Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 4

Bennett

Hook, line, and sinker.

Ketika aku mengatakan penawaranku dan melihat wajah Henley berubah kosong, aku tahu kalau sudah memenangkan dirinya. Lagipula uang bisa membeli semuanya.

"Jadi apa persyaratannya?" dia bertanya dan aku menemukan diriku tersenyum lebar.

"Mari diskusikan persyaratannya, oke?" aku menyarankan. Kubuka kunci layar ponselku, dan menunjukkan perjanjian yang sudah aku susun selama seminggu.

Sebastian berdiri dari balik meja, memutuskan untuk memberikan kami privasi. Dia pergi ke arah meja konter dan aku langsung merasa kasihan pada gadis lain tadi, Ariana. Dia pasti akan merayu gadis itu hanya untuk membuatnya menggeliat tidak nyaman. Sebastian memang adalah tipe pria seperti itu.

Henley memperhatikan dengan waspada dan aku hampir bisa melihat pergulatan batin yang dia miliki. Sementara aku tidak menyalahkannya karena kesulitan untuk setuju dengan kesepakatan ini, aku tidak melihat banyak kesalahan di dalam perjanjian ini. Kami saling memanfaatkan satu sama lain. Dan begitulah semua perjanjian bisnis bekerja.

"Tidakkah kau berpikir sepuluh ribu itu terlalu banyak?" dia bertanya.

"Tidak sama sekali," aku menjawab dengan jujur. Jika aku harus jujur, aku bahkan ragu akan menyadari uang itu hilang dari rekeningku. Dan karena tidak ingin bersikap kurang sopan, aku hanya menyimpan pikiran itu untuk diriku sendiri.

Henley meloloskan suara tawa kecil yang lebih terdengar seperti helaan napas. "Baiklah..."

"Aku memiliki dasar-dasar perjanjiannya di sini," aku memulai, meletakkan ponselku ke atas meja dan mendorongnya ke arah Henley. "Bacalah dan beritahu kepadaku jika kau ingin mengubah sesuatu."

Dia mendorong ikal rambut pirangnya agar tidak menghalangi wajahnya, lalu memeriksa ponselku. "Kau menulis perjanjiannya?"

"Ini perjanjian bisnis," aku mengulangi. "Kita sebaiknya melakukan ini dengan cara yang benar. Aku sudah menguraikan apa yang harus kita lakukan bersama. Kita akan saling bertemu beberapa kali dalam seminggu. Aku ingin menjadi semeyakinkan mungkin. Semua kebutuhan moneter akan ditangani olehku, seperti misalnya, makanan, perjalanan, pakaian."

Kepalanya mendadak kembali terangkat. "Pakaian?"

Aku mengangguk. "Aku akan membeli pakaian yang dibutuhkan untukmu."

"Um, kenapa dengan pakaianku?"

"Jika kau punya gaun, aku juga akan memeriksa mereka, jika menurutku tidak cocok aku akan membelikanmu pakaian yang lain."

Ekspresinya menjadi defensif dan aku berusaha tersenyum. Aku sadar hal ini akan terjadi. Kenapa orang-orang memiliki masalah dengan orang lain yang membelikan mereka barang, aku tidak tahu. "Kenapa? Apa aku tidak terlihat cukup kaya untuk bersamamu?" katanya dengan sarkastik.

"Ya," aku menjawab karena itu memang kenyataanya. Lalu sebelum dia bisa bicara lebih banyak lagi aku segera menambahkan, "Aku tidak mencoba untuk membuatmu tersinggung, tapi kita ingin mengelabui ibuku untuk berpikir kau datang dari kelas atas. Aku tidak mengatakan ada yang salah denganmu, Henley. Seperti yang kau katakan aku tidak tahu apa pun tentang dirimu. Tetapi, aku tahu ibuku dan dia tidak akan ragu untuk ikut campur dalam urusan kita jika dia tidak percaya kau menghasilkan angka yang banyak dalam setahun."

Henley mengerucutkan bibirnya, terlihat sedikit malu. Aku tidak tahu kenapa dia merasa malu. "Aku tidak tahu."

Apa dia berencana untuk mengubah pikirannya lagi? "Kita tidak perlu sering berinteraksi dengan ibuku." Aku berencana untuk membuat kesempatan itu sangat terbatas. Aku sendiri bahkan tidak ingin sering berinteraksi dengan ibuku.

"Jika memang harus, aku ingin membeli barang-barangku sendiri," katanya padaku.

Keningku mengkerut sedikit. "Aku yakin kau tidak punya uang untuk dihabiskan, jadi jangan khawatir soal itu."

Pipinya kini berwarna merah muda. "Jika kau terus membuat komentar tentang betapa miskinnya aku, aku tidak akan setuju dengan rencana ini. Lagipula aku bukan tunawisma ataupun kelaparan."

"Kau bekerja untuk dua pekerjaan," kataku.

"Ya, supaya aku tidak menjadi tunawisma dan kelaparan," dia membentak kembali kepadaku. "Aku menghasilkan cukup uang untuk hidup. Hanya tidak cukup untuk hidup mewah sepertimu."

Aku terlonjak sedikit di kursiku, saat melihatnya. Dia gadis yang cukup bersemangat. Aku menyukainya. "Berapa usiamu?"

Mulutnya hampir menganga. "Benar sekali! Kau bahkan tidak tahu usiaku! Bagaimana kalau aku di bawah umur? Kau bahkan tidak berpikir soal itu, benarkan?"

"Aku tahu Michelangelo's tidak akan memperkerjakan seseorang di bawah umur, jadi aku tahu kau setidaknya berusia dua puluh satu tahun." Dia terlihat masih belia, aku yakin dia tidak akan lebih tua dari dua puluh satu tahun.

"Berapa usiamu?"

"Usiaku dua puluh lima tahun, akan jadi dua puluh enam di tahun ini," aku menjawab.

"Saat natal," dia berkata.

Aku terkejut dia ingat. Hal itu membuatku merasa sedikit hangat di seluruh tubuhku. Biasanya hanya satu orang yang ingat yaitu sekretaris ibuku. "Paling banyak perbedaan usia kita hanya empat tahun, perbedaan yang cukup umum."

Dia menekankan bibirnya ke satu sisi wajahnya dan membuang muka dariku. Aku menyesap kopiku, menikmati rasa masam di lidahku. "Apa kita perlu berciuman?" dia mendadak bertanya, kembali menoleh ke arahku.

"Karena itu hal yang biasa dilakukan pasangan, ya."

Matanya membulat. "Mungkin ini bukanlah ide yang bagus."

Apa dia begitu khawatir dengan ciuman? Ciuman bukan apa-apa. Aku meraih tangannya—mengingat betapa lembutnya tangan itu—dan dengan cepat menekankan ciuman di sana. "Ini tidak seburuk itukan?" tanyaku dengan senyum.

Dia tampak terkejut untuk sesaat, pipinya sedikit bersemu. Dia kemudian mengusap tangannya ke apron yang dia pakai.

Aku mengangkat satu alis. Kenapa dia harus bertindak sejauh mengusap tangannya? Banyak orang yang menginginkan ciuman dariku. "Aku tidak akan menciummu lebih dari apa yang dibutuhkan," aku berjanji. Walaupun aku tidak keberatan untuk menciumnya lebih sering. Dia lucu dan terlihat cukup bersih. "Terutama di depan kerabatku jika kita bertemu dengan mereka."

"Kau sudah memikirkan ini dengan sangat baik," dia bergumam.

"Aku tidak ingin menikahi seseorang yang tidak aku cintai," kataku. Separuh jujur. Aku juga tidak ingin menikah titik, tapi mungkin akan mencobanya demi aspek romantis.

Mengangguk dengan pelan, dia mendorong ponselku kembali kepadaku. Aku tahu dia belum membaca semuanya, aku tidak mengatakan apa pun. "Aku tidak tahu bagaimana kehidupanmu, tapi menurutku seharusnya tidak ada orang yang dipaksa menikah dengan orang lain. Aku juga butuh uang, jadi aku akan membantumu."

Sempurna. Aku tahu dia tidak akan bisa menolak untuk waktu yang lama. Tawaranku lebih dari baik. Aku mungkin bisa menemukan orang lain dan membayar mereka dengan uang yang lebih sedikit dari apa yang kutawarkan kepadanya. Tapi aku tidak ingin orang lain. Dia adalah kandidat yang sempurna. Aku tidak keberatan menghabiskan lebih banyak uang.

"Tapi dengan syarat."

Ini tidak mengejutkan. Selalu saja ada syarat.

Dia mencondongkan sedikit tubuhnya ke arahku, sebuah taktik yang kugunakan untuk terlihat menarik di depan seseorang. "Ketika apa yang ada di rencana ini dilakukan kau akan bilang kepada orang lain kalau aku memutuskanmu, bukan sebaliknya," dia menjelaskan.

Aku mendapati diriku mencondongkan tubuh ke arahnya juga, tapi dengan cepat menegakkan punggungku. "Kenapa?"

"Hmm, sesutu tentang gadis miskin yang memutuskan hubungan dengan pria kaya sedikit menarik bagiku," dia menjawab, senyum geli melintas di wajahnya.

Aku mengangguk. "Kurasa aku bisa setuju dengan ketentuan itu." Ini juga akan jadi lebih mudah untuk dijelaskan kepada ibuku kenapa aku begitu patah-hati kalau kau yang "memutuskan" hubungan. "Tapi kau harus setuju dengan satu syarat dariku."

"Apa itu?"

"Kau sama sekali tidak boleh jatuh cinta padaku," kataku, menahan tatapannya.

Mata cantiknya melebar karena kata-kataku tapi juga dengan cepat menyipit. "Percayalah padaku, itu tidak akan jadi masalah. Kau bukan tipeku. Aku seharusnya yang mengatakan kepadamu untuk tidak jatuh cinta padaku." Dia mengibaskan rambutnya kebalik pundak pada kalimat terakhir, mengangkat dagunya dengan tinggi.

Aku bukan tipenya? Aku tipe semua orang. Kenapa dia menjadi sangat arogan? Aku menemukan diriku melipat tangan di depan dada. "Kau tidak masuk dalam standarku."

Dia mengangkat satu alisnya dan sedikit tersenyum. "Kalau begitu bagus. Maka tidak akan ada masalah."

Kenapa dia terdengar begitu percaya diri? Dia tidak menganggapku menawan sama sekali?

Itu hal yang bagus, kataku pada diri sendiri.

Tapi tetap saja, aku ingin dia menganggapku sedikit menawan.

"Tanda tangani perjanjiannya," kataku, mendorong kembali ponselku kepadanya. "Tepat di bawahnya."

"Apa ini benar-benar perlu?" dia bertanya, tapi tetap menggeser jarinya.

Puas, aku mengambil ponselku kembali. "Hanya sebagai tindakan pencegahan. Aku ragu kau akan mundur. Percaya atau tidak, aku kekasih yang cukup baik. Berpura-pura ataupun sungguhan."

"Aku yang akan menilai semua itu," dia menjawab.

"Masukkan nomorku ke dalam ponselmu dan simpanlah. Nomor pada tanda terima itu adalah nomor ponselku dan dengan itulah aku bisa dihubungi. Aku ingin kau mengirimkan kepadaku jadwal pekerjaanmu jadi aku bisa menyesuaikannya. Aku juga ingin kau menuliskan alamatmu, nomor rekening, dan ukuran tubuhmu," aku menjabarkan, mencoba untuk mengingat setiap hal penting.

Dia memperhatikanku dengan ekspresi khawatir dan aku berhenti, menunggunya untuk berkomentar. Aku tahu dia ingin mengatakan sesuatu. "Ukuran tubuh?" katanya dengan pelan.

"Jadi aku bisa menemukan ukuran pakaian yang pas untukmu," aku menjawab. Mataku mengamati tubuhnya. Dia sepertinya memiliki tinggi sekitar lima kaki dan mungkin empat atau dan mungkin empat atau lima inci. Bertubuh sedang, pinggang yang ramping, dan dada yang sepertinya sedikit terlalu besar untuk ukuran tubuhnya. Aku tidak akan bisa memperkirakan ukurannya.

Dia bergeser dan mataku tertarik kembali ke wajahnya. "Aku tidak menginginkan pakaian yang seperti, dibuat khusus untuk ukuran tubuhku, jika itu apa yang kau maksudkan. Pakaian dari Target sudah cukup."

Pakaian dari toko retail? Apa itu yang dia kenakan? Mungkin itulah kenapa dadanya seperti terdorong ke kemeja putih yang dia kenakan dengan sangat ketat. "Kau tidak bisa terlihat bersamaku dengan pakaian dari Target. Dan jika pakaianmu disesuaikan dengan ukuran tubuhmu, dadamu tidak akan berusaha keluar dari atasan yang kau kenakan seperti sekarang. Mereka sedikit lebih besar dari yang biasanya untuk bentuk tubuhmu," Aku memberitahukan kepadanya dengan bijak.

Mulutnya menganga dan pipinya berubah merah. Dia membuka dan menutup mulutnya untuk sesaat, seperti kehilangan kata-kata. "Keluar," Dia akhirnya berkata.

"Maaf apa?"

"Keluar!" dia mengulanginya, suaranya naik beberapa tingkat.

Aku sedikit meringis. "Kenapa—"

"Pergi," dia menyela, berdiri dari mejanya dan menarik kerah bajuku menyeretnya.

Sedikit tertegun, aku dengan cepat mengambil ponselku dan membiarkan dia menyeretku bangkit dari kursi. Dan kemudian aku teringat berapa harga baju yang kukenakan dan aku membuat dia melepaskannya. Dia kemudian memutuskan untuk mendorong punggungku ke arah pintu. "Apa?" aku bertanya, menolehkan kepalaku ke belakang untuk melihatnya.

Dia melotot ke arahku. "Pergilah. Kita selesai untuk hari ini."

Sebastian datang ke arah kami, terlihat sama bingungnya seperti apa yang aku rasakan. Henley menghembuskan napas marah ke arahku dan menunjuk ke arah pintu. "Keluar."

"Kenapa?" aku mengulanginya, sedikit penghinaan terdengar di suaraku.

Sebastian meletakkan tangannya ke pundakku. "Ayo kita pergi saja untuk hari ini."

"Tapi kenapa?" aku mencoba lagi, tapi Sebastian sudah mendorongku keluar dari pintu. Pintu itu tertutup di belakang kami dengan suara yang keras dan dentingan bel.

Setelah berada di luar, aku merapikan kemejaku, bergumam pelan. Tidak ada seorangpun yang pernah mendorongku seperti itu seumur hidupku. Dari mana Henley bisa berpikir dia memiliki hak untuk melakukan itu?

"Apa yang kau katakan padanya?" Sebastian bertanya.

Aku berbalik untuk melihatnya. Dia pikir ini semua adalah salahku? "Aku tidak mengatakan sesuatu yang buruk. Aku hanya bilang kalau dia tidak seharusnya berbelanja pakaian di Target dan kalau dadanya terlalu besar untuk kemeja yang dia pakai, itu terlalu ketat."

Sebastian nyaris langsung tertawa.

"Apa?" aku bertanya.

Dia menggelengkan kepalanya, meletakkan tangan ke mulutnya, mencoba untuk meredam tawanya.

"Apa?" kataku lagi, sekarang mulai kesal.

"Aku tahu pasti ada alasan kenapa kau adalah sahabatku," dia menjawab, menepuk-nepuk tangannya ke pundakku. "Ayo kita pergi saja untuk hari ini."

Masih bertanya-tanya apa yang salah, aku berjalan ke arah mobilku, suara dari tawa Sebastian mengikuti dibelakangku. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro