Bab 45
Sementara Sebastian dan Lee menggali keburukan Mrs. Calloway, Bennett dan aku bersembunyi. Ini biasanya berarti Bennett datang ke rumahku dan kami tidak melakukan banyak hal. Rasanya menyenangkan menghabiskan waktu dengannya, tapi ini sudah hampir terasa seperti berada di dalam penjara. Seolah ada mata yang terus mengawasi kami dan jika kami melakukan langkah yang salah kami akan ditangkap. Rasanya mengerikan apalagi dia juga harus pergi dengan Cara sekali seminggu.
"Bukankah kencanmu malam ini?" tanyaku pada Bennett, yang sedang mencari film di Netflix. Ini masih pukul empat. Apa dia sungguh berencana menonton film sepagi ini?
"Tidak, dia membatalkannya. Aku tinggal di sini."
"Apa kita hanya akan menonton film sepanjang malam?"
Bennett menghela napas. "Tidak banyak yang dapat kita lakukan. Ibuku masih curiga. Pada kenyataannya, aku terkejut dia tidak mencoba menemuimu untuk memastikan dengan matanya sendiri."
"Dia mungkin takut berpapasan dengan Brandon lagi."
"Segera, itu tidak akan terhindarkan."
"Kenapa?"
"Lee tidak memberitahumu? Dia menepati janjinya dengan Brandon. Brandon akan mulai bekerja di hotel kami minggu depan. Lee bahkan mengawasi pelatihannya sendiri."
Aku menggelengkan kepalaku. "Tidak, Brandon juga tidak mengatakan padaku. Apa kau pikir ibumu akan langsung menyadarinya?"
"Tidak, ada terlalu banyak karyawan. Mungkin dia akan tahu jika dia dipekerjakan sebagai manager, atau lebih tinggi, tapi tidak dengan level entry."
"Itu masuk akal. Tapi tidakkah kau pikir kalau ibumu menemukan Brandon dia akan tahu sesuatu sedang terjadi?"
"Mungkin, tapi aku tidak yakin dia akan mengambil langkah untuk melawan Brandon. Bahkan jika dia ingin memecatnya, dia tidak punya kesempatan. Brandon bisa dengan mudah menuntutnya dan aku tidak yakin dia akan membawa Richard ke pengadilan lagi dengannya. Itu hanya akan memberatkannya lagi."
Aku bergumam, menganggukkan kepalaku. "Masuk akal. Walaupun, sebagian dari diriku berharap dia akan melakukannya jadi kita bisa melupakan semua ini. Dan tidak merasa seperti terjebak karena hubungan kita."
Bennett tersenyum dengan lembut padaku. "Aku juga berharap begitu."
"Tapi kau tahu apa yang mereka katakan—hal baik datang kepada mereka yang menunggu. Ayo menunggu kalau begitu."
Bennett mendadak berdiri dari sofa, membuatku terlonjak. Dia menyeringai sedikit dan mengulurkan tangannya padaku, menarikku dari sana. "Aku punya ide," katanya.
"Apa?"
"Ayo pergi."
"Pergi ke mana?" tanyaku ketika dia menarikku ke depan pintu.
Dia berhenti, memakai sepatunya dan menungguku untuk memakai sepatu. "Kita akan pergi ke kencan sungguhan."
"Di mana?"
"Di mana kita bisa tersembunyi. Kota."
Aku memeriksa jam di ponselku. "Ini sudah pukul satu."
"Jika terlalu larut kita bisa menginap di hotel," dia menjawab dengan kasual. "Ayo pergi."
Ide untuk keluar dari rumah terasa lebih menarik daripada kontra karena harus absen dari tempat kerja di hari berikutnya, jadi kami dengan cepat keluar dari rumah dan bergegas masuk ke dalam mobilnya. Bukannya masuk ke kursi pengemudi, Bennett justru mengikutiku ke kursi penumpang. "Kau bisa mengemudi."
Aku mengambil kunci darinya, mulutku menganga. "Apa?"
"Well, kita tidak akan pergi terlalu jauh. Jadi tidak apa-apa."
Jantungku mengepak-ngepak di dalam dadaku dan aku memalingkan wajah dari Bennett, tentu saja wajahku sekarang mulai berwarna merah muda. Bagaimana bisa gestur sederhana ini mempengaruhiku seperti ini? Dia tidak perna menawarkanku mengemudi sebelumnya. Rasanya kami seperti mencapai level kepercayaan yang baru, atau semacamnya. Mungkin aku konyol karena merasa senang dengan ini. Tetap saja, aku merasa bersemangat ketika naik ke kursi pengemudi.
Sesuai dengan kata-katanya, dia menginstruksikan padaku untuk ke stasiun Metro North, yang tidak terlalu jauh. "Apa yang kita lakukan?"
"Naik kereta."
"Kita? Kupikir kau tidak suka dengan transportasi umum."
"Aku ingin mencobanya," katanya, melirik ke area parkir. "Tapi aku sedikit khawatir meninggalkan mobilku di sini."
"Ayo mengemudi saja kalau begitu—"
"Tidak, tidak... ayo cepat sebelum aku berubah pikiran."
Memperhatikannya dengan curiga, aku mengikutinya ke dalam stasiun kereta beratap tinggi. Tempat itu tidak terlalu sibuk dan Bennett tidak perlu menunggu dalam antrian untuk mendapatkan tiket. Untungnya bagi kami, kereta selanjutnya pergi dalam lima menit lagi jadi kami tidak perlu menunggu terlalu lama. Kami pergi ke peron di mana beberapa orang menanti. Bennett terus bergerak gelisah hingga aku meraih tangannya lalu menggenggamnya dengan erat.
"Kau sungguh tidak pernah menggunakan transportasi umum, huh?"
"Tidak pernah. Aku merasa sedikit mual," dia mengakui.
"Tidak apa-apa. Aku sudah menggunakannya berulang kali. Kau akan merasa lebih baik setelah kita naik dan duduk."
Bennett bahkan menarik kerahnya ketika kami naik ke dalam kereta dan mengambil tempat duduk. Aku tidak bisa menahan senyum, walaupun aku merasa sedikit kasihan. Tidak perlu jadi jenius untuk mengetahui kalau dia mencoba ini untukku. "Mau menonton film agar waktu berlalu?"
"Di ponselmu?"
"Yep. Aku punya headphones di dalam dompetku. Apa yang ingin kau tonton?"
Dia berpikir untuk sejenak. "Film apa yang paling digemari orang saat ini? 50 Shades apa? Haruskah kita menonton itu?"
"Bennett... apa kau tahu tentang apa film itu?"
"Tidak. Kenapa? Itu populer kan?"
"Ini. Kenapa kau tidak melihat trailernya terlebih dahulu?" Aku menyarankan, menyerahkan ponselku dan headphone-nya.
Dalam beberapa menit rona merah menyebar di wajahnya dan dia melepaskan headphones-nya, mengembalikan ponsel itu kepadaku. "Aku mengerti sekarang."
"Masih ingin menontonnya?"
"Tidak di tempat umum."
"Tunggu, kau ingin menontonnya di rumah atau di tempat lain? Ini?" tanyaku.
Dia mengangguk. "Laki-laki itu... dia mengingatkanku pada seseorang."
"Menjijikkan, Bennett, tidak. Jika kau mencoba mengatakan kalau dia mengingatkanmu pada dirimu sendiri—"
"Ah, memang begitu."
"Tidak akan terjadi. Setidaknya tidak denganku. Tonton itu sendirian. Aku akan memilih film. Bagaimana dengan Jurassic World? Kau sudah melihat film Jurassic Park, benarkan?"
Tatapan kosongnya mengatakan padaku apa yang perlu kuketahui.
"Berapa banyak hal yang sudah kau lewatkan dalam hidupmu?"
"Lumayan banyak sepertinya."
"Tidak apa-apa. Kau tidak perlu menonton aslinya. Ada dinosaurus di dalam film ini. Dan Chris Pratt. Dan Morgana dari Merlin."
Semua kata-kataku tembus keluar dari kepala Bennett. Laki-laki yang malang. Aku perlu banyak memberinya updated pada budaya pop. Aku menawarkan headphonenya dan meletakkannya satunya lagi ke telingaku, memulai filmnya. Bennett langsung tertarik pada filmnya dan aku bersumpah dia bahkan meneteskan air mata ketika dinosaurusnya mati. Ketika filmnya selesai, kami sudah dekat dengan NYC, dan Bennett tampaknya merasa jauh lebih nyaman.
"Apa akan ada film lainnya?" dia bertanya ketika barisan credits selesai bergulir.
"Kurasa begitu. Film ini cukup berhasil. Aku tidak bisa membayangkan jika tidak ada film lainnya."
"Ketika filmnya keluar, ayo tonton bersama di bioskop."
"Terdengar bagus untukku. Kita bisa menonton film awalnya juga. Aku yakin kita bisa melihatnya secara online di suatu tempat. Atau kita bisa membelinya di Amazon atau sebangsanya."
Bennett mengangguk. "Aku suka itu."
Grand Central dipenuhi oleh orang ketika kami sampai hingga Bennett dan aku kesulitan untuk sampai ke 42nd street. Kerumunan manusia ini membuatku berpikir ulang untuk pergi ke New York City di tengah musim panas pada hari Sabtu. Aku tidak tahu bagaimana kami tidak memikirkan rencana ini. Kota selalu sibuk tentu saja, tapi musim panas artinya jalan-jalan keluarga, jadi bahkan lebih buruk lagi.
"Kita perlu sampai ke 34th street," kata Bennett padaku. "Apa kau bisa mencari tahu bagaimana kita bisa sampai ke sana dengan kereta bawah tanah?"
"Kita bisa berjalan kaki saja," kataku. "Ke mana kau ingin pergi?"
"Kau akan lihat jika kita sudah ada di sana. Mungkin aku harus menghubungi supirku saja."
"Tidak, jika kau tidak ingin berjalan kaki, kita bisa naik kereta bawah tanah. Biar aku unduh Citymapper sebentar," kataku, mengeluarkan ponselku. Setelah mengetik alamat, dan stasiun kereta bawah tanah muncul. "Lewat sini, kita perlu ke B, D, F, atau M. Aku masih memiliki uang di dalam kartu metro jadi kita bisa membaginya."
Bennett mengikutiku dengan patuh saat aku menemukan stasiun kereta bawah tanah. Aku dengan mudah melewati pintu putar, tapi Bennett tidak bisa menggesekkan kartunya dengan benar, dan terlihat malu saat orang lain melewatinya dengan mudah. Aku mencoba untuk tidak tertawa hingga akhirnya dia melakukannya dengan benar lalu tampak enggan untuk menggerakkan bar pintu putar itu.
"Kau bisa berjalan melewatinya saja. Tidak perlu mendorongnya," aku memberitahukan padanya.
Dia menunduk ke arah kedua telapak tangannya. "Kau tidak punya hand sanitizer?"
"Aku tidak punya. Dan kau masih harus naik ke dalam kereta bawah tanah jadi percuma jika membersihkan tanganmu. Ayo pergi."
Saat itu panas sekali ketika berjalan menuruni peron. Aku bisa merasakan butiran keringat terbentuk di keningku. Aku berencana tinggal di dalam rumah Ber-AC milik Bennett, jadi aku menggunakan sweater dan jeans sementara di luar seperti sembilan puluh derajat di luar. Bennett terlihat sama tidak nyamannya. Atau mungkin itu karena kami berada di stasiun kereta bawah tanah, aku tidak yakin. Dia tersandung ke belakang ketika keretanya bergerak dengan cepat, menghembus kemejanya. Sekali lagi, aku menahan tawaku.
"Masuk, masuk," Aku mengantarkan masuk ketika kerumunan orang masuk ke dalam kereta bawah tanah.
Semua kursi sudah terisi dan praktis aku harus memaksa Bennett berpegangan pada tiang. Aku berhasil membuatnya memegang tanganku sementara aku berpegangan pada tiang, yang membuatku memutar bola mataku. Tapi aku harus tetap memujinya, dia melakukannya dengan sangat baik. Sampai dia hampir terjatuh ketika kereta meluncur ke depan. Aku berhasil membuatnya kembali berdiri dengan seimbang dan akhirnya tertawa. "Kau tidak punya harapan."
"Aku tidak mengira akan sebrutal ini."
"Kita akan sampai pada pemberhentian dalam dua menit. It's worth it."
Sesuai dengan kata-kataku, kami sampai pada pemberhentian kami tidak lama kemudian, dan aku membawa Bennett keluar dari kereta. Kali ini dia tidak kesulitan untuk melewati pintu putar karena dia tidak perlu menggesek kartu. Saat kami sudah berada di jalan lagi, Aku melihat ke sekelilingku untuk mengetahui jalan mana yang harus kami lalui, tapi Bennett sudah berjalan pergi, meninggalkanku yang harus berlari mengejarnya. Dia pasti sudah menemukan tempatnya.
Ketika kami berhenti di depan Target, keningku mengernyit.
"Apa yang kita lakukan di sini?"
"Belanja," dia mengatakan kepadaku.
"Apa?"
"Kau akan mendandani aku. Pilih apa pun yang kau ingin dan aku akan menggunakannya."
Aku menatapnya. "Kau serius?"
Dia mengangguk. "Aku ingin melakukan kencan ini seperti yang kau inginkan."
Toko Target raksasa berdiri menjulang di atas kami, tanda terang dari Sephora ada di sebelahnya. Kami benar-benar datang jauh-jauh untuk pergi ke sini? "Aku tidak akan mendadanimu... tapi sebenarnya, ini baik-baik saja. Kurasa ini akan menyenangkan. Apa kau yakin? Aku bisa membuatmu memakai tank top dan celana renang."
"Aku sudah bersiap-siap," Bennett menjawab.
"Aku akan membuatmu terlihat bagus," kataku berjanji, meraih pundaknya dan mendorongnya masuk ke dalam Target. "Kau akan menyadari pesona dari merek toko retail."
Bennett berdiri diam ketika aku menggali sisi pakaian untuk pria, mencoba memutuskan apa yang Bennett harus gunakan. Aku bisa saja menghukumnya dan memilihkan sesuatu yang memalukan, atau mencoba gaya yang mungkin dia suka. Pilihannya sangat sulit. Sebuah kaos Hawaiian berwarna terang memanggil namaku, tapi begitu juga dengan ide untuk menggunakan kaos hitam polos. Atau mungkin...
Sebuah ide menghampiriku. Ini cheesy...tapi siapa yang tidak suka sesuatu yang cheesy? Dan orang seperti apa yang tidak ingin melakukannya pada titik tertentu di dalam hidupnya?
"Tetap di sini sebentar," kataku pada Bennett dan aku menuju ke departemen pakaian perempuan.
Hanya butuh waktu satu menit untukku memutuskan apa yang akan aku lakukan. Aku mengambil sepasang kaos dan celana jeans lalu kembali ke bagian pakaian laki-laki untuk memilihkan pakaian Bennett. Aku menggigit bibirku untuk menahan senyum ketika aku memberikan pakaian itu padanya. "Pastikan mereka muat."
Aku mengikuti Bennett ke ruang ganti, membawa pakaianku sendiri sehingga aku bisa mencoba pakaianku juga. Pakaian itu pas dan aku keluar dari sana, kembali menyusuri bagian pakaian laki-laki, melihat Bennett menarik lengan baju garis hitam dan putih. Dia melihat ke arahku dan aku tertawa, membuatnya memahami keputusanku.
Pakaian yang serasi.
"Kau terlihat bagus," dia mengatakan kepadaku, tersenyum lebar.
"Kau juga. Bagaimana menurutmu? Apa kau menyesal membuatku memilih? Aku selalu ingin menggunakan pakaian yang serasi dengan orang lain."
"Ini sedikit... well ini bagus. Tapi tidakkah kau pikir kita sedikit terlihat seperti perampok bank?" Dia menunjukkan ke arah celana hitam yang aku pilihkan. Memang, dengan kaos hitam dan putih, kami terlihat seperti itu.
"Generasi baru dari Bonnie dan Clyde?" aku menawarkan.
"Apa kau yakin ini pakaian yang kau inginkan?"
Aku merasakan senyumku mulai sedikit menghilang. "Kau tidak menyukainya?"
"Tidak, ini bagus. Aku hanya berpikir kau ingin membuatku memakai pakaian yang konyol berhubung aku membuatmu memakai sesuatu yang kau tidak nyaman waktu itu."
"Jangan khawatirkan itu," Kataku, melambaikan tanganku dengan acuh tak acuh. "Ini sudah menebusnya. Kau terlihat menggemaskan. Dan juga menggelikan. Tapi sangat menggemaskan. Aku suka melihatmu berpakaian sederhana."
Bennett memiringkan kepalanya ke samping. "Sungguh?"
"Oh ya. Tapi aku yakin kau merasakan begitu ketika aku berpakaian bagus. Ini hanya sesuatu yang berbeda. Tapi apa kita akan menggunakan ini sekarang? Bagaimana dengan pakaian kita yang lain?"
Bennett menggaruk lehernya. "Kita bisa meninggalkannya dengan supirku... Aku menghubunginya karena tidak yakin seberapa baik aku akan bertahan dengan kereta bawah tanah. Tapi itu tidak terlalu buruk. Kita bisa memberikannya kepada dia dan mengambilnya lagi nanti."
Aku mencoba untuk berganti lagi dengan pakaian lamaku, tapi Bennett bersikeras tetap menggunakan pakaian baru kami, dan melepaskan tag nya sehingga kasir dapat memprosesnya. Ini membuatku penasaran bagaimana orang lain berpikir kalau kami akan mencuri. Apalagi kami sudah terlihat seperti perampok. Tapi ternyata baik-baik saja, kasir bahkan tidak memberikan kami tatapan aneh. Mungkin orang-orang sering melakukan ini. Ini kota New York.
Berjalan kembali ke jalanan dengan pakaian baru, Bennett berhasil menemukan supirnya, dan kami memasukkan pakaian lama kami ke kursi belakang. Aku meyakinkannya untuk membiarkan supirnya mengantar kami kembali ke Times Square jadi kami bisa memutuskan apa yang akan dilakukan selanjutnya dari tempat yang lebih di pusat.
"Kenapa kau tidak memutuskan tempat untuk kita pergi makan?" Bennett bertanya ketika kami berada di samping toko Uniqlo. "Atau ada sesuatu yang ingin kau lakukan terlebih dahulu?"
"Berhubung kita ada di sini ayo pergi ke toko M&Ms," kataku, merasa sedikit bersemangat oleh keriuhan kota. Meskipun ini penuh sesak, kota ini memberikanmu perasaan tertentu. Seperti adrenalin. Rasanya menyenangkan.
Aku mengarahkan Bennett ke toko dan kami memasukinya, pendingin udara terasa menyenangkan setelah merasakan panasnya udara. Bennett langsung tertegun dengan karakter M&Ms raksasa yang berputar di depan toko.
"Apa kau mau mengambil foto?" tanyaku.
"Tidak. Tapi ini sangat mengesankan."
"Apa kau ingin membuat model dirimu sendiri dan meletakkannya di lobby hotelmu?"
Dia melirik kembali ke arahku, dengan sebuah senyum miring di wajahnya. "Tidak. Aku tidak ingin mengintimidasi tamu kami."
Aku memutar bola mataku. "Ayolah, ayo naik. Aku sudah lama tidak datang ke sini. Aku harus membeli beberapa M&Ms."
"Ada barang dagangan yang menarik di sini," Bennett berkomentar ketika kami naik dengan eskalator. Dia menunjuk ke arah handuk pantai dan kemudian boxer laki-laki.
"Aku pernah membelikan boxer untuk mantan kekasihku di sini," aku berkomentar.
Bennett mengernyit. "Apa kau juga akan membelikanku boxer dari sini?"
"Nah," Aku menjawab, menyenggol samping tubuhnya. "Kau pantas mendapatkan sesuatu yang lebih baik."
Sebuah ekspresi tenang melintas di wajahnya dan dia memalingkan kepalanya dari boxer itu, mengikutiku berkeliling ketika aku memeriksa kotak yang mengadakan event berbeda khusus di M&Ms. Aku hanya ingin yang polos, tapi yang memiliki tulisan New York City juga keren. Bennett melihat-lihat agak jauh dariku dan aku mengambil tabung yang berbentuk hati dengan M&Ms warna merah, pink, dan putih di dalamnya. Ada begitu banyak yang bisa dipilih.
Sekumpulan anak kecil mengelilingiku dan aku memutuskan untuk meninggalkan area agar tidak menghalangi pemandangan. Aku mendatangi kaos bertemakan karakter M&Ms menyesal karena sudah memutuskan apa yang harus dikenakan oleh Bennett di Target. Pasti akan sangat menggelikan melihat dia menggunakan ini. Ada apron dengan gambar karakter dan sarung tangan oven hingga perlu semua keteguhan hati untuk tidak membelinya. Tidak mungkin Bennett akan memakai itu.
Tapi ngomong-ngomong soal Bennett, aku melihat ke sekelilingku, tidak dapat menemukannya. Aku pergi kembali menuruni tangga, tapi tidak bisa menemukannya di sana juga. Apa dia pergi ke luar? Apa kerumunan ini terasa berlebihan baginya? Aku mengintip ke luar dan tidak bisa menemukannya di sana juga. Mungkin dia pergi ke lantai atas? Aku kembali menuju ke dalam dan menaiki eskalator ke lantai dua dan kemudian lantai tiga, lalu melihatnya baru saja melangkah turun dari eskalator, dengan sebuah kantongan di tangannya.
"Bennett!" aku memanggilnya.
Dia melihat ke atas dan melambaikan tangan padaku.
"Tunggu aku," kataku buru-buru, bergegas turun dan mengejarnya di bawah eskalator. "Apa yang kau beli?"
"Sebuah hadiah untukmu," katanya, menyerahkan kantongan itu padaku.
Aku mengambilnya dan menemukan mangkok M&Ms berwarna seperti lautan. "Oh, apa kau mengisinya untukku? Skema warnanya bagus. Terima kasih."
"Aku menentukannya sendiri. Ada pilihannya di atas sana."
Saat kami sudah sampai di lantai bawah, aku melangkah ke samping dan membuka kantongan. Aku mengambil beberapa M&Ms dan melihat ada beberapa butir yang memiliki bentuk hati, dan beberapa dengan tulisan Bennett dan Henley. Aku yakin senyum bodoh terlihat di wajahku ketika aku melihat Bennett dan dia sedikit tersipu. "Aku dapat ide itu dari pasangan yang ada di sebelahku."
"Mereka menggemaskan. Aku menyukai mereka. Sangat cheesy."
"Terlalu berlebihan, bukankah begitu?"
"Tidak mungkin. Tapi aku tidak mau memakan mereka. Mereka terlalu manis. Bentuk hatinya adalah sentuhan yang manis."
"Aku mendapatkan yang lebih besar jadi kau bisa memakan beberapa dan menyimpan sisanya."
Aku membuka tas dan menutupnya kembali. "Pintar. Sekarang aku harus menemukan sesuatu yang sama cheesy-nya untukmu."
Bennett menggelengkan kepalanya. "Tidak. Kau tidak perlu membelikanku apa pun."
"Terlambat," kataku ketika sebuah ide menghampiriku. "Ayo pergi ke luar. Aku ingin mengambil gambar kita."
Kami keluar dari toko dan aku membimbing Bennette kembali ke jantung Times Square jadi kami bisa mengambil gambar dengan menara yang tinggi di belakang kami—gambar paling terkesan turis yang pernah aku pikirkan. Bennett tampak gelisah ketika aku menyerahkan ponselku ke orang asing untuk mengambil gambar kami, tapi berhasil tersenyum dengan benar. Dengan foto di tangan, aku menyeretnya kembali ke tempat di mana M&Ms World berada dan masuk ke dalam toko Hershey, meninggalkan dia untuk menjelajah sendiri ketika aku berjalan menuju ke belakang toko untuk membeli hadiah untuknya.
Aku mengunggah foto kami ke kios yang bisa menyesuaikan gambar cokelat dan membuat bungkusnya manis dengan gambar hati dan siluet kota, gambar kami terpampang di tengah. Aku tidak yakin cokelat jenis apa yang disukai oleh Bennett, jadi aku memilih cokelat susu. Cokelat itu selesai dalam hitungan menit dan aku mengambilnya dari pegawai toko dengan gembira. Ini sama cheesy-nya seperti hadiah darinya. Gambar kami terlihat dengan sempurna pada cokelat bar yang besar.
Aku kembali kepada Bennett yang sedang berada dalam pembicaraan dengan pegawai toko yang sedang memberikan sampel.
"Jadi, menurutmu memberikan sampel itu menghambat atau meningkatkan penjualan?" kudengar dia bertanya pada gadis malang yang sepertinya tidak mengerti kenapa dia bertanya seperti itu.
"Siap Bennett?" aku bertanya dan pegawai itu melihat padaku dengan rasa terima kasih.
"Kau sudah selesai?"
Aku memberikan cokelat bar itu kepadanya. "Ta-da!"
Dia menunduk menatapnya, tanpa ekspresi.
Aku menggigit bibirku. "Kau tidak menyukainya?" Apakah Bennett bahkan suka cokelat? Bagaimana bisa aku tidak tahu hal ini? Dia bahkan tidak perlu memakannya.
"Kau terlihat terlalu cantik di gambar ini," dia akhirnya berkata, menyeringai. "Kau sangat cantik."
Kali ini wajahku memerah. "Diamlah."
"Aku serius Henley. Aku mau membingkainya."
"Ini cokelat bar, kau seharusnya memakannya."
"Aku tidak akan pernah memakan ini," dia berjanji padaku. "Terima kasih."
Ketulusannya membuatku sedikit malu. "Kalau begitu jangan marah jika aku tidak memakan M&Ms itu."
"Hmm, aku mengerti sekarang. Aku tidak akan marah. Apa yang ingin kau lakukan selanjutnya? Apa kau mau makan sekarang atau nanti?"
"Aku lumayan lapar. Kita belum makan siang. Apa kau lapar?"
Dia mengangguk. "Kenapa kau tidak mencari tempat agar kita bisa makan."
"Ramen," dengan seketika aku memutuskan.
"Ramen?"
"Ramen sungguhan. Rasanya sangat enak dan tidak mahal. Aku tahu tempat yang sempurna. Itu tidak jauh dari sini. Walaupun cuacanya terasa sedikit panas untuk sup."
Bennett meriah tanganku. "Tunjukkan arahnya. Aku tidak pernah makan itu."
"Untung kau mengganti pakaian bagusmu. Tidak ada cara mudah untuk makan ramen," kataku sambil menunjukkan arah ke restoran ramen yang tertera di ponselku. "Mereka juga memiliki roti kukus yang sangat enak."
Aku menemukan restorannya dengan mudah, mengarahkan Bennett menuruni tangga yang menuju ke pintu depan. Kami pasti datang pada waktu yang tepat. Biasanya ada sekitar setengah jam atau lebih daftar tunggu, tapi pramusaji saat itu langsung menunjukkan tempat duduk pada kami, staf berseru kencang untuk menyambut kami. Hampir setiap meja terisi dan aromanya lezat. The hostess meletakkan menu di depan kami dan berhubung aku tahu pasti apa yang ingin kumakan, aku memutuskan untuk membantu Bennett mengartikan menunya dan membantu dia memilih sesuatu untuk dimakan.
"Apa kau suka makanan pedas? Yang ini yang terbaik, jika benar begitu. Tapi beberapa orang menikmati yang biasa saja. Itu pork."
"Apa kau pesan yang pedas?"
"Ya, itu kesukaanku."
"Aku akan pesan apa pun yang kau pesan. Aku percaya pada seleramu."
"Aku suka pakaian kalian," pramusaji kami berkata ketika dia mendatangi meja kami. "Manis sekali."
Bennett tersenyum sumringah kepadanya. "Terima kasih. Dia yang memilihnya."
Aku meringis di dalam hati. Ide itu manis dan menyenangkan, tapi cukup memalukan ketika seseorang menunjukkan seperti itu.
"Apa kalian sudah tahu apa yang akan kalian pesan?"
"Ya, kami ingin memesan dua karakamen dan bisakah kami memesan roti kukus hirata?" tanyaku.
Dia mengangguk. "Oke. Dua karakamen dan roti hirata. Bagaimana dengan minumannya?"
"Aku akan memesan air mineral. Bennett?"
"Aku juga pesan air mineral saja, terima kasih."
Pramusaji itu mengangguk. "Baik. Aku akan kembali dengan air mineral dan makanan pembukamu akan datang sebentar lagi."
Obrolan di restoran itu terdengar cukup keras dan aku bertanya-tanya apakah aku seharusnya memilih restoran yang berbeda. Suasananya menyenangkan, tapi tidak begitu pas untuk makan malam yang mesra. Bennett mengambil sumpit dan memisahkannya, berlatih untuk membuka dan menutup mereka.
"Aku terkejut kau bisa menggunakan itu," kataku.
"Aku belajar saat masih kecil. Tapi tidak begitu sering menggunakannya."
"Apa kau pernah melakukan sesuatu yang menyenangkan ketika masih kecil?"
Bennett memikirkan pertanyaanku sebentar. "Aku tidak benar-benar ingat, tapi aku tahu ayahku biasa membawa Lee dan aku ke beberapa tempat. Lee punya ingatan yang lebih baik daripada aku soal itu. Aku ingat pergi memancing, tapi aku tidak merasa senang dengan itu. Gagasan tentang menyakiti ikan untuk berolahraga tidak begitu kuterima dengan baik. Jadi, aku mencoba untuk keluar dari kegiatan itu sesering mungkin."
Aku bertanya-tanya jika aku salah mendengar. Sejak kapan Bennett pernah membicarakan ayahnya? "Kau pernah melakukan hal lain dengan ayahmu?"
"Dia menunjukkan padaku bagaimana caranya melukis, tapi ibuku bilang itu adalah talenta yang tidak berguna, jadi aku tidak begitu serius menekuninya."
Tipikal. Mrs. Calloway bahkan kejam dengan suaminya? Apa aku seterkejut itu? Mungkin. Pasti ada batasan kurangnya kasih sayang, kan? "Ayahmu suka melukis?"
"Ya. Aku tidak tahu apakah kau memperhatikan salah satu lukisan di rumahku, tapi kebanyakan dibuat oleh ayahku."
Aku sadar kalau tidak begitu memperhatikan lukisan di rumah Bennett. Salah satu lukisannya teringat olehku, di kamar mandi kedua. Itu adalah pemandangan sungai Hudson dengan langit kota sebagai latar belakangnya. Kupikir itu dilukis oleh seniman dengan nama yang besar dan dibeli seharga ribuan dolar oleh Bennett. Tidak pernah terpikir kalau itu dibuat oleh ayahnya dari semua orang. "Lukisan yang ada di kamar mandi. Aku suka yang itu."
"Ya, dia membuatnya. Itu salah satu kesukaanku juga."
Sebelum aku dapat berkomentar lebih lanjut, roti kukus yang hangat datang. Mereka terlihat dan beraroma sangat lezat. Aku harus mendorong Bennett untuk mengambilnya dengan tangan kosong. "Makanlah seperti memakan hamburger. Mereka memberikan kita tisu untuk membersihkan tangan, lihat? Kau bisa membersihkan tanganmu sehabis itu."
"Apa ini?" dia bertanya. "Pork?"
"Ya. Serta selada dan semacam mayonaise. Rasanya enak. Apa kau pernah makan roti kukus sebelumnya?"
Dia menggelengkan kepalanya sebelum dengan berani menggigitnya, memegang rotinya erat-erat dan membuat saus tumpah ke tangannya. Aku memperhatikannya saat dia mengunyah dan menelan. Matanya melebar sedikit. "Ini enak sekali."
"Lihatkan? Sedikit berantakan, tapi ini bagian dari pengalamannya."
Ramen kami datang tepat setelahnya dan aku mengajari Bennett bagaimana menangkan mienya dan menyeruputnya. Dia terlihat ragu saat memasukkan mie ke dalam mulutnya, tapi setelah beberapa dorongan dia melakukannya. Setelah menelan, Bennett terbatuk, menutupi mulutnya sementara matanya berair. "Ini pedas."
"Aku sudah katakan padamu. Bukankah itu enak?" tanyaku, memakan punyaku sendiri. "Ugh, ini lebih baik dari yang aku ingat."
Bennett mengambil sendoknya dan mengambil daging, lalu mencicipinya. "Ini menarik. Aku menyukainya. Kuharap aku memiliki garpu. Aku ingin memotong mienya."
"Gunakan sendok untuk memotongnya. Kau bisa minta garpu jika kau mau. Tapi pengalamannya adalah makan dengan menggunakan sumpit. Jika kau bisa mengatasinya."
"Ada bagian putih di kaosku. Aku tidak ingin mengotorinya."
"Kita bisa mencucinya. Tapi lakukanlah apa yang membuatmu nyaman. Banyak orang memakannya dengan garpu," kataku, minum seteguk air besar untuk membantuku mengatasi rasa pedas dari ramennya.
Bennett dengan keras kepala kembali menggunakan sumpit, akhirnya menemukan cara untuk mengangkat mienya tanpa membuat berantakan. Di akhir makan, hidung kami berdua berair, dan kening kami berkeringat. Aku memesan makanan penutup jadi kami bisa mendinginkan diri sebelum kembali ke cuaca yang panas di luar.
"Apa yang harus kita lakukan setelah ini?" tanyaku, menarik makanan penutup lebih dekat kepadaku ketika Bennett mengatakan kalau dia tidak menyukainya.
"Sebenarnya aku punya rencana jika kau tidak keberatan. Aku tahu aku sudah mengatakan kalau kau yang memutuskan apa yang kita lakukan hari ini."
"Aku tidak keberatan. Kemana kita pergi?"
Bennett menggelengkan kepalanya. "Aku mau merahasiakannya sampai kita sampai di sana. Tempatnya sangat bagus di malam hari, jadi kita harus menemukan sesuatu untuk dilakukan sementara itu. Kita bisa pergi ke beberapa toko."
Penasaran, aku menghabiskan sisa makanan penutupnya ketika pelayan meletakkan bill-nya. Bennett segera memberikan kartunya. Aku tidak mau repot-repot protes. Terkadang tidak apa-apa menerima kebaikan orang lain. Khususnya ketika mereka itu adalah kekasihmu. Kekasihmu yang kaya raya.
Kami kembali ke Times Square dan menjelajah ke seluruh toko. Tempat itu sangat ramai, jadi aku tidak berpikir salah satu dari kami mencari dengan sangat keras. Tapi tetap menyenangkan. Aku tidak bisa mengingat kapan terakhir kali merasa sangat senang. Dan menilai dari apa yang terlihat di wajah tenang Bennett, dia juga merasakan hal yang sama. Rasanya menyenangkan dapat keluar dari semua drama.
Saat matahari mulai terbenam, Bennett memanggil supirnya, memilih untuk diantar dengan mobil untuk pergi ke mana pun yang sedang kami tuju daripada harus kembali naik kereta bawah tanah. Ketika kami sampai di hotel aku memberikan Bennett tatapan datar.
"Oh. Ini bukan apa yang kau pikirkan," katanya, alisnya melengkung. "Bukan hotel alasan kita datang kemari."
"Itu mengecewakan."
Komentarku hampir membuat alisnya menghilang ke stratosfer. Boys.
Kami masuk ke dalam hotel dan Bennett mengarahkanku ke elevator pada sisi kanan, dijaga oleh dua laki-laki berotot. Apa kami akan pergi ke klub? Aku melirik ke arah Bennett, yang berjalan lurus ke arah penjaga dan menjabat tangannya. "Halo, Levon. Bagaimana kabarmu?"
"Tidak terlalu buruk. Sudah lama aku tidak melihatmu belakangan ini. Hanya kau dan teman kencanmu?"
"Ini kekasihku, Henley. Aku harap kami bisa lulus dari aturan berpakaian."
"Kekasih?" tatapan Levon berpindah ke arahku. Dia mengangguk setuju. "Aku tidak pernah berpikir kalau suatu hari nanti akan melihat Bennett mendapatkan kekasih. Kau pasti orang yang sangat sabar."
Aku tertawa. "Dia tidak seburuk itu." Tidak lagi, aku menambahkan di dalam hari.
Levon terkekeh kembali. "Kalian bisa masuk. Sekarang sedang tidak begitu ramai jadi kalian dapat menemukan tempat yang bagus."
Bennett berterima kasih padanya dan bersama kami masuk ke dalam elevator. Naik ke lantai yang terasa seperti lusinan lantai sebelum akhirnya berhenti dan kami masuk ke dalam area bar. Tempat itu sangat berkelas dan bagus, dengan sofa kulit mewah di area tengah. Ada beberapa orang di bar, berpakaian bagus. Tidak heran Bennett bertanya jika kami dapat lolos syarat berpakaian. Kami tidak berpakaian bagus sama sekali.
"Ke sini, Henley," kata Bennett, meraih tanganku dan mengarahkanku menjauh dari bar.
Aku berbalik dan mulutku membuka ketika melihat pemandangan yang dimiliki bar melalui kaca jendela di lantai dan langit-langit. Itu sangat menakjubkan. Kami melewati pintu ganda menuju ke teras bar. Pemandangannya sangat indah. Dengan matahari yang terbenam di latar belakangnya, terlihat seperti latar sempurna untuk adegan film. Aku mengeluarkan ponselku untuk memotret beberapa gambar dan Bennett memperhatikanku dengan senang.
Terdapat kolam kecil yang menuruni hamparan teras, naik dari bawah. Di sampingnya ada perapian yang terlihat futuristik dengan beberapa orang yang duduk di sekitarnya. Tempat ini sangat tinggi, jadi sedikit lebih dingin, tapi duduk di depan api tetap tidak terdengar bagus untukku. Orang-orang tampaknya nyaman, dengan koktail di tangan mereka.
"Mau minuman?" Bennett bertanya. "Ayo duduk di meja. Pemandangannya akan lebih baik setelah matahari terbenam."
"Aku bertaruh begitu. Tempat ini sangat keren! Apa kau sering datang ke sini?"
"Tidak terlalu belakangan ini, tapi Sebastian dan aku biasanya datang ke sini tiap kali kami pergi ke kota," dia menjawab, berhenti di salah satu sofa kulit dan memberi isyarat padaku untuk duduk.
Kami tetap mendapatkan pemandangan yang sempurna dari kota ketika aku duduk di sofa, aku menghela napas. Sofa ini sangat nyaman. Bennett masih belum selesai, menawarkan diri untuk membelikan sesuatu yang bisa kami minum. Ketika dia kembali duduk di sampingku, pahanya bersentuhan denganku.
"Aku memilih koktail untukmu... aku teringat apa yang terjadi dengan anggur."
Aku berpura-pura marah ketika mengambil minuman darinya. "Sebagai pembelaanku, kau yang membuatku minum sebanyak itu."
"Maafkan aku tentang itu. Aku tidak tahu kenapa aku tidak sadar betapa buruknya aku sebagai teman kencan," dia mengakui, menyesap minumannya. Itu terlihat seperti whisky, tapi aku tidak yakin.
Aku beringsut lebih dekat kepadanya. "Well, jika ini dapat membantu, hari ini sepuluh kali lebih baik. Kencan buruk itu layak untuk membuat ini terjadi."
Dia menciumku di kening, bibirnya dingin karena minumannya. "Aku senang mendengar itu. Aku juga menikmatinya."
"Aku harap kita bisa menyelesaikan semuanya dengan ibumu secepatnya. Menyenangkan rasanya seperti ini setiap hari."
"Kita bisa kawin lari."
Aku menoleh ke arahnya. "Apa?"
Dia menyeringai. "Hanya bercanda."
Aku mendorong pundaknya, hampir membuatnya menyemburkan minumannya. "Oh— maaf. Kau sering melucu sekarang."
"Hmm kurasa kau membawa sisi konyol dari diriku."
"Apa itu hal yang baik?"
"Kurasa begitu."
"Aku membencimu."
Bibir Bennett melengkung ke atas. "Aku mencintaimu."
Aku menekankan bibirku menjadi garis tipis, tapi tidak bisa menahan diri agar tidak tersenyum kembali. "Aku juga mencintaimu. Aku tidak ingin kembali ke rumah."
"Kalau begitu tidak perlu. Kita bisa tinggal di sini malam ini. Kita akan pulang ke rumah besok. Aku yakin kita bisa menemukan kamar dengan Jacuzzi."
Aku menghembuskan napas panjang, menyandarkan kepalaku di pundaknya. "Kau sungguh tahu bagaimana mengatakan kata yang tepat."
Dadanya bergetar karena tawa. "Itu karena kau sangat menyukai Jacuzzi lebih dari aku."
"Belum pasti. Aku tidak akan memilikinya tanpamu."
"Kau pintar dan teguh. Kau akan mendapatkan pekerjaan yang bagus dan uang yang cukup untuk membeli bathtub milikmu sendiri nanti."
Aku mengangkat kepalaku dan memperhatikannya. "Apa maksudnya itu?"
Matanya melebar. "Itu terdengar salah. Maksudku—"
"Aku hanya bercanda. Kau benar. Suatu hari aku akan memiliki lima Jacuzzi."
"Itu mimpi yang bagus untuk dimiliki." Dia mengangkat tangannya dan aku kembali ke sampingnya, tangannya terulur ke sepanjang pundakku.
"Apa mimpimu?"
Bennett memandang pada kejauhan lanskap kota. "Hmm. Itu sulit untuk dikatakan. Aku biasanya berpikir aku tidak akan pernah bisa bebas dari ibuku. Aku akan selalu di bawah kendalinya. Aku harus selalu melindungi Lee. Tapi sekarang... aku tidak tahu."
Aku bermaksud membuatnya menjadi pembicaraan yang serius, tapi aku tetap meraih tangannya yang bebas dan meremasnya. "Kau punya banyak waktu untuk memikirkannya."
"Well, setidaknya aku bisa mengatakan satu mimpiku telah menjadi kenyataan."
Aku menunggu kalimat cheesy darinya. Tidak peduli betapa noraknya kalimat ini, aku tahu itu akan membuatku senang. Apa yang salah dengan cheesy? Tidak ada. Aku menggigit bibirku dan menunggu dengan penuh harap.
Mata Bennett berbinar. "Cara telah mengenalkanku dan aku akan membeli BMW model terbaru minggu depan."
Well. Aku seharusnya mengharapkan itu.
__________________
Terimakasih banyak sudah membaca! ~ Jordan
Twitter & Instagram: @ JordanLynde_
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro