."

"Sungguh? Kau tidak berpikir mengabaikanmu adalah hal pertama yang dia kuasai ketika dia mulai bekerja denganmu."

Aku memberikannya tatapan datar.

Dia menyeringai. "Hanya bercanda. Kupikir dia dan Henley terlibat dalam sesuatu. Meskipun tidak ada satu pun dari mereka yang ingin memberitahuku tentang apa itu."

Henley menegang di sebelahku. "Kau tahu... itu bukan apa-apa. Tidak begitu penting sungguh."

"Kau dan Henry bertengkar?" Tanyaku dengan ragu. "Kau? Dan Henry?"

"Aku tahu, aku juga terkejut," Lee menimpali, matanya berkilat geli. "Henry tidak pernah bertengkar dengan siapa pun. Meskipun aku bisa melihat Henley adalah tipe yang dapat berdebat dalam jumlah yang layak."

Henley mengerucutkan bibirnya ke arah dia. "Apa maksudnya itu?"

"Kau orang yang bersemangat."

"Terima kasih?"

"Kau dan Henry sungguh-sungguh bertengkar?" Aku mengulangi.

"Ya?"

"Kenapa kau terdengar tidak yakin?"

"Itu bukan benar-benar pertengkaran. Hanya um, sebuah masalah, mungkin." Dia meringis lagi, memasukkan tangannya ke dalam saku celana jeansnya. "Lupakan itu. Kami baik-baik saja sekarang. Aku sudah membuatnya kesal, hanya itu. Dia bilang dia tidak punya kehidupan karena dia terlalu sibuk melayani kalian berdua setiap waktu."

Aku tidak mempercayainya. Bahkan sedikit on. Namun, berhubung Lee terlihat tidak khawatir, aku akan membiarkan ini berlalu. Henley akan mengatakan padaku jika itu penting. Kami sudah menegaskan untuk tidak menyembunyikan apa pun dari satu sama lain.

"Bagaimana dengan dealernya? Dan Cara?" Henley bertanya dan aku merasa dia mengambil kesempatan untuk mengganti topik pembicaraan.

Sebuah langkah pintar. Henley tahu apa yang dia lakukan. Aku akan mengambil umpannya. "Sangat baik. Koneksi Cara terbukti bermanfaat. Aku mendapatkan mobil baru."

"Huh? Mobil yang kau ambil gambarnya?"

"Ya, mobilnya terparkir di luar. Kau ingin melihatnya?"

Sesuatu di dalam ekspresinya mengatakan padaku kalau dia tidak sungguh-sungguh ingin melihatnya, tapi dia tetap mengangguk, menarik tanganku. "Pasti."

Ya, ini adalah cinta sejati.

"Mobilnya masih belum dirilis ke publik. Mobilnya tidak akan tersedia sampai tahun depan," Kataku padanya, kegembiraan terlihat kembali padanya.

"Oh ya? Itu mengagumkan! Seberapa gelap hitamnya? Aku hampir tidak bisa melihatnya di jalan," dia berkomentar, menarikku turun ke jalan masuk. "Ini sangat mulus. Akan banyak yang memperhatikanmu ketika kau mengendarainya."

Jantungku berdegup dengan gembira. Dia sangat menggemaskan. Aku suka bagaimana dia tetap bersemangat untukku meskipun dia tidak peduli pada mobilnya. Aku menyukainya. Tidak kuasa menahan diriku, aku menariknya ke dalam pelukan erat. "You're so lovable."

"Terima kasih," katanya dengan suara teredam.

Aku melepaskannya, dan tersenyum lebar. "Periksa bagian dalamnya. Aku yakin kau akan menyukainya melebihi Maserati."

"Belum tentu. Namun, aku akan menyukainya karena kau menyukainya. Dan aku akui, mobil ini terlihat bagus sekali, mobil ini terlihat indah sekali dari luar."

"Manis di luar, seksi di dalam. Seperti aku."

Dia mendengus. "Bukankah seharusnya sebaliknya?" Membuka pintu, dia masuk ke kursi penumpang di samping pengemudi. "Oh. Kursi yang bagus."

Aku berdiri di sebelah pintu, memperhatikannya. "Kulitnya memiliki kualitas refleksi matahari sehingga tidak akan sepanas kursi kulit biasanya."

Dia menekan lampu di atas kepala sampai menyala. "Sangat berguna. Apa Cara juga memiliki mobil ini?"

"Dengan warna yang berbeda, tapi ya."

"Kalian membawa couple outfit ke level yang lebih tinggi."

Kedua tanganku terlipat di depan dada. "Satu-satunya orang yang ingin kukenakan couple outfit adalah kau, Henley."

Dia mengangkat sebelah alisnya padaku. "Itu hanya bercanda."

"Apa kau masih baik-baik saja kalau aku bertemu dengannya?"

"Ya, kenapa tidak?"

"Kau masih terlihat kesal. Aku menghargaimu yang turut gembira untukku, tapi kau bertindak di luar karaktermu."

Bibirnya menyatu dan dia mematikan lampu, bergeser dari duduknya sehingga dia menghadap ke arahku. "Aku tidak kesal karena itu. Aku juga senang kalau kalian berdua akur. Itu akan membuat semuanya menjadi lebih mudah untuk kita."

"Kalau begitu pertengkaranmu dengan Henry?"

"Kami tidak bertengkar," dia bergumam. "Hanya saja. Well, dia memintaku untuk tidak mengatakan padamu. Dan aku sedang mencoba memutuskan apakah aku akan merusak kepercayaannya padaku, atau menyimpannya darimu."

Aku melangka lebih dekat dengan mobil, lututku bertemu dengan lutut Henley, perasaan sesak di dadaku kembali. "Kenapa? Tentang apa ini?"

"Lee... dan kau. Semua masalah ini."

"Kalau begitu aku harus tahu."

"Henry tidak ingin kau mengetahuinya."

"Aku akan buat dia mengatakannya padaku."

"Tidak," katanya dengan tajam. "Jangan membahas ini dengannya. Aku serius."

Aku mundur mendengar suaranya. "Apa yang membuatnya semarah itu? Kita sedang mencoba untuk memperbaiki situasi."

"Ya, tapi, ugh," dia mengeluh, menjatuhkan kepalanya ke atas kedua tangannya. "Aku tahu aku seharusnya memberitahukannya padamu. Tapi dia memohon padaku untuk tidak melakukannya."

Aku meletakkan tanganku di pundaknya, meremasnya dengan lembut. "Jangan katakan padaku kalau begitu."

Kepalanya terangkat kembali. "Huh?"

"Ini jelas membuat kalian berdua tertekan. Kau tidak harus mengatakannya padaku. Aku tahu ini pasti penting, tapi aku percaya padamu. Aku percaya pada kalian berdua. Kau akan mengatakan padaku ketika aku memang harus tahu, bukankah begitu?"

"Ya," dia langsung mengatakan itu. "Tentu saja."

"Kalau begitu tidak apa-apa. Jangan khawatir soal itu. Katakan pada Henry untuk tidak terlalu stres tentang itu juga. Apa ini sesuatu yang bisa kalian berdua atasi?"

"Aku tidak tahu," dia mengakui. "Tapi kami akan mencoba. Kau dan Lee dan Sebastian sudah punya terlalu banyak urusan. Henry dan aku harus melakukan sesuatu juga."

"Jika kau butuh bantuan, jangan lupa aku akan ada di sini untukmu. Tidak peduli bagaimana pun. Jangan takut dengan reaksiku. Semuanya akan baik-baik saja." Aku mengusapkan tanganku ke rambutnya, melakukan usaha terbaikku untuk membuatnya tenang, bahkan jika diriku sendiri merasa sangat gugup. Apa pun yang terjadi pada Henry. Aku tidak pernah melihatnya seperti itu sebelumnya.

Seolah dia dapat merasakan kerisauanku, Henley menangkap tanganku, menepuk-nepuknya dan meremasnya. "Kau juga. Aku di sini untukmu. Dan mobil barumu. Aku tidak berbohong— ini memang sangat keren."

Mengeratkan genggamanku pada tangannya, aku menariknya keluar dari mobil, mengarahkannya ke pintu belakang ketika aku menutup pintu penumpang. "Mm. Apa aku sudah bilang kalau aku mencintaimu?"

"Mungkin sekali atau dua kali."

Aku menekankan bibirku padanya. "Well, aku mencintaimu."

"Lebih dari mobil barumu?"

"Jangan besar kepala. Kita baru saling kenal selama beberapa bulan."

Dia mengernyitkan hidungnya dengan menggemaskan dan aku menekankan beberapa ciuman di sana sampai dia menarikku untuk mencium bibirnya. "Ciumanmu membuatku merasa lebih baik," katanya.

"Itu bagus. Aku punya banyak. Gratis."

"Meskipun aku ingin berdiri di sini dan berciuman denganmu, aku tidak ingin Henry kembali dan mengalami trauma. Apa kau akan tinggal untuk pizza? Kita punya cukup banyak untuk semua orang."

Aku mengangguk. "Aku akan tinggal. Tapi kurasa aku tidak akan menginap. Aku harus bertemu dengan Sebastian besok pagi."

"Apa yang kalian berdua akan lakukan?"

"Orangtuanya sedang berlibur, jadi kami akan pergi dan melihat jika kami dapat menemukan bukti di file-file milik ayahnya."

"Dia punya akses untuk semua file itu?"

Aku tersenyum miring. "Oh, Sebastian punya caranya. Dia berasal dari keluarga yang licik lagi pula."

"Aku tidak yakin apa aku ingin tahu caranya itu."

"Tidak ada yang terlalu ilegal, jangan khawatir. Apa kau akan bekerja besok? Aku bisa mengantarkanmu ketika kami sudah selesai."

"Oh, tidak. Bosku memintaku untuk datang. tapi Lee akan menginap dan Brandon harus bekerja besok pagi-pagi sekali, jadi kubilang tidak aku bisa tinggal di sini dengannya."

Aku diam sejenak. "Apa kau bilang Lee akan menginap di sini?"

"Oh. Ya. Benar."

"Untuk alasan apa?"

"Untuk berkumpul dengan Brandon," katanya dengan mudah, tapi sekali lagi dia menghindari mataku. "Mereka ingin bermain videogames atau apa pun yang dilakukan laki-laki yang sudah dewasa."

Kekhawatiran muncul. Henley mencoba untuk memainkannya dengan memutar bola matanya, tapi itu sudah terlalu terlambat. Apapun yang terjadi yang tidak kusadari adalah sesuatu yang besar. Aku hanya harus percaya pada Henley dan Henry akan mampu mengatasinya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro