Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 35

Henley

What. The. Hell.

Aku menatap ke luar jendela mobil, jantungku berpacu. Kata-kata Bennett terngiang di telingaku— aku mencintaimu, aku mencintaimu, aku mencintaimu. Kenapa dia mengatakan itu? Bagaimana bisa dia mengatakan kalau dia mencintaiku ketika dialah yang memutuskan hubungan kami? Kenapa memintaku untuk tetap tinggal ketika beberapa jam yang lalu dia menyuruhku untuk pergi? Apa aku hanya bisa mengikuti perubahan suasana hatinya? Baik itu karena perbuatan ibunya atau tidak, kenapa aku harus diseret-seret?

Tanganku mengepal menjadi tinju. Ini tidak adil untukku. Bennett mengatakan kalau dia sudah membuat pilihan. Dia membuatnya cukup jelas. Aku merasa lumayan bingung. Aku terus mengatakan kepada diriku untuk menetapkan kata-katanya sebagai ocehan orang mabuk, tapi ada bagian dari diriku menginginkan itu menjadi kenyataan. Bagian yang paling bodoh, dan menyedihkan dari diriku.

"Apa kau baik-baik saja, Henley?" tanya Henry dengan pelan.

"aku tidak tahu," kataku dengan jujur. "Aku tidak yakin jika kau menyadarinya tapi aku tidak baik dalam hal, kau tahu, perasaan."

"Apa kau mau membicarakannya?"

Bibirku berkedut, mematahkan emosiku. Henry adalah orang yang terlalu baik. "Aku menghargainya, tapi aku sungguh hanya ingin sampai ke rumah dan mengganti pakaian. Aku akan meminta Ariana mengantarkanku ke tempat mobilku terparkir besok, jadi kau bisa mengantarkanku ke apartemenku saja."

"Oke."

Aku ragu-ragu untuk sesaat. "Kau akan kembali ke rumah Bennett benarkan?"

Aku tidak dapat melewatkan senyum yang mengembang di wajahnya. "Aku akan kembali. Khususnya karena kau terdengar sangat khawatir."

"Aku tidak khawatir," kataku bergumam, tapi tidak ada keyakinan dalam suaraku. Ketika aku keluar dari rumah Bennett butuh segenap tenaga agar tidak menoleh dan kembali kepadanya untuk memastikan dia baik-baik saja. Dia bisa sendirian selama setengah jam tanpa menyakiti dirinya kan? Jika aku tetap di sana... Aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Henry lebih pas untuk merawat Bennett dari pada aku sekarang.

"Bennett akan baik-baik saja. Ini bukan pertama kalinya dia mabuk berat. Lee dan dia biasanya pergi minum setiap minggu. Dan aku yang harus membawa mereka kembali ke rumah mereka. Kau sudah lihat betapa tinggi tubuh Lee. Bennett lebih mudah untuk ditangani."

Aku mendengus, membayangkan Henrey mencoba membopong Calloway bersaudara. Keduanya sangat tinggi dan ramping, rasanya sulit untuk membayangkan Henry yang kurus bisa mengatasinya.

"Aku yakin ini hanyalah pilihan buruk untuk mekanisme mengatasi masalah. Melihat Lee mungkin mengejutkan bagimu."

Sebuah pemikiran kemudian menghantamku. Jika kupikir Lee sudah meninggal, mungkin— "Apa Bennett tahu kalau Lee masih hidup?"

Henry menatapku sekilas. "Ya... kenapa menurutmu dia tidak tahu?"

Gagasan tentang ibu Bennett yang berbohong padanya tentang Lee sepertinya tidak begitu mustahil. Tetap saja, pasti cukup menyakiti Bennett jika hanya dengan menyebutkan nama Lee saja sudah bisa mengacaukan pikirannya. Tidak heran Sebastian sangat bersikeras agar aku tidak menyebutkannya. Tapi kemudian Bennett melihat Lee tiba-tiba muncul... aku tidak dapat menyalahkannya karena mabuk. Keluarga mereka sangat kacau.

Saat itu sudah setengah jam lewat tengah malam ketika Henry menurunkanku ke apartemen. Menguap, aku tersandung sedikit ketika masuk ke dalam, memastikan untuk mengunci pintu di belakangku. Aku ingin pipis sudah sejak satu jam yang lalu jadi aku bergegas ke kamar mandi, aku memutar bola mataku saat mendengar air yang menyala. Hanya Brandon yang mandi di tengah malam.

"Aku masuk untuk pipis," kataku mengumumkan sambil mendorong pintunya membuka.

Namun, yang tidak kuharapkan saat ini adalah melihat Lee, yang tidak memakai atasan serta kancing celana yang terbuka. Tubuhku membeku, mulutku membuka. Seluruh wajah serta lehernya memerah dan dia dengan perlahan mulai mengancing celananya. Aku sadar kalau masih menatap dan rasanya seperti seember air es telah mengguyurku. Aku berbalik, dengan cepat meninggalkan kamar mandi.

"Maaf!" kataku dari balik bahuku.

Di dalam kamarku yang aman, aku menutupi wajahku dengan tangan, mengerang keras karena malu. Pertama apa pula yang dilakukan Lee di sini? Kedua, kenapa tubuhnya sangat berotot? Ketika, kenapa aku memperhatikan tubuh kakak kekasihku—mantan kekasih? Dan terakhir, ada apa dengan keberuntunganku dan kamar mandi?

Menghela napas, aku melepas bajuku yang basah, melemparkan mereka ke samping pintu. Mereka akan langsung masuk mesin cuci. Air dari shower sudah membersihkannya, tapi mengingat bagaimana muntah itu adalah hal paling menjijikkan yang pernah ada di pakaianmu, lebih baik cari aman daripada menyesal.

Ponselku berbunyi dan aku mengambilnya dari tempat tidurku, melihat pesan dari Henry.

Dia sudah mandi dan tidur. Dan dia hanya mengancam untuk memecatku dua kali. Aku akan tinggal di sini untuk menjaganya malam ini.

Aku memutar bola mataku, tapi juga merasakan ototku lebih rileks. Oke. Dan untuk alasan apa Lee masih berada di sini?

Pesan balasannya masuk seketika. Brandon bilang dia bisa menginap. Kupikir dia sudah menanyakannya padamu...

Brandon? Kapan dia mengatakan itu? Aku bahkan tidak bertemu dengannya satu harian! Bukannya aku terlalu terusik, tapi mungkin kami bisa menghindari insiden kamar mandi jika aku tahu Lee ada di sini.

Pesan lain dari Henry membuat ponselku berbunyi. Maafkan aku. Dia tidak memiliki tempat lain untuk tinggal. Jika dia benar-benar merepotkan aku bisa mengantarnya ke hotel di luar kota.

Tidak, tidak masalah. Hanya saja mengejutkan bagiku. Istirahatlah. Taruhan sepuluh dollar Bennett akan sangat rewel besok pagi.

Dia biasanya memang begitu... ;)

Teringat Lee berada di sini, aku sadar kalau sebaiknya aku tidak berdiri hanya dengan pakaian dalamku. Aku pun mengenakan baju dan celana tidur pendek sebelum mendengar pintuku diketuk. Mengintip ke luar, aku melihat Lee berdiri di sana dengan menggunakan celana panjang dan kaos oblong, terlihat malu. Dia nyaris tidak mengeringkan rambutnya dan tetesan air jatuh ke kain kaos yang dia kenakan, membasahinya. Terlihat jelas betapa dia dan Bennett sangat mirip.

"Er, well..." dia memulai, tidak sanggup menatap mataku.

"Maafkan aku. Kupikir kau adalah kakakku," seruku.

"Tidak, Aku yang seharusnya meminta maaf. Ini rumahmu. Kau seharusnya merasa bebas menggunakan kamar mandi kapan pun kau menginginkannya."

Aku merasa wajahku berubah panas. "Mungkin kau sebaiknya mengunci pintu lain kali."

Rona wajah Lee mengimbangi wajahku. "Aku akan mengingatnya."

Masih harus pipis, aku mohon undur diri dari kamar, senang karena dapat waktu untuk menenangkan diriku. Rumah ini sunyi dan aku mengintip ke dalam dapur saat kembali ke kamarku. "Apa kakakku ada di sini?" aku bertanya pada Lee ketika memasuki kamar.

"Tidak. Sebastian adalah orang yang bicara dengannya di telepon. Dia keluar dengan seseorang. Maafkan aku tapi aku lupa siapa—"

"Mungkin Ariana." Aku meringis di dalam hati. Kasihan Sebastian. Aku penasaran apa Sebastian sengaja meminta Brandon untuk keluar malam ini, bahkan jika itu artinya mengirim dia dengan Ariana.

Lee bersandar di pintu, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana panjangnya. "Apa kau mau bicara? Aku yakin kau punya banyak pertanyaan."

"Aku memang memiliki banyak pertanyaan," kataku setuju. "Tapi aku tidak yakin apakah tindakanku benar untuk mendapatkan informasi darimu dan bukan dari Bennett sendiri."

"Itu tergantung pada apa pertanyaanmu."

"Well, beberapa dari mereka adalah tentangmu."

"Kalau begitu aku akan senang menjawabnya. Anggap itu sebagai pembayaranku karena sudah membiarkanku tinggal di sini."

Sebelah alisku terangkat. "Oh, jadi kau tidak membayar uang sewa?"

Ekspresi Lee membeku, matanya melebar. "Apa aku harus membayar?"

Heh. Dia mudah tertipu sama seperti adiknya. "Aku hanya bercanda. Kau lebih dari diterima untuk tinggal di sini, tapi kenapa tidak tinggal dengan Henry atau Sebastian saja?"

"Ibuku adalah teman dekat orang tua Sebastian jadi jika mereka mengetahui kalau aku ada di sini entah bagaimana, ibuku juga akan mengetahuinya. Dan berhubung Henry nyaris tidak punya ruang yang cukup untuk dirinya sendiri, aku tidak bisa mengganggu dia."

"Dan Bennett?"

"Well, aku tidak yakin jika aku siap menghadapi Bennett," kata Lee dengan senyum sedih. "Aku hanya pergi ke rumahnya untuk menemukanmu."

"Bennett ingin melihatmu."

"Aku yakin dia merasa begitu. Aku terlalu pengecut untuk menemuinya. Hal-hal yang dia hadapi untukku... aku tidak tahu apa yang harus kukatakan padanya," Lee mengakui, memindahkan berat tubuhnya.

Aku memeluk diriku sendiri. Ada apa dengan kedua bersaudara ini? Keduanya memiliki semacam martyr complex. Jelas sekali mereka berdua saling peduli pada satu sama lain, tapi sesuatu menahan mereka menjauh.

Tidak, bukan sesuatu. Ibu mereka. Dia menggunakan salah satu dari mereka untuk mengendalikan yang lain.

Kurasa aku menemukan pertanyaan pertamaku. "Kenapa kau membiarkan ibumu mengendalikan hidupmu sebesar ini"

Jawaban Lee sederhana. "Dia ibuku."

"Tapi kau sudah dewasa."

"Kau sudah pernah bertemu dengan ibuku. Tidak banyak yang bisa kau katakan untuk membantahnya. Dia kejam, tapi dia peduli. Bahkan jika dia tidak menunjukkannya."

"Apa dia yang mengirimmu pergi?"

Lee mengangguk.

"Kemana kau pergi...?" tanyaku dengan pelan, tidak yakin jika pertanyaanku melewati batas atau tidak.

"Pusat rehabilitasi rawat inap di California. Aku berada di sana sejak kecelakaan."

Aku berusaha keras untuk menelan ludah tanpa terdengar. "Kecelakaanmu?"

Dia memiringkan kepalanya ke samping dan meringis. "Well, aku yakin kau tahu. Sebuah kecelakaan yang diinginkan. Aku nyaris tidak mengingatnya, sebenarnya. Aku tahu aku dengan sengaja menabrakkan mobilnya, tapi setelah itu, aku tidak tahu. Aku mengalami geger otak yang cukup buruk jadi mereka bilang akan ada ingatan yang hilang. Aku berada di rumah sakit dan dikirim ke ujung negeri untuk pemulihan. Dan aku belum dipanggil untuk kembali ke rumah."

Aku bergerak-gerak pada tumit kakiku, mendadak merasa tidak nyaman. Mungkin ini terlalu pribadi untuk didiskusikan dengan Lee. Aku tidak tahu apa yang harus dikatakan. Aku menyesal? Aku senang kau baik-baik saja? Dibandingkan dengan situasinya, kata-kata itu terasa kosong, dan menyedihkan. Aku masih ingat ketika Sebastian mengaku kalau Lee telah melemparkan dirinya ke depan mobil—

Pikiranku terhenti. Tunggu. Sebastian bilang sebuah mobil menabrak Lee malam itu. Tapi Lee bilang dia menabrakkan mobilnya? Apa Sebastian tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi? Atau apa dia berbohong padaku? Alasan apa yang membuatnya berbohong?

"Kau tidak perlu merasa berhati-hati di dekatku," kata Lee, meletakkan tangannya di pundakku. "Aku baik-baik saja sekarang. Kau tidak perlu khawatir."

"Bukan karena itu!" kataku dengan cepat. "Maaf, aku hanya mendengar sesuatu yang lain dari Sebastian."

"Tentang aku?"

"Ya. Dia, um, bilang kau melemparkan dirimu ke depan sebuah mobil. Maaf karena sudah membicarakanmu ketika kau tidak ada di sana."

"Well kau pikir aku mati," katanya dengan senyum kecil.

"Haha... maaf."

"Tapi tidak, aku tidak melemparkan diriku ke depan mobil." Alisnya menyatu. "Kenapa dia mengatakan itu? Aku tentu saja ingat semuanya sebelum kejadian itu. Aku berada di dalam mobilku. Dan baru saja meninggalkan pub."

Kepalaku menggeleng. "Tidak, mungkin aku yang salah mendengarnya. Maaf, aku bahkan tidak seharusnya mempertanyakan itu."

"Kenapa kau terus meminta maaf? Kau tidak melakukan kesalahan. Apa kau merasa gugup di dekatku?"

Pipiku menjadi panas ketika Lee mencondongkan tubuhnya ke arahku, mengangkat kedua alisnya. Tentu saja aku gugup! Aku sendirian dengan laki-laki yang tidak begitu kukenal yang ternyata adalah kakak laki-laki misterius Bennett.

"Apa ada lagi yang ingin kau tanyakan padaku?"

"Bolehkah aku mengendarai Maserati milikmu?"

Pertanyaanku berhasil membuat hal yang kuinginkan. Sebuah tawa lepas lolos dari bibir Lee, memecah ketegangan. Dia mengangguk, seringaiannya selebar wajahnya. Aku tersenyum, menikmati ekspresi ringannya.

"Aku senang kau menghargai mobilnya.. Benny tidak begitu senang ketika aku membelinya. Dia penggemar BMW terus menerus."

"Mobilmu jauh lebih baik daripada miliknya." Aku tidak dapat menahan senyum pada nama panggilan yang dipilih Lee. Itu sangat tidak pas untuk Bennett.

"Jangan biarkan dia mendengarmu mengatakan itu. Dia mungkin akan putus denganmu." Lee sedetik lebih lambat saat mencerna leluconnya dan matanya melebar.

"Sekarang adalah saat yang tepat untuk mengatakan padanya kalau begitu, huh?" kataku sebelum dia dapat memperbaiki perkataannya.

"Apa kau sungguh marah padanya?"

"Ya, tapi meskipun aku sangat tidak ingin mengakuinya, aku mengerti dia. Jika aku harus memilih antara Brandon dan Bennett, aku akan memilih Brandon. Kami keluarga. Jadi aku bisa mengerti kenapa dia memilihmu daripada aku. Aku hanya berharap dia dapat menjelaskannya padaku dan bukannya menjauhkanku dari hidupnya."

Lee menghembuskan napas lembut dan bergerak-gerak pada kakinya. Aku sadar kami sudah berdiri beberapa saat jadi aku memberi syarat padanya untuk duduk di meja dalam kamarku. Aku duduk di depannya di atas tempat tidur, melipat kedua kakiku.

"Bennett selalu seperti itu," kata Lee padaku. "Kami selalu diminta waspada pada orang-orang di sekitar kami. Bennett terbiasa dengan itu. Dia tidak pernah menjelaskan dirinya dan dia selalu menyimpan hal-hal untuk dirinya sendiri. Itulah kenapa aku harus kembali. Aku tahu bagaimana dirinya, dan aku tidak ingin dia sampai pada titik sepertiku. Mendengar tentangmu adalah hal yang membantuku membuat keputusan juga."

"Aku?"

Lee menunduk, tangannya mengepal. "Orang pertama yang pernah dia biarkan masuk dan harus dia lepaskan? Bagaimana itu benar?"

"Jadi apa rencananya?"

Dia mengangkat dagunya, matanya berkilau. "Itu yang suka kudenga. Apa kau mau memaafkannya setelah semua ini?"

Aku mengetuk-ngetuk jariku di paha, membuat suara hmm sebelum menyatakan pendapat. "Well, dia perlu banyak meminta maaf, tapi aku akan memaafkannya. Aku sudah memaafkannya."

"Apa kau mencintai adikku?"

Rasanya jantungku berhenti, pertanyaanya benar-benar membuatku tertegun. Keringat menuruni punggungku dan aku menjernihkan tenggorokan, mencoba memberikan waktu pada diriku untuk memikirkan sebuah jawaban.

Aku mencintaimu.

Apa dia serius? Atau dia hanya mabuk? Apa aku mencintainya? Aku tidak yakin. Tapi berhubung aku tidak yakin, apa itu artinya aku tidak mencintainya? Tapi itu kedengarannya tidak benar.

Lee terkekeh dan aku mengalihkan perhatianku kembali padanya. "Konflik dalam dirimu terlukis jelas di wajahmu."

Dan untuk satu milyar kalinya, aku menemukan diriku merona di depan Lee. "Aku-aku rasa aku tidak tahu. Aku belum pernah jatuh cinta sebelumnya, jadi aku tidak yakin..." ucapku panjang, terdengar seperti gumaman. Tuhan, aku merasa seperti anak kecil. Seperti seorang gadis dengan orang yang ditaksirnya untuk pertama kali. Perumpamaan itu tidak begitu jauh, tapi tetap saja terdengar menjijikkan.

"Kau akan tahu," kata Lee dengan percaya diri. "Aku tidak bisa memberikanmu jawaban yang pasti, tapi ketika kau mencintai seseorang, kau akan tahu. Jangan terlalu memikirkannya. Cinta bukan sesuatu untuk diburu-buru."

Aku mengusap belakang leherku, dan menahan senyum. "Ini terlalu memalukan untuk dibicarakan. Ayo ganti topiknya."

Lee hanya terus menatapku.

"Kau seperti kakak laki-laki."

"Aku memang kakak laki-laki."

"Tolong berikan tip pada kakak laki-lakiku bagaimana menjadi kakak yang lebih baik."

"Well, mungkin aku akan menjadi kakak laki-lakimu suatu hari nanti."

Mulutku membuka sedikit dan Lee mengedipkan matanya padaku sebelum tertawa keras.

Kakak laki-laki.

********

Hi, semua! Terimakasih banyak sudah membaca!!! ~ Jordan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro